Anda di halaman 1dari 31

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang

sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan Acquired Immuno

Deficiency Syndrome (AIDS). HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih

yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang

memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel

limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan

berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam

mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem

kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang

dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai

CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai

nol) (KPA, 2007).

Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.

Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim

reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan

menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu

HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan

masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua

Universitas Sumatera Utara


grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh

dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).

2.2. Pengertian AIDS

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang

berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang

disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk

melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus dan penyakit. AIDS

melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya

berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).

HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel

atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi

AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan

adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan

infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik (Zein, 2006).

Universitas Sumatera Utara


2.3. Epidemiologi

Gambar 2.1 Daerah Epidemi HIV/AIDS di dunia.

UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari

25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu

epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan

antiretrovirus bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim

bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup di tahun 2005 dan lebih

dari setengah juta (570.000) merupakan anak-anak. Secara global, antara 33,4 dan 46

juta orang kini hidup dengan HIV. Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang

terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal dunia,

peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981.(UNAIDS 2006)

Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam akibat

penggunaaan narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan adalah pengguna

narkotika ini sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan

kelompok usia produktif. Pada akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang

dilaporkan (Djauzi, S & Djoerban Z, 2007). Sampai akhir Desember 2008, jumlah

Universitas Sumatera Utara


kasus sudah mencapai 16.110 kasus AIDS dan 6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah

kematian akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai 3.362 orang. Dari seluruh

penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki dengan penyebaran

tertinggi melalui hubungan seks (Depkes RI, 2008).

2.4. Etiologi dan Patogenesis

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab

AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas

morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam

virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus

yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang

penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein

Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi

transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk

menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi

protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari

nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat

menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005). Setelah virus masuk dalam tubuh maka

target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap

molekul permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer

informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang

disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah

Universitas Sumatera Utara


fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan

respon imun yang progresif (Borucki, 1997).

Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan

viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus

tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah

terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu

sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali

meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten

klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi

virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan

dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam,

dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-CD4 yang terinfeksi memiliki

waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan

reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari

genom HIV mungkin bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2005).

Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit

klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih

tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV

yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih

virulin daripada yang ditemukan pada awal infeksi (Brooks, 2005). Infeksi

oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan daya tahan

tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis

Universitas Sumatera Utara


mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan

mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit

(Zein, 2006).

2.5. Cara Penularan

HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial

mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA,

2007). Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu melalui cairan tubuh

seperti darah ,cairan genitalia, dan ASI. Virus terdapat juga dalam saliva, air mata dan

urin (sangat rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat dalam air mata dan keringat. Pria

yang sudah di sunat memiliki resiko HIV yang lebih kecil dibandingkan dengan pria

yang tidak dissunat (Widoyono, 2008).

Selain melalui cairan tubuh, HIV ditularkan juga melalui :

1. Ibu Hamil

a. Secara interaurin, intrapartum, dan postpartum (ASI)

b. Angka transmisi mencapai 20-50%

c. Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga

d. Laporan lain menyatakan resiko penularan melalui ASI adalah 11-29%

e. Sebuah studi meta-analisis prosfektif yang melibatkan penelitian pada dua

kelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang menyusui sejak awal kelahiran bayi

dan kelompok ibu yang menyusui setelah beberapa waktu usia bayinya,

melaporkan angka penularan HIV pada bayi yang belum dissusui adalah 14%

Universitas Sumatera Utara


(yang diperoleh dari penularan melalui mekanisme kehamilan dan persalinan),

dan angka HIV meningkat menjadi 29% setelah bayinya dissusui. Bayi

normal dengan ibu HIV bisa memperoleh antibodi HIV dari ibunya selama 6-

15 bulan.

2. Jarum Suntik

a. Pervalensi 5-10 %

b. Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik karena

penyalahgunaan obat

c. Di antara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak pidana) dewasa, pengguna

obat suntik di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi HIV, di Bogor 25% dan di Bali

53%

3. Transfusi Darah

a. Resiko penularan sebesar 90%

b. Prevalensi 3-5%

4. Hubungan seksual

a. Prevalensi 70-80%

b. Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan intim

c. Model penularan ini adalah yang tersering di dunia. Akhir-akhir ini dengan

semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan kondom,

maka penularan melalui jalur ini cenderung menurun dan digantikan oleh

penularan melalui jalur penasun (pengguna narkoba suntik) (Widoyono 2008).

Universitas Sumatera Utara


2.6. Gejala Klinis

Orang yang terinfeksi virus HIV belum tentu AIDS. Perlu waktu 3-10 tahun

untuk menjadi AIDS. HIV positif belum tentu AIDS, tetapi akhirnya akan menjadi

AIDS, dan status HIV positif tidak pernah berubah menjadi HIV negatif. (Djuanda A,

2007). Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER)

(2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.

2.6.1. Fase Awal

Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda

infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala,

sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak

mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang

lain.

2.6.2. Fase Lanjut

Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih.

Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh,

penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti

pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat

badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.

2.6.3. Fase Akhir

Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah

terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir

pada penyakit yang disebut AIDS.

Universitas Sumatera Utara


2.7. Pengobatan

Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi kesehatan para

penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat dapat

disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi

sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan. Obat ARV terdiri

dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transkriptase inhibitor, nucleotide

reverse transcriptase inhibitor, non nucleotide reverse transcriptase inhibitor dan

inhibitor protease. Obat-obat ini hanya berperan dalam menghambat replikasi virus

tetapi tidak bisa menghilangkan virus yang telah berkembang (Djauzi, S. Djoerban

Z.,2007).

Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi

untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan

pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi

pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel

yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit

karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan

tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer

(Brooks, 2005).

2.8. Pencegahan

Menurut Muninjaya (1998), tiga cara untuk pencegahan HIV/AIDS adalah

Puasa (P) seks (abstinensia), artinya tidak (menunda) melakukan hubungan seks,

Universitas Sumatera Utara


Setia (S) pada pasangan seks yang sah (be faithful/fidelity), artinya tidak berganti-

ganti pasangan seks, dan penggunaan Kondom (K) pada setiap melakukan hubungan

seks yang beresiko tertular virus AIDS atau penyakit menular seksual (PMS) lainnya.

Ketiga cara tersebut sering disingkat dengan PSK.

Bagi mereka yang belum melakukan hubungan seks (remaja) perlu diberikan

pendidikan. Selain itu, paket informasi AIDS untuk remaja juga perlu dilengkapi

informasi untuk meningkatkan kewaspadaaan remaja akan berbagai bentuk

rangsangan dan rayuan yang datang dari lingkungan remaja sendiri (Muninjaya,

1998).

Mencegah lebih baik daripada mengobati karena kita tidak dapat melakukan

tindakan yang langsung kepada si penderita AIDS karena tidak adanya obat-obatan

atau vaksin yang memungkinkan penyembuhan AIDS. Oleh karena itu kita perlu

melakukan pencegahan sejak awal sebelum terinfeksi. Informasi yang benar tentang

AIDS sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak mendapat berita yang salah agar

penderita tidak dibebani dengan perilaku yang tidak masuk akal (Anita, 2000).

Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku

sehingga perilaku individu, masyarakat maupun kelompok sesuai dengan nilai-nilai

kesehatan. Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil

jangka menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Kemudian

perilaku kesehatan akan berpengaruh pada peningkatan indikator kesehatan

masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan. (Notoadmodjo, 2007).

Universitas Sumatera Utara


Paket komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang masalah AIDS adalah salah

satu cara yang perlu terus dikembangkan secara spesifik di Indonesia khususnya

kelompok masyarakat ini. Namun dalam pelaksanaannya masih belum konsisten

(Muninjaya, 1998).

Upaya penanggulangan HIV/AIDS lewat jalur pendidikan mempunyai arti

yang sangat strategis karena besarnya populasi remaja di jalur sekolah dan secara

politis kelompok ini adalah aset dan penerus bangsa. Salah satu kelompok sasaran

remaja yang paling mudah dijangkau adalah remaja di lingkungan sekolah (closed

community) (Muninjaya, 1998).

Keimanan dan ketaqwaan yang lemah serta tertekannya jiwa menyebabkan

remaja berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan hidup dan ingin diterima dalam

lingkungan atau kelompok tertentu. Oleh karena itu diperlukan peningkatan keimanan

dan ketaqwaan melalui ajaran-ajaran agama. (Badan Narkotika Nasional, 2009).

Cara-cara mengurangi resiko penularan AIDS antara lain melalui seks aman

yaitu dengan melakukan hubungan seks tanpa melakukan penetrasi penis ke dalam

vagina, anus, ataupun mulut. Bila air mani tidak masuk ke dalam tubuh pasangan

seksual maka resiko penularan akan berkurang. Apabila ingin melakukan senggama

dengan penetrasi maka seks yang aman adalah dengan menggunakan alat pelindung

berupa kondom (Yatim, 2006).

Hindari berganti-ganti pasangan dimana semakin banyak jumlah kontak

seksual seseorang, lebih mungkin terjadinya infeksi. Hindari sexual intercourse dan

lakukan outercourse dimana tidak melakukan penetrasi. Jenis-jenis outercourse

Universitas Sumatera Utara


termaksuk masase, saling rangkul, raba, dan saling bersentuhan tubuh tanpa kontak

vaginal, anal, atau oral (Hutapea, 1995).

Bagi pengguna obat-obat terlarang dengan memakai suntik, resiko penularan

akan meningkat. Oleh karena itu perlu mendapat pengetahuan mengenai beberapa

tindakan pencegahan. Pusat rehabilitasi obat dapat dimanfaatkan untuk menghentikan

penggunaan obat tersebut (Badan Narkotika Nasional, 2009).

Bagi seorang ibu yang terinfeksi AIDS bisa menularkan virus tersebut kepada

bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. ASI juga dapat

menularkan HIV, tetapi bila wanita sudah terinfeksi HIV pada saat mengandung

maka ada kemungkinan si bayi lahir sudah terinfeksi HIV. Maka dianjurkan agar

seorang ibu tetap menyusui anaknya sekalipun HIV. Bayi yang tidak diberi ASI

beresiko lebih besar tertular penyakit lain atau menjadi kurang gizi (Yatim, 2006).

Bila ibu yang menderita HIV tersebut mendapat pengobatan selama hamil maka dapat

mengurangi penularan kepada bayinya sebesar 2/3 daripada yang tidak mendapat

pengobatan (MFMER, 2008).

2.9. Sikap

2.9.1. Definisi Sikap

Menurut L.L Thursione dalam Ahmadi (2007) Sikap sebagai tingkatan

kecenderungan yang bersifat positif dan negatif yang berhubungan dengan objek

psikologi, objek psikologi meliputi: simbol, kata, selogan, orang, lembaga, ide dan

sebagainya.

Universitas Sumatera Utara


Sikap adalah organisasi yang tetap dari proses motivasi, emosi, persepsi, atau

pengamatan atas suatu aspek dari kehidupan individu.

Menurut Gerungan dalam Ahmadi (2007). Pengertian attitude dapat

dierjemahkan dengan kata sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan

sikap, pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap mana disertai oleh kecendrungan

untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tadi itu. Jadi attitude itu lebih

diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap satu hal.

Jadi sikap ialah suatu hal yang menentukan sifat, hakikat, baik perbuatan

sekarang maupun perbuatan yang akan datang.

Menurut Ahmadi tiap-tiap sikap mempunyai tiga aspek, yaitu :

1. Aspek Kognitif: yaitu yang berhubungan dengan gejala mengenak pikiran. Ini

berarti berwujud pengolahan, pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan

individu tentang objek tau kelompok objek tertentu.

2. Aspek Afektif: berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu

seperti ketakuttan, kedengkian, simpati, antipasti dan sebagainya yang ditujukan

kepada objek-objek tertentu.

3. Aspek Konatif: berwujud proses tendensi/kecendrungan untuk berbuat sesuatu

objek, misalnya kecendrungan member pertolongan, menjauhkan diri dan

sebagainya.

Universitas Sumatera Utara


2.9.2. Sikap Sosial dan Individual

2.9.2.1. Sikap Sosial

Sikap sosial dinyatakan tidak oleh seorang saja tetapi dipehatikan oleh orang-

orang sekelompoknya. Objeknya adalah objek sosial (objeknya banyak orang dalam

kelompok) dan dinyatakan berulang-ulang. Misalnya: sikap bergabung seluruh

anggota kelompok karna meninggalnya seorang pahlawannya.

Jadi yang menandai adanya sikap moral adalah:

a. Subjek yaitu orang-orang dalam kelompoknya.

b. Objek yaitu objeknya sekelompok, objeknya sosial.

c. Dinyatakan berulang-ulang

2.9.2.2. Sikap Individual

Ini hanya dimiliki secara individual seorang demi seorang. Objeknya pun

bukan merupakan objek sosial. Misalnya: sikap yang berupa kesenangan atas salah

satu jenis makanan atau salah satu jenis tumbuh-tumbuhan.

Individu akan sangat senang dengan rujak cingur. Senang yang bersifat

individual. Mungkin orang-orang lain meskipun dalam kelompoknya belum tentu

senang akan rujak cingur. Objeknya bukan objek sosial.

Menurut Ahmadi (2007), sikap dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu:

1. Sikap Positif: sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima,

mengakui, menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana

individu itu berada.

Universitas Sumatera Utara


2. Sikap Negatif: sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau

tidak menyetujui norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.

Apabila individu memiliki sikap yang positif terhadap suatu obyek ia akan siap

membantu, memperhatikan, berbuat sesuatu yang menguntungkan obyek itu.

Sebaliknya bila ia memiliki sikap yang negatif terhadap suatu objek, maka ia akan

mengancam, mencela,menyerang bahkan membinasakan obyek itu (Ahmadi,2007).

Menurut Notoatmojo (2007) sikap terdiri dari beberapa tingkatan yaitu:

1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan (objek).

2. Merespon (Responding)

Memberi jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang

diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah

adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung Jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko

merupakan sikap yang paling tinggi.

2.9.3. Prasangka Sosial

Prasangka timbul dari adanya norma sosial. Pada kebanyakan anak-anak di

Amerika Serikat prasangka terhadap orang Negrosudah terlihat pada tahu-tahun

Universitas Sumatera Utara


prasekolah. Anak menyadari bahwa ia telah masuk dalam kelompoknya yaitu

keluarganya dan meluas kepada bangsanya (Ahmadi, 2007).

Prasangka sosial (social prejudice) merupakan gejala psikologi sosial.

Prasangka sosial ini merupakan masalah yang penting dibahas dalam intergroup

relation. Prasangka sosial atau juga prasangka kelompok yaitu suatu prasangka yang

diperlihatkan anggota-anggota suatu kelompok terhadap kelompok-kelompok lain

termasuk para anggotanya.

Beberapa ahli meninjau pengertian prasangka sosial dari berbagai sudut:

Menurut Kimball Young dalam (Ahmadi, 2007) prasangka adalah mempunyai ciri

khas petentangan antara kelompok yang ditandai oleh kuatnya in group dan out

group.

Sherif and Sherif dalam (Ahmadi,2007) mengatakan prasangka sosial adalah

sikap negatif para anngota suatu kelompok, berasal dari norma mereka yang pasti,

kepada kelompok lain beserta anggotanya. Jadi prangsaka sosial adalah suatu sikap

negatif yang diperlihatkan oleh individu lain atau kelompok lain.

Orang tidak begitu saja secara otomatis berprasangka terhadap orang lain.

Tetapi ada factor-faktor tertentu yang menyebabkan ia berprasangka di sini. Berkisar

pada masalah yang bersifat negatif terhadap orang (kelompok lain). Ada beberapa

faktor yang menyebabkan timbulnya prasangka:

1. Orang berprasangka dalam rangka mencari kambing hitam. Dalam berusaha,

seseorang mengalami kegagalan atau kelemahan sebab dari kegagalan itu dicari

pada dirinya sendiri tetapi pada orang lain. Orang lain inilah yang dijadikan

Universitas Sumatera Utara


kambing hitam sebagai sebab kegagalannya, misalnya: terjajah dengan

penjajahan. Suatu bangsa dijajah dalam waktu yang vukup lama. Setelah bebas

kembali, bangsa itu berusaha membangun negaranya usaha pembangunan ini

ternyata tidak berhasil atau gagal. Sebab kegagalan ini tidak dicari pada diri

bangsa itu sendiri, tetapi ditemukan atau dibebankan kepada bangsa penjajahan.

2. Orang berprasangka, karna ia sudah dipersiapkan didalam lingkungannya atau

kelompoknya untuk berprasangka. Misalnya: seorang anak Amerika Serikat

(kulit putih) dilahirkan didalam keluarga kulit putih. Didalam keluarga itu sudah

dianut atau ditegakkan suatu norma tertentu yaitu bahwa orang Negro itu

pemalas, bodoh, tidak tahu kesusilaan dan kotor.

Anggapan semacam ini sudah tertanam pada diri anak sejak kecil, sehingga anak

akan mengikuti pula anggapan semacam ini. Berdasarkan ini maka tidak mustahil

bila terjadi seorang anak kulit putih telah berprasangka terhadap terhadap orang

Negro, meskipun anak tersebut belum pernah bergaul dengan orang Negro. Hal

semacam ini tentu saja merugikan perkembangan anak.

3. Prasangka timbul karena adanya perbedaan,dimana perbedaan ini menimbulkan

perasaan superior. Perbedaan di sini bisa meliputi

a. Perbedaan fisik/biologis, ras

Misalnya: Amerika Serikat dan Negro.

b. Perbedaan lingkungan/geografis.

Misalnya: orang kota dan orang desa.

Universitas Sumatera Utara


c. Perbedaan kekeyaan

Misalnya: orang kaya dan orang miskin

d. Perbedaan status sosial

Misalnya: majikan dan buruh

e. Perbedaan kepercayaan/agama

f. Perbedaan norma sosial.

Dan masih banyak lagi perbedaan-perbedaan diman perbedaan itu menimbulkan

perasaan superior.

4. Prasangka timbul karena kesan yang menyakitkan atau pengalaman yang tidak

menyenangkan.

Misalnya: bangsa yang dijajah dengan bangsa penjajah. Kesan dari bangsa dari

bangsa yang dijajah ialah bahwa penjajah itu kejam, mengharuskan kerja paksa,

merampas kebebasan dan sebagainya. Dengan kesan tau pengalaman semacam

ini terjajah akan berprasangka terhadap penjajah.

5. Prasangka timbul karena adanya anggapan yang sudah menjadi pendapat umum

atau kebiasaan didalam lingkunagn tertentu. Misalnya: orang selalu berprasangka

terhadap status ibu tiri, atau anak tiri.

2.10. Stigma

2.10.1. Pengertian Stigma

Stigma berasal dari bahasa Inggris yang artinya noda atau cacat, sering juga

disebut sebagai pandangan yang negatif. Stigma juga berarti pencemaran, perusakan

Universitas Sumatera Utara


yang memberikan pengaruh yang buruk pada penerimaan sosial seorang individu

yang terkena (Dadang, 2001).

Menurut Busza (2004) secara umum stigma merujuk pada persepsi yang

negatif pada suatu keadaan yang sebenarnya tidak terbukti. Stigma adalah suatu hal

yang dipakai seseorang atau kelompok dalam menganggap suatu keadaan yang

negatif yang kemudian akan dipakai menjadi suatu norma pada seseorang atau

kelompok dalam masyarakat.

Maman dalam Leslie Butt (2010) mendefenisikan stigma sebagai perbedaan-

perbedaan yang merendahkan yang secara sosial dianggap mendiskreditkan, dan

dikaitkan dengan berbagai stereotip negatif. Diskriminasi sendiri merupakan aksi-aksi

spesifik yang didasarkan pada berbagai stereotip negatif ini yakni aksi-aksi yang

dimaksudkan untuk mendiskredit dan merugikan orang. Dalam praktek, seseorang

yang terkena stigma dianggap sebagai tantangan bagi tatangan moral (stigmatisasi),

sehingga orang tersebut mesti dijatuhkan/direndahkan, atau dikucilkan (diskriminasi).

Parker dan Aggleton dalam Leslie Butt (2010) menekankan bagaimana stigma terjadi

pada berbagai tingkat. Keduanya mengidentifikasi 4 tingkat utama terjadinya stigma:

1. Diri: berbagai mekanisme internal yang dibuat diri sendiri, yang kita sebut

stigmatisasi diri.

2. Masyarakat: gosip, pelanggaran dan pengasingan di tingkat budaya dan

masyarakat

3. Lembaga: perlakuan preferensial atau diskriminasi dalam lembaga-lembaga

Universitas Sumatera Utara


4. Struktur: lembaga-lembaga yang lebih luas seperti kemiskinan, rasisme, serta

kolonialisme yang terus-menerus mendiskriminasi suatu kelompok tertentu.

Menurut Adam (2000) Perhatian terhadap stigma sesuai dengan perhatian yang

lebih luas tentang penyimpangan dan penamaannya. Tindakan penamaan seringkali

menggerakkan proses rekonstruksi kognitif yang merusak, yang memberikan data

perilaku sebuah makna yang hampa dan tidak menyenangkan, karena itu muncul

kecenderungan kuat bagi reaksi stigmatisasi untuk bergerak di dalam arah stereotype

yang merasionalkan atau menjelaskan pengaruh negatif yang ada. Meskipun

demikian banyak reaksi stigmatisasi pada awalnya dicirikan oleh kegelisahan yang

samar-samar dan pengaruh yang tidak pada tempatnya.

2.10.2. Stigma Orang dengan HIV/AIDS

Stigma adalah label negatif yang diberikan pada orang dengan HIV/ AIDS

atau ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Ini akibat persepsi yang keliru. Gambaran

negatif pada ODHA dibangun dari informasi yang tidak lengkap, tidak benar dan

tidak jelas. Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia

terhadap pengidap AIDS terdapat dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan

pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga

terinfeksi HIV; diwajibkannya uji coba HIV tanpa mendapat persetujuan terlebih

dahulu atau perlindungan kerahasiaannya; dan penerapan karantina terhadap orang-

orang yang terinfeksi HIV. Kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah

banyak orang untuk melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil tes mereka, atau

berusaha untuk memperoleh perawatan; sehingga mungkin mengubah suatu sakit

Universitas Sumatera Utara


kronis yang dapat dikendalikan menjadi "hukuman mati" dan menjadikan meluasnya

penyebaran HIV. (Humas BNN 2011)

Menurut Herek and Capitanio (1999) stigma ODHA lebih jauh dapat dibagi

menjadi tiga kategori:

1. Stigma Instrumental ODHA yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-

hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.

2. Stigma Simbolis ODHA yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan

sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap

berhubungan dengan penyakit tersebut.

3. Stigma Kesopanan ODHA yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan

dengan issu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.

Stigma ODHA sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama

yang berhubungan dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan penggunaan

narkoba melalui suntikan. Di banyak negara maju, terdapat penghubungan antara

AIDS dengan homoseksualitas atau biseksualitas, yang berkorelasi dengan tingkat

prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya sikap-sikap anti homoseksual.

Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan antara AIDS dengan hubungan

seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi antara pasangan yang belum

terinfeksi

Menurut Laila Erni Yusnita (2012) ada beberapa faktor-faktor yang

mempengaruhi stigma terhadap HIV/AIDS yakni HIV/AIDS adalah penyakit yang

mengancam jiwa, orang-orang takut terinfeksi HIV, penyakit dihubungkan dengan

Universitas Sumatera Utara


perilaku yang telah terstigma dalam masyarakat, ODHA sering dianggap sebagai

yang bertanggung jawab bila ada terinfeksi, nilai-nilai moral atau agama membuat

orang yakin bahwa HIV/AIDS sebagai hasil dari pelanggaran moral.

Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila

dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang

hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau

sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS

(ODHA).

Menurut Leslie Butt (2010) dari hasil penelitian mereka di pegunungan Papua

dengan 28 responden dari latar belakang yang beragam, para responden

mengungkapkan mereka mengalami stigma dari berbagai sumber. Diantaranya:

1. Pengungkapan status mereka tanpa sepengetahuan mereka oleh orang-orang lain

2. Pengungkapan status mereka secara sukarela oleh orang-orang lain

3. Pengungkapan status mereka oleh seseorang yang berpengaruh seperti pemimpin

gereja atau petugas kesehatan

4. Pengungkapan status mereka oleh orang tua

5. Kesalahan dalam penyediaan layanan kesehatan

6. Kurangnya akses ke obat-obatan ARV atau akses yang diketahui orang lain

7. Kurangnya pengetahuan tentang HIV, transmisi dan ARV

8. Diskriminasi oleh kerabat jauh dan masyarakat

9. Pemahaman-pemahaman budaya dan praktek-praktek seputar penyakit keras

Universitas Sumatera Utara


10. Nilai-nilai budaya yang berkenaan dengan kematian dan menjelang

kematian/sekarat

a. Nilai-nilai budaya tentang pengasingan

b. Kondisi-kondisi politik yang menyebabkan rasisme

c. Tak adanya atau kurangnya layanan kesehatan

d. Penundaan dalam penyediaan berbagai layanan dasar

e. Stigmatisasi diri

2.10.3. Issu Mengenai Stigma ODHA

Berikut beberapa issu mengenai stigma ODHA menurut Kesrepro (2007):

1. Dukungan Bagi ODHA dan Keluarga

ODHA mengalami proses berduka dalam kehidupannya, sebuah proses yang

seharusnya mendorong pada penerimaan terhadap kondisi mereka. Namun,

masyarakat dan lembaga terkadang memberikan opini negatif serta

memperlakukan ODHA dan keluarganya sebagai warga masyarakat kelas dua. Hal

ini menyebabkan melemahnya kualitas hidup ODHA.

2. Tempat Layanan Kesehatan

Sering terjadi, lembaga yang diharapkan memberikan perawatan dan dukungan,

pada kenyataannya merupakan tempat pertama orang mengalami stigma dan

diskriminasi. Misalnya, memberikan mutu perawatan medis yang kurang baik,

menolak memberikan pengobatan -seringkali sebagai akibat rasa takut tertular

yang salah kaprah. Contoh dari stigma dan diskriminasi yang dihadapi ini adalah:

alasan dan penjelasan kenapa seseorang tidak diterima di rumah sakit (tanpa

Universitas Sumatera Utara


didaftar berarti secara langsung telah ditolak), isolasi, pemberian label nama atau

metode lain yang mengidentifikasikan seseorang sebagai HIV positif, pelanggaran

kerahasiaan, perlakuan yang negatif dari staf, penggunaan kata-kata dan bahasa

tubuh yang negatif oleh pekerja kesehatan, juga akses yang terbatas untuk fasilitas-

fasilitas rumah sakit.

3. Akses untuk Perawatan

ODHA seringkali tidak menerima akses yang sama seperti masyarakat umum dan

kebanyakan dari mereka juga tidak mempunyai akses untuk pengobatan ARV

mengingat tingginya harga obat-obatan dan kurangnya infrastruktur medis di

banyak negara berkembang untuk memberikan perawatan medis yang

berkualitas.Bahkan ketika pengobatan ARV tersedia, beberapa kelompok mungkin

tidak bisa mengaksesnya, misalnya karena persyaratan tentang kemampuan

mereka untuk mengkonsumsi sebuah zat obat, yang mungkin terjadi pada

kelompok pengguna narkoba suntikan.

4. Pendidikan

Hak untuk mendapat pendidikan bagi ODHA dan kelompok lain yang rentan

terkadang diremehkan melalui penolakan untuk memasukkan murid ke sekolah

dan universitas, penolakan untuk mengakses fasilitas sekolah, perlakuan yang

negatif dari teman sebaya dan lainnya di lingkungan sekolah, pengucilan di kelas,

dan tidak adanya keinginan untuk mengajak siswa mengikuti pemeriksaan

kesehatan, dll. Lebih jauh lagi, cara mengajar tanpa diskriminasi HIV/AIDS

seringkali tidak masuk dalam kurikulum.

Universitas Sumatera Utara


5. Sistem Peradilan

Perilaku negatif atau prasangka terhadap ODHA dapat direfleksikan dengan

penolakan atau akses yang lebih sedikit untuk sistem peradilan dan penilaian

menyangkut issu-issu seperti kerahasiaan status HIV dan perlindungan dalam

kasus perkosaan/penganiayaan. Sistem peradilan juga dapat meningkatkan

stigmatisasi, misalnya ketika kelompok yang rentan, misalnya pekerja seks dan

pengguna narkoba, dianggap bersalah ketimbang diberi dukungan untuk mencegah

penularan HIV.

6. Politik

Kalangan eksekutif yang tidak berbuat apa-apa di bidang HIV/AIDS dapat

melegitimasi stigma dan diskriminasi, khususnya ketika sikap diskriminasi

ditujukan kepada AIDS dan orang-orang di sekitarnya, ODHA atau kelompok

marjinal lainnya diabaikan dalam proses penegakan hukum, dan mereka yang

melakukan diskriminasi dibiarkan saja.

7. Organisasi Kepercayan

Pada beberapa kejadian, organisasi kepercayaan turut memberikan prasangka

buruk terhadap ODHA dan keluarganya. Ini secara khusus terlihat lewat perlakuan

terhadap issu seksualitas, seks dan penggunaan narkoba, penggunaan alat

kontrasepsi, pasangan seksual lebih dari satu, dan adanya kepercayaan bahwa

HIV/AIDS adalah merupakan kutukan dari Tuhan.

Universitas Sumatera Utara


8. Media

Beberapa jurnalis tidak mempunyai pengetahuan yang cukup atau informasi dasar

ketika memberitakan situasi yang menyangkut kelompok rentan dan ODHA.

Kesalahan informasi bisa mendorong adanya komentar yang tidak pantas,

penggunaan istilah yang negatif, sensasionalisasi pelanggaran kerahasiaan dan

terus berlangsungnya perlakuan negatif terhadap ODHA dan mereka yang terkena

dampaknya, seperti juga terhadap kelompok yang rentan.

9. Tempat Kerja

Kemampuan untuk membiayai hidup dan untuk dipekerjakan adalah merupakan

hak dasar manusia. Issu-issu yang berhubungan dengan HIV/AIDS menyangkut

pengangkatan dan pemecatan, keamanan karyawan, pemecatan yang tidak adil,

asuransi kesehatan, absen dari kerja untuk tujuan kesehatan, alokasi kerja,

lingkungan yang aman, gaji dan tunjangan, perlakuan atasan dan rekan kerja,

skining HIV untuk semua karyawan, promosi dan pelatihan.Seringkali pemikiran

di balik issu-issu terkait ini adalah adanya kepercayaan bahwa tidak ada gunanya

menginvestasi uang pada seseorang yang akhirnya toh akan meninggal. Tidak

adanya kebijakan perekrutan adalah kondisi rumit yang seringkali terabaikan.

2.10.4. Ketakutan Akan Stigma dan Diskriminasi, Kendala Utama Penanganan


HIV/AIDS

Masyarakat masih memberikan stigma dan diskriminasi kepada penderita HIV

/AIDS. Faktor-faktor yang menimbulkan stigma dan diskriminasi di masyarakat

adalah karena penyakit HIV / AIDS dapat mengancam jiwa, informasi yang kurang

Universitas Sumatera Utara


tepat mengenai penyakit HIV / AIDS dan adanya kepercayaan dimasyarakat bahwa

penyakit ini adalah merupakan suatu “hukuman” atas perbuatan yang melanggar

moral atau tidak bertanggungjawab sehingga penderita HIV / AIDS itu “pantas”

untuk menerima perlakuan-perlakuan yang tidak selayaknya mereka

dapatkan. Adanya ketakutan, stigmatisasi dan diskriminasi menimbulkan dampak

penolakan dari masyarakat bahkan penolakan dari akses pendidikan dan kesehatan.

Tindakan penolakan itu bisa berupa sekedar ucapan hingga berupa penyiksaan

psikologis dan fisik yang traumatis. Trauma yang diterima penderita HIV menjadi

bertumpuk-tumpuk, selain trauma karena tahu yang akan terjadi pada tubuhnya bila

menderita HIV, juga trauma karena adanya stigma dan diskriminasi yang melekat

terus sepanjang hidupnya (Wikipedia 2011).

Ketakutan tidak diterima masyarakat dan ditolak dimana-mana bisa

menghambat kemauan para resiko tinggi menderita HIV dan orang yang dicurigai

menderita HIV untuk dilakukan pemeriksaan. Mereka tidak ingin tahu dan tidak mau

tahu kalau mereka menderita HIV. Padahal kemauan secara sadar untuk mendatangi

fasilitas untuk mengetes positif tidaknya orang ini sangat dibutuhkan saat ini.

Perkembangan di bidang kesehatan memberikan kemudahan pengetesan HIV yang

sebanding dengan pengetesan gula darah, dimana Rapid Test HIV dapat dilakukan

hanya dengan menggunakan sedikit darah dapat dilakukan ditingkat Puskesmas

tertentu. Akan menjadi percuma dibangunnya klinik VCT di tiap RSUD dan

puskesmas berbasis reproduksi bila stigma dan diskriminasi masih saja menghantui

para resiko tinggi HIV/AIDS untuk menggunakan fasilitas ini.

Universitas Sumatera Utara


Perkembangan penelitian obat-obatan antiretroviral maupun penelitian obat-

obatan peningkat sistem imun mampu mengurangi dampak buruk dari penyakit ini.

Seharusnya, penderita HIV bisa diperlakukan yang sama dengan pengindap virus

yang lain. Bukankah virus Flu Babi lebih menakutkan karena bisa menular tanpa

adanya kontak fisik sekalipun?. Fakta sudah membuktikan bahwa disaat ini HIV

/ AIDS sudah menjadi penyakit yang dapat dicegah dan diterapi maka diharapkan

perubahan perilaku penolakan, stigma dan diskriminasi akan dapat dikurangi.

2.10.5. Stigma HIV/AIDS Masih Berkutat pada Masalah Seks

Awalnya memang perkembangan HIV/AIDS dikalangan yang suka berganti-

ganti pasangan, Homoseksual, dan Pekerja Seks Komersial (PSK) cukup tinggi, tetapi

itu terjadi pada tahun sekitar tahun 1970 hingga tahun 1980 an. Sehingga yang terjadi

di masyarakat memberikan stigma bahwa yang terkena HIV/ AIDS biasanya juga dari

kalangan homoseksual dan PSK. Penularan melalui hubungan seksuallah yang

digembar-gemborkan sebagai penyebab utama penyakit HIV/AIDS sehingga

kampanye penggunaan kondom dan safe sex pun digalakkan dimana-mana.

Kampanye dan konseling juga dilakukan pada kalangan yang dianggap

beresiko tinggi terhadap penyakit HIV/AIDS ini. Bermunculan LSM dan lembaga-

lembaga milik pemerintah yang menekankan perilaku seksual sebagai penyebab

utama penularan penyakit ini, dan ini masih berlangsung hingga sekarang. Usaha-

usaha yang telah dilakukan antara lain adalah adanya Peer Konseling, Penyuluhan

Kesehatan Reproduksi, Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR),

penyuluhan kepada organisasi yang menampung para homoseksual, skreening kepada

Universitas Sumatera Utara


PSK, serta fokus – fokus lain yang masih saja berkutat pada “seks”. Usaha – usaha ini

sudah cukup berhasil menekan penularan HIV / AIDSlewat transmisi seksual.(PKM

Mojongagung 2009)

2.11. Penerimaan

Penerimaan adalah : suatu proses, cara, perbuatan menerima : penyambutan

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007).

Penerimaan akan memperlihatkan perlakuan yang positif, menerima

sepenuhnya sesuatu perkara dengan hati yang ikhlas tanpa ada unsur-unsur terpaksa.

(Kementerian Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan, 2011).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan masyarakat

adalah suatu proses atau perbuatan menerima dengan memperlihatkan perlakuan yang

positif dengan ikhlas tanpa unsur-unsur paksaan.

2.12. Landasan Teori

Pada penelitian ini, landasan teori yang digunakan adalah teori-teori relevan,

yang dissusun untuk menjelaskan tentang variabel-variabel yang akan diteliti dalam

penelitian ini (Ridwan, 2005). Konsep umum yang dijadikan landasan teori adalah

sikap.

Penerimaan masyarakat terhadap stigma ODHA berawal dari bagaimana

sikapnya. Menurut Gerungan dalam Ahmadi (2007) pengertian attitude dapat

diterjemahkan dengan kata sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan

Universitas Sumatera Utara


sikap, pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap mana disertai oleh kecenderungan

untuk bertindak terhadap objek tadi. Jadi attitude itu lebih diterjemahkan sebagai

sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal.

Menurut Zimbardo and Ebbesen, sikap adalah suatu predisposisi (keadaan

mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide, atau objek yang berisi komponen-

komponen cognitive, affective, dan behaviour.

Sikap terbagi dua yaitu sikap sosial dan individual, dan dibedakan atas :

1. Sikap Positif : sikap menunjukkan atau memperlihatkan menerima, mengakui,

menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu

berada.

2. Sikap Negatif : sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau

tidak menyetujui norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.

Menurut Sherif and Sherif dalam Ahmadi (2007), prasangka sosial adalah

suatu sikap negatif para anggota suatu kelompok berasal dari norma mereka yang

pasti kepada kelompok lain beserta anggotanya. Dengan demikian prasangka sosial

adalah suatu prasangka negatif yang diperlihatkan oleh individu atau kelompok

terhadap individu lain atau kelompok lain. Dengan adanya prasangka sosial ini akan

mempengaruhi masyarakat dalam mengambil suatu sikap penerimaan masyarakat

terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

Universitas Sumatera Utara


2.13. Kerangka Konsep

Stigma masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah label

negatif yang diberikan pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Ini akibat adanya

prasangka sosial yang negatif terhadap ODHA. Variabel-variabel yang merupakan

objek dalam penelitian ini, dikumpulkan dan dihubungkan satu dengan yang lainnya

dalam bentuk bagan sesuai dengan tujuan penelitian, sebagai kerangka konsep

penelitian. Jadi kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Stigma terhadap ODHA:


- Stigma Instrumental Penerimaan Masyarakat
- Stigma Simbolis terhadap ODHA
- Stigma Kesopanan

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai