Anda di halaman 1dari 7

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, tugas terstruktur kami, mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
dengan sub bahasan pedoman penghayatan pengamalan pancasila,dapat diselesaikan dengan tepat
waktu.

Melalui kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Djonis selaku penanggung jawab mata kuliah pendidikan pancasila

2. Drs. Soewano selaku tim pengajar mata kuliah pendidikan pancasila

Kami menyadari di dalam makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang sangat membangun kami perlukan demi kesempurnaan makalah ini . Kami
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Pontianak, 16 oktober 2010

Hormat kami

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN
BAB II
PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG PERLUNYA P-4


Muatan P-4 yang terdiri dari Pancasila/P-4, UUD 1945 dan GBHN dikemas dalam
bentuk bahan ajar dan diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan
tinggi. Untuk Sekolah Dasar dan Menengah bahan ajar tersebut diberi nama Pendidikan
Moral Pancasila yang kemudian diubah menjadi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, sedang di Perguruan Tinggi menjadi Pendidikan Pancasila. Ketentuan ini
dikokohkan dengan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989.

Apabila kita cermati bahwa penataran P-4 lebih dititik beratkan pada pembinaan
moral bangsa yang esensinya adalah pengendalian diri. Seorang warganegara diharapkan
mampu mengendalikan diri dalam segala aspek kehidupan, diperlukan toleransi yang tinggi,
dan tidak mementingkan diri sendiri. Hanya dengan jalan ini maka kebersamaan akan
terwujud dalam masyarakat yang pluralistik.

Dalam rangka mengantisipasi gerakan globalisasi yang melanda dunia dan dalam
mempersiapkan diri memasuki millennium ke-3, serta menghadapi tinggal landas
pembangunan, penataran P-4 perlu ditingkatkan. Terbitlah Instruksi Presiden No 2 tahun
1994 tentang Peningkatan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila disingkat P2-P4. Intinya adalah bagaimana Pancasila sebagai ideologi terbuka
mampu mengantisipasi tantangan zaman, dan bagaimana usaha untuk meningkatkan
kesadaran warganegara akan hak dan kewajibannya sebagai pribadi, makhluk Tuhan Yang
Maha Esa, sebagai warga masyarakat, dan sebagai warga bangsa serta warga dunia.

Berdasarkan data statistik yang dihimpun oleh BP-7 Pusat, pada akhir tahun 1990-an
lebih dari 90% warganegara Indonesia yang berumur 6 tahun ke atas telah mengikuti
pemasyarakatan P-4 dengan berbagai pola dan metode. Bahkan tidak jarang yang mengalami
beberapa kali kegiatan pemasyarakatan P-4, sesuai dengan tingkat pendidikan dan
profesinya.

B. PROSES TERJADINYA TAP MPR RI No.II/MPR/1978


Kelahiran dan tumbuh kembang P-4 didorong oleh situasi kehidupan negara yang
terjadi pada pertengahan tahun 1965. Orde Baru menilai bahwa terjadinya tragedi nasional,
G-30-S/PKI pada tahun 1965, adalah karena bangsa Indonesia tidak melaksanakan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Setelah bangsa Indonesia
mampu mengatasi akibat dari gejolak yang ditimbulkan oleh gerakan G-30-S/PKI, serta telah
mampu untuk menetapkan program pembangunnya, dirasa perlu untuk membenahi karakter
bangsa dengan mengembangkan sikap dan perilaku warganegara sesuai dengan amanat yang
tertuang dalam Undang-Undang Dasarnya.
Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat, dalam Sidang Umumnya, pada tanggal 22
Maret 1978 menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dengan
demikian pelaksanaan P-4 merupakan kehendak rakyat yang ditetapkan oleh MPR RI
sebagai penjelmaan rakyat, yang wajib dipatuhi.

TAP MPR RI No.II/MPR/1978 tentang P-4 yang telah dicabut dengan Ketetapan
MPR RI No. XVIII/MPR/1998, di antaranya berisi: (1) bahwa P-4 ini diperuntukkan sebagai
penuntun dan pegangan hidup bagi setiap warganegara Indonesia dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, (2) Presiden bersama-sama DPR ditugasi untuk melaksanakan
dengan sebaik-baiknya. Untuk menindak lanjuti TAP MPR tersebut Presiden menerbitkan
Instruksi Presiden No. 10 tahun 1978, untuk menyelenggarakan penataran P-4, dan sebagai
langkah pertama diselenggarakan penataran bagi calon Penatar Tingkat Nasional, yang biasa
disebut Manggala. Penataran Manggala pertama berlangsung dari tanggal 1 Oktober
sampai dengan 15 Oktober 1978, berlangsung di Istana Bogor dan diselenggarakan oleh
Menteri Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Negara Penertiban Aparatur
Negara. Manggala angkatan pertama berjumlah sekitar 100 orang terdiri dari para pejabat
eselon dua dan satu dari berbagai departemen dan lembaga negara. Kemudian para manggala
angkatan pertama ini bersama dengan para pembina penatar nasional ditugasi untuk
menyusun bahan penataran yang terdiri atas tiga bahan yakni Pancasila, UUD 1945, dan
GBHN dengan merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR yang terkait.

Dengan berasumsi bahwa para pegawai negeri merupakan kelompok masyarakat


yang diharapkan untuk dapat memberikan contoh dalam mengimplementasikan Pancasila
dan UUD 1945, maka langkah selanjutnya adalah menyelenggarakan penataran bagi para
pegawai negeri. Sebagai langkah awal adalah membentuk penatar-penatar bagi setiap
instansi pemerintah. Penataran diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah yang
dilaksanakan oleh Badan Administrasi Kepegawaian Negara. Para manggala ditugasi untuk
melaksanaan penataran, dan setiap angkatan diselenggarakan selama dua minggu.

Sekembali di instansi masing-masing, para penatar segera menyelenggarakan


penataran di instansi masing-masing dengan ketentuan para pegawai golongan IV dan III
mengikuti penataran P-4 tipe A yang diselenggarakan sekitar dua minggu, pegawai golongan
II mengikuti tipe B yang berlangsung sekitar satu minggu, dan golongan I mengikuti tipe C
selama empat hari. Dalam waktu sekitar dua tahun hampir seluruh pegawai negeri telah
mengikuti penataran P-4.

Langkah selanjutnya adalah menyelenggarakan penataran P-4 bagi masyarakat pada


umumnya, serta sisa-sisa pegawai negeri yang belum ditatar di instansi masing-masing.
Untuk keperluan ini dibentuk suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang disebut
Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila disingkat BP-7 dengan surat Keputusan Presiden No.10 tahun 1979.
Keputusan Presiden tersebut ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri, dengan
menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 239 tahun 1980, No. 163 tahun 1981, dan
No. 86 tahun 1982, tentang pembentukan BP-7 di Pemerintah Daerah tingkat I dan tingkat II
sehingga di setiap propinsi dan kabupaten dan kotamadya memiliki lembaga yang bernama
BP-7 Daerah. Untuk keperluan penyelenggaraan penataran P-4 bagi masyarakat
dikembangkan pola-pola penataran sebagai berikut:
a. Pola 120 jam, yang dikemudian hari berkembang manjadi pola 144 jam, bagi calon penatar
yang akan bertugas di BP-7 daerah tingkat I maupun tingkat II, dan bagi tokoh-tokoh
masyarakat dan pimpinan organisasi.
b. Pola 45 jam, bagi kader-kader organisasi kemasyarakatan.
c. Pola 25 jam dan pola 17 jam bagi masyarakat pada umumnya, di kemudian hari pola 17
jam dihapus karena dipandang kurang efektif.
d. Memasuki tahun 1990-an dikembangkan pula pola penataran P-4 yang disesuaikan dengan
profesi target audience, yang disebut pola terpadu. Hal ini dimaksudkan untuk lebih
mengaktualisasikan dan mengkontekstualisasikan muatan penataran P-4 dengan berbagai
lapangan kerja.
e. Dengan beberapa modifikasi penataran P-4 pola 120 jam dikembangkan menjadi pola
penataran bagi para mahasiswa yang baru masuk perguruan tinggi menjadi penataran P-4
pola 100 jam, pola 45 jam bagi murid klas 1 SLTA, dan pola 25 jam untuk murid klas 1
SLTP.

Penataran pola 120/144 jam menjadi kewenangan BP-7 Pusat, sedang pola yang lain
menjadi kewenangan BP-7 Daerah, dan lembaga-lembaga pendidikan. Di samping metoda
penataran dikembangkan juga pemasyarakatan P-4 dengan menggunakan modul, metoda
simulasi dan cerdas tangkas P-4 yang diselenggarakan baik di tingkat nasional maupun
tingkat daerah.

C. BUTIR BUTIR P4
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
(1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
(2) Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
(3) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama
dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(4) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
(5) Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
(6) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
(7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
kepada orang lain.

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab


(1) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia,
tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
(3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
(4) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
(5) Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
(6) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
(7) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
(8) Berani membela kebenaran dan keadilan.
(9) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
(10) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

3. Persatuan Indonesia
(1) Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa
dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
(2) Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
(3) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
(4) Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
(5) Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
(6) Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
(7) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

4.Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan/Perwakilan
(1) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
(2) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
(3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
(4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
(5) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil
musyawarah.
(6) Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
keputusan musyawarah.
(7) Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi
dan golongan.
(8) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
(9) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada
Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai
kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan
bersama.
(10) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan
pemusyawaratan.

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia


(1) Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan.
(2) Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
(3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
(4) Menghormati hak orang lain.
(5) Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
(6) Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap
orang lain.
(7) Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup
mewah.
(8) Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan
kepentingan umum.
(9) Suka bekerja keras.
(10) Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama.
(11) Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.

D. POLA PELAKSANAAN P4
Pola pelaksanaan pedoman pelaksanaan pengamalan pancasila dilakukan agar
Pancasila sungguh-sungguh dihayati dan diamalkan oleh segenap warga negara, baik dalam
kehidupan orang seorang maupun dalam kehidupan kemasyarakatan. Oleh sebab itu,
diharapkan lebih terarah usaha-usaha pembinaan manusia Indonesia agar menjadi insan
Pancasila dan pembangunan bangsa untuk mewujudkan masyarakat Pancasila.
1. Jalur-jalur yang digunakan
1) Jalur pendidikan
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam pengamalan Pancasila, baik
pendidikan formal (sekolah-sekolah) mapun pendidikan nonformal (di keluarga dan
lingkungan masyarakat), keduanya sangat erat kaitanya dengan kehidupan manusia.
Dalam pendidikan formal semua tindak perbuatannya haruslah mencerminkan nilai-
nilai luhur Pancasila. Dalam pendidikan keluarga pengamalan Pancasila harus
ditanamkan dan dikembangkan sejak anak-anak masih kecil, sehingga proses
pendarah-dagingan nilai-nilai Pancasila dengan baik dan menuntut suasana keluarga
yang mendukung. Lingkungan masyarakat juga turut menentukan sehingga harus
dibina dengan sungguh-sungguh supaya menjadi tempat yang subur bagi pelaksanaan
pengamalan Pancasila.

Melalui pendidikan inilah anak-anak didik menyerap nilai-nilai moral Pancasila.


Penyerapan nilai-nilai moral Pacasila diarahkan berjalan melalui pemahaman dari
pemikiran dan pengamalan secara pribadi. Sasaran pelaksanaan pedomaan pengamalan
Pancasila adalah perorangan, keluarga, masyarakat, baik dilingkungan tempat tinggal
masing-masing, maupun di lingkungan tempat bekerja.

2) Jalur media massa


Peranan media massa sangat menjanjikan karena pengaruh media massa dari dahulu
sampai sekarang sangat kuat, baik dalam pembentukan karakter yang positif maupun
karakter yang negatif, sasaran media massa sangat luas mulai dari anak-anak hingga
orang tua. Sosialisasi melalui media massa begitu cepat dan menarik sehingga semua
kalangan bisa menikmati baik melalui pers, radio, televisi dan internet. Hal itu
membuka peluang besar golongan tertentu menerima sosialisasi yang seharusnya
belum saatnya mereka terima dan juga masuknya sosialisasi yang tidak bersifat
membangun. Media massa adalah jalur pendidikan dalam arti luas dan peranannya
begitu penting sehingga perlu mendapat penonjolan tersendiri sebagai pola pedoman
pengamalan Pancasila. Sehingga dalam menggunakan media massa tersebut harus
dijaga agar tidak merusak mental bangsa dan harus seoptimal mungkin penggunaannya
untuk sosialisasi pembentukan kepribadian bangsa yang pancasilais. Jadi, untuk
sosialisasi-sosialisasi yang mengancam penanaman pengamalan Pancasila harus
disensor.

3) Jalur organisasi sosial politik


Pengamalan Pacansila harus diterapkan dalam setiap elemen bangsa dan negara
Indonesia. Organisasi sosial politik adalah wadah pemimpin-pemimpin bangsa dalam
bidangnya masing-masing sesuai dengan keahliannya, peran dan tanggung jawabnya.
Sehingga segala unsur-unsur dalam organisasi sosial politik seperti para pegawai
Republik Indonesia harus mengikuti pedoman pengmalan Pancasial agar
berkepribadian Pancasila karena mereka selain warga negara Indonesia, abdi
masyarakat juga sebagai abdi masyarakat, dengan begitu maka segala kendala akan
mudah dihadapi dan tujuan serta cita-cita hidup bangsa Indonesia akan terwujud.

Anda mungkin juga menyukai