Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Penyakit paru-paru obstrutif kronis (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama (Grace & Borlay,
2011) yang ditandai oleh adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya (Padila, 2012). Adapun pendapat lain mengenai P P O K adalah kondisi
ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan
keluar udara paru-paru (Smeltzer & Bare, 2006) yang ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Edward. 2012).
B. Klasifikasi
Klasifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut Jackson,(2014) :
1. Asma
2. Bronkotos kronic
3. Emfisema
C. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut
Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) adalah :
1. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu,asap dan gas-gas kimiawi.
2. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi paru-
paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
3. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asma dengan kondisi
ini berisiko mendapat PPOK.
4. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang normalnya
melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang kekurangan enzim ini
dapat terkena empisema pada usia yang relatif muda, walau pun tidak merokok.
D. Patofisiologi
Faktor risiko utamadari PPOK adalah merokok.Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang
melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari
saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab
infeksi dan menjadi sangat purulen. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat.Timbul
hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan. (Jackson, 2014).
Komponen-komponen asap rokokj uga merangsang terjadinya peradangan kronik
pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus,
maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi
normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan
demikian apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru
dan saluran udara kolaps. (Grece & Borley, 2011).
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut Reeves (2006) dan Mansjoer (2008) pasien dengan penyakit
paru obstruksi kronis adalah perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK
yaitu : malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan
batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang muncul di pagi hari. Napas pendek
sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut.
F. Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut Grece & Borley (2011),
Jackson (2014) dan Padila (2012) :
1. Gagal napas akut atau Acute Respiratory Failure (ARF)
2. Corpulmonal
3. Pneumothoraks
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnia.
2. Rontgen dada : pembesaran jantung dengan diafragma normal/ mendatar.
3. Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi kuat
(FEV), peningkatan volume residual (RV), kapasitas paru total (TLC) normal atau
sedikit meningkat.
4. Pemeriksaan hemoglobin,leokosit dan hematokrit : sedikit meningkat

H. Derajat PPOK
Klasifikasi derajat PPOK menurut Global initiative for chronic Obstritif Lung Disiase
(GOLD) 2011.
1. Derajat I (PPOK Ringan) :
Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini
pasien sering tidak menyadari bahwa menderita PPOK.
2. Derajat II (PPOK Sedang) :
Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan
produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya.
3. Derajat III (PPOK Berat) :
Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksasernasi
semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien.
4. Derajat IV (PPOK Sangat Berat) :
Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal jantung kanan dan
ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk dan jika
eksaserbasi dapat mengancam jiwa biasanya disertai gagal napas kronik
I. PENATALAKSANAAN PPOK
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:

1. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi
juga fase kronik.
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:

1. Meniadakan faktor etiologi/ presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok,


menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak
perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab
infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid
untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih kontroversial.
5. Pengobatan simtomatik.
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran
lambat 1 – 2 liter/menit.
Tindakan rehabilitasi yang meliputi:

1. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.


2. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang
paling efektif.
3. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran
jasmani.
4. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali
mengerjakan pekerjaan semula.

J. Penatalaksanaan (Medis)

1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara.


2. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4×0.56/hari Augmentin
(amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya
adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase
Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada
pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan
membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari
selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
b. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia
dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO
c. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
d. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya
golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol
5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer
atau aminofilin 0,25 – 0,56 IV secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang di lakukan :

a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4×0,25-0,5/hari


dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien
maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal
paru.

4. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.

a. Mukolitik dan ekspektoran.


b. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II
dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg).
c. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS PASIEN DENGAN PPOK

A. Pengkajian
1. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat, nama penanggung jawab, hubungan
dengan pasien.
2. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit sekarang
Batuk dan sesak nafas, sesak bertambah berat , Sesak nafas dan batuk tidak
berhubungan dengan aktivitas dan sesak nafas dan batuk pada waktu setelah berbaring
atau tiduran, duduk, berdiri maupun berjalan. Beberapa bulan yang lalu batuk berdahak,
kental berwarna putih kekuningan serta agak berbau.
b. Riwayat penyakit dahulu
Sesak nafas sebelumnya, mempunyai riwayat Asthma Bronkiale. Klien mempunyai
riwayat perokok.
c. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada keluarga yang mengindap penyakit yang sama dengan klien.
3. Keadaan kesehatan lingkungan.
Kebersihan tempat tinggal, dan apakah ada sekitar tempat tinggal yang mengindap TBC.
Body system
a. Sistem pernafasan
Gejala : Dispnea, rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma), batuk
menetap dengan produksi sputum setiap hari minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun
sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum banyak sekali (bronkitis kronis). Episode batuk
hilang timbul biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun bisa menjadi produktif
(emfisema).
Tanda : Fase ekspirasi memanjang, penggunaan otot bantu pernafasan, dada bentuk
barrel chest. Hiperesonan pada emfisema, krekels pada bronkitis kronis, ronki dan
wheezing pada asma, sianosis, clubbing finger pada emfisema.
b. Sistem sirkulasi
Tanda : Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung, takikardia, distensi
ven aleher, edema, sianosis, clubbing finger.
c. Sistem persepsi sensori

1. Pendengaran klien pada telinga kiri maupun kanan.


2. Penciuman: Klien dapat membedakan rasa yang kurang sedap seperti rasa bau dari
dahak yang dikeluarkan pada saat batuk.
3. Pengecapan: Klien dapat membedakan rasa pahit, manis, serta asin.
4. Penglihatan: Mata kiri maupun kanan dalam batas normal. Apakah ditemukan
adanya katarak maupun gangguan mata lainnya.
5. Perabaan : Klien dapat membedakan rasa panas, dingin maupun tekanan.

d. Aktivitas
Gejala : Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan melakukan aktifitas sehari-
hari, dispnea saat istirahat atau tidur, ketidakmampuan dalam tidur.
Tanda : Keletihan, kelemahan umum, gelisah, insomnia.
e. Nutirsi/ hidrasi
Gejala : Mual, muntah, nafsu makan kurang, penurunan berat badan atau peningkatan
berat badan karena edema.
Tanda : Turgor kulit jelek, edema, penurunan/ peningkatan BB.
f. Hiegiene
Gejala : Penurunan kemampuan.
Tanda : Kebersihan kurang, bau badan.

Pemeriksaan fisik

1. Kedaan umum : baik


2. Kesadaran : CM
3. Tanda tanda vital :
Tekanan darah (terjadi peningkatan tekanan darah), pernafasan (sesak nafas), nadi, dan
suhu.
4. Kepala : mesosephal
5. Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
6. Mata : Bulu mata tidak mudah dicabut, sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak
anemis, palpebra dekstra udem dan spasme, oedem pada kornea dekstra.
7. Hidung : tampak terpasang kanul O2 (2L/menit)
8. Telinga : Besih, tidak ada serumen, reflek suara baik.
9. Mulut : Gigi kekuningan, lengkap, tidak ada stomatitis.
10. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan tidak ada pembengkakan
pada trakhea
11. Ektremitas : tidak ada oedem pada kedua ekstremitas atas dan bawah.
Ekstremitas atas tangan kiri terpasang infus RL 7 ttes/menit
12. Dada
a. Paru
1) Inspeksi
Bentuk dada simetris
Tampak RR 28x/menit
2) Palpasi
Tidak ada pembengkakan pada paru
Tidak ada nyeri tekan
3) Perkusi
Hipersonor
4) Auskultasi
Suara nafas wheezing dan kadang terdengar ronchi

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
2. Terapi
a) Terapi infus :
b) Terapi injeksi :
c) Terapi Oksigen
d) Diet TKTP
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2000) adalah :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan
produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau
kelemahan.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi
jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis,
malnutrisi.
Engram (2000) menambahkan diagnose keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2.
2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk menetap.
C. Intervensi keperawatan
1. Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2000) adalah :
g. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan
energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
akan mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau
jelas dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki
bersihan jalan nafas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
Mandiri :
2) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels,
ronkhi.
3) Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
4) Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas,
distress pernafasan, penggunaan otot bantu.
5) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat
tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
6) Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
7) Observasi karakteristik batu, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah.
Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan
8) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.
Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti
makanan.
Kolaborasi :
9) Berikan obat sesuai indikasi.
Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol
ruangan.
Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
h. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi
jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam
rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan
berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi.
Intervensi :
Mandiri :
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas
bibir, ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah
untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan
atau toleransi individu.
3) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
4) Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
5) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi
tambahan.
6) Palpasi fremitus.
7) Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
8) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi
aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama fase akut.
Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai
toleransi individu.
9) Awasi tanda vital dan irama jantung.
Kolaborasi :
10) Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
11) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi
pasien.
12) Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
13) Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke UPI
sesuai instruksi untuk pasien.
i. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat dengan kriteria hasil
pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan
dan atau mempertahankan berat yang tepat.
Intervensi :
Mandiri :
d. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makanan.
Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
e. Auskultasi bunyi usus.
f. Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali
pakai dan tisu.
g. Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan
makan porsi kecil tapi sering.
h. Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
i. Hindari makanan yang sangat panas atau yang sangat dingin.
j. Timbang berat badan sesuai indikasi.
Kolaborasi :
k. Konsul ahli gizi atau nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang
mudah dicerna, secara nutrisi seimbang, misalnya nutrisi tambahan oral atau
selang, nutrisi parenteral.
l. Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya glukosa, elektrolit. Berikan vitamin
atau mineral atau elektrolit sesuai indikasi.
m. Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
j. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit
kronis, malnutrisi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko individu dengan kriteria hasil
pasien akan mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko
infeksi dan pasien akan menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk
meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi :
Mandiri :
1) Awasi suhu.
2) Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan masukan
cairan adekuat.
3) Observasi warna, karakter, bau sputum.
4) Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci
tangan yang benar (perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila
memegang atau membuang tisu, wadah sputum.
5) Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
6) Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
7) Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
Kolaborasi :
8) Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan
kuman gram, kultur atau sensitivitas.
9) Berikan antimikrobial sesuai indikasi.

Engram (2000) menambahkan intervensi keperawatan pada pasien dengan Penyakit


Paru Obstruksi Kronis adalah :
k. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas dengan kriteria hasil
menurunnya keluhan tentang nafas pendek dan lemah dalam melaksanakan aktivitas.
Intervensi :
5) Pantau nadi dan frekuensi nafas sebelum dan sesudah beraktivitas.
6) Lakukan penghematan energi dalam melaksanakan prosedur berikut :
a) Berikan bantuan dalam melaksanakan AKS sesuai dengan yang diperlukan.
b) Sediakan interval waktu diantara kegiatan untuk memungkinkan istirahat
diantara kegiatan.
c) Tingkatkan aktivitas secara bertahap sejalan dengan peningkatan hasil gas darah
arteri dan dapat diantisipasinya tanda dan gejala dari penekanan pernafasan.
d) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dengan makanan yang mudah
dikunyah.
l. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk menetap.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan
tidur terpenuhi dengan kriteria hasil melaporkan perasaan dapat istirahat.
Intervensi :
1) Jika ada pengobatan untuk paru-paru aturlah pemberian obat tersebut untuk
diberikan sebelum waktu tidur. Berikan obat anntitusif yang diprogramkan.
2) Pastikan ventilasi ruangan baik. Atur pengadaan humidifier udara jika diperlukan.
Anjurkan penggunaan oksigen selama tidur jika diperlukan.
3) Pertahankan ruangan bebas dari bahan iritan seperti asap, serbuk bunga dan
pengharum ruangan.
4) Pada waktu tidur, ijinkan pasien mandi dengan pancuran air hangat atau mandi
biasa.
5) Bantu pasien untuk mnedapatkan posisi yang nyaman, biasanya dengan
meninggikan bagian kepala tempat tidur sekitar 30 derajat.
DAFTAR PUSTAKA
Edward Ringel. 2012. “buku saku hitam kedokteran paru” Jakarta : Permata Puri Media
Global initiative for Chronic Obstruktif Lung Disease (GOLD), (2011), Inc. Pocket Guide to
COPD Diagnosis, Management, and Prevention.
Grece A. Pierce, Borley R. Nier. (2011). Ata glece Ilmu Bedah edisi 3. PT Gelora Aksara
Pratama
Jackson, D. (2014).Keperawatan Medikal Bedah edisi 1. Yogyakarta, RaphaPubising.
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Ovedoff, D. 2006.Kapita selekta kedokteran 2 editor ed.Revisi 2. Jakarta, Binarupa
Padilla.2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Salemba Medika.
Revees, Charlene J. 2006. Buku saku Keperawastan Medikal Bedah . Jakarta: Salemba
Medika
Smelter, S.C. and Bare, B. G. 2006. Buku ajar keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Edisi 8 volume 2. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai