Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes (1809-

1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti tidak, dan

Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti ketiadaan rasa atau sensasi

nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap

suatu rangsangan. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai

anestetik, dan kelompok ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Anestesi

umum bekerja di Susunan Saraf Pusat, sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada

Serabut Saraf di Perifer.

Obat anestesi lokal yang disuntikkan ke dalam cairan serembrospinal di dalam ruang

subarachnoid (intratekal) akan menghasilkan efek anestesi spinal, sedangkan jika disuntikkan

ke dalam ruang yang berada di kanal vertebra namun di luar atau superfisial dari duramater

akan menghasilkan efek anestesi epidural, dan jika obat anestesi lokal disuntikan ke ruang

epidural kaudal melewati hiatus sacral akan menimbulkan efek anestesi kaudal yang

merupakan bagian dari anestesi epidural khusus. Anestesi spinal, epidural dan kaudal

termasuk ke dalam anestesi regional. Teknik blok perifer juga termasuk ke dalam regional

anestesi, yang mencakup anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok lapangan, dan analgesia

regional intravena.

Anestesi spinal dan epidural telah secara luas digunakan pada kasus-kasus ortopedi,

obstetri dan anggota tubuh bagian bawah, serta operasi abdomen bagian bawah. Spinal

anestesi, diperkenalkan oleh Bier Agustus 1898, adalah teknik regional pertama utama dalam

praktek klinis. Dalam kasus ortopedi yang meliputi ekstremitas bawah, akan dipakai teknik

anestesi spinal untuk memblok pleksus lumbosakral sehingga akan menghambat impuls

1
sensorik, motorik, dan autonom yang sampai ke ekstremitas bawah. Keuntungan dari anestesi

spinal dibandingkan dengan anestesi epidural adalah kecepatan onsetnya. Kerugian anestesi

spinal adalah tingginya kejadian hipotensi, ada mual-muntah, kemungkinan adanya post

spinal headache, lama kerja obat anestesi terbatas. Komplikasi yang paling umum ditemui

dengan anestesi spinal adalah hipotensi, yang disebabkan blokade sistem saraf simpatik.

Akibatnya, penurunan resistensi vaskuler sistemik dan perifer terjadi penurunan cardiac

output. Dalam beberapa kasus, efek kardiovaskular dapat bermanifestasi sebagai hipotensi

mendalam & bradikardia.

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas mengenai anestesi regional dan penerapannya pada kasus

fraktur femur.

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai

anestesi regional.

1.4 Manfaat Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk pada

berbagai literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kolumna Vertebralis

Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis merupakan salah satu

faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan tentang penyebaran

analgesia lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia diperlukan untuk menjaga

keamanan tindakan anestesi spinal.

Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam spinal anestesi,

karena sebagian besar penusukan pada spinal anestesi dilakukan pada daerah ini. Kolumna

vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 bagian yaitu 7 servikal, 12

thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai empat

lengkungan yaitu daerah servikal dan lumbal melengkung ke depan, daerah thorakal dan

sakral melengkung ke belakang sehingga pada waktu berbaring daerah tertinggi adalah L3,

sedang daerah terendah adalah L5.

Segmen medulla spinalis terdiri dari 31 segmen: 8 segmen servikal, 12 thorakal, 5

lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya kelompok- kelompok

saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah thorakal lebih kurang 2

kali panjang segmen servikal atau lumbal atas.Terdapat dua pelebaran yang berhubungan

dengan saraf servikal atas dan bawah.Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut saraf

dalam pleksus brakhialis.Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus

lumbosakralis.Hubungan antara segmen-segmen medulla spinalis dan korpus vertebralis serta

tulang belakang penting artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi lesi pada medulla

spinalis dan juga untuk mencapainya pada pembedahan.

Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu kulit,

subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater.Arakhnoid terletak

3
antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medulla spinalis dan melekat

pada duramater.Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub

arakhnoid.

Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga

dibawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid merupakan

sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak,

pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medulla spinalis. Pada orang

dewasa medulla spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.

Gambar 2.1 Kolumna Vertebralis

2.2 Definisi Anestesi Regional

Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara pada

impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk sementara

4
(reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap

sadar.

2.3 Klasifikasi Anestesi Regional

1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
Tindakan ini sering dikerjakan.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok lapangan, dan
analgesia regional intravena.

2.4 Blok Sentral

2.4.1 Anestesi Spinal

2.4.1.1 Definisi

Anestesi spinal adalah salah satu metode anestesi yang diinduksi dengan menyuntikkan

sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam cairan cerebro-spinal (CSF). Anestesi

spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.

Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub

arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. Untuk mencapai cairan

serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis subkutis Lig. Supraspinosum

Lig. Interspinosum Lig. Flavum ruang epidural durameter ruang subarachnoid.

Gambar 2.2 Anestesi Spinal

5
2.4.1.2 Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi anestesi spinal:

a. Bedah ekstremitas bawah

b. Bedah panggul

c. Tindakan sekitar rektum perineum

d. Bedah obstetrik-ginekologi

e. Bedah urologi

f. Bedah abdomen bawah

g. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan

anesthesia umum ringan

Kontraindikasi absolut anestesi spinal:

a. Pasien menolak

b. Infeksi pada tempat suntikan

c. Hipovolemia berat, syok

d. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

e. Tekanan intrakranial meningkat

f. Fasilitas resusitasi minim

g. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relatif:

a. Infeksi sistemik

b. Infeksi sekitar tempat suntikan

c. Kelainan neurologis

d. Kelainan psikis

e. Bedah lama

f. Penyakit jantung

6
g. Hipovolemia ringan

h. Nyeri punggung kronik

2.4.1.3 Persiapan Analgesia Spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia

umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya

ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba

tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

1. Informed consent

Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal

2. Pemeriksaan fisik

Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

Hemoglobin, Hematokrit, PT (Prothrombine Time), PTT (Partial Thromboplastine

Time)

Peralatan analgesia spinal

1. Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.

2. Peralatan resusitasi

3. Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock) atau jarum

spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)

7
Gambar 2.3 Jenis Jarum Anestesi Spinal

2.4.1.4 Teknik Analgesia Spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis

tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan diatas meja

operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.

Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya

obat.

a. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral atau duduk dan buat

pasien membungkuk maksimal agar procesus spinosus mudah teraba.

b. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan tulang

punggung ialah L4 atau L4-L5, tentukan tempat tusukan misalnya L2-L3, L3-L4 atau

L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau atasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alcohol

d. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan misalnya lidokain 1% 2-3ml.

e. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,

atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G atau 29G

dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa

8
semprit 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum,

ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater dan ruang

subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal dicabutcairan serebrospinal akan menetes

keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang

subarachnoid tersebut.

Gambar 2.4 Lokasi Penyuntikan Anestesi Spinal

Tinggi blok analgesia spinal :

Faktor yang mempengaruhi:

1. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia

2. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia

3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah

analgetik.

4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.

Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.

5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal

dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

9
6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung

berkumpul ke kaudal(saddle blok).

7. Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik

8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas

analgesia yang lebih tinggi.

9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar

dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik

sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi

pasien.

2.4.1.5 Penggunaan Obat Anestesi Lokal untuk Anestesi Spinal

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik

lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik lokal dengan berat jenis

lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari css

disebut hipobarik. Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh

dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya

digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi. Efek klinis anestesi

lokal intratekal bergantung pada penyerapan dan distribusi obat dalam CSF dan eliminasinya.

A. Obat Anestesi Lokal Short dan Intermediate Acting

a. Procaine. Procaine merupakan anestesi lokal ester kerja cepat dan salah satu anestesi

spinal tertua, yang awalnya menggantikan kokain sebagai obat pilihan anestesi spinal

pada awal abad ke-20. Procaine sendiri kemudian digantikan oleh lidokain, namun

dengan kekhawatiran tentang lidocaine dan gejala neurologis sementara (TNS),

procaine baru-baru ini telah diperiksa ulang sebagai alternatif anestesi lokal yang

bekerja cepat. Namun, ini masih tidak umum digunakan karena tingkat kegagalan

10
yang lebih tinggi dari lidokain, secara signifikan lebih mual, dan waktu pemulihan

lebih lambat. Jika digunakan, obat ini lebih sering diberikan sebagai obat hiperbarik

dengan dosis antara 50 dan 200 mg dalam konsentrasi 10%.

b. Chloroprocaine. Baru-baru ini ketertarikan terhadap chloroprocaine meningkat untuk

digunakan dalam anestesi spinal operasi rawat jalan. Sekarang, preparat bebas

pengawet dari kloroprokain diberikan dalam dosis kecil (30 mg -60 mg)

menghasilkan anestesi spinal dengan durasi yang cepat, dengan waktu pemulihan

lebih cepat dari prokain, lidokain, dan bupivakain. TNS dapat terjadi dapat terjadi

dengan sediaan kloroprokain modern, walaupun pada tingkat yang jauh lebih rendah

(0,6%) dibandingkan lidokain 14%)

c. Articaine. Telah banyak digunakan sejak tahun 1973 untuk blok saraf gigi dengan

profil keamanan yang baik. Intrathecal articaine belum banyak diteliti, namun

penelitian menunjukkan hal itudosis 50 sampai 80 mg dengan atau tanpa glukosa

tampaknya memberikan anestesi spinal cepat pada sekitar 1 jam, dengan waktu

pemulihan lebih cepat dari pada bupivakain.

d. Lidocaine. Memiliki onset cepat dan durasi menengah dan digunakan dalam dosis 50

sampai 100 mg untuk prosedur yang lebih pendek yang dapat diselesaikan dalam 1,5

jam atau kurang. Ini secara tradisional disiapkan sebagai larutan 5% dalam dekstrosa

7,5%; reparasi ini telah dikaitkan dengan cedera saraf permanen dan gejala neurologis

sementara (TNS).

e. Prilocaine. Dosis 40 sampai 60 mg 2% prilokain hiperbarik dapat memberikan satu

blok pada T10 selama 100 sampai 130 menit, sedangkan 20 mg dikombinasikan

dengan fentanil telah berhasil digunakan untuk operasi lutut arthroscopic ambulatory.

Prilocaine jarang dikaitkan dengan TNS. Dalam dosis besar (> 600 mg), prilokain

dapat dihasilkan methemoglobinemia. Ini seharusnya tidak menjadi masalah dengan

11
dosis yang digunakan untuk anestesi spinal, namun telah dilaporkan setelah epidural

infus.

f. Mepivacaine. Mepivacaine adalah obat anestesi lokal amide short-acting. Ini pertama

kali diperkenalkan untuk anestesi spinal pada tahun 1962 dan pada awalnya disiapkan

sebagai larutan hiperbarik. Penggunaan mepivacaine spinal telah menurun karena

insidensi TNS setelah mepivacaine hiperbarik serupa dengan lidokain, walaupun TNS

kurang sering dengan persiapan mabivacaine isobarik. Dosis 30 sampai 80 mg dengan

dan tanpa aditif telah digunakan dan, bila dibandingkan dengan lidokain, mepivacaine

memiliki durasi tindakan yang sedikit lebih lama.

B. Obat Anestesi Lokal Long Acting

a. Tetracaine. Tetrakain adalah anestesi lokal ester dengan tingkat metabolisme

sepersepuluh dari kloroprokain. Ini dikemas baik sebagai kristal niphanoid (20 mg)

atau sebagai isobarikLarutan 1% (2 mL, 20 mg). Bila kristal niphanoid digunakan,

larutan 1% diperoleh dengan menambahkan 2 mL air steril bebas pengawet ke kristal.

Mencampur larutan 1% dengan dekstrosa 10% menghasilkan 0,5% persiapan

hiperbarik yang bisa digunakan untuk operasi perineum dan abdomen dalam dosis 5

dan 15 mg. Tetrakain biasanya dikombinasikan dengan aditif vasokonstriktor karena

durasi tetrakain saja bisa tidak bisa diandalkan. Meskipun kombinasi semacam itu

bisa memberikan anestesi selama 5 jam, penambahan fenilefrin secara khusus telah

dikaitkan dengan TNS.

b. Bupivacaine. Hal ini sesuai untuk prosedur yang berlangsung hingga 2,5 sampai 3

jam. Bupivakain tersedia sebagai 0,25%, 0,5%, dan 0,75% larutan isobarik yang jelas

dan juga sebagai hiperbarik0,5% (di Eropa) dan larutan 0,75% mengandung glukosa

80 mg / mL. Pada suhu kamar, bupivakaine polos sebenarnya sedikit hipobarik

12
dibandingkan dengan CSF. Profil pemulihan menggunakan dosis kecil tampaknya

serupa dengan lidokain dan dengan demikian bupivakain dosis rendah digunakan

dalam prosedur rawat jalan. Sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini menyimpulkan

bahwa 4 sampai 5 mg bupivakain hiperbarik dikombinasikan dengan posisi sepihak

cukup memadai untuk prosedur artroskopi lutut pendek. Bupivacaine jarang dikaitkan

dengan TNS.

c. Levobupivacaine. Meskipun digunakan dalam dosis yang sama dengan bupivakain

dan memiliki onset dan durasi yang sama, potensi levobupivakain nampaknya sedikit

kurang dari bupivakain. Namun demikian, sebagian besar studi klinis yang

menggunakan dosis identik levobupivakain dan bupivakain tidak menemukan

perbedaan signifikan dalam keberhasilan klinis anestesi spinal. Keuntungan utama

levobupivacaine adalah bahwa hal itu kurang kardiotoksik daripada bupivakain, yang

lebih merupakan teoritis daripada risiko nyata dalam penetapan anestesi spinal.

d. Ropivacaine. Struktur ropivakain berkaitan dengan bupivakain, dengan pKa yang

sama (8.1) dan karenanya juga ditandai dengan onset yang lambat dan durasi tindakan

yang lama. Dibandingkan dengan bupivakain, keuntungan yang diusulkan dari

ropivacaine tulang belakang kurang kardiotoksisitas dan diferensiasi blok sensor

motorik yang lebih besar, yang mengakibatkan blok motor lebih sedikit.Selanjutnya,

potensi ropivacaine ditemukan 0,6 dari bupivakain. Bila ropivacaine diberikan dalam

dosis setara dengan bupivakain, ada sedikit blok motor dan pemulihan awal dengan

ropivacaine.

13
Penyebaran anastetik local tergantung:

1) Faktor utama:

a) Berat jenis anestetik local(barisitas)

b) Posisi pasien

c) Dosis dan volume anestetik local

2) Faktor tambahan :

a) Ketinggian suntikan

b) Kecepatan suntikan/barbotase

c) Ukuran jarum

d) Keadaan fisik pasien

e) Tekanan intra abdominal

Lama kerja anestetik lokal tergantung:

1. Jenis anestetia lokal

2. Besarnya dosis

3. Ada tidaknya vasokonstriktor

14
4. Besarnya penyebaran anestetik local

2.4.1.6 Komplikasi anestesi Spinal

Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi

delayed.

Komplikasi tindakan :

a. Hipotensi berat: Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa

dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml

sebelum tindakan.

b. Bradikardia : Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat

blok sampai T-2

c. Hipoventilasi : Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas

d. Trauma pembuluh saraf

e. Trauma saraf

f. Mual-muntah

g. Gangguan pendengaran

h. Blok spinal tinggi atau spinal total

Komplikasi pasca tindakan:

a. Nyeri tempat suntikan

b. Nyeri punggung

c. Nyeri kepala karena kebocoran likuor

d. Retensio urine

e. Meningitis

15
2.4.2 Anestesi epidural

Anestesia atau analgesia epidural adalah blokade saraf dengan menempatkan obat di

ruang epidural. Ruang ini berada di antara ligamentum flavum dan duramater. Kedalaman

ruang ini rata-rata 5 mm dan di bagian posterior kedalaman maksimal pada daerah lumbal.

Obat anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada akar saraf spinal yang

terletak di lateral. Awal kerja anestesi epidural lebih lambat dibanding anestesi spinal,

sedangkan kualitas blokade sensorik-motorik juga lebih lemah.

Gambar 2.5. Anestesi Epidural

Keuntungan epidural dibandingkan spinal :

Bisa segmental

Tidak terjadi headache post op

Hipotensi lambat terjadi

Kerugian epidural dibandingkan spinal :

Teknik lebih sulit

Jumlah obat anestesi lokal lebih besar

Reaksi sistemis

16
Komplikasi anestesi / analgesi epidural :

1. Blok tidak merata

2. Depresi kardiovaskular (hipotensi)

3. Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)

4. Mual muntah

Indikasi analgesia epidural:

1. Untuk analgesia saja, di mana operasi tidak dipertimbangkan. Sebuah anestesi

epidural untuk menghilangkan nyeri (misalnya pada persalinan) kemungkinan

tidak akan menyebabkan hilangnya kekuatan otot, tetapi biasanya tidak cukup

untuk operasi.

2. Sebagai tambahan untuk anestesi umum. Hal ini dapat mengurangi kebutuhan

pasien akan analgesik opioid. Ini cocok untuk berbagai macam operasi, misalnya

histerektomi, bedah ortopedi, bedah umum (misalnya laparotomi) dan bedah

vaskuler (misalnya perbaikan aneurisma aorta terbuka).

3. Sebagai teknik tunggal untuk anestesi bedah. Beberapa operasi, yang paling sering

operasi caesar, dapat dilakukan dengan menggunakan anestesi epidural sebagai

teknik tunggal. Biasanya pasien akan tetap terjaga selama operasi. Dosis yang

dibutuhkan untuk anestesi jauh lebih tinggi daripada yang diperlukan untuk

analgesia.

4. Untuk analgesia pasca-operasi, di salah satu situasi di atas. Analgesik diberikan ke

dalam ruang epidural selama beberapa hari setelah operasi, asalkan kateter telah

dimasukkan.

17
5. Untuk perawatan sakit punggung. Injeksi dari analgesik dan steroid ke dalam

ruang epidural dapat meningkatkan beberapa bentuk sakit punggung.

6. Untuk mengurangi rasa sakit kronis atau peringanan gejala dalam perawatan

terminal, biasanya dalam jangka pendek atau menengah.

Ada beberapa situasi di mana resiko epidural lebih tinggi dari biasanya :

1. Kelainan anatomis, seperti spina bifida, meningomyelocele, atau skoliosis

2. Operasi tulang belakang sebelumnya (di mana jaringan parut dapat menghambat

penyebaran obat)

3. Beberapa masalah sistem saraf pusat, termasuk multiple sclerosis

4. Beberapa masalah katup jantung (seperti stenosis aorta, di mana vasodilatasi yang

diinduksi oleh obat bius dapat mengganggu suplai darah ke jantung)

Anestesi epidural sebaiknya dilakukan pada:

1. Kurangnya persetujuan

2. Gangguan pendarahan (koagulopati) atau penggunaan obat antikoagulan

(misalnya warfarin)

3. Risiko hematoma

4. Kompresi tulang belakang

5. Infeksi dekat titik penyisipan

6. Hipovolemia

Penyebaran obat pada anestesi epidural bergantung :

1. Volume obat yg disuntikan

2. Usia pasien

18
3. Kecepatan suntikan

4. Besarnya dosis

5. Ketinggian tempat suntikan

6. Posisi pasien

7. Panjang kolumna vetebralis

Teknik anestesia epidural :

Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid.

1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.

2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.

3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:

a) jarum ujung tajam (Crawford)

b) jarum ujung khusus (Tuohy)

Gambar 2.6. Jarum Anestesi Epidural

4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Namun yang paling

populer adalah teknik hilangnya resistensi dan teknik tetes tergantung.

19
a) Teknik hilangnya resistensi (loss of resistance)

Teknik ini menggunakan semprit kaca atau semprit plastik rendah resistensi

yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak 3ml. Setelah diberikan anestetik

lokal pada tempat suntikan, jarum epidural ditusuk sedalam 1-2 cm. Kemudian

udara atau NaCl disuntikkan perlahan dan terputus-putus. Sembari mendorong

jarum epidural sampai terasa menembus jaringan keras (ligamentum flavum)

yang disusul hilangnya resistensi. Setelah yakin ujung jarum berada dalam

ruang epidural, lakukan uji dosis (test dose)

b) Teknik tetes tergantung (hanging drop)

Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi, tetapi pada teknik ini

menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada tetes Nacl

yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan secara lembut

sampai terasa menembus jaringan keras yang kemudian disusul oleh

tersedotnya tetes NaCl ke ruang epidural. Setelah yakin, lakukan uji dosis (test

dose)

5. Uji dosis (test dose)

Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah ujung

jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang (kontinyu)

melalui kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang sudah bercampur adrenalin

1:200.000.

Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum sudah

benar

Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat sudah masuk ke ruang

subarakhnoid karena terlalu dalam.

20
Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat masuk vena

epidural.

6. Cara penyuntikan: setelah yakin posisi jarum atau kateter benar, suntikkan

anestetik lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sampai tercapai dosis total.

Suntikan terlalu cepat menyebabkan tekanan dalam ruang epidural mendadak

tinggi, sehingga menimbulkan peninggian tekanan intrakranial, nyeri kepala dan

gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.

7. Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6 ml/segmen yang tentunya bergantung pada

konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis dikurangi sampai 50% dan pada

wanita hamil dikurangi sampai 30% akibat pengaruh hormon dan mengecilnya

ruang epidural akibat ramainya vaskularisasi darah dalam ruang epidural.

8. Uji keberhasilan epidural

Keberhasilan analgesia epidural :

a. Tentang blok simpatis diketahui dari perubahan suhu.

b. Tentang blok sensorik dari uji tusuk jarum.

c. Tentang blok motorik dari skala bromage

Tabel 2.1. Skala bromage untuk Blok Motorik

Melipat Lutut Melipat Jari

Blok tak ada ++ ++

Blok parsial + ++

Blok hampir lengkap - +

Blok lengkap - -

Anestetik lokal yang digunakan untuk epidural

1. Lidokain (Xylokain, Lidonest)

21
Umumnya digunakan 1-2%, dengan mula kerja 10 menit dan relaksasi otot baik.

0.8% blokade sensorik baik tanpa blokade motorik.

1.5% lazim digunakan untuk pembedahan.

2% untuk relaksasi pasien berotot.

2. Bupivakain (Markain)

Konsentrasi 0.5% tanpa adrenalin, analgesianya sampai 8 jam. Volum yang

digunakan <20ml.

Komplikasi:

1. Blok tidak merata

2. Depresi kardiovaskuler (hipotensi)

3. Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)

4. Mual-muntah

Tabel 2.2. Obat Anestesi Epidural

22
2.4.3 Anestesi Kaudal

Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena kanalis kaudalis

adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus

sakralis. Hiatus sakralis ditutup oleh ligamentum sakrokoksigeal tanpa tulang yang analog

dengan gabungan antara ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, dan

ligamentum flavum. Ruang kaudal berisi saraf sakral, pleksus venosus, felum terminale dan

kantong dura.

Indikasi : Bedah daerah sekitar perineum, anorektal misalnya hemoroid, fistula

paraanal.

Kontra indikasi : Seperti analgesia spinal dan analgesia epidural.

Teknik anestesia kaudal :


1. Posisi pasien terlungkup dengan simfisis diganjal (tungkai dan kepala lebih rendah dari

bokong) atau dekubitus lateral, terutama wanita hamil.

2. Dapat menggunakan jarum suntik biasa atau jarum dengan kateter vena ukuran 20-22

pada pasien dewasa.

3. Untuk dewasa biasa digunakan volum 12-15 ml (1-2 ml/ segmen)

4. Identifikasi hiatus sakralis dengan menemukan kornu sakralis kanan dan kiri dan spina

iliaka superior posterior. Dengan menghubungkan ketiga tonjolan tersebut diperoleh

hiatus sakralis.

5. Setelah dilakukan tindakan a dan antisepsis pada daerah hiatus sakralis, tusukkan jarum

mula-mula 90o terhadap kulit. Setelah diyakini masuk kanalis sakralis, ubah jarum jadi

450-600 dan jarum didorong sedalam 1-2 cm. Kemudian suntikan NaCl sebanyak 5 ml

secara agak cepat sambil meraba apakah ada pembengkakan di kulit untuk menguji

apakah cairan masuk dengan benar di kanalis kaudalis.

23
Gambar 2.7. Anestesi Kaudal
Efek Fisiologis Blok Neuroaksial

1. Efek Kardiovaskuler:

- Akibat dari blok simpatis, akan terjadi penurunan tekanan darah (hipotensi). Efek

simpatektomi tergantung dari tinggi blok. Pada spinal, 2-6 dermatom di atas level

blok sensoris, sedangkan pada epidural, terjadi blok pada level yang sama.

Hipotensi dapat dicegah dengan pemberian cairan (pre-loading) untuk mengurangi

hipovolemia relatif akibat vasodilatasi sebelum dilakukan spinal/epidural anestesi,

dan apabila telah terjadi hipotensi, dapat diterapi dengan pemberian cairan dan

vasopressor seperti efedrin.

- Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok pada cardioaccelerator fiber di T1-

T4), dapat menyebabkan bradikardi sampai cardiac arrest.

2. Efek Respirasi:

- Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok lebih dari dermatom T5)

mengakibatkan hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak dan menyebabkan

terjadinya respiratory arrest.

- Bisa juga terjadi blok pada nervus phrenicus sehingga menyebabkan gangguan

gerakan diafragma dan otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi dan ekspirasi.

3. Efek Gastrointestinal:

24
- Mual muntah akibat blok neuroaksial sebesar 20%, sehingga menyebabkan

hiperperistaltik gastrointestinal akibat aktivitas parasimpatis dikarenakan oleh

simpatis yg terblok. Hal ini menguntungkan pada operasi abdomen karena kontraksi

usus dapat menyebabkan kondisi operasi maksimal.

2.5 Blok Perifer

Anestesi Lokal

Anestesi lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara

lokal pada jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian

susunan saraf.

Anestesi lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade lorong

natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi sepanjang saraf,

jika digunakan pada saraf sentral atau perifer.

Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara

spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.

Persyaratan obat yang boleh digunakan sebagai anestesi lokal:

1. Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen

2. Batas keamanan harus lebar

3. Efektif dengan pemberian secara injeksi atau penggunaan setempat pada membran

mukosa

4. Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang yang

cukup lama

5. Dapat larut air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga stabil terhadap pemanasan.

25
Anestesi lokal sering kali digunakan secara parenteral (injeksi) pada pembedahan

kecil di mana anestesi umum tidak perlu atau tidak diinginkan. Di Indonesia, yang paling

banyak digunakan adalah lidokain dan bupivakain.

Mekanisme kerja

Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium-channel), mencegah

peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium sehingga tidak terjadi

depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya, tidak terjadi konduksi saraf.

Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten. Ikatan

dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja dan konstanta dissosiasi (pKa)

menentukan awal kerja.

Konsentrasi minimal anestetika lokal (analog dengan MAC, minimum alveolar

concentration) dipengaruhi oleh:

1. Ukuran, jenis dan mielinisasi saraf

2. pH (asidosis menghambat blokade saraf)

3. Frekuensi stimulasi saraf

Mula kerja bergantung beberapa faktor, yaitu:

1. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat

dan dapat menembus membrane sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja cepat

2. Alkalinisasi anestetika lokal membuat awal kerja cepat

3. Konsentrasi obat anestetika lokal

Lama kerja dipengaruhi oleh:

1. Ikatan dengan protein plasma karena reseptor anestetika lokal adalah protein

26
2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi

3. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah pemberian

Efek samping terhadap sistem tubuh

Sistem kardiovaskular:

a. Depresi automatisasi miokard

b. Depresi kontraktilitas miokard

c. Dilatasi arteriolar

d. Dosis besar dapat menyebabkan disritmia/kolaps sirkulasi

Sistem pernafasan:

a. Relaksasi otot polos bronkus

b. Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus

c. Paralisis interkostal

d. Depresi langsung pusat pengaturan nafas

Sistem saraf pusat:

a. Parestesia lidah

b. Pusing

c. Tinitus

d. Pandangan kabur

e. Agitasi

f. Depresi pernafasan

g. Tidak sadar

h. Konvulsi

27
i. Koma

Imunologi : reaksi alergi

Sistem muskuloskeletal : miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain)

Komplikasi obat anestesi lokal

Obat anestesi lokal, melewati dosis tertentu merupakan zat toksik, sehingga untuk tiap

jenis obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya. Komplikasi dapat bersifat lokal

atau sistemik

Komplikasi lokal

1. Terjadi ditempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis dan gangrene.

2. Komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis dan

antisepsis.

3. Iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor yang disuntikkan

pada daerah dengan end-artery.

Komplikasi sistemik

1. Manifestasi klinis umumnya berupa reaksi neurologis dan kardiovaskuler.

2. Pengaruh pada korteks serebri dan pusat yang lebih tinggi adalah berupa

perangsangan sedangkan pengaruh pada pons dan batang otak berupa depresi.

3. Pengaruh kardiovaskuler adalah berupa penurunan tekanan darah dan depresi

miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung.

A. Infiltrasi Lokal

Penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan sekitar tempat lesi

28
B. Blok Lapangan (Field Block)

Infiltrasi sekitar lapangan operasi (contoh, untuk ekstirpasi tumor kecil)

C. Analgesia Permukaan (Topikal)

Obat analgetika lokal dioles atau disemprot di atas selaput mukosa

D. Analgesia Regional Intravena (Bier Block)

Anestesi jenis ini dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit pada lengan

atau tungkai. Biasanya dikerjakan untuk orang dewasa dan pada lengan.

Teknik analgesia regional intravena:

1. Pasang kateter vena (venocath) pada kedua punggung tangan. Pada sisi tangan atau

lengan yang akan dibedah digunakan untuk memasukkan obat anestetik lokal,

sedangkan sisi lain untuk memasukkan obat-obat yang diperlukan seandainya terjadi

kegawatan atau diperlukan cairan infus.

2. Eksanguinasi (mengurangi darah) pada sisi lengan yang akan dibedah dengan

menaikkan lengan dan peraslah lengan secara manual atau dengan bantuan perban

elastik (eshmark bandage) dari distal ke proksimal. Tindakan ini untuk mengurangi

sirkulasi darah dan tentunya dosis obat.

3. Pasang pengukur tekanan darah pada lengan atas seperti akan mengukur tekanan

darah biasa dengan torniket atau manset ganda dan bagian proksimal dikembangkan

dahulu sampai 100 mmHg di atas tekanan sistolik supaya darah arteri tidak masuk ke

lengan dan tentunya juga darah vena tidak akan masuk ke sistemik. Perban elastik

dilepaskan.

4. Suntikkan lidokain atau prilokain 0,5% 0,6 ml/kg (bupivakain tidak dianjurkan

karena toksisitasnya besar) melalui kateter di punggung tangan dan kalau untuk

tungkai lewat vena punggung kaki dosis 1-1,2 ml/kg. Analgesia tercapai dalam

waktu 5-15 menit dan pembedahan dapat dimulai.

29
5. Setelah 20-30 menit atau kalau pasien merasa tak enak atau nyeri pada torniket,

kembangkan manset distal dan kempiskan manset proksimal.

6. Setelah pembedahan selesai, deflasi manset dilakukan secara bertahap, buka tutup

selang beberapa menit untuk menghindari keracunan obat. Pada bedah sangat

singkat, untuk mencegah keracunan sistemik, torniket harus tetap dipertahankan

selama 30 menit untuk memberi kesempatan obat keluar vena menyebar dan melekat

ke seluruh jaringan sekitar. Untuk tungkai jarang dikerjakan karena banyak pilihan

lain yang lebih mudah dan aman seperti blok spinal, epidural, atau kaudal.

Beberapa anastetik lokal yang sering digunakan :

1. Kokain dalam bentuk topikal semprot 4% untuk mukosa jalan nafas atas. Lama

kerja 2-30 menit.

2. Prokain untuk infiltrasi larutan: 0,25-0,5%, blok saraf: 1-2%, dosis 15mg/kgBB

dan lama kerja 30-60 menit.

3. Lidokain konsentrasi efektif minimal 0,25%, infiltrasi, mula kerja 10 menit,

relaksasi otot cukup baik. Kerja sekitar 1-1,5 jam tergantung konsentrasi larutan.

4. Bupivakain konsentrasi efektif minimal 0,125%, mula kerja lebih lambat

dibanding lidokain, tetapi lama kerja sampai 8 jam.

30
BAB 3
LAPORAN KASUS

PEMERIKSAAN PRE-OPERATIF
Identitas Pasien
Nama : Tn. RS

Usia : 18 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamato. RM : 995453

Alamat : Simpang hilir simpang balai kamih kapalo hilalang

Berat Badan : 85kg

Diagnosis : Fraktur femur 13 tengah tertutup (S)

Rencana Terapi : Open Reduction Internal Fixation

Operator : dr. Hermansyah, SpOT

Anamnesis

Riwayat penyakit yang dapat menjadi penyulit anestesi :


Asma (-) Penyakit Hati (-)
Diabetes (-) Penyakit Ginjal (-)
Alergi (-) Kejang (-)
Angina Pectoris (-) Demam (-)
Stroke (-) Kelainan Kardiovaskular (-)
Hipertensi (-)
Riwayat obat yang sedang/telah digunakan
Anti hipertensi (-) Obat anti nyeri (-)
Anti rematik (-) Obat penyakit Jantung(-)
Anti diabetik (-)
Riwayat operasi sebelumnya (-)
Riwayat Anestesi Sebelumnya (-)

31
Ketersediaan darah ada jenis PRC 2 unit
Terakhir makan/ Rencana Puasa : 8 jam sebelum operasi

Pemeriksaan Fisik
Airway : bebas, tidak ada fraktur, tidak ada deformitas tidak ada tumor, tidak ada gigi
palsu
Breathing : Frekuensi nafas 20x/menit, pola torakoabdominal, simetris
Blood : Akral hangat, TD 110/70, Nadi 82x/menit
Brain : Kesadaran komposmentis kooperatif
Bladder : BAK tidak ada kelainan
Bowel : BAB tidak ada kelainan, mual tidak ada, muntah tidak ada
Bone : Fraktur femur sinistra 1/3 tengah tertutup

Laboratorium Lengkap
Tanggal : 6 November 2017
Hb : 13,8 gr/dl
Leukosit : 19.020/ mm3
Trombosit : 265.000/ mm3
Ht : 40%
PT : 11,0
APTT : 32,13
Na : 143
K : 3,3
Cl : 10,8

STATUS ANESTESIA
Diagnosis pra bedah : Fraktur femur 1/3 tengah tertutup (s)
Jenis Pembedahan : ORIF
Teknik Anestesi : Spinal
Teknik dan alat khusus : tidak ada
Monitoring : EKG Lead, SpO2, Stetoskop, Kateter Urine, NIBP
Status fisik : ASA 2
Penyulit Pra Anestesi : tidak ada

32
Cek list Persiapan Anestesia : Informed consent, obat-obatan anestesia, monitoring, obat-
obatan emergensi, tatalaksana jalan nafas, suction apparatus

Penilaian Pra Induksi :


Jam : 11.30
Kesadaran : CMC
Suhu : 36.5C
Tekanan Darah : 126/73 mmHg
Saturasi O2 : 100%
Nadi : 92x/menit
RR : 20x/menit
Infus Perifer : Tangan kiri, 18G
Posisi : Terlentang, Lateral Kanan
Pramedikasi : Fentanyl
Induksi :-
Tatalaksana Jalan nafas :-
Intubasi :-
Ventilasi : Spontan

Teknik Regional/ blok perifer :


Jenis : Spinal anestesi
Lokasi : VL 3-4
Jenis Jarum/No. : No. 27G
Obat-obatan :
Kateter :-
Komplikasi :-
Hasil : Total blok
Obat-obatan/Infus :
1. Naropin 15 g
2. Fentanyl 5 mg
3. Ranitidin 50 mg
4. Ondansentron 4 mg
5. Ringer Lactate 1 kolf

33
Mulai Anestesia : 11.45
Mulai Pembedahan : 11.55
Selesai pembedahan : 13.45
Pemantauan Tanda Vital :

Tekanan Darah
250

200

150

100

50

0
11.45 12.00 12.15 12.30 12.45 13.00 13.15 13.30 13.45

Nadi, Saturasi O2
120

100

80

60 Saturasi O2
HR
40

20

0
11.45 12.00 12.15 12.30 12.45 13.00 13.15 13.30 13.45 14.00

CATATAN KAMAR PEMULIHAN


Masuk kamar pulih : 13.55 AM
Tanda Vital :
TD : 116/65mmHg
HR : 89x/menit
RR : 22x/menit
Temp : 36.5C

34
Kesadaran : Sadar penuh
Pernafasan : Spontan
Penyulit intra operatif : tidak ada
Intruksi khusus : tidak ada

Keluar kamar pulih : 14.15 am


Skor ALDERETTE :
Aktivitas :2
Sirkulasi :2
Pernafssan :2
Kesadaran :2
Warna Kulit :2
Total Skor : 10
Pindah Ke : Trauma center bedah

Instruksi pasca bedah

Pengelola rasa nyeri : Ketorolac 30 mg iv, Tramadol 200 mg iv

Penanganan mual muntah : Injeksi ondansetron 4 mg

Antibiotika : intra operatif

Obat-obatan lain :-

Infus : Tutofuchin 2500 ml/ 24 jam

35
BAB 4
DISKUSI

Seorang pasien laki-laki berusia 18 tahun dengan diagnosis fraktur femur sinistra 1/3

tengah tertutup,akan direncanakan operasi open reduction internal fixation (ORIF). Pada

pelaksanaan ORIF pada ekstremitas bawah teknik anestesi yang dipilih adalah anestesi spinal.

Anestesi spinal termasuk kedalam regional anestesi. Anestesi spinal adalah salah satu metode

anestesi yang diinduksi dengan menyuntikkan sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam

cairan cerebro-spinal (CSF). Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik

lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.

Spinal anestesi mudah untuk dilakukan dan memiliki potensi untuk memberikan kondisi

operasi yang sangat baik untuk operasi pada ekstremitas bawah.

Sebelum melakukan pembedahan kita harus melakukan penilaian dan persiapan pra

anestesia, termasuk anamnesis menganai penyakit penyulit anestesi, obat-obatan yang telah

digunakan, riwayat anestesi sebelumnya dan riwayat operasi sebelumnya. Hal ini kita

tanyakan untuk merencanakan teknik anestesia yang baik untuk pasien. Pada pasien ini tidak

ada penyulit anestesi yang ditemukan. Pasien diminta untuk menyediakan darah sebanyak 2

unit Packed Red Cell (volume masing-masing 240cc) hal ini dilakukan sebagai antisipasi

terjadinya kehilangan darah yang banyak intraoperatif. Secara teori volume darah manusia

dewasa 60% BB. Kehilangan darah >20% total cairan tubuh digantikan dengan darah.

Perkiraan volume darah pasien ini dengan berat badan 85 kg yaitu sekitar 5,1 L. Pada

pemeriksaan fisik dan laboratorium tidaak ditemukan kelainan yang menjadi penyulit

prosedur anestesi.

Teknik anestesi yang dipilih pada pembedahan ORIF ini yaitu anestesi spnal. Anestesi

spinal paling baik digunakan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul dan

perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi,

36
urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan bedah anak.

Spinal anestesi sebagian besar cocok untuk pasien tua dan dengan penyakit sistemik seperti

penyakit respiratory kronik, hepatic, ginnjal dan kelainan endokrin seperti diabetes. Spinal

anestesi juga cocok untuk menangani pasien trauma jika pasien tersebut memiliki resusitasi

yang adekuat dan tidak dalam keadaan hypovolemik.

Teknik anestesi spinal pada pasien ini menggunakan jarum no.27G yang ditusukan

didaerah vertebrae L3-4 menggunakan ropivacaine hydrochloride injection 0,75%. Lokasi

penyuntikan anestesi pada spinal ini adalah perpotongan antara garis yang menghubungkan

kedua Krista iliaka dengan tulang punggung dan ini merupakan L4 atau L4-L5, tempat

tusukan bisa dilakukan di L2-L3, L3-L4 atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau atasnya

berisiko trauma terhadap medulla spinalis. Pada penusukan, jarum akan menembus kutis,

subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang

epidural, duramater dan ruang subarachnoid. Ropivacaine hydrochloride injection 75%

merupakan obat hiperbarik. Struktur ropivacaine mirip dengan bupivacaine, dengan pKa yang

sama (8,1) sehingga ini juga memiliki karakteristik onset yang lambat dan durasi kerja yang

panjang. Dibandingkan dengan bupivacaine, keuntungan menggunakan anestesi spinal

ropivacaine yaitu kurang cardiotoksik dan diferensiasi blok sensorik serta motorik dengan

lebih baik, seingga menghasilkan blok motorik yang lebih sedikit. Kemudian, potensi

ropivacaine ditemukan 0,6 dibandingkan dengan bupivacaine. Ketika diberikan ropivacaine

pada dosis yang sama dengan bupivacaine, terjadi blok motorik yang lebih sedikit dan

pemulihan yang lebih cepat.

Pasien juga diberi fentanyl 25 mcg. Berdasarkan teori, opioid dapat ditambahkan ke

larutan anestesi lokal untuk meningkatkan efek anestesi saat pembedahan dan memberikan

efek analgesi pasca operasi. Efek ini dimediasi pada tanduk dorsal sumsum tulang belakang,

dimana opioid meniru efek enkhepalin endogen. Umumnya, fentanyl (25 mg) digunakan

37
untuk prosedur pembedahan yang singkat. Fentanyl merupakan opioid yang bersifat lipofilik

yang memiliki efek lebih cepat dan durasi kerja yang lebih singkat dibanding opioid

hidrofilik. Selain meningkatkan penyerapan ke jaringan saraf, kelarutan lipid yang lebih besar

menghasilkan penyerapan yang cepat pada pembuluh darah dan jaringan lemak. Oleh karena

itu, penyebaran lipofilik opioid dalam CSF lebih terbatas dibandingkan dengan opioid

hidrofilik seperti morfin, yang menunjukan penyebaran yang lebih besar sehingga lebih

lambat dalam penyerapan dan eliminasi dari CSF.

Intra operatif tanda vital pasien stabil, kehilangan darah 100cc, hal ini masih

<20% total volume cairan tubuh, sehingga tidak perlu dilakukan transfusi darah pada

pasien. Pada pukul 13.55 pasien dipindahkan ke ruangan pemulihan, disini keadaan vital

pasien stabil dan skor alderette pasien 10, sehingga pasien bisa di pindahkan ke ruang

rawatan. Pasca bedah pasien diberikan ketorolac 30mg IV. Ketorolak ini digunakan

sebagai manajemen nyeri pasca bedah pada pasien. Sifat analgetik ketorolak setara

dengan opioid, yaitu 30mg ketorolak=12 mg morfin=100mg petidin, cara kerjanya

adalah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid

di saraf pusat. Pemberian Tutofusin pada pasien ini sebagai pemenuhan kebutuhan air

dan elektrolit selama masa praoperasi dan pasca operasi. Tutofusin memberikan

elektrolit lengkap untuk memenuhi keadaan dehidrasi hipotonis (kehilangan cairan

intraseluler). Dosis 30ml/kgBB/hari sehingga seharusnya pasien diberikan 2550ml/hari

atau setara 5kolf/hari.

38
DAFTAR PUSTAKA

Miller RD, Pardo MC. Spinal and Epiduran Anesthesia. In Basic of Anesthesia 6th edition.
USA: Saunders Elsevier, 2011. pg 252-283.

Miller RD, Cohen NH, Eriksson LI, Feisher LA, Wenner-Kronish JP, Young WL. Millers
Anesthesia 8th edition. Canada: Saunders Elsevier, 2015.

Mansjoer, Arif. dkk. Anestesi spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran edisi III hal.261-
264. 2000. Jakarta.

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Regional Anesthesia and Pain Management. In :
Clinical Anesthesiology, 5th ed. Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2013. pg 937-
1085

Syarif, Amir. Et al. Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik. Dalam: Farmakologi dan Terapi
edisi 5 hal.259-272. 2007. Gaya Baru, jakarta.

39

Anda mungkin juga menyukai