Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

ANESTESIA PADA BEDAH LAPAROSKOPIK

Pembimbing:

dr. Rosalia Andri Dahliasari, Sp.An. KIC

disusun oleh:

Theodora Sukarno – 07120120029

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE AGUSTUS – SEPTEMBER 2016

1
Bab I

Pendahuluan
Bedah laparoskopik sudah berkembang sangat pesat beberapa tahun terakhir, terutama
dikarenakan kemajuan dalam bidang ilmu anestetik dan teknik operasi. Bedah laparoskopik
diidentikkan dengan minimally invasive procedure dan keuntungan dari laparoskopik antara
lain mengurangi trauma operasi, berkurangnya nyeri pasca bedah, waktu rawat yang singkat
yang memungkinkan cepatnya pasien dapat kembali melakukan aktivitas rutin sehari-hari.

Tetapi, bedah laparoskopik tetap dikaitkan dengan beberapa resiko, seperti contohnya
emboli gas, adanya potensi perdarahan yang sulit dikendalikan, dan peningkatan tekanan
karbondioksida dalam arteri dan perubahan tekanan dalam pembuluh darah arteri, dan nadi.
Selain itu, perubahan dalam pernapasan dan hemodinamika berkaitan dengan bedah
laparoskopik disebabkan oleh tingginya tekanan dalam abdomen akibat pneumoperitoneum
yang sengaja dibuat untuk memudahkan jalannya operasi. Akibat langsung dari
pneumoperitoneum adalah menurunnya volume darah yang kembali dari vena karena terjadi
penekanan pada pembuluh vena kava inferior serta tingginya resistensi dalam pembuluh
darah arteri akibat aorta abdominalis yang tertekan. Selain itu, penekanan pada diafragma
akan memberikan perubahan dalam pernapasan.

Anestesia dalam prosedur laparoskopik menjadi lebih kompleks dikarenakan adanya


perubahan fisiologis saat bedah dilakukan karena posisi dan pneumoperitoneum buatan.
Bedah ini dikategorikan sebagai bedah yang berpotensi beresiko tinggi karena durasi
prosedur yang panjang, adanya resiko cidera organ dan sulitnya estimasi ketika perdarahan
terjadi. Ahli anestesi harus memiliki pengertian dalam mengenai konsekuensi yang
dikarenakan pneumoperitoneum, dipersiapkan untuk mendeteksi dan mencegah alterasi yang
mungkin terjadi.

Pada karya tulis ini, penulis berusaha memaparkan prosedur dari bedah laparoskopik,
perubahan yang disebabkan oleh prosedur bedah, serta penanganan anestesi seperti observasi
pre operasi, pemberian obat-obatan anestesi premedikasi dan induksi, pemantauan
intraoperasi, dan pemantauan dan pemulihan pasca bedah.

2
BAB II

Pembahasan
2.1 Definisi Bedah Laparoskopik

Laparoskopik adalah salah satu jenis teknik bedah. Pada open surgery irisan
akan dibuat sepanjang beberapa sentimeter pada abdomen. Tetapi laparoscopy adalah
teknik bedah yang menggunakan irisan kecil yang panjangnya tidak lebih dari 1,25 cm.
Sehingga, laparoskopik merupakan bedah yang minimally invasive. Bedah laparoskopik
menggunakan instrumen yang disebut juga laparoskop. Laparoskop merupakan alat
berbentuk panjang dan ramping yang akan di insersi kedalam abdomen melalui irisan
kecil. Jika kemudian dalam berjalannya operasi dibutuhkan instrumen tambahan maka
akan diinsersi lagi alat tambahan melalui irisan lain atau irisan yang sama, disebut juga
laparoskopi “single site”. Contoh penerapan nya adalah pada cabang ilmu kebidanan dan
kandungan, laparoskop digunakan untuk melihat organ pelvis dan abdomen pada layar
elektronik. Manfaat bedah laparoskopik sudah terkenal karena mengurangi rasa sakit
akibat kecilnya luka operasi. Masa penyembuhan pada operasi laparoskopik juga lebih
cepat, insisi yang lebih kecil mengurangi kemugkinan untuk terjadinya infeksi, waktu
rawat yang singkat sehingga pasien dapat cepat kembali melakukan aktivitas sehari-hari
.
Bedah laparoskopik dapat dilakukan pada penegakan diagnosis nyeri panggul,
kolesistektomi, nefrektomi pada malformasi arteriovena renal besar, prostatektomi
radikal, pankreotomi distal, reseksi hepar, kanker kolorektal, mengangkat kehamilan
ektopik, mengangkat usus buntu yang telah meradang, gastrectomy and small bowel
procedures, appendectomy, pseudokista pada pankreas, prosedur bypass, adrenalectomy,
enukleasi tumor jinak pankreas, hernia inguinal, nefrektomi, dan histerektomi. (1,2,3)

Bedah laparoskopi yang dilakukan akan membutuhkan tiga komponen utama


untuk menampilkan gambar yang baik saat operasi, yaitu sumber cahaya, laparoskop,
dan kamera. Inspeksi bagian dalam rongga perut dengan menggunakan endoskop melalui
akses yang minimal dimana dalam proses bedah laparoskopik akan dilakukan insuflasi
rongga peritoneum dengan gas CO2, agar didapatkan lapang pandang yang lebih baik dan
membuat rongga atau space untuk operasi tersebut. Bedah laparoskopik melibatkan
insuflasi gas ke dalam kavitas peritoneal menyebabkan peritoneum. Hal ini
menyebabkan meningkatnya Intra-abdominal Pressure(IAP). Karbondioksida dialirkan
ke dalam kavitas peritoneal dengan kecepatan 4-6 liter per menit dan dengan tekanan 10-

3
20 mmHg. Pneumoperitoneum akan dipertahankan dnegan aliran gas konstan sebesar
200-400 mL per menit. Dengan kombinasi ini, operator dapat menegakkan diagnosis dan
berbagai tindakan terapeutik.(4,5) Terdapat dua jenis dari insuflasi gas, yang pertama
adalah ekstraperitoneal dan yang kedua adalah intraperitoneal. Tetapi, pada insuflasi
ekstraperitoneal, penyerapan gas CO2 lebih cepat terjadi sehingga insuflasi gas
intraperitoneal lebih banyak dipakai.(6)

Insuflasi rongga peritoneum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut,


absorpsi peritoneal minimal, jika terabsorpsi efek sistemik yang timbul minimal, jika
terabsorpsi ekskresi gas cepat terjadi, tidak mudah terbakar, efek minimal jika terjadi
embolisasi intravaskular, kelarutan yang tinggi dalam darah. Gas yang dapat digunakan
untuk insuflasi adalah CO2, helium, nitrogen. Karbondioksida hampir memenuhi
persyaratan ideal gas insuflasi dan karenannya paling sering digunakan. Kelarutan CO2
paling baik dalam darah dan residu CO2 dapat dieliminasi secara cepat. Oleh karena sifat
ini, pasien relatif cepat kembali keadaan normal bila terjadi emboli CO2. Dosis letal dari
emboli CO2 adalah kira-kira 5 kali emboli udara.

2.2 Perubahan Fisiologik Selama Laparoskopi

Konsekuensi fisiologis dari laparoskopi berkaitan dengan insuflasi rongga


abdomen yang akan mengakibatkan pneumoperitoneum, absorpsi gas CO2 dan posisi
pasien saat operasi.

2.2.1 Efek Absorpsi Gas CO2


Gas CO2 yang berdifusi di dalam darah lebih banyak saat insuflasi ekstraperitoneal
dibanding intraperitoneal tanpa dipengaruhi durasi insuflasi intraperitoneal. Insuflasi
ekstraperitoneal CO2 meningkatkan PaCO2 (tekanan CO2 dalam arteri) pada periode
postoperatif. Didalam intraperitoneal, CO2 dipengaruhi oleh peningkatan tekanan
intraperitoneal diatas tekanan vena, sehingga mencegah resorpsi CO2 dan kemudian
menyebabkan hiperkapnia. Hiperkapnia menyebabkan ventilasi permenit sebanyak
60% dari end tidal CO2 dan meningkatkan sistem syaraf simpatis sehingga
meningkatkan tekanan darah, laju jantung kontraktilitas miokardial, dan menyebabkan
aritmia.
Karbondioksida memiliki sifat sangat mudah larut dalam darah menyebabkan
hiperkapnia dan acidosis. PaCO2 (Tekanan parsial karbondioksida dalam arteri) dan
ETCO2 (Volume End Tidal dari karbondioksida) meningkat dalam bedah

4
laparoskopik. Sebuah studi dilakukan untuk membandingkan bedah terbuka (open
surgery) dengan bedah laparoskopik. Studi tersebut menunjukkan adanya
meningkatan PaCO2 sebesar 10% dan ETCO2 mengalami peningkatan sebesar 14%.
Dengan perubahan lebih nyata pada pasien dengan nilai ASA III dan IV (10)

Sebagian besar karbondioksida di ekskresikan oleh paru-paru bergantung pada


cardiac output dan ventilasi alveolar. Normalnya ekskresi CO2 adalah 100-200
mL/min dan meningkat 14-48 mL/min ketika karbondioksida di tambahkan secara
intraperitoneal. Setelah bedah laparoskopi yang panjang, untuk mencapai nilai
karbondioksida dapat memakan waktu berjam-jam setelah desuflasi.(9)

Efek pada kardiovaskular disebabkan karena hiperkarbia yang diikuti dengan


asidosis dan peningkatan tekanan intraabdominal. Harus dipastikan pasien dalam
kondisi volume darah dan cairan yang cukup karena nantinya akan ada penurunan
preload akibat dari pneumoperitoneum. Peningkatan kadar karbondioksida dalam
darah menyebabkan peningkatan nadi dan mean arterial pressure. Bila ditambahkan
dengan pemberian PEEP (Positive end expiratory pressure) maka penurunan kardiak
output yang signifikan. Perubahan juga terjadi pada ginjal. Oliguria merupakan efek
yang paling sering terjadi karena penekanan pada parenkim ginjal dan pembuluh
darah pada ginjal yang disebabkan karena peritoneum. Tekanan intra abdomen
sebesar 20 mmHg mengurangi aliran darah ginjal secara signifikan dan teraktivasinya
Renin-Angiotensin-Aldosterone system kemudian memperparah penurunan aliran
darah ginjal.

2.2.2 Efek Pneumoperitoneum


Keadaan pneumoperitoneum menyebabkan peningkatan intra abdomen
(Intraabdominal pressure/IAP) yang kemudian mempunyai efek pada kardiovaskuler,
respirasi, dan neurologi.

2.2.2.1 Kardiovaskular
Efek mekanik dari pneumoperitoneum akan mempengaruhi hemodinamika secara
umum dan regional. Peningkatan IAP akibat pneumoperitoneum pada awalnya
mengakibatkan penekanan pada vena sehingga meningkatkan preload dan kemudian
diikuti oleh penurunan preload yang menetap akibat penekanan pada vena kava

5
inferior, penurunan venous return sehingga akan diikuti dengan penurunan Cardiac
Output. Sedangkan kompresi pembuluh darah arteri akan meningkatkan afterload dan
juga mengakibatkan peningkatan SVR (Stroke Volume Resistance). SVR juga akan
meningkat akibat dari terlepasnya katekolamin dalam sirkulasi terutama epinefrin dan
norepinefrin. Katekolamin dilepaskan karena adanya stimulasi sistem saraf simpatis
akibat hiperkapnia dan pneumoperitoneum. Sementara vasopressin diproduksi seiring
dengan aktifnya sistem RAA (Renin-Angiotensin-Aldosteron). Peningkatan SVR
biasanya lebih besar dari pada reduksi kardiak output sehingga dapat
mempertahankan tekanan darah atau malah meningkatkan tekanan darah. Peningkatan
SVR, tekanan darah sistolik dan diastolik dan takikardi akan mengakibatkan beban
kerja dari jantung yang lebih besar.
Secara regional, peningkatan tekanan IAP (Intra Abdominal Pressure) akan
menyebabkan berkurangnya aliran darah vena femoralis tanpa diikuti adaptasi tubuh
terhadap menurunnya aliran darah vena femoralis sehingga terjadi statis vena. Pada
ginjal akan mengalami penurunan 50% dari urine output aliran plasma ginjal dan
GFR. Kecepatan aliran darah otak akan meningkat dengan pneumoperitoneum CO2
sebagai respon dari meningkatnya PCO2 . Respon fisiologis kardiovaskuler yang
utama adalah terjadinya peningkatan tahanan vaskular sistemik (Systemic Vascular
Resistance/ SVR) , tekanan darah arteri rata-rata (Mean Arterial Pressure/MAP) , dan
tekanan pengisian miokardium (miokardial filling pressure), disertai dengan
penurunan cardiac index (CI) pada awal-awal laparoskopik dan perubahan laju
jantung yang minimal.
Perubahan kardiovaskular juga bergantung pada volume CO2 yang diabsorpsi, volume
intravaskular pasien, teknik ventilasi, kondisi operasi dan obat-obatan anestesi yang
digunakan.

2.2.2.2. Respirasi
Peningkatan IAP dan efek volume yang dihasilkan pneumoperitoneum dapat
menyebabkan naiknya diafragma. Menurunnya kapasitas paru, meningkatnya tekanan
jalan nafas dan menurunnya komplians paru sampai 35-40%. Pada pasien sehat hal ini
tidak berpengaruh tetapi akan mengakibatkan gangguan fungsi paru pada pasien obese
atau pasien yang memiliki penyakit paru sebelumnya. Posisi supine dan anestesi
umum akan menurunkan Functional Residual Capacity (FRC). FRC adalah volume

6
gas yang tersisa dalam paru pada saat akhir ekspirasi normal tanpa paksaan. (7)
Pneuperitoneum dan posisi trendelenberg akan mengakibatkan perpindahan diafragma
menjadi ke atas (cephalad shift) akan lebih jauh menurunkan FRC. Hal ini akan
menyebabkan ventilation perfusion mismatch (V/Q mismatch), potensial hipoksemia,
dan hipercarbia. Ada peningkatan resistensi jalur napas dan pengurangan compliance
yang berpotensi meningkatkan resiko barotrauma dengan Positive Pressure
Ventilation (PPV).

2.2.2.3 Neurologi dan Neurohormonal


Peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi bersamaan dengan menurunnya tekanan
perfusi serebral ditemukan ketika terjadinya hiperkapnia, peningkatan SVR, posisi
kepala dibawah dan peningkatan IAP. Oleh karenanya, tidak dianjurkan untuk
melakukan laparoskopi pada pasien dengan penurunan komplians interkranial.
Peningkatan tekanan intrakranial dapat menyebabkan iskemia dari sel syaraf pusat. (8)

2.2.2.4 Renal

Peningkatan Intra abdominal pressure akan menurunkan fungsi ginjal dan urin output
dikarenakan meningkatnya resistensi vaskular ginjal dan menurunnya GFR. Hal ini
disebabkan oleh penurunan kardiak output.

2.2.2.5 Gastrointestinal
Peningkatan IAP dapat menyebabkan regurgitasi dari isi lambung dan dapat
meningkatkan resiko aspirasi pulmoner. Hal ini sangat signifikan pada pasien
obesitas.
2.2.2.6. Perubahan pada sirkulasi splanchnic
Karena adanya peningkatan tekanan, maka akan mengurangi sirkulasi pada aliran
darah pada sirkulasi makro dan mikro. Tanda-tanda kerusakan pada hepatotoksik
akan ditandai dengan peningkatan SGPT dan SGOT. Peningkatan IAP sebesar 10-15
mmHg akan mengurangi aliran darah sebesar 40-54% untuk gaster, 32% aliran darah
jejenum, 44% aliran darah colon, 39% aliran darah liver, dan 60% aliran darah
peritoneum.(11,12)

7
2.2.3 Posisi Pasien
Lokasi dimana insisi dilakukan pada tubuh pasien akan menentukan posisi pasien
saat laparoskopi. Posisi kepala lebih rendah dari kaki digunakan untuk prosedur pelvis
dan inframesokolik seperti kistektomi ovarium dan appendektomi. Sedangkan posisi
reverse Trendelenberg digunakan pada posisi supra mesokolik seperti kolesistektomi.
Posisi ini dapat berpengaruh terhadap perubahan hemodinamik yang dikaitkan dengan
prosedur laparoskopi. Posisi Trendelenberg dapat mengakibatkan beberapa perubahan
dalam kardiovaskular yang dipengaruhi oleh multifaktorial yaitu derajat turunnya
kepala pasien, usia pasien, status volume intravaskular, gangguan jantung yang
dimiliki pasien, teknik ventilasi dan teknik anestesia yang dilakukan. Pada orang sehat
hal ini akan mengakibatkan aliran balik vena dan curah jantung meningkat dan
dikompensasi dengan penurunan laju jantung dan vasodilatasi. Sedangkan pada pasien
dengan Coronary Artery Disease(CAD) peningkatan volume darah sentral dapat
meningkatkan kebutuhan O2 otot jantung seiring dengan meningkatnya volume
ventrikel. Sedangkan pada posisi reverse trendelenberg dapat menyebabkan
menurunnya aliran balik vena yang bermanifestasi sebagai penurunan MAP dan curah
jantung. Perubahan ini dapat berbahaya yaitu mengurangi lagi curah jantung yang
sudah berkurang dan mengakibatkan penurunan perfusi ke organ-organ tubuh secara
bermakna. Pada posisi lateral decubitus efeknya minimal terhadap hemodinamika,
kecuali lateral dekubitus kanan yang mengobstruksi aliran vena kava dan
menyebabkan penurunan aliran balik vena.

2.3TabelKomplikasi
1. Perubahan fisiologis yang terjadi pada posisi Trendelenberg dan Reverse Trendelenberg

2.3 Komplikasi
2.3.1 Komplikasi kardiovaskular
Pasien dengan gangguan jantung ringan sampai berat akan terjadi perubahan
MAP, dan tahanan vaskular sistemik (SVR) secara bermakna. Peregangan

8
peritoneum yang mendadak dapat mengakibatkan refleks vagal yang
mengakibatkan terjadinya bradikardia, aritmia, dan asistol. Keadaan ini dapat
diatasi dengan mudah dan baik dengan menghentikan insuflasi, pemberian
atropin, dan memperdalam anestesia setelah denyut jantung kembali normal.
Pemberian insuflasi udara dapat diberikan lebih perlahan dengan tetap
memperhatikan tanda – tanda vital pasien.(13)
Intoleransi terhadap perubahan hemodinamik di awal insuflasi
terutama pada pasien dengan riwayat gangguan jantung, sebagai efeknya
adalah kejadian aritmia.

2.3.2 Komplikasi Respirasi


Peningkatan PaCO2 pada orang sehat diperkirakan akibat dari absorbsi CO2
dari peritoneum dan hal ini dapat diatasi oleh mekanisme ventilasi paru yang
baik. Sementara pada orang dengan gangguan kardiorespirasi, ventilasi yang
terganggu akan meningkatkan PaCO2 . Retensi CO2 akan mengakibatkan
peningkatan laju napas pada pasien post laparoskopi.
Perpindahan gas saat terbentuknya pneumoperitoneum juga daapat
mengakibatkan pneumotoraks unilateral atau bilateral dan
pneumoperikardium. Pneumotoraks dapat terjadi akibat robekan peritoneum
viseral, robekan pleura parietal pada saat melakukan reseksi disekitar esofagus
atau akibat defek kongenital pada diafragma sehingga dapat dilalui gas CO2.

2.3.3 Komplikasi Endobronkial


Penekanan diafragma ke arah atas (cephalad) saat pneumoperitoneum akan
mengakibatkan pergeseran karina ke arah atas. Ditandai dengan penurunan
saturasi O2 . Hal ini dapar mengakibatkan penurunan saturasi O2 pada pulse
oxymetry dan peningkatan tekanan jalan napas.

2.4 Komplikasi Lain


2.4.1 Emboli Gas
Komplikasi emboli gas merupakan komplikasi yang berbahaya pada saat
prosedur laparoskopi. Mortalitas emboli gas adalah 28%. Komplikasi ini
biasanya terjadi pada permulaam insuflasi gas ke peritoneum terutama pada
pasien yang sudah pernah dilakukan operasi abdomen sebelumnya. Diagnosis

9
emboli adalah mendeteksi adanya emboli gas di jantung kanan dan/atau dari
klinis pasien. Pada keadaan awal (emboli gas volume 0,5 mL/kg gas atau
kurang), terjadi perubahan suara doppler dan tekanan arteri pulmonalis.
Ukuran emboli yang meningkat menjadi >2mL/kg gas, dapat terjadi
takikardia, aritmia, hipotensi, meningkatnya CVP, bunyi jantung tambahan
(millwheel murmur), sianosis, dan perubahan EKG sebagai akibat dari beban
jantung kanan yang berlebih. Kapnometri dan kapnografi berguna untuk
mendeteksi emboli gas secara dini dan menggambarkan tingkat keparahan dari
emboli. Penatalaksanaan emboli CO2 adalah dengan penghentian insuflasi
segera. Pasien diletakkan dalam posisi Durant(Trendelenburg dan left lateral
decubitus). Posisi ini akan mengurangi jumlah gas yang masuk ke sirkulasi
pulmonal. Penghentian N20 dan pemberian O2 100% dapat memperbaiki
hipoksemia dan mengecilkan ukuran gas emboli beserta komplikasinya.
Hiperventilasi dilakukan untuk empercepat ekskresi CO2. Apabila tindakan ini
tidak berhasil, pemasangan CVP atau kateter arteri pulmonalis dapat dilakukan
untuk mengaspirasi gas. Pemijatan jantung eksternal dapat membantu
memecah-mecah emboli gelembung besar menjadi gelembung kecil .
Gelembung CO2 akan diabsorpsi karena kelarutan CO2 di dalam darah yang
tinggi. Hal ini merupakan mekanisme dari perbaikan kondisi pasien yang
cepat pada pasien yang segera mendapat pertolongan.

2.4.2 Aspirasi Isi Lambung


Pasien yang menjalani laparoskop memiliki resiko untuk regurgitasi
sehubungan dengan meningkatnya Intra Abdominal Pressure. Namun hal ini
dapat dikompensasi dengan fakta bahwa dalam keadaan pneumoperitoneum,
tonus sfingter esofagus bawah melebihi tekanan dalam lambung resiko
regurgitasi.

2.5 Tatalaksana Anestesia pada Bedah Laparoskopik


2.5.1 Evaluasi Pra operatif

Tatalaksana anestesia yang baik dimulai dari evaluasi pra operatif hingga post
operatif akan membuat jalannya operasi menjadi lebih lancar dan dengan hasil yang
lebih baik. Status kesehatan pasien secara umum harus di evaluasi. Anamnesa dan

10
pemeriksaan fisik wajib dilakukan. Pasien dengan penyakit kardiorespirasi
membutuhkan investigasi tambahan. Untuk membantu mengenali resiko maka The
American Society of Anesthesiologists (ASA) membuat klasifikasi untuk pasien
untuk mengkategorikan pasien berdasarkan tingkat kesehatannya. Pada persiapan
preoperasi, tidak ada perbedaan antara pasien yang akan menjalani open surgery
maupun bedah laparoskopi.
Evaluasi pra operatif bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi akut yang sedang
berlangsung atau kondisi kronik yang dapat menjadi masalah untuk anestesia.
Kondisi yang perlu mendapat perhatian adalah pasien-pasien dengan peningkatan
intrakranial atau intraokular, pasien dengan masalah jantung, ginjal, dan pernapasan.
Pada pasien dengan peningkatan intrakranial, pneumoperitoneum dapat menjadi
kondisi yang berbahaya. Bedah laparoskopik dapat dilakukan dengan aman pada
pasien dengan VP shunt atau peritoneojugular shunt. Selama laparoskopi, pasien
dengan gagal jantung kongestif berat dan insufisiensi katup jantung memiliki resiko
mendapatkan komplikasi jantung yang lebih besar dibanding dengan pasien yang
memiliki riwayat penyakit jantung iskemik. Pada pasien dengan gagal ginjal, perlu
dilakukan optimalisasi kondisi hemodinamik pasien tersebut selama
pneumoperitoneum. (2)

2.5.2 Teknik Anestesia


Anestesia umum dan regional semuanya telah terbukti aman dilakukan pada tindakan
laparoskopi. Pilihan teknik anestesi untuk bedah laparoskopik abdomen bagian atas
lazimnya terbatas hanya dengan pemakaian anestesi umum karena pasien akan merasa
tidak nyaman dengan pneumoperitoneum buatan dan posisi saat dilakukan prosedur.
Ventilasi terkontrol sangat disarankan karena prosedur bedah laparoskopik ini dapat
menyebabkan hiperkarbia termasuk karena depresi ventilasi oleh obat-obatan
anestesia.(14-16) Tekanan tinggi pada intraabdomen saat laparoskopik meningkatkan
resiko untuk regurgitasi isi lambung dan aspirasi paru. Endotracheal Tube yang
digunakan akan mengurangi hal tersebut. Kateter urin dan nasogastric tube juga harus di
gunakan. Kateter urin digunakan untuk dekompresi kandung kemih sehingga
menghindari terjadinya trauma intraabdomen saat insersi trocar. Dekompresi gaster
intraoperatif dapat mengurangi resiko trauma intra abdomen, dan memperlebar lapang
(15,17)
pandang. Premedikasi harus dipertimbangkan sesuai dengan lama tindakan
laparoskopi dan keperluan cepatnya masa pemulihan bagi pasien yang rawat jalan.

11
Medikasi prabedah perlu diberikan NSAID agar menurunkan nyeri pasca bedah dan
kebutuhan opioid. Sedangkan pada keadaan tertentu, dapat diberikan profilaksis
gastrointestinal seperti antasida oral dan antagonis H2. Selain itu, karena adanya resiko
stasis vena di kaki sewaktu laparoskopi , perlu diberikan profilaksis seperti fraksi
heparin. (2)

2.5.2.1 Anestesia umum


Anestesia umum direkomendasikan untuk pasien yang akan menjalani operasi
laparoskopik dalam waktu lama. Obat-obatan yang digunakan pada anestesia umum
untuk laparoskopi terdiri atas obat inhalasi, intravena, dan pelumpuh otot. Obat
inhalasi yang sering digunakan adalah Nitrogen Oksida, isofluran, desfluran dan
sevofluran. Obat induksi intravena yang digunakan adalah propofol, tiopental,
etomidat. Pelumpuh otot yang sering digunakan adalah suksinikolin, mivakuronium,
atrakurium, dan vekuronium. Suksinilkolin sering dihubungkan dengan kejadian
nyeri otot pascabedah. Suplementasi opioid seperti fentanyl, remifentanil, alfentanil,
dan sufentanil biasanya digunakan untuk mengatasi nyeri. Secara umum, setelah
inform consent, semua pasien akan diinduksi dengan fentanyl 1,5 mcg/kg,
midazolam 0,03 mg/kg, propofol 1,5 mg/kg, dan vecuronium 0,01 mg/kg.
Maintanance anestesi dapat diberikan gas Desflurane, Sevoflurane, atau propofol
disamping pemberian N2O/O2 50%. Semua pasien diberikan 4 mg ondansetron dan 8
mg dexamethasone untuk mencegah PONV 10 menit sebelum operasi selesai.
Fentanyl adalah miu-receptor agonis yang mempunyai sifat analgesik, sedasi,
mengurangi ansietas, Midazolam dan propofol akan berikatan dengan GABA
receptor sehingga menimbulkan efek ansiolitik, sedatif, dan amnesia. Vecuronium
adalah muscle relaksan yang bekerja sebagai antagonis kompetitif pada reseptor ach
terutama pada neuromuscular junction. Desflurane merupakan modulator GABA dan
Sevoflurane akan menginduksi penurunan waktu bukanya channel gap junction dan
meningkatkan waktu tutupnya channel gap junction. (20)
Anestesia umum dengan intubasi endotrakeal dan ventilasi kendali
merupakan teknik teraman dan tersering untuk digunakan pada laparoskopi.
Meskipun LMA dapat dipakai namun terbatas pada IAP yang rendah serta derajat
kemiringan posisi pasien yang minimal, karena LMA mengurangi nyeri tenggorok
dibanding dengan intubasi endotrakeal, namun LMA tidak dapat memberikan
perlindungan terhadap aspirasi lambung. Pada saat pneuomoperitoneum, ventilasi

12
kendali harus diatur sedemikian rupa agar PETCO2 dapat tetap berada dalam 35-40
mmHg. Selama laparoskopi berlangsung IAP harus dimonitor dan dipertahankan
serendah mungkin untuk mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi. Studi
terkini merekomendasikan IAP dibawah atau sama dengan 12 mmHg. Untuk
mempertahankan status eukapnia, volum ventilasi permenit harus meningkat 15-25%
. Penggunaan positive end respiratory pressure (PEEP) dapat memperbaiki
pertukaran gas di paru-paru dan mempertahankan oksigenasiarterial selama prosedur
yang lama. Namun kombinasi PEEP dan peningkatan IAP dapat meningkatkan
tekanan intratorakal sehingga mengurangi kardiak output. Oleh karenanya,
penggunaan PEEP yang tinggi harus dihindari pada pasien dengan gangguan jantung
atau hemodinamik yang tidak stabil.
Pemberian cairan intravena perioperatif secara umum dapat menurunkan
kemungkinan perubahan hemodinamik akibat pneumoperitoneum, PONV (Post
operative nausea and vomiting) dan memperbaiki pemulihan pasca bedah. Atropin
harus tersedia karena peningkatan refleks vagal saat laparoskopi. Infus obat
vasodilator seperti nikardipin, agonis reseptor alpha-2 adrenergik dan remifentanil
dapat menurunkan gangguan hemodinamik akibat pneumoperitoneum dan
mempermudah penatalaksanaan pasien dengan riwayat jantung. Kombinasi
pemberian anestetik lokal yang di infiltrasi ke daerah luka, NSAID dan paracetamol,
atau ditambah dengan opiat dosis rendah dapat membantu meminimalisir rasa
sakit.(2,18) PONV di observasi dalam 4 jam pertama dilanjutkan hingga 24 jam. (19)

2.5.2.2 Anestesia regional


Anestesia regional memberikan beberapa keuntungan . Antara lain, waktu pulih
yang cepat, berkurangnya PONV, komplikasi dapat lebih dini diketahui, dan
perubahan hemodinamik yang lebih sedikit. Selain itu anestesia regional dapat
menurunkan angka pemakaian narkotika dan obat sedatif, menurunkan respon
metabolik, mengakibatkan relaksasi otot yang lebih baik dan dapat dilakukan untuk
prosedur laparoskopi lain selain sterilisasi. Namun pada tindakan anestesia ini,
operator harus berhati-hati dalam memanipulasi organ abdomen atau pelvis agar
tidak menimbulkan kegelisahan, nyeri serta perasaan tidak nyaman pada pasien.
Karena alasan ini, anestesi regional sering dipadu padankan dengan sedasi intravena.
Efek kombinasi dari pneumoperitoneum dengan sedasi dapat menimbulkan

13
hipoventilasi dan desaturasi O2 arteri. Oleh karena hal tersebut maka laparoskopi
yang kompleks tidak boleh ditatalaksana dengan anestesia regional. Teknik anestesia
regional dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu blok syaraf perifer, blok
neuroaksial, dan infiltrasi anestetik lokal. Blok syaraf perifer terdiri atas blok rectus
sheath, blok rectus sheath dan mesosalfing, blok inguinal, blok kavum douglasi, dan
blok paravertebra. Blok neuro aksial terdiri dari teknik epidural, spinal, kombinasi
epidural spinal dan blok epidural kaudal. Teknik spinal dan epidural bila di
kombinasikan dengan posisi Trendelenberg dapat digunakan untuk laparoskopi
ginekologik tanpa menyebabkan gangguan ventilasi yang bermakna. Infiltrasi
anestetika lokal digunakan pada teknologi serat optik yang hanya membutuhkan
akses sangat kecil yaitu 1,2-2,2 mm (mikrolaparoskopi). Sebuah studi yang diadakan
oleh Mehta dan kolega menunjukkan bahwa anestesi spinal adekuar dan aman untuk
bedah laparoskopik pada pasien sehat dan memberikan hasil pain control yang lebih
baik setelah post operasi. Sedangkan anestesi thoracic epidural dengan 0,75
ropivacaine dan fentanyl juga efektif meskipun kejadian referred pain pada saat
intraoperatif tinggi. (21-24)

2.5.2 Pemantauan dan posisi pasien


Sewaktu laparoskopi, tekanan darah arteri, laju denyut jantung, EKG, kapnometri
dan pulse oksimetri harus selalu dipantau. Hal ini ditujukan untuk mendeteksi
aritmia, emboli gas, emfisema CO2 subkutis dan pneumotoraks secara dini.Pada
pasien dengan masalah kardiovaskular, dan pasien obesitas, perlu pematauan
kardiovaskular, gas darah dan produksi urin secara ketat. Selain itu pasien harus
diposisikan sedemikian rupa untuk menghindari cedera pada syaraf. Pemberian
padding dan shoulder braces pada processus korakoid akan menghindarkan kompresi
syaraf. Pasien dimiringkan sedemikian rupa namun tidak melebihi 15-20 derajat.
Pasien harus dimiringkan perlahan untuk menghindari perubahan hemodinamik dan
respirasi yang mendadak. Insuflasi dan deflasi peritoneum harus dilakukan perlahan-
lahan. Ventilasi dengan sungkup sebelum intubasi dapat mengakibatkan lambung
terisi udara. Udara tersebut harus diaspirasi dengan trocar untuk menghindari resiko
perforasi gaster terutama pada tindakan laparoskopik supramesokolik. Kandung
kemih harus di kosongkan sebelum tindakan laparoskopi pada daerah pelvis atau
tindakan laparoskopi yang lama.

14
2.5.3 Pemulihan dan pemantauan pascabedah
Saat pasien kembali ke PACU (Post Anesthesia Care Unit) pemantauan
hemodinamika harus tetap dilakukan.perubahan hemodinamik yang disebabkan oleh
pneumoperitonium , terutama peningkatan tahanan vaskular sistemik, tetap ada
setelah pneumoperitoneum dihentikan. Keadaan hiperdinamik pada pasien dengan
riwayat gangguan jantung setelah laparoskopi harus diwaspadai.
Selama awal periode pasca bedah, laju respirasi dan ETCO2 pasien yang
bernapas spontan lebih tinggi setelah laparoskopi dibandingkan dengan operasi
terbuka. Tambahan CO2 dapat menyebabkan hiperkapnia meskipun pada periode
pasca bedah. Pasien dengan penyakit paru akan mempunyai maslaah dalam
mengekskreskikan CO2 , yang kemudian akan memperparah hiperkapnia yang akan
berakhir dengan gagal nafas. Pemberian O2 tetap harus diberikan pasca bedah pada
pasien sehat maupun tidak meskipun laparoskopi dianggap sebagai prosedur bedah
minor. Penatalaksanaan nyeri dan PONV pasca bedah harus dilakukan. Anti nyeri
yang dapat digunakan antara lain NSAID , opioid, anti kolinergik, tramadol,
asetaminofen, dam alpha 2 agonist. Antiemetik yang dapat dilakukan adalah
antagonis 5 HT(ondansetron, dolasetron, dan granisetron). Deksametasone dosis
tunggal dapat mengurangi PONV dalam 24 jam pertama setelah laparoskopi untuk
sterilisasi dan mengurangi kebutuhan untuk menggunakan antiemetik lain.Parris and
Lee menyatakan bahwa pemberian NSAID ketorolac (60 mg IM setelah induksi),
pemberian metoclopramide intraopertative (10-20 mg IV) dapat mengurangi
PONV.(2,25)

15
BAB III

KESIMPULAN
Laparoskopi adalah metode bedah yang semakin popular saat ini sebagai
minimally invasive surgery karena irisan-irisan yang di lakukan tidak lebih dari 1,25 cm
dan dihubungkan dengan banyak kelebihan dibandingkan dengan open surgery , antara
lain karena trauma pembedahan yang minimal dan fase penyembuhan yang lebih cepat
serta mengurangi kemungkinan untuk terjadinya infeksi. Bedah laparoskopik dapat
dilakukan pada penegakan diagnosis nyeri panggul, kolesistektomi, nefrektomi pada
malformasi arteriovena renal besar, prostatektomi radikal, pankreotomi distal, reseksi
hepar, kanker kolorektal, mengangkat kehamilan ektopik, mengangkat usus buntu yang
telah meradang, gastrectomy and small bowel procedures, appendectomy, pseudokista
pada pankreas, prosedur bypass, adrenalectomy, enukleasi tumor jinak pankreas, hernia
inguinal, nefrektomi, dan histerektomi. Inspeksi bagian dalam rongga perut dengan
menggunakan endoskop melalui akses yang minimal dimana dalam proses bedah
laparoskopik akan dilakukan insuflasi rongga peritoneum dengan gas CO2, agar
didapatkan lapang pandang yang lebih baik dan membuat rongga atau space untuk
operasi tersebut. Bedah laparoskopik melibatkan insuflasi gas ke dalam kavitas
peritoneal menyebabkan peritoneum. Hal ini menyebabkan meningkatnya Intra-
abdominal Pressure(IAP). Komplikasi terbanyak bedah laparoskopik berhubungan
dengan digunakannya gas CO2 untuk insuflasi gas maupun perubahan fisiologik tak
langsung akibat masuknya gas CO2 ke dalam sirkulasi. Studi menunjukkan adanya
meningkatan PaCO2 sebesar 10% dan ETCO2 mengalami peningkatan sebesar 14%.

Efek dari pneumoperitoneum buatan yang dapat meningkatkan IAP (Intra Abdominal
Pressure) akan mempengaruhi kardiovaskuler, respirasi, neurologi, renal, gastro
intestinal dan sirkulasi splanchnic. Posisi pasien saat operasi juga dapat memberikan
komplikasi dari aspek kardiovaskular, respirasi, dan endobronkial. Komplikasi lain dapat
berupa emboli gas dan aspirasi isi lambung.

Dalam bedah laparoskopik, aspek anestesia sangatlah penting diperhatikan bahkan


sebelum pasien masuk ke ruang operasi yaitu dengan memperhatikan evaluasi pre
operasi hingga 24 jam selesai operasi. Evaluasi pra operatif bertujuan untuk

16
mengidentifikasi kondisi akut yang sedang berlangsung atau kondisi kronik yang dapat
menjadi masalah untuk anestesia. Kondisi yang perlu mendapat perhatian adalah pasien-
pasien dengan peningkatan intrakranial atau intraokular, pasien dengan masalah jantung,
ginjal, dan pernapasan. Pada pasien dengan peningkatan intrakranial, pneumoperitoneum
dapat menjadi kondisi yang berbahaya.

Teknik anestesia yang digunakan lazimnya adalah anestesi umum. Karena


pada umumnya karena pasien akan merasa tidak nyaman dengan pneumoperitoneum
buatan dan posisi saat dilakukan prosedur. Ventilasi terkontrol sangat disarankan karena
prosedur bedah laparoskopik ini dapat menyebabkan hiperkarbia termasuk karena
depresi ventilasi oleh obat-obatan anestesia. Obat-obatan yang dapat dipakai adalah
Secara umum, setelah inform consent, semua pasien akan diinduksi dengan fentanyl 1,5
mcg/kg, midazolam 0,03 mg/kg, propofol 1,5 mg/kg, dan vecuronium 0,01 mg/kg.
Maintanance anestesi dapat diberikan gas Desflurane, Sevoflurane, atau propofol
disamping pemberian N2O/O2 50%. Semua pasien diberikan 4 mg ondansetron dan 8 mg
dexamethasone untuk mencegah PONV 10 menit sebelum operasi selesai. Pemantauan
pasien intra operatif serta memperhatikan posisi pasien sangatlah penting. Saat pasien
kembali ke PACU (Post Anesthesia Care Unit) pemantauan hemodinamika harus tetap
dilakukan.perubahan hemodinamik yang disebabkan oleh pneumoperitonium , terutama
peningkatan tahanan vaskular sistemik, tetap ada setelah pneumoperitoneum dihentikan.
Keadaan hiperdinamik pada pasien dengan riwayat gangguan jantung setelah laparoskopi
harus diwaspadai.
Pemantauan sebelum operasi hingga operasi selesai yang baik akan memperkecil
resiko komplikasi pada pasien akibat bedah laparoskopik.

17
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA
1. Frequently Asked Question : Special Procedures. The American Obstetrician and
Gynecologists. 2015;FAQ061:1-3.
2. Nugroho, Alfan Mahdi. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Universitas Indonesia;
2012.
3. Short-term endpoints of conventional versus laparoscopic-assisted surgery in patients
with colorectal cancer (MRC CLASICC trial): multicentre, randomised controlled
trial. The Lancet [Internet]. 2005 [cited 20 August 2016];365(9472).
4. Manual of Laparoscopic Surgery. Minimal Invasive Surgical Centre. 2004;1:40-48.
5. Laparoscopic Abdominal Surgery. Oxford Journal. 2015;4(4):107-110.
6. Wright D, Serpell M, Baxter J, O’Dwyer P. Extraperitoneal Carbon Dioxide
Insufflation. Anesthesia & Analgesia. 2007;83(1):193.
7. Kapasitas Residu Fungsional. Klik paru [Internet]. Klikparu.com. 2016 [cited 20
August 2016]. Available from: http://www.klikparu.com/2013/08/kapasitas-residu-
fungsional.html
8. Hekmatpanah J. Cerebral Circulation and Perfusion in Experimental Increased
Intracranial Pressure. Journal of Neurosurgery. 2005;32(1):21-29.
9. Carbon dioxide pneumoperitoneum, physiologic changes and anesthetic concerns.
Ambulatory Surgery. 2010;16(2):41-46.
10. Demiroluk S, Salihoglu Z, Zengin K, et al. The effects of pneumoperitoneum on
respiratory mechanics during bariatric surgery. Obes Surg. 2002;12:376–379.
11. Knolmayer TJ, Bowyer MW, Egan JC, Asbun HJ: The effects of pneumoperitoneum
on gastric blood flow and traditional hemodynamic measurements. Surg Endosc
1998;12:115–118.
12. Schilling MK, Redaelli C, Krahenbuhl L, Signer C, Buchler MW: Splanchnic
microcirculatory changes during CO2 laparoscopy. J Am Coll Surg1997; 184: 378–
382
13. Jung K, Kim S, Kim J, So K. Bradycardia during laparoscopic surgery due to high
flow rate of CO 2 insufflation. Korean Journal of Anesthesiology. 2013;65(3):276.
14. Cunningham A. Laparoscopic surgery?anesthetic implications. Surgical Endoscopy.
1994;8(11).
15. Brown,D.R.,Fishbume,J.I.,Roberson,V.O.,andHulka,J.F.Ventilatory and blood gas
changes during laparoscopy with local anesthesia. Am.J.Obstet. Gynecol.2008;
124:741-745.
16. Marco, A., Yeo. C., Rock. P., Anesthesia for a Patient Undergoing Laparoscopic
Cholecystectomy. Anesthesiology. 2003;73(6):1268-1269.
17. Cunningham,A.J.Acid aspiration: Mendelson's syndrome.Ann.Royal Coll.
Phys.Surg.Can. 2008; 20:335-340.

18
18. Amornyotin S. Anesthetic Management for Laparoscopic Cholecystectomy. Endoscopy.
2013;.
19. Erk G. Anesthesia for laparoscopic cholecystectomy: comparative evaluation--
desflurane/sevoflurane vs. propofol. Middle East J Anaesthesiol. 2007;19(3):551-62.
20. DrugBank: Sevoflurane [Internet]. Drugbank.ca. 2016 [cited 20 August 2016].
Available from: http://www.drugbank.ca/drugs/DB01236
21. Mehta PJ, Chavda HR, Wadhwana AP, Porecha MM. Comparative analysis of spinal
versus general anesthesia for laparoscopic cholecystectomy: a controlled, prospective,
randomized trial. Anesthesia: Essays and Researches 2010; 4(2): 91-95.
22. Tzovaras G, Fafoulakis F, Pratsas K, et al. Spinal vs general anesthesia for
laparoscopic cholecystectomy: an interim analysis of a controlled randomized trial.
Archives of Surgery 2008; 143(5): 497-501.
23. Gupta A, Gupta K, Gupta PK, Agarwal N, Rastogi B. Efficacy of thoracic epidural
anesthesia for laparoscopic cholecystectomy. Anesthesia: Essays and Researches
2011; 5(2): 138-141.
24. Lee JH, Huh J, Kim DK, et al. Laparoscopic cholecystectomy under epidural
anesthesia: a clinical feasibility study. Korean Journal of Anesthesiology 2010; 59(6):
383-388.
25. Parris W. Lee E. Anaesthesia for laparoscopic cholecystectomy. Anaesthesia.
2006;46(11):997-997.

19

Anda mungkin juga menyukai