Anda di halaman 1dari 8

Krisis Keuangan Asia di Indonesia

Awal Krismon di Indonesia

Meskipun kawasan Asia menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan, para investor asing


awalnya tetap percaya pada kemampuan para teknokrat Indonesia untuk bertahan dalam badai
krisis keuangan (seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya pada tahun 1970-an dan 1980-
an). Tetapi kali ini tidak dapat lepas dari krisis finansial dengan mudah. Indonesia menjadi
negara yang paling terpukul karena krisis ini tidak hanya berdampak terhadap ekonomi tetapi
juga berdampak signifikan dan menyeluruh terhadap sistem politik dan keadaan sosial di
Indonesia.

Indonesia menjadi negara yang paling terpukul karena krisis ini tidak hanya berdampak terhadap
ekonomi tetapi juga berdampak signifikan dan menyeluruh terhadap sistem politik dan keadaan
sosial di Indonesia.Pada saat tekanan terhadap rupiah Indonesia akhirnya terlalu kuat, rupiah
diputuskan untuk diambangkan bebas (float freely) pada bulan Agustus 1997. Dan sejak saat itu
mulailah terjadi depresiasi yang sangat signifikan. Pada tanggal 1 Januari 1998, nilai nominal
rupiah hanya 30 persen dari nilai yang pernah dicapai pada bulan Juni 1997. Pada tahun-tahun
sebelum tahun 1997 banyak perusahaan swasta di Indonesia yang memperoleh pinjaman luar
negeri jangka pendek yang tidak dilindungi terhadap gejolak nilai tukar (unhedged) dalam mata
uang dolar Amerika, dan utang sektor swasta yang sangat besar ini ternyata menjadi bom waktu
yang menunggu untuk meledak.

Berlanjutnya depresiasi rupiah hanya memperburuk situasi secara drastis. Perusahaan-


perusahaan di Indonesia berlomba-lomba membeli dolar sehingga menimbulkan lebih banyak
tekanan terhadap rupiah dan memperburuk situasi utang yang dimiliki oleh para perusahaan.
Dapat dipastikan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia (termasuk bank-bank, beberapa di
antaranya diketahui sangat lemah sekali) akan menderita kerugian yang amat besar. Persediaan
devisa menjadi langka karena pinjaman-pinjaman baru untuk perusahaan-perusahaan di
Indonesia tidak diberikan oleh kreditur asing. Karena tidak mampu mengatasi krisis ini maka
pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan keuangan dari Dana Moneter
Internasional (IMF) pada bulan Oktober 1997.

IMF Datang tapi Kekacauan masih tetap Berlangsung


IMF tiba di Indonesia dengan paket bailout sebesar USD $43 milyar untuk memulihkan
kepercayaan pasar terhadap rupiah Indonesia. Sebagai imbalannya IMF menuntut beberapa
langkah reformasi keuangan yang mendasar: penutupan 16 bank swasta, penurunan subsidi
pangan dan energi, dan menyarankan agar Bank Indonesia untuk menaikkan iklim suku bunga.
Akan tetapi paket reformasi ini ternyata gagal. Penutupan 16 bank (beberapa diantaranya
dikendalikan oleh kroni Presiden Suharto) memicu penarikan dana besar-besaran pada bank-
bank lain. Milyaran rupiah ditarik dari tabungan, sehingga membatasi kemampuan bank untuk
memberikan pinjaman dan memaksa Bank Indonesia untuk memberikan kredit dalam jumlah
besar kepada bank-bank yang masih ada untuk mencegah krisis perbankan yang semakin parah.

Selain itu, IMF tidak pernah berusaha untuk mengekang sistem patronase yang dimiliki Suharto
dan yang merusak perekonomian negara dan juga merusak program IMF. Sistem patronase ini
adalah alat yang dijalankan oleh Suharto untuk mempertahankan kekuasaan; dalam imbalan atas
dukungan politik dan keuangan dia memberikan jabatan yang kuat kepada para keluarga, teman
dan musuh (sehingga menjadi kroni). Perkembangan lain yang berdampak negatif terhadap
Indonesia menjelang akhir tahun 1997 adalah kekeringan parah yang disebabkan oleh El Nino
(sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan hasil panen yang buruk) dan peningkatan spekulasi
tentang memburuknya kesehatan Suharto (sehingga menyebabkan adanya ketidakpastian
politik). Maka, secara bertahap, Indonesia sedang menuju terjadinya krisis politik.

Kesepakatan kedua dengan IMF diperlukan karena ekonomi masih tetap saja memburuk. Pada
bulan Januari 1998 rupiah kehilangan setengah nilainya hanya dalam rentang waktu lima hari
saja dan ini menyebabkan masyarakat berusaha menimbun makanan. Kesepakatan kedua dengan
IMF ini berisi 50 pokok program reformasi, termasuk pemberian jaring pengaman sosial,
penghapusan secara perlahan subsidi-subsidi tertentu untuk masyarakat dan menghentikan sistem
patronase Suharto dengan cara mengakhiri monopoli yang dijalankan oleh sejumlah kroninya.

Namun, keengganan Suharto untuk melaksanakan program reformasi struktural ini dengan patuh
justru menambah buruk situasinya. Di sisi lain IMF dikritik karena dinilai terlalu memaksakan
banyak program reformasi dalam waktu yang terlalu singkat sehingga memperburuk keadaan
perekonomian Indonesia. IMF memang membuat kesalahan pada saat melakukan pendekatan
awal dalam krisis Indonesia namun lembaga ini akhirnya menjadi sadar bahwa kunci utama
untuk mengatasi krisis adalah untuk memulai kembali aliran modal swasta ke Indonesia. Agar
hal ini terwujud maka sistem patronase harus dipecah.

PDB dan Inflasi Indonesia 1996-1998:

PDB dan Inflasi Indonesia 1996-1998:

1996 1997 1998


Pertumbuhan PDB
8.0 4.7 -13.6
(persentase perubahan tahunan)
Pertumbuhan Inflasi
6.5 11.6 65.0
(persentase perubahan tahunan)

Kesepakatan ketiga dengan IMF ditandatangani pada bulan April 1998. Perekonomian Indonesia
dan indikator-indikator sosial masih menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan. Namun kali ini
IMF lebih fleksibel dalam tuntutannya dibanding sebelumnya. Misalnya, subsidi pangan yang
besar untuk rumah tangga berpenghasilan rendah diberikan dan defisit anggaran dibiarkan
melebar. Akan tetapi IMF juga menyerukan privatisasi badan milik negara, tindakan cepat untuk
melakukan restrukturisasi perbankan, pembuatan hukum kepailitan baru dan pengadilan baru
untuk menangani kasus-kasus kepailitan. IMF juga bersikeras untuk terlibat lebih dekat dalam
memantau pelaksanaan program-programnya karena pengalaman yang lalu menunjukkan bahwa
pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya berkomitmen untuk melaksanakan agenda reformasi

Krisis Mencapai Puncaknya

Sementara itu, kekuatan-kekuatan sosial juga sedang bekerja. Aksi demonstrasi dan kritik yang
ditujukan terhadap pemerintah Suharto semakin meningkat setelah ia terpilih kembali sebagai
presiden dan membentuk kabinet baru pada bulan Maret 1998. Kabinet baru yang provokatif ini
berisi sejumlah anggota yang berasal dari kelompok kroninya dan oleh karenanya tidak mampu
berbuat banyak untuk memulihkan kepercayaan terhadap pasar Indonesia. Setelah pemerintah
memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM pada awal bulan Mei, kerusuhan berskala besar
terjadi di Medan, Jakarta dan Solo. Meskipun IMF telah memberikan waktu kepada Suharto
sampai dengan Oktober untuk mengurangi subsidi secara bertahap, ia memutuskan untuk
melakukan semuanya sekaligus, mungkin karena terlalu meremehkan dampaknya atau terlalu
percaya diri dengan kekuasaannya sendiri.

Ketegangan mencapai puncaknya setelah empat orang mahasiswa Indonesia tewas waktu
melakukan demonstrasi di sebuah universitas lokal di Jakarta. Diduga penembakan tersebut
dilakukan oleh pasukan tentara khusus ('tragedi Trisakti'). Beberapa hari berikutnya Jakarta
dilanda kerusuhan sangat buruk. Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, etnis Tionghoa - yang
sudah lama dibenci karena dianggap kaya - banyak menjadi sasaran dalam kerusuhan ini. Toko-
toko dan rumah-rumah milik warga Tionghoa dibakar dan banyak perempuan China diperkosa
secara brutal. Setelah kerusuhan redam, lebih dari seribu orang tewas dan ribuan bangunan
hancur. Pada tanggal 14 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan ketika
semua politisi menolak untuk bergabung dengan sebuah kabinet baru yang dibentuknya. Krisis
finansial telah sepenuhnya berubah menjadi krisi sosial dan politik.

Sistem Politik Baru dan Awal Pemulihan

Bacharuddin Jusuf Habibie, wakil presiden dalam kabinet terakhir Suharto maka - berdasarkan
hukum - menggantikan Suharto sebagai presiden Indonesia berikutnya, beralih kepada sosok
teknokrat ekonomi untuk mengatasi krisis finansial yang sedang berlangsung. Hal ini
mengakibatkan dibuatnya perjanjian keempat dengan IMF. Perjanjian ini ditandatangani pada
bulan Juni 1998 dan memungkinkan terjadinya defisit anggaran yang lebih longgar sementara
dana baru dialirkan ke dalam perekonomian.

Dalam jangka waktu beberapa bulan ada beberapa tanda pemulihan. Nilai tukar rupiah mulai
menguat sejak pertengahan Juni 1998 (waktu terjun bebas ke angka Rp 16,000 per US dolar)
menjadi Rp 8,000 per US dolar pada bulan Oktober 1998, inflasi membaik secara drastis, saham-
saham di Bursa Efek Indonesia mulai bangkit dan ekspor non-migas mulai hidup kembali
menjelang akhir tahun. Sektor perbankan (pusat dari krisis ini) masih rapuh karena adanya
jumlah kredit bermasalah yang sangat tinggi dan bank-bank masih tetap sangat ragu-ragu untuk
meminjamkan uang. Selain itu, sektor perbankan telah menyebabkan peningkatan utang
pemerintah secara tajam dan utang-utang ini terutama disebabkan oleh penerbitan obligasi untuk
restrukturisasi perbankan. Namun demikian, meskipun rapuh, perekonomian Indonesia mulai
membaik secara bertahap selama tahun 1999, sebagian disebabkan oleh membaiknya lingkungan
internasional yang menyebabkan kenaikan pendapatan ekspor.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Krisis Keuangan Asia

Menarik untuk menanyakan apakah krisis seperti itu dapat terjadi lagi di Indonesia di masa yang
akan datang. Kemungkinannya kecil. Pertama, perlu ditekankan bahwa krisis keuangan Asia
paling buruk melanda Indonesia dibandingkan semua negara lain yang terkena dampaknya
karena yang terjadi di Indonesia tidak hanya krisis ekonomi. Awalnya yang terjadi adalah krisis
finansial namun berkembang dan akhirnya diperparah menjadi krisis politik dan sosial yang
sangat buruk di mana pemerintah tidak bersedia untuk melaksanakan reformasi ekonomi yang
sangat dibutuhkan melainkan justru berusaha untuk melindungi kekuasaan mereka. Mengingat
bahwa iklim politik yang tertib dan kondusif sangat penting untuk membangun kepercayaan
investor, ketidakpastian dan ketegangan dalam perpolitikan di Indonesia membuat banyak
investor pergi. Demikian juga setelah Suharto jatuh, ketidakpastian politik membuat banyak
investor (baik asing maupun domestik) untuk tidak atau belum masuk kembali ke pasar
Indonesia.

Akan tetapi saat ini, Indonesia sedang menuju demokrasi yang benar, meskipun ini adalah suatu
proses yang juga disertai dengan berbagai hambatan. Pemerintahan otoriter yang pernah
berkuasa selama beberapa decade telah mematikan aktivitas politik masyarakat dan lembaga-
lembaga politik hingga batas-batas tertentu. Butuh waktu sebelum negara ini dapat meninggalkan
sebutan negara 'demokrasi cacat ('flawed democracy') yang diukur oleh Unit Kecerdasan Ahli
Ekonomi untuk Indeks Demokrasinya. Akan tetapi pemilihan umum yang adil dan bebas
memberikan kepastikan bahwa ada dukungan yang lebih besar bagi pemerintah selama periode
Reformasi dibandingkan masa sebelumnya. Keputusan untuk memilih presiden secara langsung
oleh rakyat Indonesia merupakan salah satu keputusan yang penting secara psikologis. Meskipun
demikian, perlu digarisbawahi bahwa iklim politik di Indonesia lebih rapuh (dengan kata lain
kurang stabil) dibandingkan dengan demokrasi yang sudah lama dibangun karena banyak
kelompok (yang visinya berbeda) mencoba membangun posisi mereka pada demokrasi yang
masih belum matang. Laporan lebih lengkap tentang topik ini silakan kunjungi bagian
Reformasi.

Faktor penting lainya yang sangat memperburuk krisis keuangan di Indonesia adalah sektor
keuangan Indonesia yang sudah dalam keadaan yang sangat buruk sebelumnya. Hal ini
disebabkan oleh budaya patronase dan korupsi yang tidak memiliki model pengawasan yang
baik. Bahkan Bank Indonesia tidak tahu tentang arus uang (sehingga menyebabkan timbulnya
utang swasta jangka pendek yang sangat besar) yang masuk ke Indonesia dan menyebabkan
terjadinya 'ekonomi gelembung' ('bubble economy'). Budaya patronase dan korupsi (serta
kurangnya kepastian hukum) sangat menghambat fungsi ekonomi yang efisien dan merupakan
bom waktu yang bisa meledak setiap saat.

Namun setelah krisis berakhir, pemerintah-pemerintah Indonesia berikutnya telah membuat


langkah-langkah keuangan yang bijak untuk memastikan agar krisis serupa tidak terjadi kembali.
Pengawasan terhadap likuiditas sektor perbankan sekarang ketat dan transparan, 'uang panas'
('hot money') ditangani secara lebih hati-hati (misalnya dengan membatasi utang jangka pendek),
dan rasio utang pemerintah terhadap PDB lebih rendah (sekitar 25 persen dan menunjukkan tren
menurun) dibandingkan kebanyakan negara-negara ekonomi maju. Pada saat krisis tahun 2008
melanda, Indonesia terkena kembali arus keluar kapital yang besar namun mampu menjamin
ekonomi yang stabil karena fundamental ekonomi yang baik. Bahkan selama krisis 2008-2009
Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang kuat dengan pertumbuhan PDB sebesar 4.6 persen
terutama didukung oleh konsumsi domestik.

Tetapi skandal-skandal korupsi di Indonesia masih tetap lanjut mengisi halaman surat kabar.
Korupsi dan pengelompokan modal pada sekelompok elit kecil masih menjadi masalah serius di
negeri ini dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang efisien, baik dan adil. Terutama
korupsi politik menyebar luas dan sering kali digunakan politisi untuk mencari keuntungan
dalam sektor bisnis nasional

Sumber : https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/ekonomi/krisis-keuangan-
asia/item246?
Penyebab krisis 1998 dan 2008 menurut Sri Mulyani

Merdeka.com - Indonesia pernah mengalami dua kali masa krisis ekonomi, terutama krisis
keuangan. Tahun 1998 dan tahun 2008. Dua krisis itu adalah pelajaran berharga bagi Indonesia
dalam menata sektor ekonomi keuangan, agar krisis tidak terjadi lagi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan belajar dari dua krisis keuangan yang
terjadi, pemerintah telah mengantisipasi segala kemungkinan yang dapat menyebabkan krisis
keuangan terjadi lagi. Sejauh ini, pemerintah telah memperkuat sejumlah faktor.

"Sebetulnya kalau kita belajar dari dua krisis 1997-1998 dan 2008-2009 penyebabnya sama
sekali berbeda. Dunia terus melakukan perbaikan dalam memonitor berbagai indikator," ujar
Menteri Sri Mulyani di Gedung Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (31/10).

Menteri Sri Mulyani mengatakan penyebab krisis 1998 salah satunya dipicu oleh neraca
pembayaran Indonesia yang tidak menentu. Nilai kurs yang tidak fleksibel dan cenderung tidak
bersahabat terhadap kondisi pasar disebut menjadi pemicu krisis tersebut.

"Krisis 1997-1998 trigernya NPI. Negara di Asia relatif punya kurs tidak fleksible atau bahkan
fix. Maka di satu titik mereka alami ketidaksinkronan adanya nilai tukar yang berbeda dari trade
sektor. Dan ketidaksinkronan itu memunculkan spekulasi. Risiko seperti ini sudah jadi
pembelajaran," jelasnya.

Kemudian, pada krisis 2008, disinyalir disebabkan oleh produk derivatif yaitu munculnya
produk-produk baru berbasis teknologi dengan resiko tersembunyi. "2008 Itu lebih ke produk
derivatif. Kami sebagai policy maker terus melihat, risiko baru yang muncul akibat adanya
produk tersebut," jelas Menteri Sri Mulyani

Menteri Sri Mulyani menambahkan tahun ini pemerintah telah melakukan simulasi penanganan
krisis. Simulasi tahun ini difokuskan untuk menguji bagaimana penerapan UU Nomor 9 tahun
2016 mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan (PPKSK).

Adapun, beberapa kementerian lembaga yang terus berkoordinasi mengantisipasi krisis keuangan
diantara Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, dan
Kementerian Keuangan. Koordinasi juga di dalam pengambilan keputusan di dalam rangka
penanganan bank bermasalah.

"Simulasi tersebut juga menguji peraturan pelaksanaannya, yang terkait dengan resolusi bank
apabila mereka menghadapi kondisi krisis atau kesulitan," jelasnya.

sumber : https://www.merdeka.com/uang/krisis-ekonomi-diperkirakan-terjadi-di-2018-ini-kata-
sri-mulyani.html

Anda mungkin juga menyukai