Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS

ASMA BRONKIAL

Disusun oleh:
Hamsyariyah, S.Ked
FAB 117 003

Pembimbing:
dr. Sutopo M.Widodo, Sp.KFR
dr. Tagor Sibarani

KEPANITERAAN KLINIK REHABILITASI MEDIK DAN


EMERGENCY MEDICINE
RSUD dr. DORIS SYLVANUS/FK-UNPAR
PALANGKA RAYA
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit saluran pernapasan kronik, dimana terjadi inflamasi


(peradangan) kronik saluran napas yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa
sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Asma mempunyai tingkat fatalitas yang
rendah namun jumlah kasusnya cukup banyak ditemukan dalam masyarakat.1
Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia
menderita asma, jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah sebesar 180.000 orang setiap
tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di
seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan
ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih
tinggi lagi pada masa yang akan datang serta mengganggu proses tumbuh kembang anak dan
kualitas hidup pasien.1,2
Prevalensi asma di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun
hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (
Internationla Study on Asthma and Allergy in Children)tahun 1995 prevalensi asma masih
2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survei asma pada anak
sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan,Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Malang dan Denpasar)menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai
12 tahun) berkisar antara3,7%-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar
5,8% tahun 1995dan tahun 2001 di Jakarta Timur sebesar 8,6%. Berdasarkan gambaran
tersebut diatas, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu
mendapat perhatian secara serius.1

2
BAB II
LAPORAN KASUS

PRIMARY SURVEY (Tn. M)


Vital Sign :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84x/menit
Suhu : 36,50C
Pernapasan : 26x/menit
Airway : bebas, tidak ada sumbatan jalan nafas
Breathing : spontan, 26x/menit, torako-abdominal, pergerakan thoraks simetris
Circulation: nadi 84x/menit, CRT <2”
Disability : GCS E4V5M6, pupil isokor +/+, diameter 3 mm/3mm, reflex cahaya +/+
Evaluasi masalah : berdasarkan primary survey sistem triase, kasus ini merupakan kasus
yang termasuk dalam emergency sign label kuning karena didapatkan gangguan breathing,
yaitu pernapasan 26x/menit.
Tatalaksana awal : tata laksana awal pada pasien ini adalah ditempatkan di ruangan non
bedah dan diberikan oksigen.

I. IDENTITAS
Nama : Tn. M
Usia : 36 tahun
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Alamat : Palangkaraya
Tanggal MRS : 30-11-2017, pukul 06.00 WIB

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Sesak nafas
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Doris Sylvanus dengan keluhan sesak napas yang
disertai bunyi mengi sejak 9 jam SMRS. Sesak muncul saat pasien sedang tertidur.
Sesak semakin meningkat sehingga dibawa ke RS. Keluhan seperti ini sudah berulang
sejak pasien masih muda. Sesak dirasakan apabila pasien kelelahan atau udara dingin.

3
Saat sesak pasien tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Pasien biasanya meminum
obat salbutamol bila sesaknya kambuh. Sesak juga diserta batuk berdahak. Dahak
bewarna putih agak kental, keluar sedikit-sedikit kadang tidak keluar. Keluhan seperti
batuk dengan bercak darah (-), nyeri dada (-), mual muntah (-), sakit kepala (-).
Apabila saat pagi hari dengan udara dingin pasien mengeluh sering meler. Bersin-
bersin (+) jika terkena debu.
Riwayat penyakit dahulu : Riwayat asma (+) sejak remaja, riwayat alergi (+),
riwayat alergi obat (-), riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-)
Riwayat penyakit keluarga : Ibu dan anak perempuan pasien memiliki penyakit
yang serupa dengan pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan umum : tampak sesak, GCS: eye (4), verbal (5), motorik (6).
2. Tanda-tanda vital : tekanan darah : 110/70 mmHg, denyut nadi: 84 x/menit, suhu
36,5oC, RR: 26 kali/menit.
3. SPO2 : 93%
4. Kulit : turgor <2”, pucat (-), sianosis (-)
5. Mata : konjungtiva anemis (-)/(-), sclera ikterik (-), pernapasan cuping hidung
(+), pupil isokor, diameter pupil 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+).
6. Leher : perbesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)
7. Toraks :Simetris, retraksi (+), fremitus taktil normal, sonor, vesikuler +/+, ronkhi
(-/-), wheezing (+/+) diseluruh lapang paru, ictus cordis tidak terlihat dan teraba
pada SIC V 2 cm lateral garis midclavicula sinistra, S1-S2 tunggal,
reguler,murmur (-),gallop (-).
8. Abdomen : datar, supel, bising usus (+) normal, timpani, hepar dan lien tidak
teraba membesar, shifting dulness (-).
9. Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, edema (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan

V. DIAGNOSIS
Asma bronkial

4
VI. PENATALAKSANAAN
 O2 nasal kanul 2-3 lpm
 Nebulizer dengan combivent dan flixotide 1 vial
 Obat oral : Salbutamol 3 x 2 mg
Metilprednisolone 3 x 4 mg

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

5
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUD dr. Doris Sylvanus dengan keluhan sesak napas yang
disertai bunyi mengi sejak 9 jam SMRS. Sesak muncul saat pasien sedang tertidur. Sesak
semakin meningkat sehingga dibawa ke RS. Keluhan seperti ini sudah berulang sejak pasien
masih muda. Sesak dirasakan apabila pasien kelelahan atau udara dingin. Saat sesak pasien
tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Pasien biasanya meminum obat salbutamol bila
sesaknya kambuh. Sesak juga diserta batuk berdahak. Dahak bewarna putih agak kental,
keluar sedikit-sedikit kadang tidak keluar. Keluhan seperti batuk dengan bercak darah (-),
nyeri dada (-), mual muntah (-), sakit kepala (-). Apabila saat pagi hari dengan udara dingin
pasien mengeluh sering meler. Bersin-bersin (+) jika terkena debu. Paien memiliki riwayat
asma (+) sejak remaja, riwayat alergi (+), serta ibu dan anak perempuan pasien memiliki
penyakit yang serupa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital : tekanan darah : 110/70 mmHg, denyut
nadi: 84 x/menit, suhu 36,5oC, RR: 26 kali/menit. Sehingga pada pasien ini ditemukan
adanya takipnea, yaitu pernapasannya 26x/menit. Selain itu juga pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya pernapasan cuping hidung, retraksi intercostal, dan pada auskultasi
ditemukan adanya wheezing pada seluruh lapang paru. Pada pemeriksaan penunjang pada
pasien ini tidak dilakukan.
Pada pasien ini mendapakan tatalaksana awal yaitu dengan diberikan oksigen nasal
canul 2-3 lpm. Kemudian diberikan nebulizer dengan combivent dan flixotide 1 vial.
Combivent mengandung salbutamol dan ipratropium bromide. Salbumatol merupakan
obat adrenergic beta-2 yang bekerja merelaksasiakn otot polos saluran nafas mulai dari trakea
hingga bronkiolus. Sedangkan ipratropium bromide memiliki sifat antikolinergik sehingga
memberikan efek bronkodilatasi pada pasien dengan asma.
Flixotide mengandung flutikason propionate, yang berfungsi untuk menghambat
proliferasi sel mast, eusinofil, limfosit, makrofag, neutrofil, mengurangi produksi dan
pelepasan mediator inflamasi. Sehingga dapat mengurangi gejala obstruksi jalan nafas,
seperti pada asma bronkiale.

Definisi Asma

6
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan dengan
hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversibel dan gejala pernapasan.1 Asma
bronkial adalah salah satu penyakit paru yang termasuk dalam kelompok penyakit paru alergi
dan imunologi yang merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang
meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi
berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang menyeluruh dari saluran
napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat penyempitan dapat berubah, baik secara
spontan maupun karena pemberian obat.2
Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala usia, terutama pada
usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia
remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa. Laki-laki lebih
memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja dibandingkan dengan
perempuan.3 Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma
meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari
seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.5

Etiologi Asma Bronkhial


Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronkial, yaitu:1
1. Faktor predisposisi
a. Genetik Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit
alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi.
Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu, hipersensitifitas
saluran pernafasan juga bisa diturunkan
2. Faktor pencetus
a. Alergen Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu :
 Inhalan yang masuk melalui saluran pernafasan seperti debu, bulu binatang,
serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
 Ingestan yang msuk melalui mulut seperti makanan dan obat-obatan

7
 Kontaktan yang masuk melalui kontak dengan kulit seperti perhiasan logam
dan jam tangan
b. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Suhu yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma.
c. Stres Gangguan emosi dapat menjadi pencetus asma
d. Lingkungan kerja
e. Olahraga/aktivitas jasmani yang berat.
Klasifikasi Asma Bronkhial
1. Berdasarkan etiologi :
a. Ekstrinsik (alergik) Ditandai dengan reaksi alergi yang disebabkan oleh faktor-
faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu bunga,
obatobatan (antibiotik dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering
dihubungan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh
karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebabkan di
atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik. Asma ekstrinsik dibagi
menjadi :
 Asma ekstrinsik atopik. Sifat-sifatnya adalah sebagai berikut :
o Penyebabnya adalah rangsangan alergen eksternal spesifik dan dapat
diperlihatkan dengan reaksi hipersensivivitas tipe 1
o Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehidupan ,
85 % kasus timbul sebelum usia 30 tahun.
o Sebagian besar mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada masa
puber, dengan serangan asma yang berbeda-beda.
 Asma ekstrinsik non atopik. Memiliki sifat-sifat antara lain :
o Serangan asma timbul berhubungan dengan bermacammacam
alergen yang spesifik
o Tes kulit memberi reaksi tipe segera, tipe lambat dan ganda terhadap
alergi yang tersensitasi dapat menjadi sensitive
o Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik
o Timbulnya gejala cenderung pada saat akhir kehidupan atau
dikemudian hari

8
b. Intrinsik/idiopatik ( non alergik ) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang
bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara
dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan
emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronik dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan. Sifat dari asma
intrinsik :
 Alergen pencetus sukar ditentukan
 Tidak ada alergen ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kulit memberi
hasil negatif
 Merupakan kelompok yang heterogen, respon untuk terjadi asma
dicetuskan oleh penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-beda.
 Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur di atas 30
tahun dan disebut juga late onset asma
 Serangan sesak pada asma tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali
menimbulkan kemaian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid
 Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik, namun
tidak dapaat dibuktikan dengan keterlibatan IgE
 Kadar IgE serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan asma ekstrinsik
 Selain itu tes serologi dapat menunjukkan adanya faktor rematoid
misalnya sel LE
 Riwayat keluarga jauh lebih sediking sekitar 12-48%
 Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin sering dijumpai
c. Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
2. Berdasarkan Keparahan Penyakit:
a. Asma intermiten. Gejala muncul < 1 dalam 1 minggu, eksaserbasi ringan dalam
bebrapa jam atau hari, gejala asma malam hari terjadi < 2 dalam 1 bulan, fungsi
paru normal dan asimtomatik di antara waktu serangan, Peak expiratory folw (
PEF) dan Forced Expiratory Value in 1 second ( PEVI) > 80%

9
b. Asma ringan. Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1 hari,
eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi > 2
kali dalam 1 bulan, PEF dan PEVI > 80%
c. Asma sedang. Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi menganggu aktifitas atau tidur,
gejala asma malam hari terjadi > 1 kali dalam seminggu, menggunakan inhalasi
beta 2 agonis kerja cepat dalam keseharian, PEF dan PEVI > 60% dan < 80%
d. Asma parah. Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi, gejala asma
malam hari sering terjadi, aktivitas fisik terganggu oleh gejala asma, PEF dan
PEVI < 60%.
e. Berdasarkan terkontrol atau tidaknya asma Dibagi menjadi 3 yaitu asma
terkontrol, asma terkontrol sebagian ( partial) dan asma tak terkontrol.1,2

Gejala Klinis Asma Bronkhial


Keluhan utama penderita asma ialah sesak nafas mendadak, disertai fase inspirasi
yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi ( wheezing),
batuk disertai serangan napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma, keluhan
tersebut dapat ringan, berat ataupun sedang dan sesak nafas penderita timbul mendadak,
dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat.4
Wheezing terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing tergantung
cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan
atau kelelahan otot pernafasan, wheezing akan terdengar lebih lemah atau tidak terdengar
sama sekali. Batuk hampir selalu ada, bahkan seringkali diikuti dengan sahak putih berbuih.
Selain itu, makin kental dahak maka keluhan sesak akan semakin berat.4
Tanda lain yang menyertai sesak nafas adalah pernafasan cuping hidung yang sesuai
dengan irama pernafasan. Frekuensi pernafasan terlihat meningkat ( takipnea) otot bantu
pernafasan ikut aktif, dengan tampak gelisah. Pada fase permulaan, sesak nafas akan diikuti
dengan penurunan PaO2 dan PaCO2 tetapi pH normal atau naik sedikit. Hipoventilasi yang
terjadi kemudian akan meperberat sesak nafas, karena menyebabkan penurunan PaO2 dan PH
serta meningkatkan PaCO2 darah. Salin itu, terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut nadi
sampai 110-130/menit, karena peningkatan konsentrasi kaekolamin dalam darah akibat
respon hipoksemia.

Patofisiologi Asma Bronkhial

10
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkiolus yang menyebabkan
sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkiolus terhadap benda-
benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi, seorang yang mempunyai
alergi mempunyai kecendrungan untuk membentuk sejumlah antibodi Ig E abnormal dalam
jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen
spesifiknya. Pada asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapapt pada
interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan beronkus kecil. Bila seseorang
menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan
antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan
berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat ( yang
merupakan leukotrient), faktor kemotatik eosinofil dan bradikinin. Efek gabungan dari semua
faktorfaktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkiolus kecil maupun
sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos bronkiolus
sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. Pada asma
diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena
peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi pada menekan bagian luar bronkiolus.
Karena dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena
bronkiolus sudah tersumbat sebagian maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan
eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma
biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat tetapi sekali-kali melakukan
ekspirasi. Hal ini menybabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume paru menjadi
sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari
paru hal ini menyebabkan barrel chest.1,2

Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis, meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Faktor – faktor
yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat alergi.
b. Pemeriksaan Fisik, pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran napas.
Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga
meningkat, ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi.

11
c. Pemeriksaan Laboratorium Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral
Cursshman, kristal Charcot Leyden).
d. Pemeriksaan Penunjang
 Spirometri. Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal
ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri
khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20% atau lebih
sesudah pemberian bronkodilator.
 Uji Provokasi. Bronkus Uji provokasi bronkus membantu menegakkan
diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala sma dan faal paru normal
sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus
merupakan cara untuk membuktikan secara objektif hiperreaktivitas saluran
napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri dari tiga jenis
yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise), hiperventilasi udara dan
alergen non-spesifik seperti metakolin dan histamin.
 Foto Toraks. Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
lain yang memberikan gejala serupa sepert gagal jantung kiri, obstruksi saluran
nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan,
gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.

Diagnosis Banding
1. Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan
dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk yang disertai sputum dan
perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan disertai mengi dan
menurunkan kemampuan jasmani.
2. Emfisema paru
Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya.
3. Gagal jantung kiri
Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada malam hari
disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari

12
karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.

Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktiviti sehari-hari Tujuan penatalaksanaan asma:4
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol
penyakit, disebut sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil
minimal dalam waktu satu bulan.

Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari pengobatan nonmedikamentosa dan


pengobatan medikamentosa :
1. Pengobatan non-medikamentosa:
a. Penyuluhan
b. Menghindari faktor pencetus
c. Pengendali emosi
d. Pemakaian oksigen
2. Pengobatan medikamentosa. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah
gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas Controller dan reliever.
a. Pengontrol (Controllers) Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan
keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut
pencegah, yang termasuk obat pengontrol :

13
 Kortikosteroid inhalasi. Pengobatan jangka panjang yang paling efektif
untuk mengontrol asma. Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi
gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti
hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten
(ringan sampai berat).
 Kortikosteroid sistemik. Cara pemberian melalui oral atau parenteral.
Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi
jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang.
 Sodium kromoglikat dan Nedokromil sodium. Kromolin (sodium
kromoglikat dan nedokromil sodium) Pemberiannya secara inhalasi.
Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Dibutuhkan
waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini
bermanfaat atau tidak.
 Metilsantin. Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat
dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan
pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal
paru.
 Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi. Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja
lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu
kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek
relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan
permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari
sel mast dan basofil.
 Agonis beta-2 kerja lama, oral
 Leukotrien modifiers. Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan
pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen,
sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai
efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk
tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar di Indonesia
adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).

14
 Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
b. Pelega (Reliever). Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk
pelega adalah :
 Agonis beta2 kerja singkat. Agonis beta-2 kerja singkat. Termasuk
golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang
telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang
cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot
polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan
permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel
mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat
sebagai praterapi pada exerciseinduced asthma.
 Kortikosteroid sistemik. Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega
bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum
tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
 Antikolinergik. Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya
memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan
napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik
vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang
disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium
bromide dan tiotropium bromide.
 Aminofillin
 Adrenalin. Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai
berat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita
usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena
dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat
(bedside monitoring).
3. Cara pemberian pengobatan.
Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan
parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian pengobatan
langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :

15
a. Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
b. Efek sistemik minimal atau dihindarkan
c. Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi
pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator
adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.

Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah:1
a. Status asmatikus
b. Atelektasis
c. Hipoksemia
d. Pneumothoraks
e. Emfisema

Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-kira 10
juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka kematian penderita asma wanita
dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma
dengan usia tua lebih banyak, kalau serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak –
kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kirakira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak
sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold
29% akan mengalami serangan ulang. Pada penderita yang mengalami serangan intermitten
angka kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita.4

16
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus pada seorang laki-laki, usia 36 tahun datang dengan
keluhan sesak napas yang disertai bunyi mengi sejak 9 jam SMRS. Sesak muncul saat pasien
sedang tertidur. Sesak semakin meningkat sehingga dibawa ke RS. Keluhan seperti ini sudah
berulang sejak pasien masih muda. Sesak dirasakan apabila pasien kelelahan atau udara
dingin. Saat sesak pasien tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Pasien biasanya meminum
obat salbutamol bila sesaknya kambuh. Sesak juga diserta batuk berdahak. Dahak bewarna
putih agak kental, keluar sedikit-sedikit kadang tidak keluar. Keluhan seperti batuk dengan
bercak darah (-), nyeri dada (-), mual muntah (-), sakit kepala (-). Apabila saat pagi hari
dengan udara dingin pasien mengeluh sering meler. Bersin-bersin (+) jika terkena debu. Paien
memiliki riwayat asma (+) sejak remaja, riwayat alergi (+), serta ibu dan anak perempuan
pasien memiliki penyakit yang serupa.
Pada pemeriksaan fisik adanya takipnea, yaitu pernapasannya 26x/menit. Selain itu
juga pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya pernapasan cuping hidung, retraksi
intercostal, dan pada auskultasi ditemukan adanya wheezing pada seluruh lapang paru.
Penatalaksanaan awal pada pasien ini adalah diberikan oksigen nasal sebanyak 2-3
lpm, kemudian diberikan nebulizer dengan combivent dan flixotide 1 vial. Setelah dilakukan
nebulizer, sesak napas pada pasien berkurang, dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan
adanya otot bantu nafas dan wheezing pada auskultasi paru. Sehingga pada pasien ini boleh
rawat jalan, dengan diberikan obat oral Salbutamol 3 x 2 mg dan Metilprednisolone 3 x 4 mg.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Riyanto BS, Hisyam B. 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut In : Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : EGC 2.
2. Alsagaff H, Mukty A. 2002. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga
University Press
3. Partridge MD. 2007. Examining the unmet need In adults with severe asthma : Eur
Respir Rev
4. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1023 / Menkes/ SK/ XI/2008 tentang pedoman
pengendalian penyakit asma. Jakarta
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
penyakit asma di indonesia.
6. Mcfadden ER. 2000. Penyakit asma In : Prinsip-prinsip ilmu penyakit Dalam
harrison. Jakarta :EGC

18

Anda mungkin juga menyukai