A. PENDAHULUAN
Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik
atau alergen. Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi
paparan, polesan genetik dari individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh
pejamu. Reaksi alergi terbagi menjadi empat kelas (tipe I – IV) berdasarkan
mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif.1
Tes kulit sebagai sarana penunjang diagnosis penyakit alergi, telah
dilakukan sejak lebih dari 100 tahun yang lalu, karena sederhana dan terbukti
memiliki hasil positif yang sama dengan kadar IgE spesifik atau tes provokasi.
Tes kulit terbagi menjadi: skin prick test, scracth test, friction test, patch test,
dan intradermal test. Di antara berbagai tes ini yang paling sering digunakan
adalah skin prick test karena mudah, murah, spesifik, dan aman. Menurut
laporan yang ada di Indonesia, skin prick test ini hampir tidak pernah
menimbulkan efek samping.. Tes ini relatif mudah dan nyaman untuk pasien
serta tidak mahal. Untuk dokter hasil pemeriksaan bisa didapatkan hanya
dalam waktu 20 menit sehingga penjelasan bisa diberikan kepada pasien
dengan cepat.2,3,4
Efek samping dan resiko skin prick test atau tes cukit amat jarang, dapat
berupa reaksi alergi yang memberat dan benjolan pada kulit yang tidak segera
hilang. Pemberian oral antihistamain dan kortikosteroid bisa dilberikan apabila
terjadi reaksi yang tidak diinginkan tersebut.3
Untuk lebih informatif terhadap pasien, maka anamnesis dan
pemeriksaan klinis tetap harus mendahului tes cukit ini. Dokter juga harus
waspada akan kemungkinan terjadinya hasil positif palsu dan negatif palsu
dalam menginterpretasikan hasil tes cukit ini.3
1
B. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Reaksi Hipersensitivitas adalah reaksi imunitas yang berlebihan yang
tidak diinginkan karena adanya ketidakseimbangan antara mekanisme efektor
dari respon imun dan mekanisme kontrol yang normalnya bekerja membatasi
respon dan berpotensi merusak jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas terbagi
menjadi empat yaitu,5
Gambar 1. Reaksi Hipersensitivitas tipe I, II, II, dan IV menurut Gell dan Combs
(Dikutip dari kepustakaan 6 )
1. Alergi Tipe 1
Reaksi yang muncul segera setelah alergen masuk dalam tubuh.
Disebut juga reaksi alergi, reaksi anafilaksis dan immediate
hypersensitivity. Patogenesisnya, alergen yang masuk melalui lapisan
mukosa ditangkap oleh sel B, kemudian terjadi aktivasi sel T helper 2 dan
terjadi pertukaran kelas. Kemudian sel B memproduksi IgE. IgE terikat pada
FcRI pada sel mast. Apabila terjadi pajanan ulang terhadap alergen, terjadi
aktivasi sel mast dan dikeluarkannya mediator seperti sitokinin, vasoaktif
2
amin dan mediator lipid. Sitokin akan membuat reaksi fase lambat 2-24 jam
setelah pajanan ulang terhadap alergen, sedangkan vasoaktif amin dan
mediator lipid akan bereaksi cepat, dalam beberapa menit setelah pajanan
ulang. Contoh reaksi hipersensitivias tipe 1 adalah asma bronkhial, rhinitis
alergi, urtikaria, dan dermatitis atopik.5,6
3
terjadinya vasodilatasi, hipersekresi, edem, spasme pada otot polos. Oleh
karena itu gejala klinisyang dapat ditemukan pada alergi tipe ini antara lain :
rinitis (bersin-bersin, pilek) ; sesak nafas (hipersekresi sekret), oedem dan
kemerahan (menyebabkan inflamasi) ; kejang (spasme otot polos yang
ditemukan pada syok anafilaksi).5,6
4
menghasilkan produk, terutama C3b dan C4b. Kedua protein itu terletak
pada permukaan sel dan dikenali oleh fagosit yang mengekspresikan
reseptor untuk keduanya. Terjadilah fagositosis pada sel yang
diopsonisasi tersebut. Selain itu komplemen teraktivasi memicu
pembentukan membran attacck compleks yang membuat lubang pada
membran bilayer lipid. Sehingga membran terganggu dan terjadi lisis
osmosis sel. Sel-sel yang dilingkupi IgG konsentrasi rendah akan
dimatikan oleh beragam sel efektor. ADCC dapat diperantarai oleh
monosit, neutrofil, eosinofil dan sel Natural Killer (NK).5,6
b. Reaksi Inflamasi : antibodi yang terdeposit pada jaringan mengaktivasi
komplemen hingga terbentuk berbagai produk termasuk agen kemotaktik
terutama C5a yang menarik leukosit PMN dan MN serta anafilatoksin.
Leukosit pun teraktivasi yang akan memicu produksi substansi lain yang
menyebabkan kerusakan jaringan. Disisi lain, di keluarkannya banyak
proinflamantorik, vasodilator, dan kemotaktik. Rangakaian kejadian
inilah yang menimbulkan inflamasi termediasi antibodi.
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II adalah Anemia Hemolitik AIHA,
kerusakan jaringan pada penyakit autoimun, seperti mistenia gravis dan
tirotoksikosis, dan sindrom goodpasture dan rusaknya sel darah merah
karena reaksi tranfusi.
3. Reaksi tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Reaksi tipe III disebut juga kompleks imun yakni terjadi kompleks
antigen-antibodi IgM dan IgG dalam jaringan yang memicu komplemen
yang akan dikeluarkannya berbagai mediator seperti, faktor kemotaktis
makrofag. Juga akan menstimulasi basofil dan trombosit yang
mengakibatkan pelepasan mediator seperti histamin. Akhirnya terjadi
permeabilitas vaskuler. Antigen berasal dari bakteri patogen, virus, jamur,
bahan inhalasi dan lain sebagainya. Contoh reaksi tipe III adalah : SLE
(sistematik Lupus eritematosus, glomerulonefritis, serum sickness dan
reaksi arthus).5,6
5
4. Reaksi tipe IV (Reaksi tipe Lambat)
Reaksi ini disebut juga reaksi hipersensitivitas tipe lambat, atau sel T
mediated hipersensitivitas. Reaksi ini timbul lebih dari 24 jam setelah
pajanan. Reaksi ini melalui delayed hipersensitivias dan sel T mediated
citolisis. Dalam Delayed tipe, akan melalui sel CD4, dimana sel ini
melepaskan sitokain yang mengaktivasi makrofag sehingga timbul
inflamasi. Kerusakan jaringan akibat produk makrofag yang diaktifkan
seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, dan oksida urat.
Contohya : dermatitis kontak, granuloma, reaksi tuberkulin.5,6
Tipe sel T mediated sitolisis, melalui sel CD8 yang akan mendestruksi
sel sasaran. Disini akan terjadi inflamasi yang diperantarai sitokin.
Contohnya : dermatitis kontak, multipel sklerosis, diabetes melitus tipe I,
reumatoid artritis, penyakit usus inflamatorik dan tuberkulosis.5
6
b. Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa
serangga.
c. Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada
dermatitis kontak
Kelebihan tes cukit dibanding Test Kulit yang lain :
a. Karena zat pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil jika
dibandingkan dengan zat pembawa berupa air.
b. Mudah dialaksanakan dan bisa diulang bila perlu.
c. Tidak terlalu sakit dibandingkan suntik intra dermal
d. Resiko terjadinya alergi sistemik sangat kecil, karena volume yang
masuk ke kulit sangat kecil.
e. Pada pasien yang memiliki alergi terhadap banyak alergen, tes ini
mampu dilaksanakan kurang dari 1 jam.
3. Tujuan dan Indikasi Tes Cukit
Tujuan Tes Cukit ( Skin Prick Test ) : untuk menentukan macam
alergen sehingga di kemudian hari bias dihindari dan juga untuk
menentukan dasar pemberian imunoterapi.6-8
Indikasi Tes Cukit ( Skin Prick Test ) :
a. Rinitis alergi : Apabila gejala tidak dapat dikontrol dengan medika
mentosa sehingga diperlukan kepastian untuk mengetahui jenis allergen
maka di kemudian hari alergen tersebut bisa dihindari.
b. Asthma : Asthma yang persisten pada penderita yang terpapar alergen
(perenial).
c. Kecurigaan alergi terhadap makanan. Dapat diketahui makanan yang
menimbulkan reaksi alergi sehingga bisa dihindari.
d. Kecurigaan reaksi alergi terhadap sengatan serangga.
Faktor-faktor yang mempengaruhi skin test
a. Area tubuh tempat dilakukannya tes
b. Umur
c. Sex
d. Ras
7
e. Irama sirkardian
f. Musim
g. Penyakit yang diderita
h. Obat-obatan yang dikonsumsi
4. Pelaksanaan
a. Persiapan Tes Cukit ( Skin Prick Test)
Sebagai dokter pemeriksa kita perlu menanyakan riwayat
perjalanan penyakit pasien, gejala dan tanda yang ada yang membuat
pemeriksa biasa memperkirakan jenis alergen, apakah alergi ini terkait
secara genetik dan bisa membedakan apakah justru merupakan penyakit
non alergi.6-8 Persiapan Tes Cukit :
1) Persiapan alat dan bahan/material
Ekstrak alergen yang terstandarisasi dan tidak kadaluwarsa.
Larutan histamin sebagai kontrol positif dan larutan buffer
sebagai.kontrol negatif.
Lancets steril untuk penusukan kulit.
wadah benda tajam untuk pembuangan lancets;
Marker pena untuk kulit sebagai penanda ekstrak alergen.
Penggaris untuk mengukur reaksi alergen.
Kapas alkohol untuk membersihkan ekstrak alergen.
Kertas catatan
Sarung tangan (opsional)
2) Pesiapan Penderita :
Menghentikan pengobatan antihistamin 5-7 hari sebelum tes.
Menghentikan pengobatan jenis antihistamin generasi baru paling
tidak 2-6 minggu sebelum tes.
Usia : pada bayi dan usia lanjut tes kulit kurang memberikan reaksi.
Jangan melakukan tes cukit pada penderita dengan penyakit kulit
misalnya urtikaria, SLE dan adanya lesi yang luas pada kulit. Pada
penderita dengan keganasan, limfoma, sarkoidosis, diabetes
8
neuropati juga terjadi penurunan terhadap reaktivitas terhadap tes
kulit ini.
3) Persiapan pemeriksa :
Teknik dan ketrampilan pemeriksa perlu dipersiapan agar tidak
terjadi interpretasi yang salah akibat teknik dan pengertian yang
kurang difahami oleh pemeriksa.
9
Ketrampilan teknik melakukan cukit
Teknik menempatkan lokasi cukitan karena ada tempat - tempat
yang reaktifitasnya tinggi dan ada yang rendah. Berurutan dari
lokasi yang reaktifitasnya tinggi sampai rendah : bagian bawah
punggung > lengan atas > siku > lengan bawah sisi ulnar > sisi
radial > pergelangan tangan.
Gambar 3. (a) Persiapan untuk tes tusuk kulit di lengan bawah , (b) cara
penempatan ekstrak alergen.
( Dikutip dari kepustakaan 8 )
10
Gambar 4. Penempatan penusukan cairan ekstrak alergen dengan menggunakan
lancet.
( Dikutip dari kepustakaan 8 )
11
Di Amerika cara menilai ukuran bentol menurut Bousquet (2001)
sebagai berikut :
-0 : reaksi (-)
(a) (b)
Tes kulit dapat memberikan hasil positif palsu maupun negatif palsu
karena tehnik yang salah atau faktor material/bahan ekstrak alergennya yang
kurang baik. Jika Histamin ( kontrol positif ) tidak menunjukkan gambaran
wheal / bentol atau flare/hiperemis maka interpretasi harus dipertanyakan.
Apakah karena sedang mengkonsumsi obat-obat anti alergi berupa anti
histamin atau steroid. Obat seperti tricyclic antidepresan, phenothiazines
adalah termaksud sejenis anti histamin. 9,10
Hasil negatif palsu dapat disebabkan karena kualitas dan potensi
alergen yang buruk, pengaruh obat yang dapat mempengaruhi reaksi alergi,
penyakit-penyakit tertentu, penurunan reaktivitas kulit pada bayi dan orang
tua, teknik cukitan yang salah (tidak ada cukitan atau cukitan yang lemah ).
12
Ritme harian juga mempengaruhi reaktifitas tes kulit. Bentol terhadap
histamin atau alergen mencapai puncak pada sore hari dibandingkan pada
pagi hari, tetapi perbedaan ini sangat minimal. 7
Hasil positif palsu disebabkan karena dermografisme, reaksi iritan,
reaksi penyangatan (enhancement) non spesifik dari reaksi kuat alergen
yang berdekatan, atau perdarahan akibat cukitan yang terlalu dalam.
Dermografisme terjadi pada seseorang yang apabila hanya dengan
penekanan saja bisa menimbulkan wheal/bentol dan flare/kemerahan.
Dalam rangka mengetahui ada tidaknya dermografisme ini maka kita
menggunakan larutan garam sebagai kontrol negatif. Jika Larutan garam
memberikan reaksi positif maka dermografisme positif.7,9,10
Semakin besar bentol maka semakin besar sensitifitas terhadap
alergen tersebut, namun tidak selalu menggambarkan semakin beratnya
gejala klinis yang ditimbulkan. Pada reaksi positif biasanya rasa gatal masih
berlanjut 30-60 menit setelah tes.7
Tes Cukit untuk alergen makanan kurang dapat diandalkan
kesahihannya dibandingkan alergen inhalan seperti debu rumah dan polen.
Skin test untuk alergen makanan seringkali negatif palsu.7
13
Jika benjolan menetap setelah dibersihkan menggunakan kapas alkohol,
dapat dilakukan pemberian antihistamain oral dan kortikosteroid oral
apabila terjadi reaksi yang tidak diinginkan tersebut. Pemberian antihistamin
topikal dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi gatal telah terbukti
tidak berguna.7
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Widuri, A. 2009. Terapi Antibodi IgE pada Rinitis Alergi. Bagian Ilmu
2017.
3. Heinzerling, L. Mari, A. Bergmann, KC. et al. 2013. The skin prick test –
4. Irawati, N. 2014. Hubungan Gejala Klinik Dengan Tes Kulit pada Penderita
FKUI. Jakarta.
7. ASCIA. 2016. Skin prick testing for the diagnosis of allergic disease.
Australia.
8. Turney, S. 2013. The Skin Prick Test Information For Patients. Oxford
Radcliffe Hospitals.
9. Mayo Clinic staff. 2014. Allergy skin tests: Identify the sources of your
10. Michalska, GK. 2014. Skin Prick Test in the Diagnosis of Allergy in the
15