Anda di halaman 1dari 3

POSITIVISME

Pada abad ke-19 merupakan abad yang sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme.
Dalam sejarah filsafat barat, orang sering menyatakan bahwa abad ke-19 merupakan Abad
Positivisme, yaitu suatu abad yang ditandai oleh peranan yang sangat menentukan dari
pikiran-pikiran ilmiah. Pada abad ini kebenaran atau kenyataan dinilai dan diukur menurut
nilai positivistiknya, yang mana menekankan pada segi-seginya yang praktis bagi tingkah
laku dan perbuatan manusia. (Wibisono 1983:1). Positivisme yang muncul pada abad ke-
19 ini bermula ketika para pemikir Pencerahan (Aufklärung) memandang dunia sosial ini
sebagai bagian dari jagat raya alami: bahkan, banyak yang sampai pada kesimpulan bahwa
ilmu alam dan ilmu sosial bisa digunakan untuk kemajuan manusia (Ritzer dan Smart
2001:54).
Sehingga dalam arti yang luas pengertian dari positivisme adalah penolakan pada
metafisika. Positivisme menganggap bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah hanya untuk
menjelaskan fenomena yang kita alami. Selain itu, tujuan dari sains adalah hanya untuk
berpegang pada apa yang bisa kita amati dan ukur. Oleh karena itu, pengetahuan yang
tidak bisa kita amati dan ukur menurut ahli positivisme adalah sesuatu yang mustahil.
(Trochim, Web).
Dalam pandangan positivistik, sains dilihat sebagai sebuah alat untuk mendapatkan
sebuah kebenaran, yang mana untuk memahami fenomena-fenomena yang ada dengan
baik sehingga pada akhirnya kita dapat memprediksi dan mengendalikan fenomena-
fenomena tersebut. Positivisme menganggap bahwa hal-hal yang ada di dunia atau alam
semesta ini bersifat deterministik; dioperasikan oleh hukum-hukum sebab akibat yang
dapat kita lihat dengan jelas perbedaannya jika kita menerapkan pendekatan-pendekatan
yang berbeda dari metode ilmiah yang ada. Sehingga positivisme memiliki hubungan yang
sangat erat dengan empirisme; adalah sebuah gagasan bahwa observasi dan eksperimen
adalah inti dari sebuah metode ilmiah. (Ibid). Dengan demikian segala sesuatunya di dalam
positivisme adalah harus empiris agar dapat dibuktikan kebenarannya.
Pendiri dari aliran filsafat positivisme ini adalah Auguste Comte yang mana telah
sangat terkenal menyampaikan tentang hukum tiga tahapnya, law ofthree stages. Melalui
hukum ini Comte menyatakan bahwa sejarah umat manusia,secara individu maupun secara
keseluruhan, berkembang melalui tiga tahap yaitu teologi, metafisik, dan positif. Di sini
Comte menjelaskan bahwa arti istilah “positif” yang digunakan sebagai nama bagi aliran
filsafatnya ini adalah sesuatu yang nyata, pasti, jelas, bermanfaat, serta sebagai lawan dari
sesuatu yang negatif. Comte juga menjelaskan bahwa pengertian dari “perkembangan”
sejarah umat manusia merupakan sesuatu yang positif di mana diartikan sebagai suatu
gerak yang menuju ke arah tingkat yang lebih tinggi atau lebih maju. (Wibisono 1983:1-2).
Filsafat Positivisme Auguste Comte
Comte menerangkan bahwa dalam perkembangan jiwa manusia, pada suatu batas
tertentu manusia tidak lagi akan merasa puas dengan hal-hal yang abstrak. Manusia merasa
lebih puas dengan hal-hal yang dapat diterangkan melalui pengamatan yang dapat dijelaskan
secara deskriptif. Pada saat inilah perkembangan jiwa manusia tiba pada tahapnya yang
paling akhir, yaitu tahap positif diatas pandangan ilmiah yang matang. (Wibisono 1983:15).
Sedangkan pengertian positif itu sendiri dalam filsafat Comte adalah sebagai berikut:
 Sebagai kebalikan sesuatu yang bersifat khayal, maka diartikan sebagai pensifatan
sesuatu yang nyata. Objek kajian yang dibahas didasarkan pada kemampuan akal.
 Sebagai kebalikan sesuatu yang tidak bermanfaat, yang segala sesuatu harus
diarahkan pada pencapaian kemajuan.
 Sebagai kebalikan sesuatu yang meragukan, diartikan sebagai pensifatan segala
sesuatu yang sudah pasti. Hal ini karena filsafat harus sampai pada suatu
keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi setiap individu
masyarakat.
 Sebagai kebalikan sesuatu yang kabur, diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang
jelas atau tepat. Karena dalam pemikiran filsafati, kita harus dapat memberikan
pengertian yang jelas.
 Sebagai kebalikan sesuatu yang negatif, yang dipergunakan untuk menunjukkan
sifat-sifat pandangan filsafatnya yang selalu menuju ke arah penataan atau
penertiban.
Hukum Tiga Tahap Auguste Comte
Telah kita ketahui bahwa pada tahap positif merupakan tahap di mana jiwa manusia
sampai pada pengetahuan yang tidak lagi abstrak, tetapi pasti, jelas, dan bermanfaat (Ibid
15). Sehingga, Comte melihat tahap positif sebagai tahap perkembangan masyarakat pada
industrialisasi sudah dapat dikembangkan, yang disertai peranan kaum ilmuwan dan
industrialis yang bersama-sama mengatur masyarakat secara ilmiah (Ibid 16).
Hukum tiga tahap dari Comte antara lain:
1. Tahap Teologi → Pada tahap ini manusia bergantung pada penjelasan supranatural
untuk menjelaskan hal-hal yang tidak dapat mereka jelaskan. Tahap teologi ini
yang merupakan pemikiran yang orisinal dan spontan, yang menganggap gejala-
gejala alam yang ada diatur oleh suatu kekuatan imajiner tunggal yang tidak terlihat
yaitu dewa-dewa. (Landow dan Everett, Web).
2. Tahap Metafisik → pada tahap ini manusia sudah dapat menghubungkan gejala-
gejala alam yang terjadi dengan yang abstrak tetapi masih belum dapat memahami
apa yang menyebabkan hal tersebut. Manusia sudah tidak lagi menganggap dewa
yang menyebabkan terjadinya gejala-gejala alam yang ada, tetapi kekuatan atau
daya dari benda-benda atau alam memeliki kekuatannya sendiri.
3. Tahap Positif → pada tahap ini manusia telah mengerti hukum-hukum alam yang
mengatur dunia ini. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta
yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan
tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di
bawah satu fakta yang umum. (Satria, Web).
Metode Positivisme Auguste Comte
Tujuan positivisme yang untuk membangun hukum organisasi manusia, yang mana
cara atau metode yang digunakan adalah pengamatan, percobaan, perbandingan, dan
analisis historis (Ritzer dan Smart 2001:60). Comte menggunakan empat metode ini untuk
meneliti fisika sosialnya; empat metode digunakan karena fisika sosial adalah ilmu
pengetahuan yang tertinggi dan yang paling kompleks.
1. Pengamatan → metode ini digunakan karena dalam setiap ilmu pengetahuan selalu
dibutuhkan pembuktian (Wibisono 1983:43).
2. Percobaan → metode ini baru diterapkan apabila perkembangan suatu gejala
karena suatu sebab mengalami hambatan alamiah atau buatan. Metode percobaan
ini tidak perlu dilakukan ke dalam ilmu sosial apabila terlalu sulit diadakan di
tengah-tengah kompleksnya gejala-gejala yang dihadapi. (Wibisono 1983:44).
3. Perbandingan → dalam metode ini digunakan perbandingan dengan “inferior
animals”. Dan dengan mengkaji petunjuk-petunjuk yang diperoleh melalui analisis
sejarah, metode perbandingan ini dapat mengisi kekurangan yang masih ada.
(Wibisono 1983:44-45).
4. Analisis Historis → metode ini dilakukan karena berdasarkan hukum tiga tahap
Comte yang mengkaji perkembangan gagasan dan susunan struktur yang terkait
sepanjang sejarah (Ritzer dan Smart 2001:61).

Anda mungkin juga menyukai