Pembimbing:
disusun oleh:
1
Bab I
Pendahuluan
Bedah laparoskopik sudah berkembang sangat pesat beberapa tahun terakhir, terutama
dikarenakan kemajuan dalam bidang ilmu anestetik dan teknik operasi. Bedah laparoskopik
diidentikkan dengan minimally invasive procedure dan keuntungan dari laparoskopik antara
lain mengurangi trauma operasi, berkurangnya nyeri pasca bedah, waktu rawat yang singkat
yang memungkinkan cepatnya pasien dapat kembali melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
Tetapi, bedah laparoskopik tetap dikaitkan dengan beberapa resiko, seperti contohnya
emboli gas, adanya potensi perdarahan yang sulit dikendalikan, dan peningkatan tekanan
karbondioksida dalam arteri dan perubahan tekanan dalam pembuluh darah arteri, dan nadi.
Selain itu, perubahan dalam pernapasan dan hemodinamika berkaitan dengan bedah
laparoskopik disebabkan oleh tingginya tekanan dalam abdomen akibat pneumoperitoneum
yang sengaja dibuat untuk memudahkan jalannya operasi. Akibat langsung dari
pneumoperitoneum adalah menurunnya volume darah yang kembali dari vena karena terjadi
penekanan pada pembuluh vena kava inferior serta tingginya resistensi dalam pembuluh
darah arteri akibat aorta abdominalis yang tertekan. Selain itu, penekanan pada diafragma
akan memberikan perubahan dalam pernapasan.
Pada karya tulis ini, penulis berusaha memaparkan prosedur dari bedah laparoskopik,
perubahan yang disebabkan oleh prosedur bedah, serta penanganan anestesi seperti observasi
pre operasi, pemberian obat-obatan anestesi premedikasi dan induksi, pemantauan
intraoperasi, dan pemantauan dan pemulihan pasca bedah.
2
BAB II
Pembahasan
2.1 Definisi Bedah Laparoskopik
Laparoskopik adalah salah satu jenis teknik bedah. Pada open surgery irisan
akan dibuat sepanjang beberapa sentimeter pada abdomen. Tetapi laparoscopy adalah
teknik bedah yang menggunakan irisan kecil yang panjangnya tidak lebih dari 1,25 cm.
Sehingga, laparoskopik merupakan bedah yang minimally invasive. Bedah laparoskopik
menggunakan instrumen yang disebut juga laparoskop. Laparoskop merupakan alat
berbentuk panjang dan ramping yang akan di insersi kedalam abdomen melalui irisan
kecil. Jika kemudian dalam berjalannya operasi dibutuhkan instrumen tambahan maka
akan diinsersi lagi alat tambahan melalui irisan lain atau irisan yang sama, disebut juga
laparoskopi “single site”. Contoh penerapan nya adalah pada cabang ilmu kebidanan dan
kandungan, laparoskop digunakan untuk melihat organ pelvis dan abdomen pada layar
elektronik. Manfaat bedah laparoskopik sudah terkenal karena mengurangi rasa sakit
akibat kecilnya luka operasi. Masa penyembuhan pada operasi laparoskopik juga lebih
cepat, insisi yang lebih kecil mengurangi kemugkinan untuk terjadinya infeksi, waktu
rawat yang singkat sehingga pasien dapat cepat kembali melakukan aktivitas sehari-hari
.
Bedah laparoskopik dapat dilakukan pada penegakan diagnosis nyeri panggul,
kolesistektomi, nefrektomi pada malformasi arteriovena renal besar, prostatektomi
radikal, pankreotomi distal, reseksi hepar, kanker kolorektal, mengangkat kehamilan
ektopik, mengangkat usus buntu yang telah meradang, gastrectomy and small bowel
procedures, appendectomy, pseudokista pada pankreas, prosedur bypass, adrenalectomy,
enukleasi tumor jinak pankreas, hernia inguinal, nefrektomi, dan histerektomi. (1,2,3)
3
20 mmHg. Pneumoperitoneum akan dipertahankan dnegan aliran gas konstan sebesar
200-400 mL per menit. Dengan kombinasi ini, operator dapat menegakkan diagnosis dan
berbagai tindakan terapeutik.(4,5) Terdapat dua jenis dari insuflasi gas, yang pertama
adalah ekstraperitoneal dan yang kedua adalah intraperitoneal. Tetapi, pada insuflasi
ekstraperitoneal, penyerapan gas CO2 lebih cepat terjadi sehingga insuflasi gas
intraperitoneal lebih banyak dipakai.(6)
4
laparoskopik. Sebuah studi dilakukan untuk membandingkan bedah terbuka (open
surgery) dengan bedah laparoskopik. Studi tersebut menunjukkan adanya
meningkatan PaCO2 sebesar 10% dan ETCO2 mengalami peningkatan sebesar 14%.
Dengan perubahan lebih nyata pada pasien dengan nilai ASA III dan IV (10)
2.2.2.1 Kardiovaskular
Efek mekanik dari pneumoperitoneum akan mempengaruhi hemodinamika secara
umum dan regional. Peningkatan IAP akibat pneumoperitoneum pada awalnya
mengakibatkan penekanan pada vena sehingga meningkatkan preload dan kemudian
diikuti oleh penurunan preload yang menetap akibat penekanan pada vena kava
5
inferior, penurunan venous return sehingga akan diikuti dengan penurunan Cardiac
Output. Sedangkan kompresi pembuluh darah arteri akan meningkatkan afterload dan
juga mengakibatkan peningkatan SVR (Stroke Volume Resistance). SVR juga akan
meningkat akibat dari terlepasnya katekolamin dalam sirkulasi terutama epinefrin dan
norepinefrin. Katekolamin dilepaskan karena adanya stimulasi sistem saraf simpatis
akibat hiperkapnia dan pneumoperitoneum. Sementara vasopressin diproduksi seiring
dengan aktifnya sistem RAA (Renin-Angiotensin-Aldosteron). Peningkatan SVR
biasanya lebih besar dari pada reduksi kardiak output sehingga dapat
mempertahankan tekanan darah atau malah meningkatkan tekanan darah. Peningkatan
SVR, tekanan darah sistolik dan diastolik dan takikardi akan mengakibatkan beban
kerja dari jantung yang lebih besar.
Secara regional, peningkatan tekanan IAP (Intra Abdominal Pressure) akan
menyebabkan berkurangnya aliran darah vena femoralis tanpa diikuti adaptasi tubuh
terhadap menurunnya aliran darah vena femoralis sehingga terjadi statis vena. Pada
ginjal akan mengalami penurunan 50% dari urine output aliran plasma ginjal dan
GFR. Kecepatan aliran darah otak akan meningkat dengan pneumoperitoneum CO2
sebagai respon dari meningkatnya PCO2 . Respon fisiologis kardiovaskuler yang
utama adalah terjadinya peningkatan tahanan vaskular sistemik (Systemic Vascular
Resistance/ SVR) , tekanan darah arteri rata-rata (Mean Arterial Pressure/MAP) , dan
tekanan pengisian miokardium (miokardial filling pressure), disertai dengan
penurunan cardiac index (CI) pada awal-awal laparoskopik dan perubahan laju
jantung yang minimal.
Perubahan kardiovaskular juga bergantung pada volume CO2 yang diabsorpsi, volume
intravaskular pasien, teknik ventilasi, kondisi operasi dan obat-obatan anestesi yang
digunakan.
2.2.2.2. Respirasi
Peningkatan IAP dan efek volume yang dihasilkan pneumoperitoneum dapat
menyebabkan naiknya diafragma. Menurunnya kapasitas paru, meningkatnya tekanan
jalan nafas dan menurunnya komplians paru sampai 35-40%. Pada pasien sehat hal ini
tidak berpengaruh tetapi akan mengakibatkan gangguan fungsi paru pada pasien obese
atau pasien yang memiliki penyakit paru sebelumnya. Posisi supine dan anestesi
umum akan menurunkan Functional Residual Capacity (FRC). FRC adalah volume
6
gas yang tersisa dalam paru pada saat akhir ekspirasi normal tanpa paksaan. (7)
Pneuperitoneum dan posisi trendelenberg akan mengakibatkan perpindahan diafragma
menjadi ke atas (cephalad shift) akan lebih jauh menurunkan FRC. Hal ini akan
menyebabkan ventilation perfusion mismatch (V/Q mismatch), potensial hipoksemia,
dan hipercarbia. Ada peningkatan resistensi jalur napas dan pengurangan compliance
yang berpotensi meningkatkan resiko barotrauma dengan Positive Pressure
Ventilation (PPV).
2.2.2.4 Renal
Peningkatan Intra abdominal pressure akan menurunkan fungsi ginjal dan urin output
dikarenakan meningkatnya resistensi vaskular ginjal dan menurunnya GFR. Hal ini
disebabkan oleh penurunan kardiak output.
2.2.2.5 Gastrointestinal
Peningkatan IAP dapat menyebabkan regurgitasi dari isi lambung dan dapat
meningkatkan resiko aspirasi pulmoner. Hal ini sangat signifikan pada pasien
obesitas.
2.2.2.6. Perubahan pada sirkulasi splanchnic
Karena adanya peningkatan tekanan, maka akan mengurangi sirkulasi pada aliran
darah pada sirkulasi makro dan mikro. Tanda-tanda kerusakan pada hepatotoksik
akan ditandai dengan peningkatan SGPT dan SGOT. Peningkatan IAP sebesar 10-15
mmHg akan mengurangi aliran darah sebesar 40-54% untuk gaster, 32% aliran darah
jejenum, 44% aliran darah colon, 39% aliran darah liver, dan 60% aliran darah
peritoneum.(11,12)
7
2.2.3 Posisi Pasien
Lokasi dimana insisi dilakukan pada tubuh pasien akan menentukan posisi pasien
saat laparoskopi. Posisi kepala lebih rendah dari kaki digunakan untuk prosedur pelvis
dan inframesokolik seperti kistektomi ovarium dan appendektomi. Sedangkan posisi
reverse Trendelenberg digunakan pada posisi supra mesokolik seperti kolesistektomi.
Posisi ini dapat berpengaruh terhadap perubahan hemodinamik yang dikaitkan dengan
prosedur laparoskopi. Posisi Trendelenberg dapat mengakibatkan beberapa perubahan
dalam kardiovaskular yang dipengaruhi oleh multifaktorial yaitu derajat turunnya
kepala pasien, usia pasien, status volume intravaskular, gangguan jantung yang
dimiliki pasien, teknik ventilasi dan teknik anestesia yang dilakukan. Pada orang sehat
hal ini akan mengakibatkan aliran balik vena dan curah jantung meningkat dan
dikompensasi dengan penurunan laju jantung dan vasodilatasi. Sedangkan pada pasien
dengan Coronary Artery Disease(CAD) peningkatan volume darah sentral dapat
meningkatkan kebutuhan O2 otot jantung seiring dengan meningkatnya volume
ventrikel. Sedangkan pada posisi reverse trendelenberg dapat menyebabkan
menurunnya aliran balik vena yang bermanifestasi sebagai penurunan MAP dan curah
jantung. Perubahan ini dapat berbahaya yaitu mengurangi lagi curah jantung yang
sudah berkurang dan mengakibatkan penurunan perfusi ke organ-organ tubuh secara
bermakna. Pada posisi lateral decubitus efeknya minimal terhadap hemodinamika,
kecuali lateral dekubitus kanan yang mengobstruksi aliran vena kava dan
menyebabkan penurunan aliran balik vena.
2.3TabelKomplikasi
1. Perubahan fisiologis yang terjadi pada posisi Trendelenberg dan Reverse Trendelenberg
2.3 Komplikasi
2.3.1 Komplikasi kardiovaskular
Pasien dengan gangguan jantung ringan sampai berat akan terjadi perubahan
MAP, dan tahanan vaskular sistemik (SVR) secara bermakna. Peregangan
8
peritoneum yang mendadak dapat mengakibatkan refleks vagal yang
mengakibatkan terjadinya bradikardia, aritmia, dan asistol. Keadaan ini dapat
diatasi dengan mudah dan baik dengan menghentikan insuflasi, pemberian
atropin, dan memperdalam anestesia setelah denyut jantung kembali normal.
Pemberian insuflasi udara dapat diberikan lebih perlahan dengan tetap
memperhatikan tanda – tanda vital pasien.(13)
Intoleransi terhadap perubahan hemodinamik di awal insuflasi
terutama pada pasien dengan riwayat gangguan jantung, sebagai efeknya
adalah kejadian aritmia.
9
emboli adalah mendeteksi adanya emboli gas di jantung kanan dan/atau dari
klinis pasien. Pada keadaan awal (emboli gas volume 0,5 mL/kg gas atau
kurang), terjadi perubahan suara doppler dan tekanan arteri pulmonalis.
Ukuran emboli yang meningkat menjadi >2mL/kg gas, dapat terjadi
takikardia, aritmia, hipotensi, meningkatnya CVP, bunyi jantung tambahan
(millwheel murmur), sianosis, dan perubahan EKG sebagai akibat dari beban
jantung kanan yang berlebih. Kapnometri dan kapnografi berguna untuk
mendeteksi emboli gas secara dini dan menggambarkan tingkat keparahan dari
emboli. Penatalaksanaan emboli CO2 adalah dengan penghentian insuflasi
segera. Pasien diletakkan dalam posisi Durant(Trendelenburg dan left lateral
decubitus). Posisi ini akan mengurangi jumlah gas yang masuk ke sirkulasi
pulmonal. Penghentian N20 dan pemberian O2 100% dapat memperbaiki
hipoksemia dan mengecilkan ukuran gas emboli beserta komplikasinya.
Hiperventilasi dilakukan untuk empercepat ekskresi CO2. Apabila tindakan ini
tidak berhasil, pemasangan CVP atau kateter arteri pulmonalis dapat dilakukan
untuk mengaspirasi gas. Pemijatan jantung eksternal dapat membantu
memecah-mecah emboli gelembung besar menjadi gelembung kecil .
Gelembung CO2 akan diabsorpsi karena kelarutan CO2 di dalam darah yang
tinggi. Hal ini merupakan mekanisme dari perbaikan kondisi pasien yang
cepat pada pasien yang segera mendapat pertolongan.
Tatalaksana anestesia yang baik dimulai dari evaluasi pra operatif hingga post
operatif akan membuat jalannya operasi menjadi lebih lancar dan dengan hasil yang
lebih baik. Status kesehatan pasien secara umum harus di evaluasi. Anamnesa dan
10
pemeriksaan fisik wajib dilakukan. Pasien dengan penyakit kardiorespirasi
membutuhkan investigasi tambahan. Untuk membantu mengenali resiko maka The
American Society of Anesthesiologists (ASA) membuat klasifikasi untuk pasien
untuk mengkategorikan pasien berdasarkan tingkat kesehatannya. Pada persiapan
preoperasi, tidak ada perbedaan antara pasien yang akan menjalani open surgery
maupun bedah laparoskopi.
Evaluasi pra operatif bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi akut yang sedang
berlangsung atau kondisi kronik yang dapat menjadi masalah untuk anestesia.
Kondisi yang perlu mendapat perhatian adalah pasien-pasien dengan peningkatan
intrakranial atau intraokular, pasien dengan masalah jantung, ginjal, dan pernapasan.
Pada pasien dengan peningkatan intrakranial, pneumoperitoneum dapat menjadi
kondisi yang berbahaya. Bedah laparoskopik dapat dilakukan dengan aman pada
pasien dengan VP shunt atau peritoneojugular shunt. Selama laparoskopi, pasien
dengan gagal jantung kongestif berat dan insufisiensi katup jantung memiliki resiko
mendapatkan komplikasi jantung yang lebih besar dibanding dengan pasien yang
memiliki riwayat penyakit jantung iskemik. Pada pasien dengan gagal ginjal, perlu
dilakukan optimalisasi kondisi hemodinamik pasien tersebut selama
pneumoperitoneum. (2)
11
Medikasi prabedah perlu diberikan NSAID agar menurunkan nyeri pasca bedah dan
kebutuhan opioid. Sedangkan pada keadaan tertentu, dapat diberikan profilaksis
gastrointestinal seperti antasida oral dan antagonis H2. Selain itu, karena adanya resiko
stasis vena di kaki sewaktu laparoskopi , perlu diberikan profilaksis seperti fraksi
heparin. (2)
12
kendali harus diatur sedemikian rupa agar PETCO2 dapat tetap berada dalam 35-40
mmHg. Selama laparoskopi berlangsung IAP harus dimonitor dan dipertahankan
serendah mungkin untuk mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi. Studi
terkini merekomendasikan IAP dibawah atau sama dengan 12 mmHg. Untuk
mempertahankan status eukapnia, volum ventilasi permenit harus meningkat 15-25%
. Penggunaan positive end respiratory pressure (PEEP) dapat memperbaiki
pertukaran gas di paru-paru dan mempertahankan oksigenasiarterial selama prosedur
yang lama. Namun kombinasi PEEP dan peningkatan IAP dapat meningkatkan
tekanan intratorakal sehingga mengurangi kardiak output. Oleh karenanya,
penggunaan PEEP yang tinggi harus dihindari pada pasien dengan gangguan jantung
atau hemodinamik yang tidak stabil.
Pemberian cairan intravena perioperatif secara umum dapat menurunkan
kemungkinan perubahan hemodinamik akibat pneumoperitoneum, PONV (Post
operative nausea and vomiting) dan memperbaiki pemulihan pasca bedah. Atropin
harus tersedia karena peningkatan refleks vagal saat laparoskopi. Infus obat
vasodilator seperti nikardipin, agonis reseptor alpha-2 adrenergik dan remifentanil
dapat menurunkan gangguan hemodinamik akibat pneumoperitoneum dan
mempermudah penatalaksanaan pasien dengan riwayat jantung. Kombinasi
pemberian anestetik lokal yang di infiltrasi ke daerah luka, NSAID dan paracetamol,
atau ditambah dengan opiat dosis rendah dapat membantu meminimalisir rasa
sakit.(2,18) PONV di observasi dalam 4 jam pertama dilanjutkan hingga 24 jam. (19)
13
hipoventilasi dan desaturasi O2 arteri. Oleh karena hal tersebut maka laparoskopi
yang kompleks tidak boleh ditatalaksana dengan anestesia regional. Teknik anestesia
regional dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu blok syaraf perifer, blok
neuroaksial, dan infiltrasi anestetik lokal. Blok syaraf perifer terdiri atas blok rectus
sheath, blok rectus sheath dan mesosalfing, blok inguinal, blok kavum douglasi, dan
blok paravertebra. Blok neuro aksial terdiri dari teknik epidural, spinal, kombinasi
epidural spinal dan blok epidural kaudal. Teknik spinal dan epidural bila di
kombinasikan dengan posisi Trendelenberg dapat digunakan untuk laparoskopi
ginekologik tanpa menyebabkan gangguan ventilasi yang bermakna. Infiltrasi
anestetika lokal digunakan pada teknologi serat optik yang hanya membutuhkan
akses sangat kecil yaitu 1,2-2,2 mm (mikrolaparoskopi). Sebuah studi yang diadakan
oleh Mehta dan kolega menunjukkan bahwa anestesi spinal adekuar dan aman untuk
bedah laparoskopik pada pasien sehat dan memberikan hasil pain control yang lebih
baik setelah post operasi. Sedangkan anestesi thoracic epidural dengan 0,75
ropivacaine dan fentanyl juga efektif meskipun kejadian referred pain pada saat
intraoperatif tinggi. (21-24)
14
2.5.3 Pemulihan dan pemantauan pascabedah
Saat pasien kembali ke PACU (Post Anesthesia Care Unit) pemantauan
hemodinamika harus tetap dilakukan.perubahan hemodinamik yang disebabkan oleh
pneumoperitonium , terutama peningkatan tahanan vaskular sistemik, tetap ada
setelah pneumoperitoneum dihentikan. Keadaan hiperdinamik pada pasien dengan
riwayat gangguan jantung setelah laparoskopi harus diwaspadai.
Selama awal periode pasca bedah, laju respirasi dan ETCO2 pasien yang
bernapas spontan lebih tinggi setelah laparoskopi dibandingkan dengan operasi
terbuka. Tambahan CO2 dapat menyebabkan hiperkapnia meskipun pada periode
pasca bedah. Pasien dengan penyakit paru akan mempunyai maslaah dalam
mengekskreskikan CO2 , yang kemudian akan memperparah hiperkapnia yang akan
berakhir dengan gagal nafas. Pemberian O2 tetap harus diberikan pasca bedah pada
pasien sehat maupun tidak meskipun laparoskopi dianggap sebagai prosedur bedah
minor. Penatalaksanaan nyeri dan PONV pasca bedah harus dilakukan. Anti nyeri
yang dapat digunakan antara lain NSAID , opioid, anti kolinergik, tramadol,
asetaminofen, dam alpha 2 agonist. Antiemetik yang dapat dilakukan adalah
antagonis 5 HT(ondansetron, dolasetron, dan granisetron). Deksametasone dosis
tunggal dapat mengurangi PONV dalam 24 jam pertama setelah laparoskopi untuk
sterilisasi dan mengurangi kebutuhan untuk menggunakan antiemetik lain.Parris and
Lee menyatakan bahwa pemberian NSAID ketorolac (60 mg IM setelah induksi),
pemberian metoclopramide intraopertative (10-20 mg IV) dapat mengurangi
PONV.(2,25)
15
BAB III
KESIMPULAN
Laparoskopi adalah metode bedah yang semakin popular saat ini sebagai
minimally invasive surgery karena irisan-irisan yang di lakukan tidak lebih dari 1,25 cm
dan dihubungkan dengan banyak kelebihan dibandingkan dengan open surgery , antara
lain karena trauma pembedahan yang minimal dan fase penyembuhan yang lebih cepat
serta mengurangi kemungkinan untuk terjadinya infeksi. Bedah laparoskopik dapat
dilakukan pada penegakan diagnosis nyeri panggul, kolesistektomi, nefrektomi pada
malformasi arteriovena renal besar, prostatektomi radikal, pankreotomi distal, reseksi
hepar, kanker kolorektal, mengangkat kehamilan ektopik, mengangkat usus buntu yang
telah meradang, gastrectomy and small bowel procedures, appendectomy, pseudokista
pada pankreas, prosedur bypass, adrenalectomy, enukleasi tumor jinak pankreas, hernia
inguinal, nefrektomi, dan histerektomi. Inspeksi bagian dalam rongga perut dengan
menggunakan endoskop melalui akses yang minimal dimana dalam proses bedah
laparoskopik akan dilakukan insuflasi rongga peritoneum dengan gas CO2, agar
didapatkan lapang pandang yang lebih baik dan membuat rongga atau space untuk
operasi tersebut. Bedah laparoskopik melibatkan insuflasi gas ke dalam kavitas
peritoneal menyebabkan peritoneum. Hal ini menyebabkan meningkatnya Intra-
abdominal Pressure(IAP). Komplikasi terbanyak bedah laparoskopik berhubungan
dengan digunakannya gas CO2 untuk insuflasi gas maupun perubahan fisiologik tak
langsung akibat masuknya gas CO2 ke dalam sirkulasi. Studi menunjukkan adanya
meningkatan PaCO2 sebesar 10% dan ETCO2 mengalami peningkatan sebesar 14%.
Efek dari pneumoperitoneum buatan yang dapat meningkatkan IAP (Intra Abdominal
Pressure) akan mempengaruhi kardiovaskuler, respirasi, neurologi, renal, gastro
intestinal dan sirkulasi splanchnic. Posisi pasien saat operasi juga dapat memberikan
komplikasi dari aspek kardiovaskular, respirasi, dan endobronkial. Komplikasi lain dapat
berupa emboli gas dan aspirasi isi lambung.
16
mengidentifikasi kondisi akut yang sedang berlangsung atau kondisi kronik yang dapat
menjadi masalah untuk anestesia. Kondisi yang perlu mendapat perhatian adalah pasien-
pasien dengan peningkatan intrakranial atau intraokular, pasien dengan masalah jantung,
ginjal, dan pernapasan. Pada pasien dengan peningkatan intrakranial, pneumoperitoneum
dapat menjadi kondisi yang berbahaya.
17
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Frequently Asked Question : Special Procedures. The American Obstetrician and
Gynecologists. 2015;FAQ061:1-3.
2. Nugroho, Alfan Mahdi. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Universitas Indonesia;
2012.
3. Short-term endpoints of conventional versus laparoscopic-assisted surgery in patients
with colorectal cancer (MRC CLASICC trial): multicentre, randomised controlled
trial. The Lancet [Internet]. 2005 [cited 20 August 2016];365(9472).
4. Manual of Laparoscopic Surgery. Minimal Invasive Surgical Centre. 2004;1:40-48.
5. Laparoscopic Abdominal Surgery. Oxford Journal. 2015;4(4):107-110.
6. Wright D, Serpell M, Baxter J, O’Dwyer P. Extraperitoneal Carbon Dioxide
Insufflation. Anesthesia & Analgesia. 2007;83(1):193.
7. Kapasitas Residu Fungsional. Klik paru [Internet]. Klikparu.com. 2016 [cited 20
August 2016]. Available from: http://www.klikparu.com/2013/08/kapasitas-residu-
fungsional.html
8. Hekmatpanah J. Cerebral Circulation and Perfusion in Experimental Increased
Intracranial Pressure. Journal of Neurosurgery. 2005;32(1):21-29.
9. Carbon dioxide pneumoperitoneum, physiologic changes and anesthetic concerns.
Ambulatory Surgery. 2010;16(2):41-46.
10. Demiroluk S, Salihoglu Z, Zengin K, et al. The effects of pneumoperitoneum on
respiratory mechanics during bariatric surgery. Obes Surg. 2002;12:376–379.
11. Knolmayer TJ, Bowyer MW, Egan JC, Asbun HJ: The effects of pneumoperitoneum
on gastric blood flow and traditional hemodynamic measurements. Surg Endosc
1998;12:115–118.
12. Schilling MK, Redaelli C, Krahenbuhl L, Signer C, Buchler MW: Splanchnic
microcirculatory changes during CO2 laparoscopy. J Am Coll Surg1997; 184: 378–
382
13. Jung K, Kim S, Kim J, So K. Bradycardia during laparoscopic surgery due to high
flow rate of CO 2 insufflation. Korean Journal of Anesthesiology. 2013;65(3):276.
14. Cunningham A. Laparoscopic surgery?anesthetic implications. Surgical Endoscopy.
1994;8(11).
15. Brown,D.R.,Fishbume,J.I.,Roberson,V.O.,andHulka,J.F.Ventilatory and blood gas
changes during laparoscopy with local anesthesia. Am.J.Obstet. Gynecol.2008;
124:741-745.
16. Marco, A., Yeo. C., Rock. P., Anesthesia for a Patient Undergoing Laparoscopic
Cholecystectomy. Anesthesiology. 2003;73(6):1268-1269.
17. Cunningham,A.J.Acid aspiration: Mendelson's syndrome.Ann.Royal Coll.
Phys.Surg.Can. 2008; 20:335-340.
18
18. Amornyotin S. Anesthetic Management for Laparoscopic Cholecystectomy. Endoscopy.
2013;.
19. Erk G. Anesthesia for laparoscopic cholecystectomy: comparative evaluation--
desflurane/sevoflurane vs. propofol. Middle East J Anaesthesiol. 2007;19(3):551-62.
20. DrugBank: Sevoflurane [Internet]. Drugbank.ca. 2016 [cited 20 August 2016].
Available from: http://www.drugbank.ca/drugs/DB01236
21. Mehta PJ, Chavda HR, Wadhwana AP, Porecha MM. Comparative analysis of spinal
versus general anesthesia for laparoscopic cholecystectomy: a controlled, prospective,
randomized trial. Anesthesia: Essays and Researches 2010; 4(2): 91-95.
22. Tzovaras G, Fafoulakis F, Pratsas K, et al. Spinal vs general anesthesia for
laparoscopic cholecystectomy: an interim analysis of a controlled randomized trial.
Archives of Surgery 2008; 143(5): 497-501.
23. Gupta A, Gupta K, Gupta PK, Agarwal N, Rastogi B. Efficacy of thoracic epidural
anesthesia for laparoscopic cholecystectomy. Anesthesia: Essays and Researches
2011; 5(2): 138-141.
24. Lee JH, Huh J, Kim DK, et al. Laparoscopic cholecystectomy under epidural
anesthesia: a clinical feasibility study. Korean Journal of Anesthesiology 2010; 59(6):
383-388.
25. Parris W. Lee E. Anaesthesia for laparoscopic cholecystectomy. Anaesthesia.
2006;46(11):997-997.
19