PEMBAHASAN
Business risk (risiko bisnis) merupakan risiko yang dimiliki oleh suatu bisnis yang
disebabkan oleh sifat bisnis itu sendiri. Business risk secara sederhana dapat digambarkan
sebagai fungsi dari ketidakpastian yang terkandung dalam perkiraan hasil dari modal yang
ditanamkan pada perusahaan. Dalam bab ini, business risk PT Unilever Indonesia Tbk. diukur
dengan komponen-komponen di bawah ini.
1. Likuiditas
Likuiditas perusahaan dapat diukur dengan rasio lancar (current ratio). Current ratio
merupakan perbandingan antara aset lancar dengan kewajiban lancar. Rasio ini digunakan
untuk menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya
(current liabilities) dengan aset lancar (current assets) yang dimiliki. Formula current ratio
adalah sebagai berikut.
Current Assets
Current Ratio =
Current Liabilities
Debt to Equity Ratio =
3. Profitabilitas
Profitabilitas perusahaan dapat diukur dengan laba per saham (earning per share).
Earning per share adalah keuntungan perusahaan yang dialokasikan untuk setiap lembar
saham biasa yang beredar. Formulanya adalah sebagai berikut.
4. Market measures
Market measures perusahaan dapat diukur dengan price to earning ratio. Price to
earning ratio adalah alat untuk mengukur valuasi saham dimana rasio ini menunjukkan
seberapa besar laba bersih per saham (earning per share) dihargai oleh pasar. Formulanya
adalah sebagai berikut.
5. Dividen
Dividen adalah laba perusahaan yang kepada pemegang saham berdasarkan jumlah
lembar saham yang dimiliki.
6. Closing price
Closing price adalah harga saham terakhir yang ditransaksikan oleh investor di bursa
saham pada suatu periode tertentu.
Financial risk (risiko finansial) adalah risiko tambahan yang dihadapi oleh pemegang
saham jika perusahaan memutuskan untuk membiayai operasinya menggunakan hutang. Faktor-
faktor yang berhubungan dengan risiko finansial adalah:
1. Faktor ekonomi;
2. Faktor sosial;
3. Faktor politik;
4. Faktor teknologi;
5. Faktor budaya; dan
6. Faktor lingkungan.
Untuk menghitung seberapa likuid sebuah perusahaan, dapat digunakan current ratio.
Current ratio PT Unilever Indonesia Tbk. tahun 2012, 2013, 2014, 2015, dan 2016 secara
berurutan adalah 66,83%, 69.64%, 71.49%, 65.40%, dan 60.56%. Dapat dilihat pada data
tahunan current ratio tersebut, semuanya berada di bawah angka 100%, yang artinya bahwa
current liabilities PT Unilever Indonesia Tbk. lebih besar daripada current assetnya. Hal itu
menunjukkan bahwa PT Unilever Indonesia Tbk. adalah perusahaan yang tidak liquid.
Apabila dilihat lebih jauh, nilai current asset pada akhir tahun 2012 adalah Rp5.035.962
dan current liabilitiesnya sebesar Rp7.535.896. Artinya, dapat dikatakan bahwa setiap Rp1 aset
lancar dipakai untuk menjamin Rp1,5 hutang lancar. Pada tahun 2013, terdapat peningkatan
current assets sebesar 8,09% yang lebih tinggi dari peningkatan current liabilities sebesar
5,29%. Hal tersebut menyebabkan current ratio naik menjadi 69,64%. Pada tahun 2014, current
ratio juga meningkat menjadi 71,49%. Pada tahun 2015, terdapat kenaikan current liabilities
yang cukup signifikan dibandingkan dengan current assetnya sehingga current ratio PT Unilever
Indonesia Tbk. pada tahun tersebut turun menjadi 65,40%. Current ratio pada tahun 2016
kembali turun menjadi 60,56% karena terdapat penurunan nilai current asset sebesar 0,53% dari
tahun sebelumnya. Kenaikan dan penurunan nilai current assets dan current liabilities beserta
pengaruhnya pada current ratio dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Nilai Current Assets dan Current Liabilities serta Pengaruhnya pada Current
Ratio PT Unilever Indonesia Tbk.
Current ratio merupakan ukuran yang umum dipakai oleh kreditor maupun supplier
dalam menilai kelayakan debitur. Apabila current ratio perusahaan rendah, kepercayaan supplier
dalam menjual bahan baku secara kredit kepada perusahaan akan rendah juga. Pasokan bahan
baku yang terhambat akan mengganggu proses produksi dan operasi perusahaan yang pada
akhirnya akan berpengaruh pada laba bersih perusahaan. Hal tersebut tentunya berpotensi
menurunkan harga saham PT Unilever Indonesia Tbk.
2.3.2 Analisis Pengaruh Struktur Modal dan Solvabilitas terhadap Harga Saham
Untuk mengukur struktur modal dan solvabilitas PT Unilever Indonesia Tbk., dapat
digunakan debt to equity ratio. Rasio ini menggambarkan struktur modal perusahaan dengan
menunjukkan besarnya nilai hutang dibandingkan dengan nilai ekuitas perusahaan. Rasio ini juga
menunjukkan sejauh mana ekuitas dapat memenuhi kewajiban perusahaan kepada kreditur dalam
hal terjadi likuidasi.
Debt to equity ratio PT Unilever Indonesia Tbk. tahun 2012, 2013, 2014, 2015, dan 2016
secara berurutan adalah 2.02x, 2.14x, 2.11x, 2.26x, dan 2.56x. Rasio sebesar 2.02x pada tahun
2013 menunjukkan bahwa perusahaan memiliki hutang 2,02 kali lebih besar daripada ekuitasnya.
Hal itu menunjukkan bahwa perusahaan lebih banyak dibiayai oleh hutang dari kreditor daripada
dibiayai oleh modal dari pemegang sahamya. Dari data Laporan Posisi Keuangan PT Unilever
Indonesia Tbk. selama lima tahun, diketahui bahwa terdapat tren kenaikan debt to equity ratio
dengan kenaikan cukup signifikan di tahun 2016 dari 2,26x menjadi 2,56x karena terdapat
penurunan nilai shareholders equity tahun tersebut. Kenaikan dan penurunan nilai total
liabilities dan shareholders equity beserta pengaruhnya pada debt to equity ratio dapat dilihat
pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Nilai Total Liabilities dan Shareholders Equity serta Pengaruhnya pada Debt
To Equity Ratio PT Unilever Indonesia Tbk.
Dengan melihat struktur modal PT Unilever Indonesia Tbk., kita dapat menyimpulkan
bahwa secara solvabilitas, kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban-kewajiban jangka
panjangnya terlihat kurang baik. Debt to equity ratio yang tinggi menandakan bahwa bisnisnya
dibiayai dengan hutang yang cukup besar. Pada kondisi normal, perusahaan bisa melakukan roll-
over terhadap utangnya. Yaitu, hutang lama dilunasi dengan membuat hutang baru dan demikian
seterusnya. Permasalahan akan mulai timbul ketika kredit menjadi seret. Perusahaan akan
mengalami kesulitan untuk melakukan roll-over utangnya. Jika pun bisa, bunganya akan sangat
tinggi karena kreditor mempertimbangkan risiko yang lebih besar sesuai dengan debt to equity
ratio perusahaan yang tinggi. Tekanan hutang yang tinggi dan sulitnya mencari dana dari
kreditor sebagai sumber pembiayaan tentunya akan berdampak pada kinerja perusahaan yang
pada akhirnya akan berpengaruh menurunkan harga saham.