Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Benign prostatic hyperplasia (BPH), atau yang biasa juga disebut benign
prostatic hypertrophy, adalah suatu neoplasma jinak (hiperplasia) yang
mengenai kelenjar prostat. Prostat adalah suatu organ yang terdiri dari komponen
kelenjar, stroma dan muskuler. Penyakit ini ditandai dengan pembesaran yang
progresif dari kelenjar prostat yang berakibat pada obstruksi pengeluaran kandung
kemih dan peningkatan kesulitan berkemih. Pertumbuhan prostat yang sangat
tergantung pada hormon testosteron ini berlangsung di dalam jaringan yang
berbeda-beda, dan menimbulkan dampak pada pria secara beragam. Sebagai
akibat dari perbedaan ini, pengobatan yang diberikan pun berbeda untuk tiap
kasus. Tidak ada penyembuhan untuk BPH dan sekali kelenjar prostat bertumbuh,
maka sering berlanjut terus-menerus, kecuali terapi medikasi di berikan
(Sjamsuhidajat & De Jong, 2010).

Sulit untuk menentukan insidens dan prevalensi BPH karena dari berbagai
penelitian digunakan kriteria yang berbeda untuk menjelaskan kondisi penyakit.
Berdasarkan data National Institutes of Health (NIH), BPH terjadi pada lebih dari
50% pria berumur lebih dari 60 tahun dan sebanyak 90% pada pria berumur 70
tahun. BPH umumnya tumor jinak yang ditemukan pada laki- laki dan
kejadiannya berhubungan dengan umur, kira- kira 20% BPH ditemukan pada
umur 41- 50 tahun, 50% pada umur 51-60% dan lebih 90% pada umur lebih dari
80%. Faktor resiko perkembangan BPH masih belum diketahui secara jelas.
Beberapa studi menjelaskan adanya hubungan dengan faktor predisposisi genetik,
dan yang lainnya mengatakan adanya kaitan dengan perbedaan ras. Hampir 50%
pria berumur kurang dari 60 tahun yang menjalani operasi untuk BPH memeiliki
bentuk penyakit yang diwariskan. Bentuk ini merupakan bentuk autosomal
dominant, dan keturunan pertama dari pasien BPH membawa resiko relatif yang
meningkat hampir 4 kali lipat (Purnomo & Basuki B, 2003).
Risiko BPH meningkat seiring dengan pertambahan usia, naik dari 8
persen pada usia tiga puluhan menjadi 40 sampai 50 persen pada usia lima puluh
tahunan, hingga lebih besar dari 90 persen pada usia sembilan puluh tahun. BPH
melibatkan banyak faktor, termasuk testosteron, estrogen, dan hormon lainnya,
namun penyebab spesifik belum sepenuhnya jelas (Purnomo & Basuki B, 2003).

Gejala yang paling umum adalah tersumbatnya aliran urin, yang dapat
mengakibatkan air seni keluar tidak lancar atau menetes, merasa harus buang air
kecil terus-menerus, dan kebutuhan untuk buang air kecil beberapa kali saat
malam hari (Purnomo & Basuki B, 2003).

Mengingat tingginya angka kejadian BPH, maka dari itu penulis tertarik
untuk mempelajari lebih lanjut tentang penyakit ini.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. DEFINISI
Benign prostat hiperplasia adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel
prostat yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat
memperbanyak diri melebihi kondisi normal, yang biasanya dialami laki-laki
berusia diatas 50 tahun. Istilah Benign Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah
tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat tetapi
kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hyperplasia (sel-selnya
bertambah banyak. Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi
gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benign hiperplasia
of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum
dipakai (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010).

Gambar 1. Kelenjar Prostat Nomal dan BPH

2. ANATOMI KELENJAR PROSTAT


Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk
seperti pyramid terbalik dan merupakan organ kelenjar fibromuskuler yang
mengelilingi uretra pars prostatika. Bila mengalami pembesaran organ ini
menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin
keluar dari buli-buli. Prostat merupakan kelenjar aksesori terbesar pada pria;
tebalnya 2 cm dan panjangnya 3 cm dengan lebarnya 4 cm, dan berat 20

3
gram. Prostat mengelilingi uretra pars prostatika dan ditembus di bagian
posterior oleh dua buah duktus ejakulatorius.

Gambar 2. Anatomi Prostat

Secara histologi prostat terdiri atas 30-50 kelenjar tubulo alveolar yang
mencurahkan sekretnya ke dalam 15-25 saluran keluar yang terpisah. Saluran
ini bermuara ke uretra pada kedua sisi kolikulus seminalis. Kelenjar ini
terbenam dalam stroma yang terutama terdiri dari otot polos yang dipisahkan
oleh jaringan ikat kolagen dan serat elastis. Otot membentuk masa padat dan
dibungkus oleh kapsula yang tipis dan kuat serta melekat erat pada stroma.
Alveoli dan tubuli kelenjar sangat tidak teratur dan sangat beragam bentuk
ukurannya, alveoli dan tubuli bercabang berkali-kali dan keduanya
mempunyai lumen yang lebar, lamina basal kurang jelas dan epitel sangat
berlipat-lipat. Jenis epitelnya berlapis atau bertingkat dan bervariasi dari
silindris sampai kubus rendah tergantung pada status endokrin dan kegiatan
kelenjar. Sitoplasma mengandung sekret yang berbutir-butir halus, lisosom dan
butir lipid. Nukleus biasanya satu, bulat dan biasanya terletak basal. Nukleoli
biasanya terlihat ditengah, bulat dan kecil (Purnomo & Basuki B, 2003).

Batas-batas kelenjar prostat


a. Batas superior : basis prostat melanjutkan diri sebagai collum vesica
urinaria, otot polos berjalan tanpa terputus dari satu organ ke organ yang
lain.

4
b. Batas inferior : apex prostat terletak pada permukaan atas diafragma
urogenitalis. Uretra meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan
anterior.
c. Anterior : permukaan anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis,
dipisahkan dari simphisis oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada
cavum retropubica(cavum retziuz). Selubung fibrosa prostat dihubungkan
dengan permukaan posterior os pubis dan ligamentum
puboprostatica. Ligamentum ini terletak pada pinggir garis tengah dan
merupakan kondensasi vascia pelvis.
d. Posterior : permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan
permukaan anterior ampula recti dan dipisahkan darinya oleh septum
retovesicalis (vascia Denonvillier). Septum ini dibentuk pada masa janin
oleh fusi dinding ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang
semula menyebar ke bawah menuju corpus perinealis.
e. Lateral : permukaan lateral prostat terselubung oleh serabut anterior m.
levator ani waktu serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis. Ductus
ejaculatorius menembus bagian atas permukaan prostat untuk bermuara
pada uretra pars prostatica pada pinggir lateral orificium utriculus
prostaticus

Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus :


a. Lobus medius
b. Lobus lateralis (2 lobus)
c. Lobus anterior
d. Lobus posterior

5 zona pada kelenjar prostat:


a. Zona Anterior atau Ventral .
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma
fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
b. Zona Perifer

5
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar
prostat. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal
karsinoma terbanyak.
c. Zona Sentralis.
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus
tengah meliputi 25% massa glandular prostat.Zona ini resisten
terhadap inflamasi.

Gambar 3. Posisi Zona Perifer dan Transisional

d. Zona Transisional.
Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai
kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu
kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma
fibromuskular anterior menjadi benign prostatic hyperplasia (BPH).
e. Kelenjar-Kelenjar Periuretra
Bagian ini terdiri dan duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar
abortif tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.

Aliran darah prostat


Merupakan percabangan dari arteri pudenda interna, arteri vesikalis
inferior dan arteri rektalis media. Pembuluh ini bercabang-cabang

6
dalam kapsula dan stroma, dan berakhir sebagai jala-jala kapiler yang
berkembang baik dalam lamina propria. Pembuluh vena mengikuti
jalannya arteri dan bermuara ke pleksus sekeliling kelenjar. Pleksus
vena mencurahkan isinya ke vena iliaca interna. Pembuluh limfe mulai
sebagai kapiler dalam stroma dan mengikuti pembuluh darah dan
mengikuti pembuluh darah. Limfe terutama dicurahkan ke nodus iliaka
interna dan nodus sakralis. Persarafan prostat berasal dari pleksus
hipogastrikus inferior dan membentuk pleksus prostatikus. Prostat
mendapat persarafan terutama dari serabut saraf tidak bermielin.
Beberapa serat ini berasal dari sel ganglion otonom yang terletak di
kapsula dan di stroma. Serabut motoris, mungkin terutama simpatis,
tampak mempersarafi sel- sel otot polos di stroma dan kapsula sama
seperti dinding pembuluh darah.

3. FISIOLOGI KELENJAR PROSTAT


Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur,
sedangkan pada orang dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya
mudah teraba. Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi
prostatic, jaringan prostat masih baik. Pertambahan unsur kelenjar
menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas
dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat.
Apabila tonjolan itu ditekan, keluar cairan seperti susu. Apabila jaringan
fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu padat dan tidak
mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan
uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga
penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar
yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat
mengakibatkan peradangan (Umbas R, 19995).

Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama


sekret dari vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen.
Semen berisi sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam (6,5). Selain itu

7
dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase
asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi
melalui kontraksi otot polos. kelenjar prostat juga menghasilkan cairan dan
plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan
vesikula seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah
pengaruh Androgen Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian
Stilbestrol(Umbas R, 19995).

4. ETIOLOGI BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA


Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab
terjadinya hiperplasia prostatic; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasia prostatic erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua) . Beberapa hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat jinak adalah : (1)
Teori Dihidrotestosteron, (2) Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-
testosteron, (3) Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4)
Berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) Teori Stem sel (Mansjoer A,
dkk, 2000).
a. Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang
sangat penting pada pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk dari
testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5-reduktase dengan bantuan
koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor
androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat.

Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak
jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH,
aktivitas enzim 5-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak
pada BPH. Hal ini menyebabkan pada BPH lebih sensitif terhadap DHT

8
sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat
normal.

b. Ketidakseimbangan antara estrogen testosterone


Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun,
sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara
estrogen : testosterone relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen
di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel- sel kelenjar
prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel- sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen,
dan menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat (apoptosis). Hasil akhir
dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel- sel
baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel sel prostat yang
telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi
lebih besar.

c. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan
sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel- sel stroma
melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel- sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel- sel stroma mensintesis
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel- sel stroma itu
sendiri secara intrakin dan autokrin, serta mempengaruhi sel- sel epitel
secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel- sel
epitel maupun stroma.

d. Berkurangnya Kematian Sel Prostat (apoptosis)


Program kematian sel ( apoptosis ) pada sel prostat adalah
mekanisme fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat.
Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya
sel sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel sel di
sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.

9
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi
sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai
pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel sel prostat baru dengan
yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel sel prostat
yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan
massa prostat.

e. Teori Sel Stem


Untuk mengganti sel sel yang telah mengalami apoptosis, selalu
dibentuk sel sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem,
yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif.
Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen,
sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada
kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. terjadinya proliferasi sel sel
pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma atau sel epitel.

5. FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah (Suboston &
David, 2010):
a. Kadar Hormon
Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan
peningkatan risiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yang
lebih poten yaitu dihydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5-reductase, yang
memegang peran penting dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat.
b. Usia
Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada
buli (otot detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena
pengaruh usia tua menurunkan kemampuan buli-buli dalam
mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi

10
karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan gejala.10 Testis
menghasilkan beberapa hormon seks pria, yang secara keseluruhan
dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup testosteron,
dihidrotestosteron dan androstenesdion. Testosteron sebagian besar
dikonversikan oleh enzim 5-alfa-reduktase menjadi dihidrotestosteron
yang lebih aktif secara fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur
fungsi ereksi. Tugas lain testosteron adalah pemacu libido, pertumbuhan
otot dan mengatur deposit kalsium di tulang. Sesuai dengan pertambahan
usia, kadar testosteron mulai menurun secara perlahan pada usia 30 tahun
dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun keatas.
c. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko
terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin
banyak anggota keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar
risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat terkena BPH. Bila satu
anggota keluarga mengidap penyakit ini, maka risiko meningkat 2 kali
bagi yang lain. Bila 2 anggota keluarga, maka risiko meningkat menjadi 2-
5 kali. Dari penelitian terdahulu didapatkan OR sebesar 4,2 (95%, CI 1,7-
10,2).
d. Obesitas
Obesitas akan membuat gangguan pada prostat dan kemampuan
seksual, tipe bentuk tubuh yang mengganggu prostat adalah tipe bentuk
tubuh yang membesar di bagian pinggang dengan perut buncit, seperti
buah apel. Beban di perut itulah yang menekan otot organ seksual,
sehingga lama-lama organ seksual kehilangan kelenturannya, selain itu
deposit lemak berlebihan juga akan mengganggu kinerja testis. Pada
obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap
pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap
androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat. Pola
obesitas pada laki-laki biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen.

11
e. Pola Diet
Suatu studi menemukan adanya hubungan antara penurunan risiko
BPH dengan mengkonsumsi buah dan makanan mengandung kedelai yang
kaya akan isoflavon. Kedelai sebagai estrogen lemah mampu untuk
memblokir reseptor estrogen dalam prostat terhadap estrogen. Jika
estrogen yang kuat ini sampai menstimulasi reseptor dalam prostat, dapat
menyebabkan BPH. Studi demografik menunjukkan adanya insidensi yang
lebih sedikit timbulnya penyakit prostat ini pada laki-laki Jepang atau Asia
yang banyak mengkonsumsi makanan dari kedelai. Isoflavon kedelai yaitu
genistein dan daidzein, secara langsung mempengaruhi metabolisme
testosteron.

Risiko lebih besar terjadinya BPH adalah mengkonsumsi margarin


dan mentega, yang termasuk makanan yang mengandung lemak jenuh.
Konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh yang tinggi (terutama
lemak hewani), lemak berlebihan dapat merusak keseimbangan hormon
yang berujung pada berbagai penyakit.
f. Aktivitas Seksual
Kelenjar prostat adalah organ yang bertanggung jawab untuk
pembentukan hormon laki-laki. BPH dihubungkan dengan kegiatan seks
berlebihan dan alasan kebersihan. Saat kegiatan seksual, kelenjar prostat
mengalami peningkatan tekanan darah sebelum terjadi ejakulasi. Jika
suplai darah ke prostat selalu tinggi, akan terjadi hambatan prostat yang
mengakibatkan kalenjar tersebut bengkak permanen. Seks yang tidak
bersih akan mengakibatkan infeksi prostat yang mengakibatkan BPH.
Aktivitas seksual yang tinggi juga berhubungan dengan meningkatnya
kadar hormon testosteron.
g. Kebiasaan merokok
Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok
meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan
penurunan kadar testosteron.

12
h. Kebiasaan minum-minuman beralkohol
Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan
vitamin B6 yang penting untuk prostat yang sehat. Zinc sangat penting
untuk kelenjar prostat. Prostat menggunakan zinc 10 kali lipat
dibandingkan dengan organ yang lain. Zinc membantu mengurangi
kandungan prolaktin di dalam darah. Prolaktin meningkatkan penukaran
hormon testosteron kepada DHT.
i. Olah raga
Para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur, berpeluang
lebih sedikit mengalami gangguan prostat, termasuk BPH. Dengan aktif
olahraga, kadar dihidrotestosteron dapat diturunkan sehingga dapat
memperkecil risiko gangguan prostat. Selain itu, olahraga akan
mengontrol berat badan agar otot lunak yang melingkari prostat tetap
stabil. Olahraga yang dianjurkan adalah jenis yang berdampak ringan dan
dapat memperkuat otot sekitar pinggul dan organ seksual.13

6. PATOFISIOLOGI

Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,


sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Pada
BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu
komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan
mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine
(obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot
polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor.
Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot
polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari
stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh
komponen mekanik (Umbas R, 1995).

13
Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi
uretra. Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk
mengatasi resistensi uretra yang meningkat, otot-otot detrusor akan
berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Kontraksi yang terus-menerus ini
menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi (Umbas R, 1995).

Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan


pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS)
yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.

Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke


dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan
diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara
ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik
urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan
akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Umbas R, 1995).

Dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat


menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan
mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut
diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila
berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi
retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih atas (Umbas R, 1995).

14
7. MANIFESTASI KLINIS

Gambar 5. Gejala BPH

a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)


Terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi :
Obstruksi Iritasi
Hesistansi Frekuensi
Pancaran miksi lemah Nokturi
Intermitensi Urgensi
Miksi tidak puas Disuria
Terminal dribbling Urgensi dan disuria jarang
(menetes) terjadi, jika ada disebabkan
oleh ketidakstabilan detrusor
sehingga terjadi kontraksi
involunter.

Tabel 1. Gejala Obstruksi dan Iritasi Benign Prostat Hiperplasia

Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli


untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami
kepayahan (fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang
diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih
tergantung tiga faktor, yaitu:

15
Volume kelenjar periuretral
Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
Kekuatan kontraksi otot detrusor

Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh faktor pencetus


antara lain :
1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan
yang mengandung diuretikum, minum tertalu banyak)
2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas
seksual/ infeksi prostat)
3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi
otot detrusor (golongan antikolinergik atau adrenergic-)

Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan


dengan penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan
pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable.
Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya skor International Prostate
Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American
Urological Association (AUA). Sistem skoring yang lain adalah skor
Madsen-Iversen dan skor Boyarski. Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan.
Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif
mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7
ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat (Subiston & David, 2010).

16
Gambar 6. Skor Madsen-Iversen

Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-


pertanyaan untuk menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala
iritatif. Total skor dapat berkisar antara 0-29. Skor > 20 berat.
Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor Madsen Iversen
penderita tidak menilai sendiri derajat keluhannya. Perbedaan ini yang
mendasari mengapa skor Madsen-Iversen digunakan di Sub Bagian
Urologi RSUPN Cipto Mangunkusumo (Subiston & David, 2010).

17
Gambar 7. International Prostate Symptom Score (IPSS)

Sistem skoring I-PSS terdiri atas 7 pertanyaan yang berhubungan


dengan keluhan miksi (LUTS) dan 1 pertanyaan yang berhubungan
dengan kualitas hidup pasien. Skor ringan (0-7), sedang (8-19), berat (
20) (Subiston & David, 2010).

b. Gejala pada saluran kemih bagian atas


Merupakan penyulit dari hiperplasi prostat, berupa gejala obstruksi
antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam
(infeksi/ urosepsis) (Subiston & David, 2010).

c. Gejala di luar saluran kemih


Keluhan pada penyakit hernia/ hemoroid sering mengikuti penyakit
hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan

18
pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra
abdominal.

Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia,


mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastric (Subiston &
David, 2010).

Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu:

Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok


dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.
Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat
lebih menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari
50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi
dan sisa urin lebih dari 100 ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

Gambar 8. Derajat Berat Hipertrofi Prostat Berdasarkan Gambaran Klinis

8. PEMERIKSAAN FISIK
Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, buli-
buli penuh (ditemukan massa kistus supra pubis) yang nyeri dan pekak pada
perkusi. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes yang
merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa (Rahardjo J, 1999).

Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )

19
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat memberikan
gambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti
benjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Keadaan prostat
yang ditemukan pada BPH antara lain : Kemungkinan adanya nodul,
krepitasi, konsistensi prostat, simetris antar lobus dan batas prostat. Pada
colok dubur pembesaran prostat benign menunjukan konsistensi prostat
kenyal, seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan
tidak didapatkan nodul. Volume yang normal pada dewasa adalah 20-30 g.
Pengukuran lebih tepat dapat menggunakan transrektal ultrasonografi
(TRUS). Raba apakah terdapat fluktuansi (abses prostat)/ nyeri tekan
(prostatitis). Konsistensi prostat keras/teraba nodul dan mungkin diantara
lobus prostat tidak simetris.

Gambar 9. DRE Kelenjar Prostat

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria


bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi
pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang.
Daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya
hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya
kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi
seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra,
fimosis, condiloma di daerah meatus.

20
Derajat berat obstruksi
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin
setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang
masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui
dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin
lebih dari 100cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi
melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium
Sedimen urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi, hematuri atau
inflamasi pada saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit,
bakteri, protein atau glukosa.
Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan
Faal ginjal
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih
bagian atas. Pengukuran kadar elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna
untuk menilai fungsi ginjal dari pasien. Insufisiensi ginjal dapat
ditemukan pada 10% pasien dengan prostatism dan memerlukan
pemeriksaan radiologi saluran kemih bagian atas. Pasien dengan
insufisiensi ginjal mempunyai risiko yang tinggi mengalami
komplikasi post-operasi setelah pembedahan BPH.
Gula darah
Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang dapat
menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli
neurogenik).
Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)

21
Jika curiga adanya keganasan prostat. Serum PSA dapat dipakai untuk
meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar
PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat lebihcepat, (b)
keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih buruk, dan (c) lebih
mudahterjadinya retensi urine akut. Kadar PSA di dalam serum dapat
mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada
prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut,
kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua.

B. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen (BNO)
Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat serta osteoporosis
akibat kegagalan ginjal. Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai
penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau
divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya
metastasis ke tulang dari carsinoma prostat (Hamm B dkk, 2008).

Pielografi Intravena (IVP)

Gambar 10. Fish Hook (J-ing), ureter yang membentuk seperti kail

22
Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat
pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas
berbentuk seperti mata kail (hooked fish). Dapat pula mengetahui
adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun
hidronefrosis serta penyulit (trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli
buli). Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin (Sution D,
2003).
Sistoskopi
Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui
pembukaan urethra di dalam penis. Prosedur ini dilakukan setelah
solusi numbs bagian dalam penis sehingga sensasi semua hilang.
Tabung, disebut sebuah cystoscope, berisi lensa dan sistem cahaya
yang membantu dokter melihat bagian dalam uretra dan kandung
kemih. Tes ini memungkinkan dokter untuk menentukan ukuran
kelenjar dan mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi (Hamm B
dkk, 2008).

Gambar 11. Gambaran sistoskopi benign prostat hiperplasi

Transrektal Ultrasonografi (TRUS)

23
Gambar 12. Gambaran TRUS prostat tampak memperlihatkan batas antara
zona transisi dan perifer (bidang cross-sectional)

Adalah tes USG melalui rectum. Dalam prosedur ini, probe


dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara di
prostat. Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari kelenjar
prostat pada layar tampilan. Untuk menentukan apakah suatu daerah
yang abnormal tampak memang tumor, digunakan probe dan gambar
USG untuk memandu jarum biopsi untuk tumor yang dicurigai. Jarum
mengumpulkan beberapa potong jaringan prostat untuk pemeriksaan
dengan mikroskop (Sution D, 2003). Biopsy terutama dilakukan untuk
pasien yang dicurigai memiliki keganasan prostat. Transrektal
ultrasonografi (TRUS) sekarang juga digunakan untuk pengukur
volume prostat, caranya antara lain :
Metode step planimetry. Yang menghitung volume rata-rata area
horizontal diukur dari dasar sampai puncak.
Metode diameter. Yang menggabungkan pengukuran tinggi
(H/height) ,lebar (W/width) dan panjang (L/length) dengan rumus :
(H x W x L).

24
Gambar 13. TransRectal Ultrasound

Gambar 14. Gambar TRUS bidang axial, pada pasien berumur 64 tahun. Pada kelenjar
sentral, nampak dua nodul besar hyperplasia prostat (panah putih).

Gambar 15. Transrectal ulrasound (gambar transversal) pada pasien dengan


pembesaran prostat jinak (BPH). (A) memperlihatkan tanda pembesaran prostat.
Kelenjar sentral memperlihatkan gambaran multinoduler dengan kista jinak (panah)
dan pembesaran yang nyata. Hal ini telah diganti dan kompresi lebih echogenic pada
zona perifer. (B) memperlihatkan penyakit yang lebih sederhana dengan pembesaran
kelenjar prostat yang kecil. Kista jinak (penunjuk panah) dan nodul adenomatous
(panah-panah) dapat teridentifikasi.

25
USG Transabdominal
Gambaran sonografi benign hyperplasia prostat menunjukan
pembesaran bagian dalam glandula, yang relatif hipoechoic
dibanding zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung menekan
zona central dan perifer. Batas yang memisahkan hyperplasia
dengan zona perifer adalah surgical capsule.
USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya hidronefrosis
ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama (Hamm B
dkk, 2008)..

Gambar 16. Gambaran Sonografi Benign Prostat Hiperplasia

Sistografi Buli

Gambar 17. Gambaran Elevasi Dasar Buli yang Mengindikasikan Benign


Prostat Hiperplasia

CT- SCAN
Dengan CT, BPH nampa seperti area homogen yang luas dengan batas tegas. CT
tidak memiliki peran penting dalam mengevaluasi BPH, sebab resolusi jaringan

26
interprostat rendah, yang berakibat tidak dapat mengevaluasi rasio glandular ke
jaringan stroma dalam prostat. Volume prostat dapat diukur dengan modalitas
pencitraan ini (Hamm B dkk, 2008).

Gambaran BPH pada CT yaitu:


Zona anatomi tidak nampak
Pembesaran keseluruhan kelenjar prostat
Lobus medial menonjol hingga ke dasar vesika urinaria
Tidak dapat dibedakan dengan kanker prostat

Gambar 18. Bidang Axial CT setelah kontrasn intravena memperlihatkan area homogen
pada nodul pembesaran prostat jinak pada kelenjar sentral prostat (panah putih).

MRI
- Zona anatomi tergambar jelas pada T2
- Pembesaran Zoana Transisional terlihat jelas
- Biasanya inhomogen dengan intensitas tinggi derta rendah
- Penampakan halus zona periferal

27
Gambar 19. T2-W bidang transversal prostat pada pria 63 tahun. Pada kelenjar
prostat sentral, tampak dua nodul besar benign prostatic hyperplasia dengan
intensitas sinyal rendah ke tinggi (panah putih). Catatan; intensitas sinyal
rendah pada area sebelah kiri zona perifer menunjukkan karsinoma prostat
(panah hitam).

Gambar 20. Serial T2-W MRI visualisasi zona anatomi prostat baik. Zona
transisional ditandai dengan pembesaran dan penonjolan ke bagian dasar
vesika urinaria.

C. Pemeriksaan Patologi Anatomi


BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan stroma
di prostat. Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot hampir
murni, meskipun kebanyakan menunjukkan pola fibroadenomyomatous
hyperplasia (Sution D, 2003).

28
Gambar 21. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Benign Prostat Hiperplasia

10. DIAGNOSIS BANDING


Proses miksi bergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas
leher kandung kemih dengan tonus ototnya dan resistensi uretra. Setiap
kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut.
Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih
neurologik), misalnya pada lesi medula spinalis, neuropatia diabetes, bedah
radikal yang mengorbankan persarafan di daerah pelvis, penggunaan obat
penenang, obat penghambat reseptor ganglion parasimpatolitik. Kekakuan
leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi uretra
disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher
kandungkemih, batu di uretra atau striktur uretra. Kelainan tersebut dapat
dilihat dengan sistokopi (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010).

Gambar 23. Diagnosa Banding BPH

29
11. PENATALAKSANAAN
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan
medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh
sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja.
Namun adapula yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan
medik yang lain karena keluhannya semakin parah (Mulyono A, 1945).

Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume
residu urine setelah miksi dan (6) mencegah progrefitas penyakit. Hal ini
dapat dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau tindakan endourologi
yang kurang invasif (Mulyono A, 1945).

a. Watchful Waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-
hari. Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi penjelasan
mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya,
misalnya (1) jangan mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan
malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi
buli-buli (kopi/cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang
mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan
(5) jangan menahan kencing terlalu lama.

Secara periodik pasien diminta untuk datang control dengan ditanya


keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang
baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin,
atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada
sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain.

30
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi
resistansi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab
obstruksi infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa
(adrenergic alfa blocker dan (2) mengurangi volume prostat sebagai
komponen static dengan cara menurunkan kadar hormone
testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5-reduktase.
1. Penghambat reseptor adrenergik .
Mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang
membantu untuk meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh
pembesaran prostat di BPH. Efek samping dapat termasuk sakit
kepala, kelelahan, atau ringan. Umumnya digunakan alpha blocker
BPH termasuk tamsulosin (Flomax), alfuzosin (Uroxatral), dan obat-
obatan yang lebih tua seperti terazosin (Hytrin) atau doxazosin
(Cardura). Obat-obatan ini akan meningkatkan pancaran urin dan
mengakibatkan perbaikan gejala dalam beberapa minggu dan tidak
berpengaruh pada ukuran prostat.

2. Penghambat 5 reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan
dihidrotestosteron (DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim
5 reduktase di dalam sel prostat. Menurunnya kadar DHT
menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun.
Pembesaran prostat di BPH secara langsung tergantung pada DHT,
sehingga obat ini menyebabkan pengurangan 25% perkiraan ukuran
prostat lebih dari 6 sampai 12 bulan. Contoh obat penghambat 5 -
reduktase berdasarkan tipenya :
Avodart (dutasteride) - pada tipe 1 dan 2 5ARI
Proscar (finasteride) - hanya pada tipe 2 5ARI

31
3. Fikofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala akibat obstruksi parsial, tetapi data-data
farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung
mekanisme kerja obat fisioterapi sampai sata ini belum diketahui
dengan pasti. Kemungkinan fitofarmaka bekerja sebagai : antiestrogen,
antiandrogen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin
(SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factos (bFGF) dan epidermal
growth factor (EGF), mengacaukan metabolism prostaglandin, efek
anti inflamasi, menuruknan outflow resistance dan memperkecil
volume prostat. Diantara fitofarmaka yang banyak dipasarkan adalah:
Pyegeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica
dan masih banyak lainnya.

c. Terapi Invasif Minimal


Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap
pembedahan.
1. Microwave transurethral
Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat yang menggunakan
gelombang mikro untuk memanaskan dan menghancurkan jaringan
prostat yang berlebih. Dalam prosedur yang disebut microwave
thermotherapy transurethral (TUMT), perangkat mengirim gelombang
mikro melalui kateter untuk memanaskan bagian prostat dipilih untuk
setidaknya 111 derajat Fahrenheit. Sebuah sistem pendingin
melindungi saluran kemih selama prosedur. Prosedur ini memakan
waktu sekitar 1 jam dan dapat dilakukan secara rawat jalan tanpa
anestesi umum. TUMT belum dilaporkan menyebabkan disfungsi
ereksi atau inkontinensia. Meskipun terapi microwave tidak
menyembuhkan BPH, tapi mengurangi gejala frekuensi kencing,
urgensi, tegang, dan intermitensi (Kozar Rosemany A dkk, 2005).

32
Gambar 26. Microwave Transurethral

2. Transurethral jarum ablasi


Juga pada tahun 1996, FDA menyetujui transurethral jarum ablasi
invasif minimal (TUNA) sistem untuk pengobatan BPH. Sistem
TUNA memberikan energi radiofrekuensi tingkat rendah melalui
jarum kembar untuk region prostat yang membesar. Shields
melindungi uretra dari kerusakan akibat panas. Sistem TUNA
meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala dengan efek samping
yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan reseksi transurethral dari
prostat (TURP) (Kozar Rosemany A dkk, 2005).

Gambar 27. Transurethral Jarum Ablasi Invasif Minimal

3. Transurethral balloon dilation of the prostate


Pada tehnik ini, dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang
berada di prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan
melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien dengan prostat kecil,
kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala

33
sumbatan, namun efek ini hanya sementara sehingga cara ini sekarang
jarang digunakan (Kozar Rosemany A dkk, 2005).

d. Terapi Pembedahan Endourologi


Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan
komplikasi, diantaranya adalah:
Retensi urine karena BPO
Infeksi saluran kemih berulang karena obstruksi prostat
Hematuria makroskopik
Batu buli-buli karena obstruksi prostat
Gagal ginjal yang disebabkan obstruksi prostat, dan
Divertikulum buli buli yang cukup besar karena obstruksi

1. Transurethral resection of the prostate (TURP)


Sembilan puluh lima persen prostatektomi sederhana dapat dilakukan
secara endoskopi. Sebagian besar prosedur ini menggunakan teknik
anestesi spinal dan memerlukan 1-2 hari perawatan di rumah sakit.
Skor keluhan dan perbaikan laju aliran urine lebih baik dibandingkan
terapi lain yang bersifat minimal invasive. Risiko TURP meliputi
ejakulasi retrograd (75%), impotensi (5-10%), dan inkontinensia
(<1%).

TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur


bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat.
Secara umum TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90%,
meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.5

34
Gambar 28. (a) alat TURP, (b) cara melakukan TURP, (c) uretra prostatika pasca
TURP

Komplikasi operasi antara lain perdarahan, striktur uretra, atau


kontraktur pada leher kandung kemih, perforasi dari kapsul prostat
dengan ekstravasasi, dan pada kondisi berat terjadi sindroma TUR
yang disebabkan oleh keadaan hipervolemik dan hipernatremia akibat
absorbsi cairan irigasi yang bersifat hipotonis. Manifestasi klinis
sindroma TUR antara lain nausea, muntah, hipertensi, bradikardi,
confusing, dan gangguan penglihatan. Risiko terjadinya sindroma
TUR meningkat pada reseksi yang lebih dari 90 menit.
Penatalaksanaan meliputi diuresis dan pada kondisi berat diberikan
larutan hipertonis (Kozar Rosemany A dkk, 2005).

2. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)


Pria dengan keluhan sedang sampai berat dan ukuran prostat yang
kecil sering didapatkan adanya hyperplasia komisura posterior
(terangkatnya leher kandung kemih). Pasien tersebut biasanya lebih
baik dilakukan insisi prostat.

35
Gambar 29. Prosedur Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)

Prosedur TUIP lebih cepat dan morbiditasnya lebih rendah


dibandingkan TURP. Teknik TUIP meliputi insisi dengan pisau Collin
pada posisi jam 5 dan 7. Insisi dimulai di arah distal menuju orifisium
ureter dan meluas ke arah verumontanum (Kozar Rosemany A dkk,
2005).

Terapi Pembedahan Terbuka


Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak dapat
digunakan, operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal, dapat
digunakan. Open surgery sering dilakukan ketika kelenjar sangat membesar
(>100 gram), ketika ada komplikasi, atau ketika kandung kemih telah rusak
dan perlu diperbaiki. Prostateksomi terbuka dilakukan melalui pendekatan
suprarubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin). Penyulit
yang dapat terjadi adalah inkontinensia uirn (3%), impotensia (5-10%),
ejakulasi retrograde (60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (305%).
Perbaikan gejala klinis 85-100% (Kozar Rosemany A dkk, 2005).

Prostatektomi Terbuka Sederhana


Ketika ukuran prostat terlalu besar untuk direseksi secara endoskopi, enukleasi
terbuka dapat dilakukan. Kelenjar prostat yang lebih dari 100 g biasanya
merupakan indikasi enukleasi terbuka. Prostatektomi terbuka juga dilakukan
pada pasien dengan disertai divertikulum atau batu buli atau jika posisi
litotomi tidak mungkin dilakukan (Kozar Rosemany A dkk, 2005).

Operasi Laser

36
Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan mengalami koagulasi dan pada suhu
yang lebih dari 100oC mengalami vaporasi. Teknik laser menimbulkan lebih
sedikit komplikasi sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap
tahun. Kekurangannya adalah : tidak dapat diperoleh jaringan untuk
pemeriksaan patologi (kecuali paad Ho:YAG coagulation), sering banyak
menimbulkan disuri pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan,
tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi dan peak flow rate lebih
rendah daripada pasca TURP. Serat laser melalui uretra ke dalam prostat
menggunakan cystoscope dan kemudian memberikan beberapa semburan
energi yang berlangsung 30 sampai 60 detik. Energi laser menghancurkan
jaringan prostat dan menyebabkan penyusutan (Kozar Rosemany A dkk,
2005).

Interstitial laser coagulation


Tidak seperti prosedur laser lain, koagulasi laser interstisial tempat ujung
probe serat optik langsung ke jaringan prostat untuk menghancurkannya.

Gambar 30. Interstitial Laser Coagulation

Potoselectif vaporisasi prostat (PVP)


PVT a-energi laser tinggi untuk menghancurkan jaringan prostat. Cara sama
dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dengan
mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporasi kelenjar
prostat. Teknik ini cukup aman tidak menimbulkan perdarahan pada saat
operasi. Namun teknik ini hanya diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu
besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih lama (Kozar
Rosemany A dkk, 2005).

37
Gambar 31. Potoselectif vaporisasi prostat (PVP)

12. KOMPLIKASI
Apabila buli buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin.
Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak
mampu menampung urin sehingga tekanan intra vesika meningkat, dapat
timbul hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dipercepat jika terjadi infeksi.Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk
batu endapan dalam buli buli. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan
bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis. Pada waktu miksi pasien harus
mengedan shingga lama kelamaan dapatmenyebabkan hernia atau hemoroid
(Sabiston & David, 2010).

Jadi, dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat


dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut:
Inkontinensia Paradoks
Batu Kandung Kemih
Hematuria
Sistitis
Pielonefritis
Retensi Urin Akut Atau Kronik
Refluks Vesiko-Ureter
Hidroureter
Hidronefrosis
Gagal Ginjal

38
13. PROGNOSIS
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada
tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang
tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat
berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian, kanker prostat
merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru.
BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup
merugikan bagi penderita (Sabiston & David, 2010).

39
BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Benign prostat hiperplasia adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat
yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat
memperbanyak diri melebihi kondisi normal, yang biasanya dialami laki-laki
berusia diatas 50 tahun.
Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna
pada populasi pria lanjut usia. Dengan bertambah usia, ukuran kelenjar dapat
bertambah karena terjadi hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur
epitel kelenjar (jaringan dalam kelenjar prostat). Gejala dari pembesaran
prostat ini terdiri dari gejala obstruksidan gejala iritatif.
Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah
konvensional, dan terapi minimal invasif.
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap
individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak
segera dilakukan ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat
berkembang menjadi kanker prostat.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Hamm,B., Asbach.,P., Beyersdoff.D., Hein,P., Lemke,U., Direct Diagnosis in


Radiology; Urogenital Imaging. New York. Theme Publishing Groups.
2008;p.171-3
2. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A, Schwartzs Principles of Surgery. 8th
Edition, Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005
3. Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani. Pembesaran Prostat Jinak. Dalam: Kapita
selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius; 329-344, 2000.
4. Mulyono, A. Pengobatan BPH Pada Masa Kini. Dalam : Pembesaran Prostat
Jinak. Jakarta : Yayasan penerbit IDI ; 40-48.5. 1995.
5. Purnomo, Basuki B. Dasar Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta : Sagung
Seto,2003
6. Rahardjo, J. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah, Jakarta ;
Binarupa aksara ; 161-703. 1999.
7. Ramon P, Setiono, Rona, Buku Ilmu Bedah, Fakultas KedokteranUniversitas
Padjajaran ; 203-75, 2002
8. Sabiston, David. Buku Ajar Bedah, Jakarta : EGC. 2010.
9. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar Ilmu Bedah,
Jakarta; EGC ; 848-933. 2010.
10. Sutton,D., Seventh Edition. Textbook of Radiology and Imaging. Volume II.
London. Churchil livingstone. 2003;p. 1004-5
11. Umbas, R. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak, Jakarta ;
Yayasan penerbit IDI ; 1-52. 1995.

41

Anda mungkin juga menyukai