Anda di halaman 1dari 131

PENGARUH KONSEP DIRI

TERHADAP PENERIMAAN DIRI ANAK JALANAN


(STREET CHILDREN) DI RPSA KOTA SEMARANG

Skripsi

Disajikan sebagai salah satu syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi S1
Jurusan Psikologi

Oleh
Dyah Naila Husniyati
NIM 1550402027

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2009
PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang pada hari Jum’at tanggal 14
Agustus 2009.

Panitia:

Ketua Sekretaris

Drs. Hardjono, M.Pd Siti Nuzulia, S.Psi., M.Si


NIP. 130781006 NIP. 132307257

Penguji Utama,

Dra. Sri Maryati Deliana, M.Si


NIP. 131125886

Penguji /Pembimbing I Penguji /Pembimbing II

Drs. Sugeng Haryadi, M.S Drs, Sugiyarta SL, M.Si


NIP.131472593 NIP. 131469637

ii
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini merupakan hasil karya
penulis sendiri, bukan buatan orang lain, dan tidak menjiplak karya ilmiah orang
lain, baik seluruhnya ataupun sebagian. Pendapat dan temuan orang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Agustus 2009

Dyah Naila Husniyati


NIM.1550402027

iii
MOTTO DAN PERUNTUKAN

MOTTO
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajad. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
(Al-Mujaadalah:11)

Langkah penting yang harus dilakukan seorang pelari dalam arena


perlombaan bukan hanya saat ia memulai garis start, ataupun cukup
dengan semangat yang menyala-nyala, namun yang terpenting yaitu
bagaimana ia dapat terus bertahan dan berjuang dengan sekuat tenaga
untuk mencapai tujuan akhir yaitu finish
(anonim)

PERUNTUKAN

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada :

Allah SWT Yang Maha Agung

Bapak dan Ibu tercinta atas keringat, doa, dan cinta kasih yang

tiada mengenal batas ruang dan waktu

Kedua kakakku Any dan Asty, dan

Keponakanku Danidzar

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hanya dengan Rahmat dan

Karunia-NYA penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul

”Pengaruh Konsep Diri Terhadap Penerimaan Diri Anak Jalanan (Street Children)

di RPSA Kota Semarang.”

Penyusunan skripsi ini mampu terselesaikan berkat kerjasama, bantuan,

dan dorongan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drs. Hardjono, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri

Semarang.

2. Dra. Tri Esti Budiningsih, Ketua Jurusan Psikologi yang telah memberikan

dukungan, dorongan, dan bimbingan kepada penulis.

3. Drs. Sugeng Haryadi, M.S, dosen pembimbing I yang telah memberikan

bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini

hingga dapat terselesaikan.

4. Drs. Sugiyarta S.L, M.Si., dosen pembimbing II yang telah memberikan

bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini

hingga dapat terselesaikan.

5. Seluruh staf pengajar Jurusan Psikologi yang telah memberikan bekal ilmu

dan pengetahuan di bidang Psikologi.

6. Bapak, Ibu, kakak-kakakku Any dan Asty, serta keponakanku Danidzar yang

telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dan pelajaran hidup yang

sangat berharga.

v
7. Semua sahabat jurusan Psikologi khususnya Ogiee, Mbak Yanti, Titik, Diana,

Wida, Cipoet dan Ririn atas semangat dan persahabatan yang diberikan.

8. Teman-teman seperjuangan bimbingan Fitri, Diana, Ratna, Aprilia, Lia, Sita,

Ayas, Lukita, dan teman-teman lainnya.

9. Nia, Ria, Cahya, Elok, terimakasih atas dukungan, semangat, dan bantuannya

selama ini.

10. Teman-teman angkatan 2002 Psikologi Unnes, terimakasih atas kebersamaan

dan semangatnya.

11. Teman-teman di jalan, terutama di Siranda dan Johar yang telah banyak

membantu penulis, Ester (Atun), Ari, Yanto, Melan, Resa, Indah, Dani,

Wulan, Naim, terimakasih.

12. Septi, mbak Ika, Mas Dwi dan mas Wahid di RPSA Gratama, terimakasih

banyak atas dukungan, bantuan dan kerjasamanya.

13. Pihak RPSA Anak Bangsa dan yayasan Setara terutama mas BDN,

terimakasih atas bantuan dan pencerahannya.

14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah

membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun

tidak langsung.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan

memberikan masukan bagi pembaca.

Semarang, Agustus 2009

Penulis

vi
ABSTRAK

Husniyati, Dyah Naila. 2009. Pengaruh Konsep Diri Terhadap Penerimaan Diri
Anak Jalanan (Street Children) di RPSA Kota Semarang. Skripsi, Psikologi,
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing:
Drs. Sugeng Haryadi, M.S dan Drs. Sugiyarta SL, M.Si.

Kata kunci : Konsep Diri, Penerimaan Diri, Anak Jalanan

Anak jalanan memiliki permasalahan yang kompleks. Latar belakang yang


menjadikan anak turun ke jalan serta kehidupannya di jalan menjadi sangat
penting artinya bagi pembentukan dan perkembangan psikologis anak terutama
dalam pembentukan konsep diri yang nantinya akan mempengaruhi bagaimana
penerimaan diri anak jalanan itu sendiri. Penerimaan diri erat kaitannya dengan
konsep diri yang dimiliki seseorang. Konsep diri merupakan faktor yang dipelajari
dan dapat dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain
dan bahwa konsep diri merupakan sebagai suatu obyek timbul di dalam interaksi
sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu tersebut mengenai
bagaimana orang-orang lain bereaksi kepadanya Oleh karena itu penulis ingin
mengetahui hubungan antara konsep diri dengan penerimaan diri anak jalanan
(street children) di RPSA Kota Semarang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri,
dengan penerimaan diri anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang.
Penelitian ini melibatkan 40 anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota
Semarang sebagai sampel penelitian yang diambil dengan menggunakan teknik
acidental sampling. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuatitatif dengan
pendekatan korelasi. Pengambilan data ini dilakukan dengan menggunakan skala
konsep diri dan skala penerimaan diri. Pada skala konsep diri dihasilkan koefisien
reliabilitas sebesar 0,907 dan dari 50 item didapat 43 item yang valid dengan nilai
validitas item 0,321 s.d 0,732. Pada skala penerimaan diri dihasilkan koefisien
reliabilitas sebesar 0,872 dan dari 36 item didapat 32 item yang valid dengan nilai
validitas item 0,329 s.d 0,632. Analisis data menggunakan teknik korelasi Product
Moment dengan bantuan program SPSS 12.0 for windows.
Hasil analisis data yang diperoleh menujukkan ada hubungan yang signifikan
dari konsep diri dengan penerimaan diri dengan nilai koefisien korelasi sebesar
0,599 dengan Taraf signifikansi 5% dan p = 0,000 (p < 0,05). Tingkat konsep diri
anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang berada dalam kategori
tinggi (50%), penerimaan diri dalam kategori sedang (50%).
Oleh karena itu saran yang diberikan kepada Bagi pihak RPSA supaya dapat
lebih meningkatkan pelayanan-pelayanan terutama mengenai pelayanan
bimbingan dan pengasuhan atau pendampingan yang bersifat psikologis dan
sosial. Bagi anak jalanan supaya lebih dapat mengembangkan diri, tentunya
dengan adanya dukungan, baik dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah.

vii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii

PERNYATAAN ................................................................................................iii

MOTTO DAN PERUNTUKAN ....................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................ v

ABSTRAK ........................................................................................................ vii

DAFTAR ISI ...................................................................................................viii

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 15

1.3 Penegasan Istilah .................................................................................. 16

1.4 Tujuan penelitian ................................................................................. 17

1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................... 17

1.6 Sistematika Penulisan Skripsi .............................................................. 18

BAB 2 LANDASAN TEORI

2.1 Penerimaan Diri ................................................................................... 19

2.1.1 Pengertian Penerimaan Diri .................................................................... 19

2.1.2 Kondisi Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri ...................................... 21

viii
2.1.3 Ciri-Ciri Orang Yang Menerima Diri Sendiri.......................................... 25

2.1.4 Pengaruh Penerimaan Diri.........................................................................27

2.2 Konsep Diri........................................................................................... 28

2.2.1 Pengertian Konsep Diri .......................................................................... 29

2.2.2 Ciri-Ciri Konsep Diri.............................................................................. 30

2.2.3 Komponen Konsep Diri .......................................................................... 33

2.2.4 Aspek-Aspek Konsep Diri ...................................................................... 34

2.2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan

dan Perkembangan Konsep Diri.................................................................36

2.3 Anak Jalanan ........................................................................................ 41

2.3.1 Pengertian Anak Jalanan ........................................................................ 41

2.3.2 Jenis dan Kategori Anak Jalanan ............................................................ 42

2.3.3 Pekerjaan Anak ...................................................................................... 46

2.3.4 Karakteristik Anak Jalanan........................................................................47

2.3.5 Faktor Penyebab Keberadaan Anak Jalanan..............................................49

2.4 Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) ......................................... 51

2.3.1 Pengertian Rumah Perlindungan Sosial Anak (Rumah Singgah)..............51

2.3.2 Tujuan Rumah Perlindungan Sosial Anak.................................................51

2.3.3 Fungsi Rumah Perlindungan Sosial Anak..................................................52

2.5 Hubungan Konsep Diri Dengan Penerimaan Diri Anak Jalanan.......53

2.6 Hipotesis....................................................................................................60

ix
BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ..................................................................................... 62

3.2 Variabel Penelitian ............................................................................... 62

3.2.1 Identifikasi Variabel ............................................................................... 62

3.2.2 Definisi operasional................................................................................ 63

3.2.3 Hubungan antar variabel ........................................................................ 64

3.3 Populasi Dan Sampel............................................................................ 64

3.3.1 Populasi ................................................................................................. 64

3.3.2 Sampel ................................................................................................... 65

3.4 Metode dan Alat Pengumpulan Data .................................................. 66

3.5 Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur ................................................... 69

3.5.1 Validitas ................................................................................................. 69

3.5.2 Reliabilitas ............................................................................................. 70

3.6 Teknik Analisis Data ............................................................................ 71

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Persiapan Penelitian ............................................................................. 73

4.4.1 Orientasi Kancah Penelitian.................................................................... 73

4.4.2 Proses perijinan ...................................................................................... 75

4.4.3 Penentuan sampel ................................................................................... 76

4.2 Pelaksanaan Penelitian......................................................................... 76

4.3 Prosedur Pengumpulan Data ............................................................... 77

4.3.1 Validitas.....................................................................................................77

4.3.2 Reliabilitas..................................................................................................79

x
4.4 Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian………………………...80

4.4.1 Gambaran Penerimaan Diri........................................................................82

4.4.2 Gambaran Konsep Diri..............................................................................90

4.4.3 Uji Asumsi.................................................................................................97

4.4.3.1 Uji Normalitas............................................................................................97

4.4.3.2 Uji Linearitas..............................................................................................98

4.4.3.3 Uji Hipotesis...............................................................................................98

4.4.3.4 Tabel Model Summary.............................................................................100

4.5 Pembahasan............................................................................................100

4.5.1 Penerimaan Diri Anak Jalanan.................................................................100

4.5.2 Konsep Diri Anak Jalanan........................................................................103

4.5.3 Pengaruh Konsep Diri Dengan Penerimaan Diri Anak Jalanan...............105

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ............................................................................................. 111

5.2 Saran ................................................................................................... 112

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 114

LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................. 118

xi
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1.1 Data Statistik Anak Jalanan di Indonesia......................................... 2

Tabel 2.1 Ciri-Ciri Anak Jalanan…………………………...……………….. 47

Tabel 3.1 Blue Print Skala Konsep Diri........................................................... 67

Tabel 3.2 Blue Print Skala Penerimaan Diri……………………...………… 68

Tabel 4.1 Sebaran item yang tidak valid pada skala konsep diri..................... 78

Tabel 4.2 Sebaran item yang tidak valid pada skala penerimaan diri ........... 79

Tabel 4.3 Interpretasi Reliabilitas.................................................................... 80

Tabel 4.4 Deskripsi Data Penelitian…………………………………………. 81

Tabel 4.5 Penggolongan Kriteria Analisis....................................................... 81

Tabel 4.6 Klasifikasi Distribusi Frekuensi Penerimaan Diri............................ 83

Tabel 4.7 Perhitungan Hasil Klasifikasi Indikator Penerimaan Diri................ 84

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri............. 85

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri........ 86

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri......... 88

Tabel 4.11 Klasifikasi Distribusi Frekuensi Konsep Diri.................................. 90

Tabel 4.12 Perhitungan Hasil Klasifikasi Indikator Konsep Diri...................... 92

Tabel 4.13 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tentang Diri.............................. 93

Tabel 4.14 Distribusi Frekuensi Penilaian Tentang Diri.................................... 94

Tabel 4.15 Distribusi Frekuensi Pengharapan.................................................... 96

Tabel 4.16 Linearitas….……………………………………………………….. 98

Tabel 4.17 Analisis Korelasi Konsep Diri dengan Penerimaan Diri………….. 99

xii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Alur Pikir…………………………………………... 54

Gambar 3.1 Hubungan antar variabel konsep diri (X) dengan penerimaan
diri (Y)....................................................................................... 64

Gambar 4.1 Grafik Tingkat Penerimaan Diri Anak Jalanan………………. 84

Gambar 4.2 Grafik Indikator Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri………. 86

Gambar 4.3 Grafik Indikator Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri…… 88

Gambar 4.4 Grafik Indikator Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri......... 89

Gambar 4.5 Grafik Tingkat Konsep Diri Anak Jalanan…………………… 92

Gambar 4.6 Grafik Indikator Pengetahuan Tentang Diri.................………. 94

Gambar 4.7 Grafik Indikator Penilaian Tentang Diri.......................………. 95

Gambar 4.8 Grafik Indikator Pengharapan 97

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1: Skala Konsep Diri.…………………………………………. 119

Skala Penerimaan Diri…....……………………………….... 122

Lampiran 2: Tabulasi data skala Konsep Diri……...……………………. 124

Tabulasi data skala Penerimaan Diri..........………...………. 127

Lampiran 3: Validitas skala Konsep Diri…..……………………………. 129

Reliabilitas Konsep Diri…..………………………………... 133

Validitas skala Penerimaan Diri……………………………. 134

Reliabilitas Penerimaan Diri…….………………………..... 137

Statistik deskriptif variabel Konsep Diri …………….…….. 138

Statistik deskriptif variabel Penerimaan Diri …………….... 139

Lampiran 4: Korelasi Variabel Konsep Diri dengan Penerimaan Diri....... 142

Uji Linearitas variabel Konsep Diri dengan Penerimaan


Diri........................................................................................ 144
Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test…… 144

Lampiran 5: Data Anak Jalanan………………………………………….. 145

Lampiran 6: Surat Permohonan Ijin Penelitian…………………………...


184

xiv
BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Negara Indonesia sejak lama telah memiliki permasalahan mengenai anak

jalanan, namun pada puncaknya setelah krisis moneter yang berawal pada tahun

1997 yang meliputi semua bidang dan berlanjut dengan krisis ekonomi, kemudian

meluas menjadi krisis multidimensi, mengakibatkan semakin banyak anak-anak

usia sekolah terkena dampaknya. Banyak diantara mereka yang tidak bersekolah

lagi, karena orang tua mereka terkena pemutusan hubungan kerja. Secara ideal

anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara riil, situasi anak

Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh

kegiatan bermain, belajar dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa

depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan.

Meskipun krisis ekonomi bukan satu-satunya penyebab terbengakalainya

pendidikan usia sekolah, namun ada korelasi kuat semakin luasnya krisis ekonomi

diikuti pula oleh semakin banyaknya anak-anak yang tidak berada di ruang

sekolah lagi. Hasil dari penelitian Mia Hapsari (2008:77) menunjukkan bahwa

faktor tertinggi yang melatar belakangi anak jalanan Semarang memiliki minat

sekolah yaitu pengalaman dini sekolah dan pengaruh orang tua. Adanya kesiapan

sosial, kesiapan fisik dan kesiapan intelektul yang dimiliki oleh anak jalanan

membuat mereka memiliki minat tinggi pada sekolah. Oleh sebab itu berdasarkan

1
2

dari penelitian di atas, pengaruh dari orang tua sangat penting artinya bagi

kelangsungan minat sekolah pada anak jalanan. Saat ini pada jam-jam sekolah

banyak terdapat anak-anak usia sekolah yang berada di jalanan. Ini meyakinkan

kita semua bahwa kehadiran anak-anak di jalanan meningkat tajam. Menurut BPS

Republik Indonesia, secara nasional pada tahun 2002 terdapat 6.686.936 anak

yang membutuhkan perlindungan khusus dan yang potensial terlantar 10.322.674.

Akibatnya terdapat 2-8 juta anak yang bekerja, diantaranya pada sektor berbahaya

seperti perdagangan narkoba, sektor alas kaki, dan pelacuran. Lebih parah lagi,

sekitar 36.500.000 anak Indonesia masih dibawah garis kemiskinan (Huraerah,

2007:21-22). Ini berbanding searah dengan jumlah orang miskin pada akhir 2003

yang bertambah 4 juta orang atau 18% penduduk Indonesia karena semakin

tingginya tingkat pengangguran.

Jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan.

Keberadaannya tidak lagi terbatas pada kota-kota besar saja, melainkan sudah

mulai bermunculan di kota-kota kecil. Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia

sejak tahun 1997 diyakini banyak pihak berpengaruh terhadap peningkatan

jumlah anak jalanan di Indonesia. Sejak tahun 1999, jumlah anak jalanan di

Indonesia meningkat 85%.

Tabel 1.1. Data Statistik Anak Jalanan di Indonesia

TAHUN JUMLAH ANAK JALANAN (JUTA)

1995 2,07

1998 2,8

2000 3,1
3

TAHUN JUMLAH ANAK JALANAN (JUTA)

2003 8

Sumber: SUSENAS BPS RI

Semarang yang merupakan Ibukota propinsi Jawa Tengah juga tidak dapat

dihindarkan dari fenomena anak jalanan. Menurut data yang terkumpul pada

tahun 2004 oleh Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah terdapat 7.983 anak jalanan.

Menurut data terakhir Penyandang Masalah Sosial (PMS) khususnya pada anak

jalanan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Tengah tahun 2006

menunjukkan bahwa populasi anak jalanan mencapai 10.025 yang terdiri dari

8.958 laki-laki dan 1.067 perempuan, 60% dari mereka adalah anak putus sekolah

dan 80% anak jalanan masih tinggal dengan orang tua mereka. Peningkatan anak

jalanan sebelum masa krisis mencapai 15%, dan angka tersebut meningkat hingga

100% dalam masa krisis.

Dampak dari hal tersebut di atas, perampasan terhadap hak-hak anak tanpa

disadari telah terjadi secara besar-besaran. Anak-anak yang tengah menikmati

pendidikan di sekolah-sekolah formal mulai terancam dan bahkan banyak yang

menjadi korban (Drop Out). Sehingga kesempatan untuk bermain dan tumbuh

kembang secara wajar sudah mulai hilang. Kondisi tersebut merupakan akibat dari

ketidakberdayaan para orang tua untuk melindungi mereka, sehingga anak-anak

mereka dijadikan tumpuan harapan keluarga untuk membantu pemenuhan

kebutuhan keluarga.

Salah satu masalah krusial dari dampak kemiskinan adalah meningkatnya

jumlah anak-anak yang berada di jalanan, diantara mereka tidak sedikit anak-anak
4

yang berumur antara 4 sampai dengan 18 tahun berada di jalanan untuk hidup

bebas kemudian mencari pendapatan dan lari dari keluarga/rumah atau untuk

mencari tambahan pendapatan keluarga dengan menjadi pengamen, pemulung,

pengasong, pengemis, berjualan koran, menyemir sepatu, juru parkir, calo

angkutan umum, dan lain sebagainya. Kondisi-kondisi tersebut cenderung akan

dapat merusak proses pendewasaan anak yang kemudian berujung pada perilaku

negatif, baik disaat kanak-kanak, remaja, maupun dewasa kelak.

Keluarga merupakan pemberi informasi pertama dan terpenting, baik dari

bantuan verbal maupun non verbal yang diberikan pada individu dalam hal ini

anak agar ia merasa diperhatikan dan dicintai. Seorang anak yang tumbuh dalam

keluarga yang keras dan penuh permasalahan, secara otomatis akan

mempengaruhi kejiwaan, sikap dan perilaku anak tersebut, terlebih anak hidup

dalam keluarga yang memiliki beban perekonomian yang berat, hal ini akan

membentuk perilaku anak untuk senantiasa bertindak sendiri agar dapat terpenuhi

kebutuhan ekonominya.

Beberapa individu terkadang sangat sulit untuk menerima kekurangan

dirinya sebagaimana dirinya mampu menerima kelebihannya. Individu yang

mempunyai penerimaaan diri rendah akan mudah putus asa, selalu menyalahkan

dirinya, malu, rendah diri akan keadaannya, merasa tidak berarti dan merasa iri

terhadap keadaan orang lain. Keadaan yang demikian, bila terus menerus dialami

akan membuat hidup anak-anak jalanan menjadi tidak bahagia akan

kehidupannya.
5

Ditinjau dari umurnya, sebagian besar anak jalanan berumur antara 5-18

tahun. Rata-rata anak jalanan hidup dalam suatu kelompok yang terbentuk karena

kesamaan asal daerah, kesamaan jenis pekerjaan, kesamaan nasib, kesamaan

kesenangan dan lain sebagainya. Dalam kelompoknya, mereka mengembangkan

berbagai cara / strategi agar dapat terus hidup di jalanan. Tidak jarang juga

mereka menciptakan suatu sub kultur yang diadopsi dari kultur jalanan. Situasi

sosial tersebut bersifat dinamis dan rentan terhadap pengaruh dari luar. Krisis

sekarang ini akan sangat mempengaruhi situasi di jalanan secara luar biasa.

Jumlah kaum marginal dan anak-anak jalanan meningkat pesat padahal peluang

ekonomi menipis, sementara persaingan semakin memuncak. Anak-anak juga

harus memperpanjang waktu di jalanan untuk mempertahankan pendapatan yang

berarti juga memperpanjang resiko. Kejahatan jalanan meningkat dimana anak

jalanan bisa menjadi korban atau pelakunya sendiri, baik secara individual,

kelompok, atau diperalat oleh preman.

Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa jumlah anak jalanan di Semarang

semakain lama makin meningkat. Sampai saat ini belum ada data akurat yang

menunjukkan persisnya jumlah anak jalanan di kota Semarang. Dari keterangan

kantor Dinas Sosial Kotamadya Semarang, pada tahun 1996 jumlahnya

diperkirakan hanya 500 anak, akan tetapi sampai pertengahan tahun 1997, jumlah

tersebut telah menjadi 700 anak yang tersebar di berbagai pelosok kota

(Nurharjadmo, 1999:18). Data yang dihimpun oleh sejumlah LSM (Lembaga

Swadaya Masyarakat) dan RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) di

Semarang tahun 2006 terdapat 898 anak jalanan yang dibina di empat RPSA dan
6

dua LSM. Dari jumlah tersebut sebanyak 747 anak jalanan masih memiliki orang

tua. Data tersebut menunjukkan bahwa 500 anak masih aktif di jalan, 331 anak

terkadang turun ke jalan, dan 39 anak tidak lagi turun ke jalan (Kompas, 12 April

2007). Data terakhir untuk kota Semarang pada tahun 2008, jumlah anak jalanan

mencapai kurang lebih 830 anak (data penjangkauan 4 RPSA di Semarang).

Keberadaan dan berkembangnya jumlah anak jalanan merupakan

persoalan yang perlu menjadi perhatian. Hal ini mengingat anak-anak melakukan

kegiatan / tinggal di jalanan yang senantiasa berhadapan dengan banyak resiko

dan situasi buruk. Lokasi paling menonjol yang digunakan tempat kegiatan anak

jalanan adalah di persimpangan jalan atau di sekitar traffic light. Oleh karena itu

banyak juga diantara mereka yang mengalami kecelakaan di jalan raya ketika

sedang bekerja (Hapsari, 2007:60).

Seperti yang pernah diceritakan juga oleh seorang Suster pimpinan dari

RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) “Anak Bangsa” yang mengatakan

bahwa banyak anak jalanan yang terancam nyawanya oleh tindak kriminal pelaku

kejahatan, korban tabrakan di jalan, serta korban pembunuhan dari anak jalanan

lain ataupun tindak kekerasan dari preman atau “penjaga” anak jalanan itu sendiri.

Mereka turun ke jalan sebagian besar dikarenakan faktor keluarga dan ekonomi.

Permasalahan anak jalanan semakin meluas ketika pada suatu waktu ada

seseorang yang berniat baik dengan memberi makanan atau uang, anak jalanan

bereaksi dengan buruk, bisa dengan merampas, mencuri, menjambret serta

tindakan kekerasan lain yang dapat membahayakan orang lain. Inilah yang
7

menjadikan banyak keresahan pada sebagian masyarakat mengenai problematika

dan dilema pada anak jalanan.

Anak-anak yang bekerja di usia dini biasanya berasal dari keluarga miskin

dengan pendidikan yang terabaikan. Sesungguhnya hal tersebut bukannya akan

mengentaskan kemiskinan tetapi malah akan melestarikan kemiskinan. Karena

anak yang bekerja tersebut akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang terjebak

dalam pekerjaaan yang tidak terlatih dan dengan upah yang sangat buruk. Selain

itu, mereka juga akan tumbuh dalam lingkungan yang tidak kondusif, yaitu suatu

lingkungan yang tidak semestinya ditujukan pada anak yang sedang dalam proses

tumbuh kembang, karena hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana

kepribadian mereka selanjutnya.

Dalam sebuah Jurnal Perempuan menyebutkan bahwa seorang anak

akhirnya memutuskan hidup di jalanan bukan semata karena faktor kemiskinan.

Dan sebuah organisasi non profit di Jakarta bahkan pernah mewawancarai mereka

dan hasilnya 80% anak memutuskan pergi dari rumah lantaran salah perlakuan

(abuse) di dalam rumah yaitu adanya kekerasan dalam rumah tangga yang

dialami, keluarga yang tidak harmonis, perpecahan dalam keluarga, degradasi

nilai-nilai sosial, moral dan spiritual dalam keluarga, komunikasi yang buruk

antar anggota keluarga, minimnya perhatian dari orang tua kepada anaknya, serta

pola asuh yang tidak konsisten dan membingungkan dari orang tua mereka.

Hanya 20% yang mengaku punya alasan ekonomi (Sitorus, 2007:5). Seperti yang

dikatakan Permadi dan Ardhianie (1999:17) bahwa secara sederhana dapat

diklasifikasikan penyebab seorang anak bekerja dan hidup di jalan, yaitu 80%
8

akibat ada masalah di dalam rumah orang tua; 16% akibat faktor ekonomi; 2%

akibat ada masalah dengan teman di lingkungan rumah; 2% akibat pengaruh

teman.

Penelitian dari Surjo Dharmono dan Wahyadi Darmabrata (1999:51),

menunjukkan bahwa faktor lingkungan tempat tinggal, faktor lamanya anak telah

menjalani kehidupan jalanan, dan faktor relasi atau kekerapan anak bertemu

dengan orang tuanya menjadi faktor psikososial yang memperlihatkan hubungan

bermakna dengan berkembangnya perilaku antisosial pada keluarga anak jalanan

di Jakarta.

Meski begitu, bagi anak-anak yang belum mampu berpikir jauh ke depan,

jalanan menjadi tempat yang mungkin lebih menjanjikan, bebas dari aturan, dan

berpikir hanya untuk hari ini. Hal itu yang menyebabkan banyak anak jalanan

menghindari bangku sekolah dan lebih senang bermain dan mengais rejeki di

jalanan. Tak jarang mereka dikoordinir oleh ‘penjaga’ mereka dan dieksploitasi.

Karena jika dilihat dari segi mental, lingkungan yang keras dapat menyebabkan

mereka menjadi agresif dan anti sosial dan memiliki penerimaan diri negatif.

Penerimaan diri adalah sejauh mana seseorang dapat menyadari dan

mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalankan

kelangsungan hidupnya. Sikap tersebut ditunjukkan oleh pengakuan seseorang

terhadap kelebihan-kelebihan sekaligus menerima kelemahan-kelemahan tanpa

menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang terus menerus untuk

mengembangkan diri Handayani, Ratnawati dan Helmi, 1998:47-48).


9

Pada umumnya, kebanyakan dari anak jalanan kurang dapat menerima

orang lain pada lingkungan mereka, ini terlihat dari ketidaktertarikan mereka pada

awalnya untuk mengenal orang lain di luar lingkungan atau komunitasnya, ketika

diajak berkenalan pada awalnya mereka menunjukkan sikap seperti tidak

membutuhkan dan sulit menerima orang lain. Selain itu orang yang memiliki

penerimaan diri pastinya akan memandang dirinya disenangi, mampu, berharga

dan diterima oleh orang lain. Tetapi dalam hal ini tidak banyak dari anak jalanan

yang merasa dirinya disenangi, mampu, berharga dan diterima oleh orang lain.

Kemudian orang yang menerima diri biasanya lebih bisa menerima orang lain

serta akan berpikiran positif mengenai orang lain, tetapi mayoritas anak jalanan

memiliki sikap yang berbeda mengenai hal tersebut, mereka lebih menunjukkan

hal yang sebaliknya, yaitu salah satunya dengan kurang dapat menunjukkan

empati terhadap orang lain dan sepertinya mereka merasa kurang aman untuk

bersama dan berhubungan dengan orang lain.

Hasil penelitian oleh Rina Oktaviana (2004:8) menunjukkan bahwa

adanya hubungan yang signifikan antara penerimaan diri terhadap ciri-ciri

perkembangan seksual sekunder dengan konsep diri pada remaja putri SLTPN 10

Yogyakarta. Kemudian hasil penelitian dari Brian L. Thompson dan Jennifer A.

Waltz (2007:119) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara mindfulness,

self-esteem, dan unconditional sef-acceptance.

Penelitian lain oleh Muryatinah Mulyo Handayani, Sofia Ratnawati dan

Avin Fadilla Helmi (1998:47), menunjukkan bahwa pelatihan pengenalan diri

efektif untuk meningkatkan penerimaan diri dan harga diri. Seseorang dengan
10

konsep diri positif dapat memahami dan menerima fakta-fakta yang begitu

berbeda dengan dirinya, orang dapat menyesuaikan diri dengan seluruh

pengalaman mentalnya, sehingga evaluasi tentang dirinya akan positif

(Handayani, Ratnawati dan Helmi, 1998:48).

Dari hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan pada 15 anak

jalanan yang berada di Pasar Bulu, pasar Johar, perempatan POLDA, serta anak-

anak jalanan yang pernah tinggal di RPSA Anak Bangsa dan Gratama

menunjukkan bahwa terdapat sembilan anak yang memiliki penerimaan diri

negatif dan enam sisanya memiliki penerimaan diri yang cukup baik. Banyak

diantara mereka yang acuh, baik acuh terhadap diri sendiri maupun terhadap

orang lain. Lingkungan sosial yang tidak mendukung memicu munculnya

hambatan-hambatan dari lingkungan menyebabkan mereka memiliki penerimaan

diri yang rendah, bahkan sebagian besar penerimaan diri negatif ini dibentuk

karena lingkungan dan latar belakang keluarga tidak harmonis yang menyebabkan

adanya tekanan emosi yang berat akan mengurangi pemahaman dan cara mereka

melihat diri sendiri . Ini berarti menandakan bahwa penerimaan diri anak jalanan

tergolong rendah. Sebagian besar dari mereka pada awalnya sebenarnya merasa

puas menjadi anak jalanan, tetapi setelah lama bercerita mereka merasa bahwa

kepuasan mereka hanya bersifat fisik, karena dengan menjadi anak jalanan

mereka dapat dengan cepat dan mudah mendapatkan uang sendiri dari hasil

mengamen, tetapi untuk mendapatkan uang bagi kepentingan pendidikan demi

perbaikan kehidupannya mereka enggan melakukannya. Hal itu merupakan

interpretasi dari kurangnya menghargai dan bertanggung jawab terhadap diri


11

sendiri. Selain itu jika mereka puas terhadap diri sendiri, belum tentu mereka puas

terhadap hubungan dengan orang lain (keluarga, teman dan masyarakat), sehingga

dapat dikatakan secara psikis mereka tidak puas terhadap diri sendiri.

Latar belakang keluarga sangat berkaitan erat dengan perginya anak ke

jalan. Adapun faktor terbesar penyebab anak pergi ke jalan adalah faktor

kemiskinan dan faktor disharmoni keluarga. Kedua faktor tersebut adakalanya

berkaitan satu dengan yang lain, yakni faktor disharmoni muncul sebagai akibat

dari faktor kemiskinan keluarga atau sebaliknya. Banyak diantara mereka yang

berasal dari keluarga yang broken home (orang tua bercerai, orang tua tunggal,

orang tua tiri karena ibu atau bapak menikah lagi), serta banyak juga diantara

mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh orang tua ataupun

anggota keluarga lain seperti yang dialami oleh Jopan, Sardi dan puluhan baahkan

ratusan anak jalanan lain di Semarang. Ada pula anak yang dari keluarga mampu

tetapi terjadi kondisi disharmoni dalam keluarga yang tidak ditangani serius oleh

orang tua dan menyebabkan anak tidak betah tinggal di rumah sehingga mereka

mencari kompensasi di luar rumah, salah satunya yaitu dengan pergi ke jalan.

Coopersmith dalam Pudjijogyanti (1991:30) menyatakan bahwa kondisi

keluarga yang buruk dapat menyebabkan konsep diri yang rendah pada anak.

Suasana keluarga yang tidak menyenangkan, mengakibatkan anak ingin keluar

dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan

mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan

lainnya. Semakin banyak anggota keluarga, anak akan semakin cakap dan makin

cepat berbuat, baik secara verbal maupun non verbal. Kemudian semakin lama,
12

anak semakin tidak puas dengan apa yang dapat diberikan oleh keluarga, sehingga

ia akan pergi jauh dari keluarganya untuk mendapatkan yang dibutuhkannya

(Sujanto, 1988:72-73). Motif anak turun ke jalan dipengaruhi oleh faktor-faktor

tersebut. Peran dan fungsi orang tua sangatlah menentukan, keluarga yang tidak

bahagia (disharmoni) akan mengakibatkan jumlah anak turun ke jalan semakin

besar.

Hasil penelitian oleh Salmani – Barough N, Sharifi – Neiestanak ND,

Kazemnejad dan Pashaeypoor (2003:6), menunjukkan bahwa half of the subjects

(50%) had very negative concept of them selves and only 2,2% of them had a very

positive self-concept levels. Therefore the street children had a very low self-

concept level. Penelitian oleh MB Ubangha dan RE Oputa (2007:1), menyatakan

bahwa similarities in the self-concept of all classes of children investigated

irrespective of gender. The children differed in academic orientation and

vocational interests.

Di bidang pendidikan, banyak diantara mereka yang putus sekolah pada

waktu SD, bahkan ada juga yang tidak pernah merasakan bangku sekolah. Seperti

penuturan Adi dan Jopan yang peneliti temui di RPSA Anak Bangsa, mereka dulu

pernah putus sekolah tetapi kemudian sekarang mereka mendapatkan beasiswa

dari yayasan atau pihak RPSA untuk melanjutkan sekolahnya di SMP. Mereka

mengatakan sebenarnya mereka merasa malu pada teman-teman sekolahnya

hingga mereka sempat berhenti mengamen, tapi karena lingkungan yang

mendukungnya untuk menjadi pengamen di jalan dan di bus serta alasan ikut-

ikutan, tidak lama mereka turun ke jalan lagi. Terkadang emosi mereka juga
13

tinggi karena di sekolah ataupun di jalan mereka sering kali berkelahi untuk suatu

hal kecil dan sering bolos sekolah karena malas ataupun karena ingin ngamen. Di

jalan mereka merasa itu adalah tempat mereka, banyak teman, dapat uang dan

tidak begitu memikirkan keluarga. Mereka sebenarnya sadar akan resiko-resiko

yang mereka hadapi ketika mereka mengamen di jalan, tetapi mereka lebih sering

mengacuhkannya. Sekarang, karena mereka mendapatkan beasiswa untuk

melanjutkan sekolah, jadi pihak RPSA mengawasi dan mendampingi mereka

secara ketat yang dilakukan oleh para pekerja sosial di RPSA tersebut agar

mereka tidak lagi berada di jalan. Karena jika tidak didampingi secara ketat

mereka akan dapat turun ke jalan dengan mudah. Karena dengan aktivitas

keseharian sebagai anak jalanan ini berarti bahwa mereka tidak dapat

mengembangkan diri mereka sendiri untuk masa depannya.

Adanya pelayanan-pelayanan yang berupa bimbingan sosial, konsultasi

serta pembinaan ketrampilan yang dilakukan pada RPSA sedikit demi sedikit

akan merubah sikap mereka terhadap suatu hal. Seperti yang dikemukakan Septi

dan Ika, pekerja sosial di RPSA Gratama, mereka mengatakan bahwa memang

ada perbedaan antara anak jalanan yang mengikuti pelayanan-pelayanan di RPSA

dengan anak jalanan yang tidak pernah mengikutinya. Kira-kira delapan puluh

persen anak jalanan yang mengikuti bimbingan sosial menjadi lebih tahu akan

etika seperti unggah ungguh dan lebih sopan, selain itu dari segi agama mereka

juga ada peningkatan. Pada umumnya mereka juga lebih terbuka terhadap orang

lain.
14

Perkembangan psikologis dan sosial seseorang bermula dari sejak ia lahir

hingga meninggal. Selama proses tumbuh kembang tersebut, tiap individu juga

pasti akan mempelajari berbagai macam pengalaman dalam masa kehidupannya,

baik itu kehidupan pribadi, keluarga, ataupun kehidupan dalam lingkungan

sosialnya. Semua itu ada dan akan semakin berkembang karena masing-masing

individu memiliki tahapan pembelajaran dalam setiap proses kehidupannya. Hal

tersebut diantaranya yang dapat membentuk kepribadiannya, terutama konsep diri

serta penerimaan diri.

Konsep-Aku yang diartikan sebagai gambaran mental yang dimiliki oleh

seseorang mengenai pribadi dirinya (Surachmad, 1977:37). Inspirasi yang sejalan

dengan harapan individu akan membantu untuk dapat berkembang sebagai

manusia dewasa. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan faktor

yang dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman individu berubungan dengan

orang lain.

Masa remaja merupakan masa yang potensial untuk mengembangkan

konsep diri, sebab masa remaja merupakan masa yang penuh dengan tekanan

yang memungkinkan individu menemukan identitas dirinya. Selain itu, masa

remaja juga merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.

Secara psiskis, pada seorang remaja akan timbul perasaan aneh, ganjil, yang

kemudian hal ini juga dapat menimbulkan perasaan tidak puas terhadap diri

sendiri. Perasaan tidak puas tersebut dikarenakan kurangnya penerimaan diri pada

remaja yang dipengaruhi oleh konsep diri negatif pada seseorang.


15

Latar belakang keluarga, peran perilaku orang tua, hubungan keluarga,

pengaruh teman-teman sebaya pada anak jalanan, serta andil masyarakat untuk

memberikan perhatian, kasih sayang, serta ruang bagi anak untuk tumbuh dan

berkembang sebagaimana mestinya dapat menjadi jalan keluar yang positif bagi

anak agar dapat menerima dirinya sebagaimana adanya sehingga anak tersebut

memiliki ruang, tempat, serta kehidupan yang layak dan lebih baik. Maka konsep

diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan individu. Hal

ini dikarenakan seseorang yang memiliki kehidupan di lingkungan keluarga dan

sosial yang baik, maka akan membentuk individu yang mengetahui pandangan

dan penilaian tentang diri sendiri serta mengetahui harapan apa yang ingin

dicapainya hingga ia akan merasa senang, puas secara fisik dan psikis, serta dapat

menyadari dan menerima keterbatasan yang dimilikinya. Berdasarkan uraian

tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh

konsep diri terhaap penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang.

1. 2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka permasalahan dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah gambaran konsep diri anak jalanan di RPSA Kota

Semarang ?

2. Bagaimanakah gambaran penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota

Semarang ?
16

3. Apakah ada pengaruhnkonsep diri terhadap penerimaan diri anak

jalanan di RPSA Kota Semarang ?

1. 3. Penegasan Istilah

Untuk memberikan kejelasan arti dan sekaligus menghindari kesalahan

pengertian dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk memberikan

penegasan beberapa istilah, yaitu:

1. Konsep Diri

Konsep diri adalah pandangan dan perasaan individu tentang diri

sendiri. Individu mempersepsi diri tentang keadaan psikologis, sosial,

dan fisiknya (Rakhmat, 2004:99).

2. Penerimaan Diri

Penerimaan diri merupakan ungkapan perasaan senang dan puas

terhadap kenyataan diri sendiri. Penerimaan diri sendiri tersebut pada

dasarnya merupakan perwujudan dari rasa puas, baik terhadap diri

sendiri maupun terhadap kemampuan yang ada pada dirinya. Disamping

itu, individu yang menyadari keterbatasan-keterbatasan yang

dimilikinya (Chaplin, 1999: 450).


17

1. 4. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui gambaran konsep diri anak jalanan di RPSA Kota

Semarang.

2. Untuk mengetahui gambaran penerimaan diri anak jalanan di RPSA

Kota Semarang.

3. Untuk mengetahui pengaruh konsep diri terhadap penerimaan diri pada

anak jalanan di RPSA Kota Semarang.

1. 5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah untuk menambah kajian

pengetahuan dan pengembangan di bidang ilmu psikologi, khususnya

dalam konsentrasi psikologi sosial.

2. Manfaat Praktis

Memberikan gambaran latar belakang secara mendalam khususnya

mengenai penerimaan diri dan konsep diri pada anak jalanan ditinjau

dari psiologi sosial.


18

1. 6. Sistematika Skripsi

Sistematika skripsi ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan,

bagian isi, dan bagian akhir.

Bagian Pendahuluan berisi halaman judul, pengesahan, halaman motto dan

persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel daftar lampiran.

Bagian Isi terdiri dari lima bab, yaitu pendahuluan, kajian teoritis dan

hipotesis, metode penelitian dan hasil penelitian serta penutup.

Untuk memberikan gambaran menyeluruh materi secara garis besar dalam

penelitian, dibawah ini diuraikan sistematika skripsi sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan, pada bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah, manfaat penelitian, dan sistematika

penelitian.

Bab II Kajian Teoretis, bab ini berisi tentang konsep diri, penerimaan diri,

anak jalanan, Rumah Perlindungan Sosial Anak, hubungan konsep diri dan

penerimaan diri dan hipotesis.

Bab III, Metode Penelitian, berisi tentang variabel penelitian, definisi

operasional, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, uji validitas dan uji

reliabilitas, dan teknik analisis data.

Bab IV Laporan hasil penelitian dan pembahasan

Bab V Penutup, yang berisi simpulan dan saran

Bagian akhir berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran


BAB 2

KAJIAN TEORI

2. 1. Penerimaan Diri

Penerimaan diri merupakan komponen dari kesehatan mental. Seseorang

yang memilki penerimaan diri yang baik merupakan orang yang berpribadi

matang. Orang yang sehat secara psikologis memandang dirinya disenangi,

mampu berharga dan diterima oleh orang lain, sedangkan orang yang menolak

dirinya biasanya tidak bahagia dan tidak mampu membangun serta melestarikan

hubungan baik dengan orang lain. (Supratiknya, 1995, 85-86).

2. 1. 1. Pengertian Penerimaan Diri

Menurut Chaplin (1999: 450) penerimaan diri merupakan sikap yang pada

dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat

sendiri, dan pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri. Orang yang

mampu menerima dirinya, mampu pula menerima orang lain walaupun

keadaannya berbeda. Penerimaan diri mempunyai pandangan positif tentang

dirinya serta menerima dan menyadari bahwa manusia mempunyai keterbatasan

dan kelemahan pada dirinya.

Sulaeman (1995:20) mengemukakan bahwa seseorang yang menerima

dirinya memiliki penghargaan yang tinggi tentang sumber-sumber yang ada pada

dirinyadigabung dengan penghargaan tentang kebergunaan dirinya, percaya akan

norma-norma serta keyakinan-keyakinan sendiri, dan juga mempunyai pandangan

19
20

realistis tentang keterbatasan-keterbatasan tanpa menimbulkan tindakan

penolakan diri. Berarti, penerimaan diri adalah kesadaran individu untuk

menerima, mengenal, dan menghargai potensi-potensi dirinya.

Supratiknya (1995:84-85) mendefinisikan penerimaan diri dengan

memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau lawannya, tidak

besikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan diri ini berkaitan dengan tiga hal,

antara lain:

1. Kerelaan kita untuk membuka atau mengungkapakan aneka pikiran, perasaan,

dan reaksi kita kepada orang lain. Penerimaan diri dibangun lewat

pemahaman kita bahwa orang lain menerima kita. Jika orang lain memandang

kita berharga, maka kita pun akan memandang diri kita berharga.

2. Kesehatan psikologis berkaitan erat dengan kualitas perasaan kita terhadap

diri sendiri. Orang yang sehat secara psikologis memandang dirinya

disenangi, mampu, berharga, dan diterima oleh orang lain. Agar kita tumbuh

dan berkembang secara psikologis, maka kita harus menerima diri kita.

3. Penerimaan kita terhadap orang lain.

Orang yang menerima diri biasanya lebih bisa menerima orang lain. Bila kita

berpikiran positif tentang diri sendiri, maka kita pun akan berpikir positif

tentang orang lain.

Penerimaan diri menurut Hurlock (1974:434) adalah tingkat dimana

individu benar-benar mempertimbangkan karakteristik pribadinya dan mau hidup

dengan karakteristik tersebut. Orang yang menerima dirinya memiliki penilaian

realistik tentang potensi-potensi dan harga dirinya, bertanggung jawab terhadap


21

norma-norma yang ada dan juga berpikir realistis tentang kekurangan-kekurangan

dirinya tanpa menyalahkan diri sendiri atas kekurangan tersebut. Penerimaan diri

erat kaitannya dengan konsep diri yang dimiliki seseorang. Semakin positif

konsep dirinya maka akan semakin tinggi penerimaan dirinya, begitu juga

sebaliknya, jika konsep diri yang dimiliki seseorang rendah maka akan rendah

penerimaan dirinya. Penerimaan diri lebih mengarah pada kerendahan hati dan

kedermawanan seseorang. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik dapat

menerima dirinya sendiri secara apa adanya (Calhoun dan Acocella, 1995:73).

Dari beberapa definisi diatas, jadi yang dimaksud dengan penerimaan diri

adalah sikap individu yang mencerminkan perasaan menerima dan senang atas

segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya serta mampu mengelola

segala kekhususan diri dengan baik sehingga dapat menimbulkan kepribadian dan

fisik yang sehat.

2. 1. 2. Kondisi yang Mempengaruhi Pembentukan Penerimaan Diri

Hurlock (1974:434) menyatakan bahwa banyak faktor yang

mempengaruhi orang menyukai dan menerima dirinya. Faktor tersebut merupakan

kebalikan dari faktor-faktor yang mengakibatkan penolakan diri. Menurut Hurlock

(1974:435) kondisi yang dapat mempengaruhi penerimaan diri tersebut adalah:

1. Pemahaman diri

Pemahaman diri adalah suatu persepsi atas diri sendiri yang ditandai oleh

keaslian bukan kepura-puraan, realistis bukan khayalan, kebenaran bukan

kebohongan, keterusterangan bukan berbelit-belit. Pemahaman diri dan

penerimaan diri memiliki hubungan positif, semakin baik seseorang


22

memahami dirinya maka semakin baik ia menerima dirinya apa adanya,

dengan adanya pemahaman pada diri sendiri, maka secara tidak langsung

orang akan berusaha untuk mengerti, memahami dan menerima semua yang

ada pada dirinya tersebut, termasuk semua kelebihan serta kekurangannya,

sehingga dapat diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan

dirinya sendiri (Oktaviana, 2004:5)

2. Harapan yang realistis

Ketika pengharapan seseorang terhadap sukses yang akan dicapai merupakan

pengharapan yang realistis, kesempatan untuk mencapai sukses tersebut akan

muncul. Adanya kesempatan tersebut akan mendukung terbentuknya kepuasan

diri sendiri yang pada akirrnya membentuk sikap penerimaan terhadap diri

sendiri.

3. Tidak hadirnya hambatan-hambatan dari lingkungan

Ketidakmampuan untuk mencapai tujuan yang realistik dapat disebabkan oleh

ketidakmampuan individu yang bersangkutan untuk mengontrol adanya

hambatan-hambatan dari lingkungan. Seseorang yang menyadari bahwa

sebenarnya dia mampu, tetapi karena ada hambatan dari lingkungan (misalnya

diskriminasi ras, gender, kepercayaan) akan sukar untuk memiliki penerimaan

diri yang baik. Sikap tidak senang terhadap diri atau kurangnya penerimaan

terhadap diri dapat juga dipengaruhi oleh adanya pemberian label-label yang

berkembang dalam masyarakat terhadap orang atau komunitas tertentu.

Jika hambatan-hambatan dari lingkungan tersebut dihilangkan, seseorang akan

dapat mencapaui tujuan yang realistik. Tercapainya tujuan akan


23

mengakibatkan individu yang bersangkutan merasa puas dan kemudian akan

mendukung terbentuknya penerimaan diri.

4. Tingkah laku sosial yang mendukung

Peranan lingkungan sosial terhadap seseorang dapat membentuk tingkah laku

orang tersebut. Seseorang yang mengalami perlakuan lingkungan sosial yang

mendukung akan dapat menerima dirinya dengan lebih baik.

5. Tidak adanya tekanan emosi yang berat

Tekanan yang berat dan terus menerus seperti yang terjadi di lingkungan kerja

atau di rumah, di mana kondisi emosi sedang tidak baik dapat mengakibatkan

gangguan yang berat pada seseorang, sehingga tingkah laku orang tersebut

dinilai menyimpang dan orang lain menjadi terlihat selalu dan menolak orang

tersebut.

Tidak adanya tekanan emosi membuat seseorang dapat melakukan yang

terbaik dan dapat berpandangan keluar dan tidak memiliki pandangan hanya

kedalam diri saja. Tanpa tekanan emosi juga dapat membuat seseorang santai

dan bahagia. Kondisi-kondisi ini memberikan sumbangan positif bagi

penilaian terhadap lingkungan sosial yang menjadi dasar terhadap penilaian

diri sendiri dan terhadap penerimaan diri.

6. Sukses yang terjadi

Kegagalan yang sering menimpa menjadikan seseorang menolak dirinya

sendiri. Sebaliknya, kesuksesan yang sering terjadi menumbuhkan penerimaan

terhadap dirinya sendiri. Sering atau tidaknya sukses yang terjadi dapat dinilai

secara kuantitatif dan juga secara kualitatif. Secara kuantitatif berarti jumlah
24

terjadinya kesuksesan lebih banyak dari pada kegagalan. Secara kualitatif

maksudnya, walaupun jumlah terjadinya kegagalan lebih banyak dari pada

kesuksesan, namun kesusksesan yang terjadi tersebut merupakan sesuatu yang

sangat penting dan sangat berarti yang dapat melebihi julah kegagalan

tersebut, baik dari penilaian masyarakat maupun diri sendiri.

7. Identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik

Individu yang mengidentifikasika diri dengan orang yang memiliki

penyesuaian diri yang baik akan terpengaruh untuk mengembangkan tingkah

laku positif terhadap hidupnya. Tingkah laku positif tersebut menandakan

penilaian diri yang positif seta menunjukkan adanya penerimaan diri yang

baik.

8. Cara seseorang melihat diri sendiri (konsep diri)

Seseorang yang dapat melihat dirinya sendiri dengan benar, memiliki

pengertian terhadap diri sendiri. Cara seseorang memandang diri sendiri atau

konsep diri yang stabil akan menentukan bagaimana penerimaan diri

seseorang. Memiliki konsep diri yang stabil dapat meningkatkan potensi yang

terbaik dari diri sendiri dengan senantiasa belajar meningkatkan kemampuan

diri, dan memanfaatkan kesempatan serta peluang yang ada.

9. Pendidikan yang baik pada masa kanak-kanak

Meskipun bermacam-macam penyesuaian yang dilakukan oleh seseorang

dapat mengubah secara radikal dan membuat hidupnya semakin baik, namun

pusat dari konsep diri yang menentukan jenis penyesuaian diri yang akan

dilakukan terletak pada masa kanak-kanak.


25

Selain kondisi-kondisi yang mempengaruhi penerimaan diri yang tersebut

diatas, faktor pendidikan dan dukungan sosial juga dapat mempengaruhi

penerimaan diri seseorang. Penerimaan diri akan semakin baik apabila ada

dukunngan dari lingkungan sekitar, hal ini dikarenakan individu yang mendapat

dukungan sosial akan mendapat perlakuan yang baik dan menyenangkan.

Sedangkan faktor pendidikan juga tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi

penerimaan diri seseorang, dimana individu yang memiliki pendidikan lebih

tinggi pada umumnya akan memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi pula

2. 1. 3. Ciri-Ciri Orang yang Menerima diri sendiri

Sheerer dalam Cronbach (1963:223) terdapat ciri-ciri orang yang dapat

menerima diri dengan baik:

1. Memiliki keyakinan akan kemampuannya menghadapi kehidupan.

2. Tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak menganggap orang

lain menolak dirinya.

3. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia, sederajat dengan

orang lain.

4. Tidak malu dan tidak hanya memperhatikan dirinya.

5. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.

6. Dalam berperilaku menggunakan norma dirinya.

7. Mampu menerima pujian dan celaan secara obyektif.

8. Tidak menyalahkan atas keterbatasan dalam dirinya atau mengingkari

kelebihannya
26

Menurut Allport dalam Wrastari dan Handadari (2003:21), seseorang yang

menerima dirinya akan memiliki ciri sebagai berikut:

1. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya.

2. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi atau

kemarahannya.

3. Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang

lain memberikan kritikan.

4. Dapat mengatur keadaan emosi mereka (seperti depresi, kemarahan, rasa

bersalah).

5. Mengekspresikan keyakinan dan perasaan mereka dengan

mempertimbangkan perasaan dan keadaan orang lain.

Menurut Sulaeman (1995:20), tanda-tanda penerimaan diri antara lain:

1. Seseorang yang menerima keadaan dirinya memiliki penghargaan yang

realistis tentag sumber-sumber yang ada pada dirinyadigabungkan dengan

penghargaan tentang kebergunaan dirinya.

2. Seseorang yang menerima dirinya mengenal dan menghargai potensi-potensi

yang ada pada dirinya, menyadari kekurangan tanpa terus menerus

menyesalinya.

3. Ciri yang paling menonjol pada seseorang yang memiliki penerimaan diri

adalah spontanitas dan tanggung jawab untuk dirinya. Mereka akan menerima

kualitas-kualitas kemanusiaannya tanpa menyalahkan diri sendiri, jika terjadi

hal-hal diluar kontrolnya.


27

2.1.4 Pengaruh Penerimaan Diri

Untuk lebih mudahnya, Hurlock (1974:437) membagi pengaruh dari

penerimaan diri menjadi dua, yaitu:

1. Pengaruh pada penyesuaian diri.

Seseorang yang dapat menerima dirinya mampu menerima seluruh kelebihan

dan kelemahan dirinya, ia mampu mengenal kelemahan dirinya sebaik ia

mengenal kelebihan dirinya sendiri. Karakteristik orang yang dapat

menyesuaikan diri adalah dapat menerima kelebihan dirinya dan lebih

memaksimalkan kelebihan tersebut serta memanimalisir kelemahannya. Orang

yang menerima diri dapat menerima kritikan tanpa mengurangi rasa penerimaan

dirinya, menyadari bahwa bagaimanapun ia tidak sempurna. Ketika mendapat

kritikan, orang tersebut akan berusaha untuk memperbaiki kelemahannya.

Adanya penerimaan diri dapat mendorong seseorang untuk mengatasi masalah-

masalah dalam hidupnya dan bahwa ia dapat diterima oleh orang lain. Orang

yang menerima dirinya akan mengevaluasi dirinya secara realistis dan

menggunakan kemampuannya secara efektif.

Hal yang penting, orang yang menerima diri tidak ingin menjadi orang lain. Ia

merasa puas dengan dirinya sendiri. Ia akan meningkatkan kualitasnya dan

meminimalisir kelemahannya.

2. Pengaruh pada penyesuaian sosial.

Penerimaan diri akan disertai oleh penerimaan terhadap orang lain. Orang yang

menerima dirinya akan merasa aman untuk bersama dan berhubungan dengan

orang lain dan menunjukkan empati. Sebagai hasilnya, ia dapat membuat


28

penyesuaian sosial yang lebih baik dari pada orang yang berorientasi pada diri

sendiri karena adanya perasaan tidak cukup dan perasaan rendah diri.

Orang yang menerima dirinya memiliki toleransi dengan orang lain,

memaafkan kelemahan-kelemahannya. Toleransi dengan orang lain seringkali

menyertai keinginan untuk menolong orang lain. Ketika orang yang menerima

dirinya tidak berorientsi pada diri sendiri dan tidak menyalahkan orang lain

akan kelemahan-kelemahannya, ia akan menolong orang yang membutuhkan

disekitarnya.

Secara umum, semakin baik orang menerima dirinya maka akan semakin baik

pula penerimaannya terhadap orang lain.

2. 2. Konsep diri

Manusia dilahirkan sebagai individu yang belum mendapat pengaruh

apapun dari lingkungan sekitarnya. Dalam perkembangan kepribadian seseorang

sangat dipengaruhi terutama oleh lingkungan keluarga, karena orang-orang yang

dikenal pertama kali oleh individu adalah orang tua dan anggota keluarga lain,

baru kemudian pengaruh lingkungan sekitar akan menjadi pengaruh selanjutnya

setelah individu tersebut melakukan interaksi.

Konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi

konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seseorang,

yaitu dari masa kecil hingga dewasa. Karena untuk selanjutnya konsep diri

mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu. Bagaimana

individu memandang dirinya, akan tampak dalam seluruh perilakunya tersebut.


29

Perilaku individu tersebut akan sesuai dengan cara individu memandang dirinya

sendiri (Pudjijogyanti, 1991:4).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa individu tidak

dilahirkan dengan konsep diri. Konsep diri muncul sebagai pengalaman yang

didapatkan dari proses interaksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya.

Perlakuan orang-orang tersebutlah yang menjadikan cerminan tentang diri kita.

2. 2. 1. Pengertian Konsep Diri

Menurut Burns (1993:vi) konsep diri adalah satu gambaran campuran dari

apa yang kita pikirkan, pikiran atau pendapat orang lain mengenai diri kita, dan

seperti apa diri kita yang kita inginkan. Brooks dalam Rakhmat (2004:99)

mendefinisikan konsep diri sebagai segala persepsi tentang diri sendiri, secara

fisik, sosial, dan psikologis yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan interaksi

dengan orang lain. Pudjijogyanti (1991:2) mengemukakan bahwa konsep diri

merupakan sikap dan pandangan individu terhadap seluruh keadaan dirinya.

Cawagas dalam Pudjijogyanti (1991:2) menyatakan bahwa konsep diri mencakup

seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya,

kegagalan dan sebagainya.

Menurut Calhoun (1995:67) konsep diri adalah pandangan diri atau potret

mental terhadap diri sendiri yang meliputi tiga dimensi, yaitu pengetahuan,

pengharapan dan penilaian tentang diri sendiri. Chaplin (2002:450) menyatakan

bahwa konsep diri merupakan evaluasi individu mengenai diri sendiri; penilaian

atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan.


30

Selanjutnya Hall dan Lindzey (dalam Nuryoto dan Ampuni, 2006:144)

memberikan dua pengertian mengenai konsep diri, yaitu:

1. Konsep diri yang bersifat objektif, diartikan sebagai suatu pandangan atau

persepsi individu terhadap dirinya sendiri atau memberikan gambaran tentang

individu dan ini akan membentuk citra diri individu (self image).

2. Konsep diri yang bersifat subjektif, merupakan penilaian individu terhadap

dirinya sendiri, dalam penilaian ini akan membentuk penerimaan terhadap

dirinya (self acceptance) serta akan membentuk harga dirinya (self esteem).

Self esteem ini berasal dari interaksi individu dengan lingkungannya, serta

penghargaan, penerimaan dan perlakuan yang diterima individu dari

lingkungannya. Apabila seseorang memiliki harga diri yang tinggi maka

konsep dirinya positif, demikian pula sebaliknya.

Konsep diri menurut Rakhmat (2004:99) yaitu pandangan atau gambaran,

perasaan, serta penilaian tentang diri sendiri yang dapat bersifat psikologis, sosial

dan fisik.

2. 2. 2. Ciri-Ciri Konsep Diri

Setelah melihat definisi tentang konsep diri di atas, maka berikut akan

dijelaskan mengenai konsep diri yang dapat dibedakan menjadi dua macam

konsep secara umum yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif, adapun ciri-

ciri konsep diri negatif dan positif dijelaskan oleh William D Brooks dan Philip

Emmert (dalam Rahmat, 2004:105) sebagai berikut:


31

2. 2. 2. 1. Ciri-ciri konsep diri positif

1) Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah.

2) Merasa setara dengan orang lain.

3) Menerima pujian tanpa rasa malu.

4) Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai keinginan, perasaan dan

perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat.

5) Mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek

kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha merubahnya.

2.2.2.2. Ciri-ciri konsep diri negatif

1) Peka pada kritik, yang ditunjukkan dengan mudah marah, koreksi dipersepsi

sebagai upaya menjatuhkan harga diri dalam komunikasi menggunakan dialog

terbuka dan bersikeras mempertahankan pendapat sekalipun logikanya keliru.

2) Responsif sekali terhadap pujian, yang ditunjukkan dengan pura-pura

menghindari pujian dan sesuatu yang menunjang harga dirinya menjadi pusat

harga dirinya.

3) Krisis berlebihan, yang ditunjukkan dengan selalu mengeluh, mencela

siapapun, tidak sanggup dan tidak pandai mengungkapkan penghargaan atau

pengakuan pada orang lain.

4) Cenderung merasa tidak disenangi orang lain, ia merasa tidak diperhatikan.

Karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak

pernah melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak pernah

mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari

sistem sosial yang tidak beres.


32

5) Bersikap pesimis terhadap kompetisi, seperti terungkap dalam keengganannya

untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap

tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.

Ciri-ciri konsep diri positif dan negatif dari pendapat William D Brooks

dan Philip Emmert tersebut maka dapat diidentifikasikan tanda-tanda seorang

individu yang memiliki konsep diri negatif serta konsep diri positif. Individu

yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang memiliki keyakinan akan

kemampuannya mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, mampu

menerima pujian karena layak menerimanya, menyadari bahwa setiap orang

memiliki bermacam perasaan, harapan, serta perilaku yang tidak disetujui dalam

masyarakat, sehingga memiliki kemampuan merubah diri untuk lebih baik lagi

dalam kualitas hidupnya. Sedangkan individu dengan konsep diri negatif yaitu

individu yang peka terhadap kritik, responsif terhadap pujian, krisis berlebihan,

cenderung merasa tidak disenangi orang lain, serta bersikap pesimis terhadap

tantangan dan persaingan.

Dari beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri

adalah cara pandang atau penilaian individu terhadap diri sendiri, baik yang

bersifat fisik, sosial maupun psikologis, yang didapat dari hasil interaksi dengan

orang lain serta pengalaman-pengalaman yang dilalui selama hidupnya.


33

2. 2. 3. Komponen konsep diri

Burns (1993:66) mengemukakan komponen dari konsep diri, yaitu:

1. Keyakinan pengetahuan atau komponen kognitif.

Pengetahuan atau komponen kognitif ini mewakili sebuah deskripsi dari suatu

obyek dengan tidak memandang apakah pengetahuan itu benar atau salah,

didasarkan atas bukti yang obyektif maupun opini yang subyektif.

2. Komponen Afektif.

Merupakan deskripsi-deskripsi diri dan keyakinan-keyakinan yang semuanya

diinvestasikan dengan nada-nada tambahan yang diekspresikan dengan

emosional.

3. Evaluasi.

Merupakan penilaian diri terhadap komponen kognitif yang berhubungan

dengan kebudayaan, fisik dan hubungan sosial. Evaluasi diri ini sifatnya tetap

atau dapat berubah sesuai dengan pengalaman belajar yang dipelajarinya dan

dapat berupa evaluasi diri positif maupun evalusi diri negatif. Evaluasi diri

disebut pula dengan perasaan harga diri.

4. Suatu kecenderungan untuk memberi respon.

Menurut Pudjijogyanti (1991:3) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk

atas dua komponen, yaitu:

1. Komponen Kognitif

Merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya yang akan

membentuk gambaran tentang diri (self-picture) dan akan membentuk citra diri

(self-image). Komponen kognitif ini merupakan data yang bersifat obyektif.


34

2. Komponen afektif

Merupakan penilaian individu tentang dirinya yang akan membentuk

penerimaan diri (self-acceptance) serta harga diri (self-esteem).

Berdasarkan kedua komponen tersebut dengan demikian dapat dikatakan bahwa

konsep diri tidak dapat terlepas dari masalah gambaran diri, citra diri, penerimaan

diri serta harga diri.

Konsep diri individu yang sehat adalah ketika konsisten dengan pikiran,

pengalaman dan perilaku. Konsep diri yang kuat bisa mendorong seseorang

menjadi fleksibel dan memungkinkan ia untuk berkonfrontasi dengan pengalaman

atau ide baru tanpa merasa terancam.

2. 2. 4. Aspek-aspek konsep diri

Kemudian aspek konsep diri menurut Hurlock (1978:237) sendiri meliputi:

1. Aspek fisik

Terdiri dari konsep yang dimiliki individu tentang penampilannya, kesesuaian

dengan seksnya, arti penting tubuhnya dalam hubungan dengan perilakunya,

dan gengsi yang diberikan tubuhnya di mata orang lain.

2. Aspek psikologis

Terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan ketidakmampuannya,

harga dirinya dan hubungannya dengan orang lain.

Dalam menentukan perilaku individu, konsep diri mempunyai peranan

penting. Bagaimana individu memandang atau menilai dirinya sendiri akan

tampak jelas dari seluruh perilakunya.


35

Isi konsep diri menurut Burns (1993:209-210), yaitu:

1) Karakteristik-karakteristik fisik, termasuk di dalamnya penampilan secara

umum, ukuran tubuh dan berat tubuh; sosok dan bentuk tubuh, dan detail-

detail dari kepala dan tungkai lengan.

2) Cara berpakaian, model rambut dan make-up.

3) Kesehatan dan kondisi fisik.

4) Benda-benda yang dipunyainya dan pemilikan.

5) Binatang peliharaan dan sikap-sikap terhadap mereka.

6) Rumah dan hubungan keluarga.

7) Olahraga, permainan dan hobi-hobi (partisipasi dan kemampuannya).

8) Sekolah dan pekerjaan sekolah, kemampuan dan sikapnya.

9) Status intelektual, kecerdasan.

Semakin dewasa dan semakin tinggi kecerdasan seseorang, maka semakin

mampu dia menggambarkan dirinya sendiri, serta semakin baik pula konsep

dirinya (Sarwono, 1997:147).

10) Bakat khusus dan kemampuan khusus atau minat khusus.

11) Ciri kepribadian, termasuk di dalamnya temperamen, disposisi, ciri karakter,

tendensi emosional, dan lain-lain.

12) Sikap dan hubungan sosial.

13) Ide religius, minat religius, keyakinan dan praktek religius.

14) Pengelolaan peristiwa-peristiwa praktis; kemandirian.

Dari berbagai pandangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa konsep

diri adalah suatu cara pandang menyeluruh yang dimiliki seseorang mengenai
36

dirinya yang meliputi pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan, dan

penilaian diri, yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan orang

lain.

2. 2. 5. Faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan

konsep diri

Pembentukan konsep diri saat usia remaja menjadi sangat penting karena

akan mempengaruhi kepribadian, tingkah laku, dan pemahamannya terhadap diri

sendiri. Remaja berusaha menyesuaikan antara konsep diri ideal yang dibangun

berdasarkan cita-cita dan harapannya dengan konsep diri real, yaitu keadaan diri

yang sesungguhnya.

Konsep diri pada remaja diperolehnya melalui bagaimana orang lain dan

lingkungan sekitar memperlakukan dirinya. Menurut Sullivan dalam Rakhmat

(2004:101), “Jika kita diterima orang lain, dihormati dan menerima diri kita, maka

kita akan menerima diri kita dengan baik. Sebaliknya bila orang lain selalu

meremehkan dan menyalahkan kita, maka kita akan cenderung untuk menolak diri

kita”. Tetapi tidak semua remaja dapat mengembangkan konsep diri secara

positif, dalam hal ini yaitu menerima dirinya, karena hal ini berkaitan dengan

faktor-faktor yang akan mempengaruhi konsep diri pada masing-masing individu.


37

Djalaluddin Rakhmat (2004:100) menyatakan faktor-faktor yang

membentuk konsep diri adalah:

1. Orang Lain (significan others)

Orang lain yang memiliki pengaruh dalam kehidupan misalnya orang tua dan

teman. Pujian yang diberikan, dorongan, semangat yang diberikan mereka

menyebabkan menilai diri kita secara efektif.

2. Kelompok Rujukan (group reference)

Dalam suatu kelompok ada norma-norma yang secara emosional mengikat kita

dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Misalnya bergabung

dalam kelompok pecinta alam, maka kita akan memiliki konsep diri sebagai

seseorang yang memelihara alam, mencintai alam.

Dalam konsep diri menurut Burns (1993:188-189) terdapat lima buah

sumber penting dalam pembentukan konsep diri seseorang. Kelima sumber itu

adalah:

1. Citra tubuh

Yaitu evaluasi terhadap diri fisik sebagai suatu obyek yang jelas berbeda.

2. Bahasa

Merupakan kemampuan untuk mengkonseptualisasikan dan

memverbalisasikan diri serta untuk memudahkan pemahaman atas banyak

umpan balik dari orang lain.

3. Umpan balik yang ditafsirkan dari lingkungan tentang bagaimana orang lain

yang dihormati memandang pribadi tersebut secara relatif ada dibandingkan

norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang bermacam-macam.


38

4. Identifikasi dengan modal peranan seks stereotip yang sesuai.

5. Praktek-praktek membesarkan anak.

Kelima sumber tersebut tidak dapat berfungsi secara bebas, melainkan saling

terkait secara erat dalam kehidupan sosial.

Sejalan dengan pendapat tersebut diatas, Mead (Pudjijogyanti, 1991:27)

mengemukakan bahwa konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk

melalui proses internalisasi dan organissi pengalaman-pengalaman psikologis.

Pengalaman-pengalaman ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap

lingkungan fisiknya dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang

penting (significant others) disekitarnya. Jika lingkungan memberikan sikap yang

baik dan positif, maka seseorang akan merasa dirinya cukup berharga sehingga

timbullah konsep diri yang positif, begitu pula sebaliknya.

Selain itu dalam konsep diri terdapat faktor-faktor yang

mempengaruhinya, faktor-faktor tersebut Menurut Hurlock (1980:235) antara

lain:

1. Usia kematangan

Pengembangan konsep diri yang menyenangkan akan dapat menyesuaikan diri

dengan baik.

2. Penampilan diri

Daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri

kepribadian dan akan menambah dukungan sosial.


39

3. Kepatutan seks

Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat, dan perilaku akan membantu

individu mencapai konsep diri yang baik.

4. Nama dan julukan

Julukan yang diberikan teman-teman akan mempengaruhi konsep diri

seseorang. Misalnya julukan si bodoh, ladang jerawat, dan sebagainya yang

bernada ejekan akan mempengaruhi konsep diri.

5. Hubungan keluarga

Melalui hubungan yang erat dengan keluarga akan membuat lebih mudah bagi

remaja untuk mengembangkan pola kepribadiannya melalui identifikasi

dengan anggota keluarga tersebut. Bila sesama jenis, maka akan membantu

remaja mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis kelaminnya.

6. Teman-teman sebaya

Teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara.

Pertama, konsep diri remja merupakan cerminan tentang konsep teman-teman

terhadap dirinya. Kedua, remaja berada dalam tekanan untuk mengembangkan

ciri kepribadian yang diakui kelompok.

7. Kreativitas

Remaja yang sejak kanak-kanak didorong untuk mengembangkan perasaan

individualitas dan identitas yang berpengaruh baik terhadap konsep dirinya.


40

8. Cita-cita

Cita-cita yang tidak realistik membuatnya mengalami kegagalan dan

menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Sebaliknya, cita-cita yang realistik

cenderung mengalami keberhasilan sehingga membuatnya percaya diri.

Menurut Pudjijogyanti (1991:14) mengemukakan empat hal yang dapat

mempengaruhi perkembangan konsep diri:

1. Citra fisik atau sikap positif terhadap fisik

2. Peran jenis kelamin

3. Peran perilaku orang tua

4. Peranan faktor sosial

Proses perkembangan konsep diri tidak pernah sungguh-sungguh berakhir,

hal itu berjalan terus dengan aktif dari saat kelahiran sampai pada kematian

sejalan dengan individu tersebut secara terus menerus menemukan potensi-potensi

yang baru dalam proses perkembangannya. Untuk memiliki konsep diri, seseorang

harus memandang dirinya sendiri sebagai sebuah obyek yang jelas berbeda dan

mampu melihat dirinya dari obyek-obyek lainnya (Burns, 1993:188).

Berdasarkan berbagai pendapat yang telah mengemukakan tentang konsep

diri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka dapat dikatakan secara jelas

dapat dikatakan bahwa konsep diri bukanlah diwariskan atau ditentukan secara

biologis, tetapi merupakan hal yang dipelajari dari proses interaksi, belajar dan

pengalaman-pengalaman. Konsep diri individu terbentuk dan berkembang melalui

jalan dari hasil pengaruh interaksi yang dilakukan melalui hubungan sosial dengan
41

lingkungan terutama lingkungan keluarga, pendidikan dan hasil tanggapan dari

orang lain.

2. 3. Anak Jalanan

2. 3. 1. Pengertian Anak Jalanan

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, definisi anak yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

UNICEF mendefinisikan anak jalanan atau street children dengan istilah

yang dipakai untuk menyebutkan anak-anak yang menghabiskan sebagian besar

waktunya untuk berada di jalanan kawasan urban (1999:45) memberikan batasan

terhadap kelompok ini sebagai “Chilren who work on the streets of urban areas,

without reference to the time they spend there or the reasons for being there”.

Sedangkan pengertian lainnya menurut Dinas Kasejahteraan Sosial bahwa

anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk

mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya

(Lokakarya Nasional Anak Jalanan Depsos, Oktober 1995).

Definisi yang tersebut diatas memberikan 4 faktor penting yang saling

terkait, yaitu:

1. Anak-anak

2. Menghabiskan sebagian besar waktunya

3. Mencari nafkah dan atau berkeliaran

4. Jalanan dan tempat-tempat umum lainnya


42

Faktor-faktor tersebut memperlihatkan terganggunya keberfungsian sosial

anak. Penyimpangan-penyimpangan tersebut akan berakibat bagi proses tumbuh

kembang anak, karena di jalanan banyak terdapat bentuk ancaman-ancaman yang

akan mempengaruhi pribadi anak jalanan itu sendiri.

2. 3. 2. Jenis dan Kategori Anak Jalanan

Menurut Dharmono dan Darmabrata (1999:45), berdasarkan latar belakang

kehidupan dan motivasi mereka dalam melakoni kehidupan jalanan, maka

kelompok anak-anak jalanan ini dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu:

1. Golongan anak jalanan pekerjaan perkotaan, yakni mereka yang

keberadaannya di jalanan terutama untuk mencari nafkah bagi dirinya maupun

keluarganya. Anak-anak jalanan dari golongan ini menekuni kehidupan

jalanan terbatas pada pemenuhan aspek ekonomi saja.

2. Golongan anak jalanan “murni”, yakni mereka yang melakoni seluruh aspek

kehidupannya di jalanan. Mereka umumnya adalah pelarian dari keluarga

bermasalah yang kemudian terlempar pada kehidupan jalanan. Anak-anak dari

golongan ini nyaris tidak lagi mempunyai ikatan dengan keluarganya.

Shalahuddin (2004) dalam jurnal perempuan (2007:40) membagi anak

jalanan dalam tiga kategori, yaitu:

1. Children on the street adalah kelompok anak jalanan yang karena masalah

ekonomi terpaksa berada di jalanan dan masih memiliki hubungan dengan

keluarga. Ada dua kelompok dalam kategori ini, yaitu:

1) Anak-anak yang tinggal bersama orang tuanya dan senantiasa pulang

setiap hari.
43

2) Anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan

namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara

pulang, baik secara berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.

2. Children of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau

sebagian besar waktunya di jalanan yang tidak memiliki hubungan dengan

orang tua atau keluarganya lagi.

3. Children in the street atau children from the families of the street adalah anak-

anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan dari keluarga yang

hidup di jalanan.

Dalam badan PBB, terdapat suatu lembaga yang mengurusi kesejahteraan

penduduk dalam suatu negara, UNICEF membagi 3 kategori anak jalanan, antara

lain:

1. Anak jalanan yang bekerja di jalanan (Children on the street).

2. Anak jalanan yang hidup di jalanan (Children of the street).

3. Anak jalanan ditelantarkan karena berbagai sebab (Abadon Child).

Sedangkan menurut Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Tengah

dalam Materi untuk Petugas Penanganan Anak Jalanana Tahun 2005, jenis-jenis

anak jalanan, yaitu:

1. On the street, yaitu menjadi anak jalanan tetapi hanya untuk mencari uang

tidak sebagai pekerjaan utama, dan masih berhubungan dengan keluarga.

2. Off the street, yaitu menjadi anak jalanan sebagai pekerjaan utama, semua

dilakukan di jalan, dan tidak melakukan kontak/jarang kontak dengan

keluarga.
44

3. In the street/high risk to be street children, yaitu berada di jalan karena hanya

untuk mencari kesenangan, dan lain-lain.

Kategori anak jalanan antara lain:

1. Anak-anak miskin perkampungan kumuh yaitu kaum urban.

2. Pekerja anak perkotaan yaitu anak-anak yang hidup dan bekerja tetapi tidak

tinggal bersama orang tua.

3. Anak-anak jalanan yang sudah putus hubungan dengan keluarga.

Anak jalanan yang menjadi penerima pelayanan RPSA terbagi kedalam 4

kelompok (dalam Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan, 1999:26):

1. Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan ciri-ciri:

1) Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya minimal

setahun yang lalu.

2) Berada di jalanan seharian dan meluangkan 8-10 jam untuk bekerja,

sisanya untuk menggelandang/tidur.

3) Bertempat tingga di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emper

toko, kolong jembatan, taman, stasiun, dan lain-lain.

4) Tidak bersekolah lagi.

5) Pekerjaannya mengamen, mengemis, pemulung, dan serabutan yang

hasilnya untuk diri sendiri.

6) Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.


45

2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan, cirinya:

1) Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, yakni pulang secara

periodik misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu. Mereka

umumya berasal dari luar kota yang bekerja di jalanan.

2) Berada di jalanan sekitar 8-12 jam untuk bekerja, sebagian mencapai 16

jam.

3) Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman,

dengan orang tua/saudaranya, atau di tempat kerjanya di jalan. Tempat

tinggal umumnya kumuh yang terdiri orang-orang a

4) Tidak bersekolah lagi.

5) Pekerjaannya menjual koran, pengasong, pencuci bis, pemulung sampah,

penyemir sepatu, dan lain-lain. Bekerja merupakan kegiatan utama setelah

putus sekolah terlebih diantara mereka harus membantu orang tuanya

karena miskin, cacat, atau tidak mampu lagi.

6) Rata-rata usianya dibawah 16 tahun.

3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, cirinya:

1) Setiap hari bertemu dengan orang tuanya (teratur).

2) Berada di jalanan sekitar 4-6 jam untuk bekerja.

3) Tinggal dan tidur bersama orang tua/wali.

4) Masih bersekolah.

5) Pekerjaannya menjual koran, makanan, alat tulis, kantong plastik,

menyemir sepatu, pengamen, dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhannya

sendiri dan orang tuanya.


46

6) Usianya rata-rata di bawah 14 tahun.

4. Anak jalanan berusia 16 tahun keatas, cirinya adalah:

1) Terdiri dari anak yang sudah putus hubungan dan yang berhubungan tidak

teratur dengan orang tuanya.

2) Berada di jalanan dari 8-24 jam, kadang hanya beberapa jam, kadang

berada seharian di jalanan.

3) Tempat tinggal dan tidur mereka adalah kadang-kadang di jalanan.

4) Mereka telah tamat SD atau SMP, namun sudah tidak bersekolah.

5) Pekerjaannya tidak tetap, seperti calo, mencuci bis, menyemir sepatu, dan

lain-lain. Hasilnya digunakan untuk dirinya maupun memenuhi kebutuhan

orang tuanya. Kebutuhan mereka adalah pekerjaan yang tetap.

6) Rata-rata usia mereka adalah diatas 16 tahun.

2. 3. 3. Pekerjaan Anak Jalanan

Dalam Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (2000:31) secara umum

pekerjaan anak jalanan terbagi menjadi dua, yakni:

1. Pekerjaan yang memerlukan modal

Jenis-jenis pekerjaan ini adalah pengasong, tukang Koran, penyemir sepatu,

dan beberapa pekerjaan lainnya yang memerlukan bahan.

2. Pekerjaan jasa

Jenis pekerjaan ini antara lain: mengamen, pemulung, tukang parkir, polisi

cepek, pengelap/pencuci bus, dan pekerjaan lainnya yang memerlukan tenaga.


47

2. 3. 4. Karakteristik Anak Jalanan

Dalam setiap komunitas yang ada dalam suatu masyarakat pasti

mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu. Anak jalananpun pada umumnya

memiliki beberapa ciri fisik dan psikis yang dapat dengan mudah dikenali, antara

lain:

Tabel 2.1

Ciri-ciri Anak Jalanan

Ciri Fisik Ciri Psikis


 Warna kulit kusam  Acuh tak acuh
 Pakaian tidak terurus  Mobilitas tinggi
 Rambut kusam  Penuh curiga
 Kondisi badan tidak terurus  Sensitif
 Kreatif
 Semangat hidup tinggi
 Berwatak keras
 Berani menanggung resiko
 mandiri
Sumber: BKSN (2000:24)

Adapun karakteristik yang menonjol pada anak jalanan adalah:

1. Nampak kumuh, kotor tapi tidak gembel.

2. Memandang orang lain (diluar orang yang berada di jalanan) sebagai orang

yang dimintai uang.

3. Mandiri, tidak terlalu menggantungkan diri pada orang lain, terutama untuk

tidur, mandi maupun makan.

4. Muka atau mimik wajah yang melas ketika berhadapan dengan orang lain.

5. Tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi baik bercakap-cakap ataupun

sekedar berbicara sedikit dengan siapapun.

6. Malas melakukan kerja anak-anak “rumahan”, misalnya jadwal tidur, mandi.


48

Hendriati (1998:5) juga mengkategorikan karakteristik anak jalanan, yaitu

sebagai berikut:

1. Anak jalanan hidup dan mencari penghidupan di jalanan, ciri-ciri:

1) Hidup mandiri.

2) Tidur di sembarang tempat.

3) Mencari nafkah sebagai penyemir, pengamen, penjual asongan.

2. Anak jalanan hidup dan mencari penghidupan di jalanan dengan cara-cara

tertentu, ciri-ciri:

1) Hidup mandiri.

2) Mencari nafkah sebagai penyemir, pengamen.

3) Berhubungan dengan keluarga kurang lebih 1-3 bulan sekali.

4) Penghasilan yang mereka terima untuk keperluan orang tua.

3. Anak jalanan yang mencari nafkah di jalanan tetapi pulang ke rumah, ciri-ciri:

1) Menghabiskan sebagian waktunya di jalanan.

2) Waktu tertentu pulang ke rumah orang tuanya.

3) Bekerja di jalanan.

4) Pengaruh perilaku jalanan lebih dominan.

4. Anak jalanan baru gede yang menghabiskan waktunya di jalanan tetapi tidak

mencari nafkah, ciri-ciri:

1) Ada kontak dengan orang tua.

2) Pergaulan bebas.

3) Sebagian masuk sekolah atau setengah kuliah, membolos.

4) Dijalanan sore sampai pagi.


49

5) Biasanya mengkonsumsi minuman keras atau obat- obatan terlarang.

Karakteristik anak jalanan di kota Semarang (Shalahuddin, 2004:19) antara

lain:

1. Jumlah anak jalanan perempuan meningkat dan di beberapa lokasi bahkan

jumlahnya lebih besar dibandingkan anak jalanan laki-laki.

2. Semakin besarnya jumlah anak jalanan yang berusia sangat muda.

3. Kehadiran anak-anak yang masih bersekolah semakin tinggi.

4. Jumlah anak jalanan yang berasal dari kota Semarang semakin dominan.

5. Lokasi kegiatan anak semakin meluas.

6. Penguasaan wilayah dan tersingkirnya anak dari luar kota.

7. Munculnya berbagai kegiatan baru yang dilakukan

2. 3. 5. Faktor Penyebab Keberadaan Anak Jalanan

Ada 3 tingkatan penyebab masalah anak jalanan (BKSN, 2000:26), yaitu:

1. Tingkat Mikro, yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya.

Sebab-sebab yang dapat diidentifikasi dari anak dan keluarga saling berkaitan,

tetapi dapat juga berdiri sendiri, yakni:

1) Lari dari keluarga, disuruh bekerja (yang masih sekolah atau putus

sekolah), berpetualang, bermain-main atau diajak teman.

2) Penyebab dari keluarga; terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan

kebutuhan dasar / kemiskinan, pengangguran ditolak orang tua, salah

perawatan atau kekerasan di rumah, kawin muda, perceraian, kesulitan

berhubungan dengan keluarga/tetangga, terpisah dengan orang tua, sikap-


50

sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang berakibat

anak menghadapi masalah fisik, psikis dan sosial.

2. Tingkat Messo, yaitu faktor di masyarakat. Pada tingkat ini, penyebab yang

dapat diidentifikasi meliputi:

1) Pada masyarakat miskin yaitu anak adalah asset untuk membantu

peningkatan ekonomi keluarga.

2) Pada masyarakat lain yaitu urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-anaknya

mengikuti.

3) Penolakan masyarakat dan anggapan bahwa anak jalanan selalu melakukan

tindakan tidak terpuji.

3. Tingkat Makro, yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat.

Pada tingkat struktur masyarakat, penyebab yang dapat diidentifikasi adalah:

1) Ekonomi, adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu

membutuhkan modal dan keahlian.

2) Pendidikan, biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang diskriminatif.

3) Penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/rumah mereka

dengan alasan ”demi pembangunan”.

4) Belum seragamnya unsur pemerintah memandang anak jalanan, sebagian

berpandangan anak jalanan merupakan kelompok yang memerlukan

perawatan (pendekatan kesejahteraan) dan sebagian yang lain memandang

anak jalanan sebagai pembuat masalah (pendekatan keamanan).


51

2. 4. Rumah Singgah atau Rumah Perlindungan Sosial Anak

(RPSA)

2. 4. 1. Pengertian Rumah Singgah atau RPSA

Menurut Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak dalam Standar Pelayanan

Sosial Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah (2002:6), Rumah Singgah

didefinisikan sebagai suatu wahana yang dipersiapkan sebagai perantara antara

anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka.

Dari pengertian tersebut, maka terkandung unsur-unsur:

1. Rumah singgah memberlakukan proses informal, memberikan perlindungan,

dan suasana penanaman kembali nilai dan norma masyarakat kepada anak

jalanan.

2. Adanya anak-anak jalanan yang didampingi.

3. Pihak-pihak yang akan membantu mereka karena Rumah Singgah

merupakan tahap awal bagi seseorang anak untuk memperoleh pelayanan

selanjutnya.

Sedangkan Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) adalah unit

pelayanan perlindungan lanjutan dari temporary shelter yang berfungsi

memberikan perlindungan dan reunifikasi bagi anak yang membutuhkan

perlindungan khusus agar anak dapat tumbuh kembang secara wajar.

2. 4. 2. Tujuan Rumah Singgah

Tujuan umum Rumah Singgah adalah membantu anak jalanan mengatasi

masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan

hidupnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah:


52

1. Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan

norma yang berlaku di masyarakat.

2. Mengupayakan anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan

lembaga pengganti lainnya jika diperlukan.

3. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak

dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang

produktif.

2. 4. 3. Fungsi Rumah Singgah

Rumah Singgah memiliki fungsi sebagai berikut:

1. Tempat pertemuan (meeting point) pekerja sosial dengan anak jalanan.

Tempat penjangkauan pertama kali dan pertemuan pekerja sosial dengan anak

jalanan unutk menciptakan persahabatan, kekeluargaan, dan mencari jalan

keluar dari kesulitan mereka.

2. Tempat membangun kepercayaan antara anak dengan pekerja sosial dan

latihan meningkatkan kepercayaan diri berhubungan dengan orang lain.

3. Perlindungan.

Perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, seks, ekonomi, dan bentuk lainnya

yang terjadi di jalanan.

4. Kuratif-Rehabilitatif.

Tempat menanamkan kembali dan memperkuat sikap, perilaku, dan fungsi

sosial anak sejalan dengan norma masyarakat.


53

5. Pusat assessment dan rujukan.

Tempat memahami masalah yang dihadapi anak jalanan dan menemukan

penyaluran kepada lembaga-lembaga lain sebagai rujukan.

6. Fasilitator (media perentara)

Sebagai media perantara antara anak jalanan dengan keluarga/lembaga lain,

seperti panti, keluarga pengganti, dan lembaga pelayanan sosial lannya. Anak

jalanan diharapkan tidak terus-menerus bergantung kepada Rumah Singgah,

melainkan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui atau setelah

proses yang dijalaninya.

7. Pusat Informasi.

Tempat informasi berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anak

jalanan seperti data dan informasi tantang anak jalanan, bursa kerja,

pendidikan, kursus keterampilan, dan lain-lain.

2.5. Hubungan Konsep Diri dengan Penerimaan Diri Anak

Jalanan

Istilah anak jalanan biasa digunakan oleh orang-orang yang melihat atau

mengidentifikasikan kelompok anak-anak yang sebagian besar waktunya berada

di jalanan. Sekalipun demikian, kebanyakan dari mereka adalah para remaja yang

kegiatannya menyatu dengan jalanan kota. Anak jalanan dalam menjalankan

kegiatannya termotivasi oleh hasrat yang besar untuk memperoleh penghasilan

sendiri. Selain karena motivasi internal dari diri mereka sendiri, tidak sedikit juga

diantara mereka yang turun ke jalan dikarenakan faktor keluarga dan lingkungan.
54

Gambar 2.1. Kerangka Alur Pikir

Anak Jalanan
Faktor anak turun ke jalan

Faktor Sosioekonomi: Faktor Keluarga: Faktor Lingkungan: Faktor-faktor


a. Kemiskinan a. Lari dari keluarga karena a. Pengaruh teman / lainnya:
b. Pendidikan rendah broken home Ikut-ikutan teman a. Korban penulikan
c. Akibat urbanisasi b. Disharmoni keluarga b. Bermasalah b. Dampak program
c. Family violence dengan tetangga / c. Korban bencana
d. Anak sebagai household komunitas
commodity / eksploitasi
ekonomi
e. Keterbatasan ruang dalam
rumah
f. Keluarga homeless

Konsep Diri
Anjal

Konsep Diri Positif :


1. Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah Konsep Diri Negatif :
2. Merasa setara dengan orang lain 1. Peka pada kritik
3. Menerima pujian tanpa rasa malu 2. Responsif sekali terhadap pujian
4. Menyadari setiap orang mempunyai berbagai 3. Krisis berlebihan
keinginan, perasaan dan perilaku yang tidak 4. Cenderung meresa tidak disenangi orang lain,
seluruhnya disetujui oleh masyarakat merasa tidak di perhatikan
5. Mampu memperbaiki dirinya 5. Bersikap pesimis terhadap kompetisi

Penerimaan Diri
(Faktor-faktor yang mempengaruhi Penerimaan Diri) :
1. Pemahaman diri
2. Harapan yang realistis
3. Tidak hadirnya hambatan-hambatan dari lingkungan
4. Tingkah laku sosial yang mendukung
5. Tidak adanya tekanan emosi yang berat
6. Sukses yang terjadi
7. Identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik
8. Cara seseorang melihat diri sendiri
9. Pendidikan yang baik pada masa kanak-kanak

Penerimaan Diri Positif Penerimaan Diri Negatif


55

Kondisi atau keadaan dari keberadaan anak-anak jalanan dapat

memberikan pengaruh negatif bagi perkembangan mereka sendiri. Situasi yang

tidak baik akan sangat mempengaruhi nilai dalam diri anak jalanan yang

seringkali akan menimbulkan suatu permasalahan-permasalahan dalam

kepribadiannya. Apalagi anak-anak jalanan tersebut sebagian besar merupakan

usia dan remaja yang berarti bahwa usia tersebut adalah usia untuk mencari jati

diri.

Keadaan dan latar belakang turunnya anak pergi ke jalan dipengaruhi oleh

beberapa faktor. Menurut Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN)

diantaranya yaitu karena kemiskinan, pengangguran, perceraian, kawin muda,

kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Hal ini di jelaskan dalam tiga

tingkatan, antara lain: pertama tingkat mikro, yaitu faktor yang berhubungan

dengan keluarga, diantaranya karena disharmoni keluarga, broken home, family

violence, persepsi orang tua bahwa anak sebagai household commodity, adanya

keterbatasan ruang dalam rumah. Kedua pada tingkat messo, diantaranya karena

faktor kemiskinan, dan urbanisasi. Serta yang ketiga yaitu pada tingkat makro

yang mengacu pada rendahnya tingkat pendidikan karena biaya sekolah yang

begitu tinggi serta pada bidang ekonomi dengan adanya peluang pekerjaan di

sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian.

Dampak dari berbagai macam faktor-faktor tersebut di atas kemudian

memunculkan keberadaan dari anak jalanan yang semakin hari kian meningkat

jumlahnya. Dari bermacam-macam kondisi yang mendorong anak untuk turun ke


56

jalan tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi bagaimana pembentukan

dan perkembangan konsep diri dari anak jalanan tersebut.

Keadaan dan latar belakang turunnya anak pergi ke jalan akan

mempengaruhi bagaimana konsep diri dari anak jalanan tersebut. Dijelaskan oleh

Mead (dalam Burns, 2003:19) bahwa konsep diri sebagai suatu obyek timbul di

dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu

tersebut mengenai bagaimana orang-orang lain bereaksi kepadanya. Konsep diri

merupakan faktor yang dipelajari dan dapat dibentuk melalui pengalaman individu

berhubungan dengan orang lain. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

perkembangan konsep diri antara lain usia kematangan, penampilan diri,

kepatutab seks, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman-teman sebaya,

kreativitas, dan cita-cita. Faktor lingkungan dan pola asuh orang tua juga

seyogyanya dapat mempengaruhi dalam pembentukan dan perkembangan konsep

diri seseorang (Hurlock, 1980:235).

Anak dengan sikap mental yang baik dan tidak mudah terpengaruh dengan

lingkungan sekitar yang membuat mereka bersikap negatif, hal tersebut dengan

sendirinya akan membentuk konsep diri yang positif pada seseorang. Anak

dengan pemikiran yang positf pada diri dan lingkungan mereka, maka akan

terbentuk konsep diri yang positif, sebaliknya jika keadaan keluarga dan

lingkungan yang tidak baik terjadi pada anak yang goyah kepribadiannya dan

tidak labil yang pada umumnya terjadi pada anak-anak jalanan maka akan dapat

terbentuk suatu konsep diri negatif dalam diri mereka. Seperti yang dijelaskan

oleh William D Brooks dan Phillip Emmert (dalam Rahmat, 2004:105), bahwa
57

secara umum konsep diri dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu konsep diri

positif dengan ciri-ciri antara lain yakin akan kemampuannya untuk mengatasi

suatu masalah, merasa setara dengan orang lain artinya yaitu sederajat dengan

orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang

mempunyai keinginan, perasaan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh

masyarakat, serta mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkakan

aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha untuk

merubahnya.

Sedangkan konsep diri negatif memiliki ciri-ciri antara lain peka pada

kritik yang ditunjukkan dengan rasa marah dan koreksi dipersepsi sebagai upaya

untuk menjatuhkan harga diri dan bersikeras mempertahankan pendapat sekalipun

logikanya salah. Kedua, responsif sekali terhadap pujian yang ditunjukkan dengan

pura-pura menghindari pujian tersebut. Ketiga, hiperkrisis yang ditunjukkan

dengan selalu mengeluh, mencela siapapun, tidak sanggup dan tidak pandai

mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada orang lain. Keempat,

cenderung merasa tidak disenangi orang lain dan merasa tidak diperhatikan,

sehingga bereaksi pada orang lain sebagia musuh dan tidak pernah melahirkan

kehangatan dan keakraban dalam persabatan serta menganggap dirinya sebagai

korban dari sistem sosial yang tidak beres. Kelima, bersikap pesimis terhadap

kompetisi.

Menurut Calhoun dan Acocella (1995:73), bahwa dasar dari konsep diri

yang positif bukanlah suatu kebanggaan yang besar tentang diri, tetapi lebih

berupa penerimaan diri. Yang menjadikan penerimaan diri mungkin adalah bahwa
58

orang dengan konsep diri positif yaitu dengan mengenal dirinya dengan baik

sekali ( Wicklund dan Frey dalam Calhoun dan Acocella, 1995:73). Begitu juga

dengan yang terjadi pada anak-anak jalanan, karena berbagai kondisi dan situasi

dari latar belakang turun ke jalan hingga masa anak beraktivitas, tinggal dan

berinteraksi dengan lingkungan di jalan, selanjutnya pengambilan sikap positif

atau negatif dalam menghadapi kehidupannya yang serba begitu keras tersebut

akan ditentukan dan ditunjukkan oleh sikap mereka. Dari latar belakang anak

turun ke jalan tersebut sebenarnya sudah menunjukkan suatu masalah hingga

anak-anak memutuskan untuk hidup atau beraktivitas di jalan. Kemudian lamanya

anak beraktivitas, tinggal dan berinteraksi dengan lingkungan di jalan akan

menjadikan anak-anak sedikit demi sedikit melakukan penyesuaian dengan

culture di jalanan, sedangkan culture jalanan tersebut tidak sedikit yang bersifat

negatif, seperti halnya cara berbicara yang kasar, kebiasaan minum, free sex,

narkoba, dan lain-lain. Untuk itu, pengambilan sikap positif atau negatif dari

anak-anak jalanan menjadikan sangat penting artinya bagi pembentukan dan

perkembangan konsep diri mereka sebagai tindak lanjut dari penerimaan diri anak

jalanan.

Penerimaan diri adalah suatu sikap yang menunjukkan rasa puas terhadap

diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan pengakuan akan

keterbatasan-keterbatasan sendiri (Chaplin, 1999:450). Penerimaan diri

merupakan komponen dari kesehatan mental, seseorang yang mempunyai tingkat

penerimaan diri yang baik merupakan orang yang berpribadi matang. Penerimaan

diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri dan
59

kepribadian yang positif seseorang. Individu dengan konsep diri yang positif akan

menerima dirinya dengan baik pula.

Konsep diri merupakan cara seseorang melihat diri sendiri. Seseorang

yang dapat melihat diri sendiri dengan benar, mengerti akan dirinya sendiri,

mengetahui keterbatasan diri, serta menginginkan untuk menjadi individu yang

lebih baik berarti memiliki konsep diri yang positif. konsep diri yang stabil akan

menentukan bagaimana penerimaan diri seseorang, karena dengan memiliki

konsep diri yang stabil dapat meningkatkan potensi yang terbaik dari diri sendiri

dengan senantiasa belajar meningkatkan kemampuan diri, dan memanfaatkan

kesempatan serta peluang yang ada.

Hurlock (1974:434) mengemukakan ada beberapa kondisi yang

mempengaruhi pembentukan penerimaan diri seseorang. Kondisi tersebut adalah

pemahaman diri yaitu suatu persepsi atas diri sendiri yang ditandai oleh keaslian

bukan kepura-puraan, harapan yang realistis yaitu ketika pengharapan seseorang

terhadap sukses yang akan dicapai merupakan pengharapan yang realistis maka

kesempatan untuk mencapai sukses tersebut akan muncul, bebas dari hambatan

sosial, perilaku sosial yang mendukung, tidak adanya tekanan emosi yang berat,

sukses yang terjadi, identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri

yang baik, konsep diri yang stabil, serta pendidikan yang baik pada masa kanak-

kanak.

Konsep diri dan penerimaan diri terbentuk dari hasil belajar serta

pengalaman-pengalaman yang dimulai sejak kecil hingga dewasa. Menurut

Siswojo (dalam Wrastari dan Handadari, 2003:23), pendidikan yang dialami


60

seseorang memiliki pengaruh yang positif dalam penerimaan diri. Faktor-faktor

tersebut dapat mempengaruhi bagaimana penerimaan diri seseorang Maka dari

pengertian tersebit diatas, jika seseorang memiliki konsep diri yang positif maka

orang tersebut akan mempunyai gambaran positif mengenai dirinya, serta dapat

memahami diri sendiri baik kelebihan maupun kekerangannya dan dapat

menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya, sehingga evaluasi

tentang dirinya juga positif, dengan demikian akan lebih dapat menerima dirinya

sendiri.

2. 6. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian mengenai konsep diri dengan peneriman diri pada

anak jalanan, maka sebagai jawaban sementara menurut peneliti yaitu, Ada

pengaruh positif konsep diri terhadap penerimaan diri anak jalanan (Street

Children) di RPSA Kota Semarang.


BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada dasarnya penelitian ilmiah merupakan usaha untuk menyelidiki dan

menjawab suatu permasalahan secara ilmiah, sistematis dan rasional, serta hasil

penelitian tersebut benar-benar dapat dipertanggung jawabkan. Untuk itu

penelitian perlu dilaksanakan dengan menggunakan metodologi penelitian yang

tepat dan sesuai.

Metode merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian, karena

sesuatu akan berhasil dengan baik jika menggunakan metode yang tepat. Metode

yang tepat akan menentukan hasil yang ingin dicapai. Jadi, metode penelitian

adalah suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian sebagai

upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh faktor-

faktor dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk

mewujudkan kebenaran.

Metodologi ialah suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang cara

atau jalan untuk memecahkan suatu persoalan guna mencapai tujuan tertentu.

Sedangkan penelitian sering dipakai dengan istilah research yang berarti sebagai

usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu

pengetahuan, usaha yang mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode

ilmiah (Hadi, 2002:4).

61
62

Dari pendapat tersebut diatas, maka metodologi penelitian adalah suatu

ilmu pengetahuan tentang berbagai cara kerja yang disesuaikan dengan banyak

subyek studi dalam usaha mengumpulkan, menemukan, mengembangkan dan

menguji kebenaran suatu data.

3.1. Jenis Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan

informasi yang akurat mengenai bagaimana hubungan konsep diri terhadap

penerimaan diri pada kelompok anak jalanan di kota Semarang yang diperoleh

dari anak jalanan itu sendiri. Untuk mendapatkan informasi tersebut serta untuk

mencapai tujuan yang diinginkan, maka diperlukan sejumlah data yang tidak bisa

dipisahkan dari sejumlah faktor yang melatar belakanginya.

Mengingat sifat data seperti diatas, maka pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian

korelasional diskriptif.

3. 2.Variabel Penelitian

3. 2. 1. Identifikasi Variabel Penelitian

Setiap masalah penelitian harus mengandung variabel yang jelas sehingga

memberikan gambaran data dan informasi apa yang diperlukan untuk

memecahkan masalah tersebut. Sesuatu dinamakan variabel dikarenakan secara

kuantitatif atau secara kualitatif ia dapat bervariasi (Azwar, 2001 :59)


63

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel tergantung

(dependent) dan variabel bebas (independent). Variabel tergantung (dependent)

adalah variabel yang dapat dipengaruhi variabel bebas, sedangkan variabel bebas

(independent) adalah varibel yang dapat mempengaruhi veriabel lain (tergantung).

Adapun variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Variabel tergantung : penerimaan diri

b) Variabel bebas : konsep diri

3. 2. 2 Definisi Operasionl Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang

dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat

diamati (Azwar, 2001 : 74). Definisi operasional dalam penelitian ini antara lain:

3. 2. 2. 1 Penerimaan Diri

Penerimaan diri merupakan sikap yang mencerminkan perasaan senang

dan merasa puas sehubungan dengan kenyataan yang ada pada dirinya sehingga

individu dapat menerima dirinya dengan baik serta mampu menerima kelemahan

maupun kelebihan yang dimilikinya. Sehingga indikator mengenai penerimaan

diri diambil definisi tersebut di atas, yaitu meliputi: 1) perasaan senang terhadap

diri sendiri, 2) perasaan puas terhadap diri sendiri, 3) mengetahui kualitas dan

bakat sendiri, dan 4) penerimaan terhadap keterbatasan diri. Untuk mengungkap

penerimaan digunakan skala penerimaan diri. Semakin tinggi skor yang diperoleh

menunjukkan semakin tinggi penerimaan diri subjek dan sebaliknya.

3.2.2.2 Konsep diri


64

Konsep diri merupakan cara pandang atau persepsi tentang diri sendiri

secara fisik, sosial, dan psikologis meliputi dimensi pengetahuan, pengharapan

dan penilaian tentang diri sendiri yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan

inteaksi dengan orang lain. Indikator konsep diri didasarkan pada pengertian

tersebut di atas, antar lain: 1) pengetahuan tentang diri, 2) pengharapan, 3)

penilaian tentang diri. Untuk mengungkap bagaimana konsep diri anak jalanan,

maka digunakan skala konsep diri yang dapat ditunjukkan dengan tingkat atau

bentuk konsep diri tertentu yaitu ke arah positif atau negatif.

3. 2. 3. Hubungan Antara Variabel Penelitian

Hubungan antara kedua jenis variabel dalam penelitian ini ditunjukkan

dalam gambar sebagai berikut:

Konsep Diri Penerimaan Diri anak jalanan

Variabel Bebas (X) Variabel Tergantung (Y)

Gambar 3.1. Hubungan Antar Variabel

3. 3. Populasi dan Sampel Penelitian

3. 3. 1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian merupakan faktor utama yang harus ditentukan

sebelum kegiatan penelitian dilakukan. Populasi didefinisikan sebagai kelompok

subyek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 2001:77).

Arikunto (2002:108) menjelaskan bahwasanya populasi adalah keseluruhan

subyek penelitian yang setidaknya mempunyai karakteristik yang sama.


65

Populasi merupakan sejumlah individu yang paling sedikit mempunyai

satu ciri sifat yang sama. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

semua anak jalanan yang tinggal di RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak)

yang terdapat di kota Semarang yaitu 830 anak.

Sedangkan kriteria populasi dalam penelitian ini adalah:

1. Semua anak jalanan yang berada di wilayah tanggung jawab RPSA di kota

Semarang (RPSA Anak Bangsa, RPSA Gratama), karena hanya tinggal dua

RPSA di Semarang yang masih berstatus aktif.

2. Laki-laki dan perempuan.

3. Berusia antara 12-18 tahun (remaja), karena untuk usia anak-anak cenderung

keinginannya masih ingin main dan belum bisa berpikir.

3. 3. 2.Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto,

2002 :109). Karena ia merupakan bagian dari populasi, tentulah ia harus memiliki

ciri-ciri yang dimiliki oleh populasinya. (Azwar , 2003:79). Jadi sampel adalah

sebagian atau sejumlah individu yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi

yang dijadikan wakil dari populasi secara keseluruhan. Dari beberapa pengertian

tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel adalah sebagian atau wakil

populasi yang akan diteliti yang menggambarkan populasinya secara keseluruhan.

Dalam pengambilan sampel ada cara-cara tertentu yang disebut sampling.

Adapun cara pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan teknik aksidental sampling, yaitu sampel yang diambil dari siapa
66

saja yang kebetulan ada pada waktu, situasi dan tempat yang tepat (Prasetyo dan

Jannah, 2005:135). Untuk menentukan perkiraan besarnya sampel apabila

subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua dan selanjutnya jika jumlah

subjeknya besar atau diatas 100, maka dapat diambil antara 10-15% atau 20-20%

atau lebih (Arikunto, 2002:112). Untuk tiap RPSA memberikan penjangkauan

terhadap kurang lebih 200 anak jalanan, sehingga untuk dua RPSA terdapat

sekitar 400 anak. Pada penelitian ini, sampel yang akan diambil yaitu sebanyak 40

anak jalanan.

3. 4. Metode Pengumpulan Data

Dalam melakukan sebuah penelitian sangat memerlukan adanya data

untuk memperkuat hasil penelitian tersebut. Metode pengumpulan data yang akan

dilakukan oleh peneliti adalah dengan menggunakan metode pemberian skala

psikologi, yaitu alat ukur untuk aspek afektif. Metode skala, yaitu suatu metode

pengumpulan data yang berbentuk self-report berisi daftar atau kumpulan

pernyataan-pernyataan yang harus dijawab oleh individu (Azwar, 1997:85).

Karakteristik skala psikologi menurut Azwar (2003 : 4) adalah:

1) Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung

mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator

perilaku dari atribut yang bersangkutan.

2) Atribut psikologis diungkap secara tidak langsung tetapi melalui indikator-

indikator perilaku yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk aitem,

sehingga skala psikologi selalu berisi banyak aitem.


67

3) Respon subyek tidak diklsifikasikan sebagai jawaban yang benar atau salah,

tetapi respon subyek diklasifikasikan sebagai jawaban yang Favourable

(aitem yang isinya mendukung, memihak, atau menunjukkan ciri atau

indikator dari atribut yang diukur), dan jawaban yang Unfavourable (aitem

yang isinya tidak mendukung, memihak, atau menunjukkan ciri atau

indikator dari atribut yang diukur).

Adapun alasan peneliti menggunakan skala psikologi sebagai metode

pengumpulan data karena konsep diri dan penerimaan diri sebagai data yang ingin

diungkap, yaitu mengungkap dan menyimpulkan data tentang penerimaan diri dan

konsep diri. Dalam penelitian ini menggunakan aitem skala yang berbentuk

pernyataan dan sifatnya aitemnya tertutup. Skala psikologi yang akan digunakan

dalam penelitian ini adalah skala konsep diri dan skala penerimaan diri.

Skala konsep diri digunakan mengungkap dan mengukur seberapa besar

dan bagaimana konsep diri subyek penelitian. Butir-butir aitem yang digunakan

berdasarkan ciri-ciri dari konsep diri positif dan negatif.

Seperti halnya skala konsep diri, skala penerimaan diri juga dipergunakan

untuk mengungkap dan mengukur seberapa besar dan bagaimana subyek

memandang penerimaan dirninya. Butir-butir aitem untuk mengukur skala

penerimaan diri berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri

dari Hurlock.

Adapun blue print instrumen konsep diri dan penerimaan diri terdapat pada tabel
sebagai berikut:
Tabel 3.1
Blue Print Instrumen Konsep Diri
68

Jenis Dan Jumlah Aitem TOTAL


NO ASPEK INDIKATOR
Favorable Unfavorable BUTIR
1 Pengetahuan tentang diri Fisik 1,2 26,27 4
Sosial 3,4,5,6 28,29,30,31 8
Psikologis 7,8,9,10 32,33,34,35 8
2 Penilaian tentang diri Fisik 11 36 2
Sosial 12,13,14 37,38,39 6
Psikologis 15,16,17,18 40,41,42,43 8
3 Pengharapan Fisik 19,20 44,45 4
Sosial 21,22 46,47 4
Psikologis 23,24,25 48,49,50 6
Total Butir 25 25 50

Tabel 3.2
Blue Print Instrumen Penerimaan Diri

Jenis Dan Jumlah Aitem TOTAL


NO ASPEK INDIKATOR
Favorable Unfavorable BUTIR
1 Perasaan puas Rela utk mengungkapkan 1,2 19,20 4
terhadap diri pikiran dan perasaan diri
sendiri sendiri
Kesehatan psikologis 3,4 21,22 4
Penerimaan terhadap orang 5,6 23,24 4
lain
2 Penerimaan Rela utk mengungkapkan 7,8 25,26 4
terhadap pikiran dan perasaan diri
keterbatasan diri sendiri
Kesehatan psikologis 9,10 27,28 4
Penerimaan terhadap orang 11,12 29,30 4
lain
3 Mengetahui Rela utk mengungkapkan 13,14 31,32 4
kualitas dan bakat pikiran dan perasaan diri
sendiri sendiri
Kesehatan psikologis 15,16 33,34 4
Penerimaan terhadap orang 17,18 35,36 4
lain
Total Butir 18 18 36

Sifat dari kedua macam skala tersebut adalah favourable yaitu butir

pernyataan yang mendukung obyek penelitian dan unfavourable yaitu butir

pernyataan yang tidak mendukung obyek penelitian. Skala tersebut mempunyai

empat alternatif jawaban yaitu :

1. Aitem Favorable adalah :


69

a. Sangat Sesuai (SS) : nilai 4

b. Sesuai(S) : nilai 3

c. Tidak Sesuai (TS) : nilai 2

d. Sangat Tidak Sesuai (STS) : nilai 1

2. Aitem Unfavorable adalah :

a. Sangat Sesuai (SS) : nilai 1

b. Sesuai(S) : nilai 2

c. Tidak Sesuai (TS) : nilai 3

d. Sangat Tidak Sesuai (STS) : nilai 4

Selain itu, dalam penelitian ini juga menggunakan metode wawancara.

Wawancara adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data,

dimana peneliti mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari

responden. Wawancara ini dilakukan peneliti agar mendapatkan data yang valid

dan untuk menilai kebenaran yang dikatakan responden.

3. 5. Validitas dan Reliabilitas

3. 5. 1. Validitas

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana

ketepatan dan kecemasan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya

(Azwar, 2003:5). Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat

kevaliditasan atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 2002:160). Sebuah

instrumen dikatakan valid jika telah mengukur apa yang seharusnya diukur,
70

instrument ini dikatakan valid apabila mengungkap data-data dari variabel yang

diteliti secara tepat.

Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu

instrumen pengukur (tes) dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2003:173).

Maka, validitas instrumenya menggunakan validitas konstrak hal ini dikarenakan

menggunakan atribut psikologis yaitu konsep diri dan penerimaan diri. Sedangkan

teknik uji validitas dari skala psikologis adalah menggunakan teknik korelasi

product-moment, yaitu :

 X  Y 
 XY  N
rxy 
2 2
 2  X   2 Y 
 X   Y  
 N  N 

Keterangan :

rxy : koefisien korelasi product moment

∑ X : jumlah skor tiap-tiap aitem

∑ Y : jumlah skor total aitem

∑ XY: jumlah hasil antara skor tiap aitem dengan skor total

N : jumlah subyek

(Sutrisno Hadi, 2000 : 294)

3. 5. 2. Reliabilitas

Untuk mengetahui reliabilitas angket perlu dilakukan pengujian dengan

menggunakan Rumus Alpha sebagai berikut :

2
 k    b 

r11    1
 k  1   12 

71

Keterangan :

r11 = reliabilitas instrumen

k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal

Σ σ b2 = jumlah varians butir

σ12 = varians soal

(Arikunto, 2002 : 171)

3. 6. Teknis Analisis Data

Data yang sudah diperoleh dari suatu penelitian tidak dapat disempurnakan

begitu saja. Agar data tersebut dapat memberikan keterangan yang dapat

dipahami, tepat dan teliti, maka dibutuhkan suatu pengelolaan data lebih lanjut.

Data yang dikumpulkan dianalisis secara statistik dan berdasarkan identitas

variabel penelitian.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 jenis,

yaitu:

1. Analisis deskriptif menggunakan rumus empiris.

2. Analisis hipotesis,

Menggunakan teknik statistik inferensial dengan menggunakan rumus

analisis regresi linier sederhana, karena dalam penelitian ini terdapat suatu ubahan

yang dapat diramalkandari ubahan lain dan disebut dengan kriterium dan ubahan

yang digunakan untuk meramalkan disebut prediktor, dimana untuk mengetahui

korelasi antara ubahan kriterium dengan prediktor dapat dilukiskan dalam suatu

garis, garis inilah yang disebut dengan garis regresi. Dalam penelitian ini ubahan

kriterium yaitu konsep diri dengan prediktor adalah penerimaan diri.


72

Langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Mencari hubungan variabel X danY dengan rumus korelai Product Moment

Pearson, dengan rumus umum:

 X  Y 
 XY  N
rxy 
 2  X   Y 2  Y 2 
2

 X   
 N  N 

Keterangan :

rxy : koefisien korelasi product moment

∑ X : jumlah skor tiap-tiap aitem

∑ Y : jumlah skor total aitem

∑ XY: jumlah hasil antara skor tiap aitem dengan skor total

N : jumlah subyek

(Sutrisno Hadi, 2000 : 294)

2. Mencari signifikansi hubungan X dengan Y


BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian adalah hasil dari instrumen tertentu kemudian dianalisis

dengan teknik dan metode tertentu yang telah ditentukan. Pada bab ini akan

disajikan beberapa hal yang berkaitan dengan proses, hasil dan pembahsan

penelitian, yang akan disajikan sebagai berikut :

4.1. Persiapan Penelitian

4.2. Pelaksanaan Penelitian

4.3. Prosedur Pengumpulan Data

4.4. Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

4.5. Pembahasan

4.1 Persiapan Penelitian

4.1.1 Orientasi Kancah

Penelitian ini dilakukan pada anak jalanan pada jangkauan RPSA Gratama

dan Anak Bangsa di Kota Semarang yang berusia antara usia 12- 18 tahun.

Sebelum membahas lebih jauh tentang pelaksanaan penelitian, penulis akan

mengungkap lebih dalam tentang Rumah Perlindungan Sosial Anak. RPSA

Gratama dan Anak Bangsa merupakan RPSA yang masih aktif di kota Semarang

dan saat ini memiliki sekitar 200 anak jalanan yang menjadi jangkauan dari

wilayah RPSA yang bersangkutan, baik dari Kota Semarang sendiri maupun yang

73
74

berasal dari luar Kota Semarang. RPSA Gratama sendiri untuk saat ini beralamat

di jalan Stonen Utara I nomor 34, sedangkan RPSA Anak Bangsa beralamat di

jalan Emplak I Semarang. Untuk Jenis pelayanan yang diberikan oleh RPSA

antara lain berupa pemberdayaan LSM, Bimbingan Sosial Ketrampilan, serta

KUBE; yakni program pengembangan usaha anak jalanan melalui kelompok

(penjahitan dan bengkel).

Adapun dasar pemikiran dari didirikannya Rumah Perlindungan Sosial

Anak yaitu dengan adanya program-program penanganan anak jalanann,

walaupun di sisi lain, seiring dengan perkembangan masyarakat, perkembangan

masyarakat, berbagai permasalahan, baik dari segi populasi maupun dari segi

kompleksitasnya, berbagai program tersebut dirasakan banyak manfaat baik bagi

anak jalanan itu sendiri, bagi keluarga, serta bagi masyarakat pada umumnya.

Selain itu tujuan Rumah Perlindungan Sosial Anak ini antara lain untuk

membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma

yang berlaku di masyarakat, mengupayakan anak- anak kembali ke rumah jika

memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan,

memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak,

menyiapkan masa depannya sehingga menjadi masyarakat yang produktif,

berkurangnya jumlah dan aktifitas anak jalanan, anak jalanan usia sekolah dapat

tetap bersekolah tanpa melakukan aktifitas di jalanan. Hal ini secara tidak

langsung juga ikut aktif membantu program pemerintah dan usaha kesejahteraan

sosial guna mencerdaskan kehidupan bangsa.


75

Adapun lokasi jangkauan dari RPSA Gratama antara lain Polda/Siranda,

Dr.Cipto, Sampangan, ADA Srondol, Kaliwiru, Metro, Milo. Sedangkan lokasi

jangkauan dari RPSA Anak Bangsa yaitu daerah kompleks tugu muda, pasar

Bulu, jalan Imam Bonjol, Johar, Pemuda dan jalan Pandanaran.

4.1.2 Proses Perijinan

Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan

beberapa langkah untuk mempersiapkan perijinan penelitian. Jauh sebelum

melakukan penelitian, terlebih dahulu Peneliti melakukan observasi dan penelitian

awal sehingga Peneliti terlebih dahulu meminta surat pengantar dari Jurusan

Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang dan

menyiapkannya untuk kemudian diserahkan kepada pimpinan RPSA Gratama dan

Anak. Setelah mendapat ijin, kemudian Peneliti melakukan observasi, pendekatan

pada anak-anak jalanan, dan penelitian awal. Pada kurun waktu tersebut,

walaupun tidak semua anak jalanan pada jangkauan tersebut di atas Peneliti

dekati, tapi beberapa diantaranya merupakan leader dari tiap-tiap wilayah

tersebut, hal ini bertujuan untuk memudahkan Peneliti dalam melakukan

pendekatan dengan anak-anak jalanan tersebut nantinya. Karena tenggang waktu

antara observasi, penelitian awal dengan penelitian agak lama, maka pada titik-

titik tertentu terdapat pergantian kelompok anak jalanan yang mangkal, yaitu

dengan adanya wajah-wajah baru. Baru setelah itu, peneliti kemudian meminta

surat pengantar untuk melakukan penelitian dari Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Semarang dan menyiapkannya untuk diserahkan kepada


76

pimpinan RPSA Gratama yayasan Gradhika yang kemudian dilaksanakan

penelitian pada tanggal 25 Juni sampai 12 Juli 2009.

4.1.3 Penentuan Sampel

Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik aksidental

sampling yaitu sampel yang diambil dari siapa saja yang kebetulan ada pada

waktu, situasi dan tempat yang tepat (Prasetyo dan Jannah, 2005:135). Pada

aksidental sampling, besarnya sampel penelitian ini didasarkan pada 10% dari

jumlah seluruh subjek yang ada pada dua RPSA, yaitu sebanyak 40 anak jalanan.

Pertimbangan lain yang dipakai untuk menggunakan aksidentall sampling adalah

waktu penelitian yang singkat atau bukan penelitian jangka panjang sehingga

subyek yang akan dikenai penelitian akan tetap dapat memenuhi karakteristik dari

populasi.

4.2 Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada tanggal 25 Juni hingga 12

Juli 2009, antara lain di daerah Polda/Siranda, jalan Pahlawan, Dr. Cipto, Johar,

Pemuda, Mberok, Metro dan pasar Bulu. Penelitian agak lama dilakukan

mengingat anak jalanan pada titik-titik kawasan jumlahnya tidak pernah pasti

selalu ada. Pengambilan data dilakukan pada siang, sore dan malam hari. Hal ini

dikarenakan siang pada waktu jam istirahat, dan sore hari ketika waktu menunggu

aktifitas di jalan pada malam hari, serta ketika malam hari disaat waktu banyak

berkumpulnya anak-anak jalanan. Pemberian kedua skala tersebut yaitu skala

konsep diri dan skala penerimaan diri dilakukan secara serentak namun bertahap.
77

Pertama peneliti memberikan skala konsep diri terlebih dahulu, dan setelah selesai

mengerjakan skala yang pertama (skala konsep diri) responden diberikan skala

yang kedua yaitu skala penerimaan diri. Agar hasil penelitian menjadi lebih

akurat, maka peneliti dibantu oleh teman peneliti dan juga pekerja sosial dari

RPSA yang bersangkutan.

4.3 Prosedur Pengumpulan Data

Setelah melakukan pengumpulan data penelitian dengan memberikan

respon pada skala yang telah diberikan, kemudian peneliti melakukan langkah-

langkah sebagai berikut :

1. Memberikan skor pada masing-masing jawaban yang telah diisi oleh subyek

penelitian (responden) dengan memberikan skor antara 1 sampai dengan 4.

2. Mentabulasi data berdasarkan jumlah aitem.

3. Menentukan tingkat konsep diri dan penerimaan diri.

4. Menentukan apakah ada hubungan atau korelasi antara penerimaan diri

dengan konsep diri pada anak jalanan di RPSA Kota Semarang.

4.3.1 Validitas

Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas

konstrak, teknik uji coba yang digunakan yaitu teknik korelasi product moment

dari Pearson. Hasil perhitungan validitas dengan taraf signifikansi 5% dengan

bantuan SPSS versi 12.00 diperoleh hasil sebagai berikut:


78

1) Skala Konsep Diri

Berdasarkan uji validitas tersebut diperoleh hasil bahwa skala konsep diri

yang terdiri dari 50 aitem diperoleh 43 valid dan 7 tidak valid dengan sebaran

nilai validitas berkisar antara 0,321-0,732. Untuk item dapat dinyatakan tidak

valid jika r hitung < r tabel. Pada skala konsep diri untuk r hitung < 0,312 maka

item dapat dinyatakan tidak valid. Lebih jelas dapat kita lihat dalam tabel berikut:

Tabel 4.1
Sebaran Aitem Yang Tidak Valid Pada Skala Konsep Diri

Jenis Dan Jumlah Aitem TOTAL


NO ASPEK INDIKATOR
Favorable Unfavorable BUTIR
1 Pengetahuan tentang diri Fisik 1,2 26,27 4
Sosial 3,4*,5,6 28,29,30,31 8
Psikologis 7*,8,9,10 32,33,34,35 8
2 Penilaian tentang diri Fisik 11 36 2
Sosial 12,13,14 37*,38,39 6
Psikologis 15,16,17*,18 40,41,42,43 8
3 Pengharapan Fisik 19,20 44,45* 4
Sosial 21,22 46,47 4
Psikologis 23*,24,25 48,49*,50 6
Total Butir 25 25 50
(*) tidak valid

2) Skala Penerimaan Diri

Berdasarkan uji validitas tersebut diperoleh hasil bahwa skala penerimaan

diri yang terdiri dari 36 aitem diperoleh 32 valid dan 4 tidak valid dengan sebaran

nilai validitas berkisar antara 0,329-0,632. Pada skala penerimaan diri untuk r

hitung < 0,312 maka item dapat dinyatakan tidak valid. Lebih jelas dapat kita

lihat dalam tabel berikut:

Tabel 4.2
Sebaran Aitem Yang Tidak Valid Pada Skala Penerimaan Diri
79

Jenis Dan Jumlah Aitem TOTAL


NO ASPEK INDIKATOR
Favorable Unfavorable BUTIR
1 Perasaan puasRela utk mengungkapkan pikiran 1,2 19,20 4
terhadap diri
dan perasaan diri sendiri
sendiri Kesehatan psikologis 3,4 21*,22 4
Penerimaan terhadap orang lain 5,6 23,24 4
2 Penerimaan Rela utk mengungkapkan pikiran 7,8 25,26 4
terhadap dan perasaan diri sendiri
keterbatasan diri Kesehatan psikologis 9*,10 27,28 4
Penerimaan terhadap orang lain 11,12 29,30 4
3 Mengetahui Rela utk mengungkapkan pikiran 13*,14 31,32* 4
kualitas dan bakat dan perasaan diri sendiri
sendiri Kesehatan psikologis 15,16 33,34 4
Penerimaan terhadap orang lain 17,18 35,36 4
Total Butir 18 18 36
(*) tidak valid

4.3.2 Reliabilitas

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya

(Azwar, 2003:4). Semakin tinggi koefisien reliabilitas maka semakin tinggi pula

reliabilitas alat ukur tersebut. Uji reliabilitas skala konsep diri dan penerimaan diri

dengan menggunakan teknik statistik dengan rumus Alpha Cronbach. Pada skala

konsep diri diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,907, artinya perbedaan

(variasi) yang tampak pada skor skala konsep diri mampu mencerminkan 91%

dari variasi yang terjadi pada skor murni kelompok subyek dan 9% dari perbedaan

yang tampak disebabkan oleh variasi error atau kesalahan pengukuran tersebut.

Sedangkan skala penerimaan diri mempunyai reliabilitas sebesar 0,872, artinya

perbedaan (variasi) yang tampak pada skor skala penerimaan diri mampu

mencerminkan 87% dari variasi yang terjadi pada skor murni kelompok subyek

dan 13% dari perbedaan skor yang tampak disebabkan oleh variasi error atau

kesalahan pengukuran tersebut.. Instrumen tersebut dinyatakan reliabel dengan

taraf signifikan tinggi. Interpretasi reliabilitas didasarkan pada tabel berikut yang

dinyatakan oleh Arikunto (2002:245).


80

Tabel 4.3
Interpretasi Reliabilitas
Besarnya nilai r Interpretasi
Antara 0,800-1,00 Tinggi
0,600-0,800 Cukup
0,400-0,600 Agak rendah
0,200-0,400 Rendah
0,000-0,200 Sangat rendah
(Sumber: Arikunto, 2002:245)

4.4 Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Deskripsi data penelitian berisi mengenai gambaran variabel penelitian

yang berdasarkan pada hasil penelitian pada tiap-tiap variabel yang telah

dikategorisasikan. Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu kuantitatif korelatif

dimana dalam penelitian ini akan berusaha mengetahui hubungan antara konsep

diri dan penerimaan diri.

Data dari skala yang telah terkumpul kemudian dianalisis untuk menguji

hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Gambaran mengenai data penelitian

pada masing-masing variabel yang telah dianalisis terdapat pada tabel 4.3 berikut

ini :

Tabel 4.4
Deskripsi Data Penelitian

No Variabel Mean Standar Deviation N


1 Konsep Diri 117,8000 16,19307 40

2 Penerimaan Diri 89,5250 11,50694 40


(Sumber Data Penelitian 2009)

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif korelasional, dalam

menganalisis, peneliti menggunakan data-data numerical / angka yang


81

dideskripsikan dengan menguraikan kesimpulan yang didasari oleh angka yang

diolah dengan metode statistika.

Kriteria analisis yang digunakan dalam penelitian ini dengan

menggunakan kategorisasi berdasar model penilaian dengan kategorisasi jenjang

(ordinal) menurut Azwar (2003:108), yang menggolongkan subyek ke dalam 5

kategori, yaitu sebagai berikut :

Tabel 4.5
Penggolongan Kriteria Analisis

No Interval Kriteria
1 μ + 1,5 σ < X Sangat Tinggi
2 μ + 0,5 σ < X ≤ μ + 1,5 σ Tinggi
3 µ – 0,5 σ < X ≤ μ + 0,5 σ Sedang
4 µ – 1,5 σ < X ≤ μ – 0,5 σ Rendah
5 X ≤ µ – 1,5 σ Sangat Rendah

Deskripsi tersebut diatas memberikan skor skala pada kelompok subyek

yang dikenai pengukuran dan berfungsi sebagai sumber informasi mengenai

keadaan subyek pada aspek atau variabel yang diteliti.

Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk: 1) mengetahui bagaimana

gambaran konsep diri pada anak jalanan di RPSA Kota Semarang, 2) mengetahui

bagaimana gambaran penerimaan diri pada anak jalanan di RPSA Kota Semarang,

dan 3) mengetahui pengaruh konsep diri terhadap penerimaan diri anak jalanan di

RPSA Kota Semarang, maka hasil penelitian yang diperoleh dapat diuraikan

sebagai berikut :

4.4.1 Gambaran Penerimaan Diri


82

Penerimaan diri yang ada pada anak jalanan di RPSA Kota Semarang

dapat dilihat dari pengertiannya yaitu : perasaan puas terhadap diri sendiri,

penerimaan terhadap keterbatasan diri, serta mengetahui kualitas dan bakat

sendiri. Data mengenai penerimaan diri pada anak jalanan diambil dengan

menggunakan skala penerimaan diri sebanyak 36 aitem dengan jumlah subyek

sebanyak 40 anak jalanan.

Berdasarkan tabel 4.4 diperoleh mean empirik (µ) sebesar 89,5250 dan

standar deviasi (σ) sebear 11,50694. Maka di dapat perhitungan klasifikasi

distribusi normal sebagai berikut:

a. µ+1,5σ = 89,5250 + (1,5 x 11,50694) = 89,5250 + 17,26041= 106,78541

b. µ+0,5σ = 89,5250 + (0,5 x 11,50694) =89,5250 + 5,75347 = 95,27847

c. µ-1,5σ = 89,5250 - (1,5 x 11,50694) =89,5250 - 17,26041= 72,26459

d. µ-0,5σ = 89,5250 - (0,5 x 11,50694) = 89,5250 - 5,75347 = 83,77153

Berdasarkan perhitungan di atas maka klasifikasi distribusi konsep diri

adalah sebagai berikut:

Tabel 4.6

Klasifikasi Distribusi Frekuensi Penerimaan Diri

No Interval F Persen Kriteria


1 106,78541< X 1 2,5% Sangat Tinggi
2 95,27847< X ≤ 106,78541 14 35% Tinggi
3 83,77153< X ≤ 95,27847 20 50% Sedang
4 72,26459< X ≤ 83,77153 5 12,5% Rendah
5 X ≤ 72,26459 0 0 Sangat Rendah
83

Berdasarkan tabel 4.6 dapat diketahui bahwa, subyek yang memperoleh

skor lebih besar 106,78541 sebanyak 1 anak atau 2,5% anak jalanan mempunyai

tingkat penerimaan diri yang sangat tinggi. Subyek penelitian yang memperoleh

skor lebih besar dari 95,27847 dan lebih kecil atau sama dengan 106,78541 yaitu

14 anak atau 35% anak jalanan memiliki tingkat penerimaan diri dalam kriteria

tinggi. Subyek penelitian yang memperoleh skor lebih besar dari 83,77153 dan

lebih kecil atau sama dengan 95,27847 yaitu sebesar 20 anak atau 50% anak

jalanan, maka subyek penelitian tergolong memiliki tingkat penerimaan diri yang

sedang. Apabila seorang subyek mendapatkan skor lebih besar dari 72,26459 dan

lebih kecil atau sama dengan 83,77153 yaitu sebesar 5 anak atau 12,5% anak

jalanan dapat dikatakan subyek tersebut memiliki tingkat penerimaan diri yang

rendah, sedangkan tidak terdapat subyek dengan skor lebih kecil dari 72,26459

yang memiliki tingkat penerimaan diri yang sangat rendah.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri pada

anak jalanan dalam kategori sedang (50%). Untuk lebih jelasnya keterangan

mengenai tingkat konsep diri dapat di lihat pada gambar di bawah ini:
84

Gambar 4.1 Tingkat Penerimaan Diri Anak Jalanan

50%
50.00%
45.00%
40.00% 35%
35.00%
30.00%
Prosentase 25.00%
20.00%
15.00% 12.50%
10.00%
5.00% 2.50%
0
0.00%
Sangat Tinggi Sedang Rendah Sangat
Tinggi Rendah
Kriteria

Masing-masing penerimaan diri akan dijelaskan secara lebih rinci.

Gambaran mengenai data penelitian pada masing-masing indikator yang telah

dianalisis terdapat pada tabel 4.7 berikut ini:

Tabel 4.7

Perhitungan Hasil Klasifikasi Indikator Penerimaan Diri

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


Perasaan Puas Terhadap
Diri Sendiri 40 24.00 39.00 31.5000 4.08248
Penerimaan Terhadap
Keterbatasan Diri 40 22.00 38.00 29.5500 4.60741
Mengetahui Bakat dan
Kualitas Sendiri 40 19.00 40.00 28.4750 4.19394
Penerimaan Diri 40 68.00 115.00 89.5250 11.50694
Valid N (listwise) 40

4.4.1.1 Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri

Berdasarkan tabel 4.7 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 31,5000

dan standar deviasi (σ) sebesar 4,08248. Maka hasil perhitungan klasifikasi

distribusi normal sebagai berikut:


85

a. µ+1,5σ = 31,5000 + (1,5 x 4,08248) = 31,5000 + 6,12369 = 37,62369

b. µ+0,5σ = 31,5000 + (0,5 x 4,08248) = 31,5000 + 2,04123 = 33,54123

c. µ-1,5σ =31,5000 - (1,5 x 4,08248) = 31,5000 - 6,12369 = 25,37631

d. µ-0,5σ =31,5000 - (0,5 x 4,08248) = 31,5000 - 2,04123 = 29,45877

Tabel 4.8
Distribusi Frekuensi Indikator Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri

No Interval F Persen Kriteria


1 37,62369< X 4 10% Sangat Tinggi
2 33,54123< X ≤ 37,62369 19 47,5% Tinggi
3 29,45877< X ≤ 33,54123 16 40% Sedang
4 25,37631< X ≤ 29,45877 1 2,5% Rendah
5 X ≤ 25,37631 0 0 Sangat Rendah

Berdasarkan tabel 4.8 dapat diketahui bahwa terdapat 4 anak jalanan atau

10% anak jalanan yang memiliki perasaan puas terhadap diri sendiri, Anak

jalanan yang memiliki tingkat perasaan puas terhadap diri sendiri dalam taraf

tinggi terdapat 19 anak jalanan atau 47,5% anak jalanan, itu artinya ada ada 65%

anak jalanan yang memberikan pandangan secara positif terhadap diri sendiri, dan

terdapat 16 anak jalanan atau 40% anak jalanan yang memiliki tingkat kepuasan

terhadap diri sendiri dengan taraf sedang. Selain itu juga terdapat 1 anak atau

sebanyak 2,5% anak jalanan yang memiliki kepuasan terhadap diri sendiri dengan

taraf rendah. Tidak ada anak jalanan yang memandang kepuasan terhadap diri

sendiri dengan taraf sangat rendah.

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan indikator perasaan puas

terhadap diri sendiri pada anak jalanan dalam taraf tinggi (47,5%). Ini

menunjukkan bahwa anak jalanan memiliki kepuasan terhadap diri sendiri. Untuk
86

lebih jelasnya keterangan mengenai kepuasan terhadap diri sendiri dapat di lihat

pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.2 Indikator Perasaan Puas Terhadap Diri Sendiri

50% 47.50%
45%
40%
40%
35%
30%
Prosentase 25%
20%
15%
10%
10%
5% 2.50%
0
0%
Sangat Tinggi Sedang Rendah Sangat
Tinggi Rendah
Kriteria

4.4.1.2 Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri

Berdasarkan tabel 4.7 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 29,5500

dan standar deviasi (σ) sebesar 4,60741. Maka hasil perhitungan klasifikasi

distribusi normal sebagai berikut:

a. µ+1,5σ = 29,5500 + (1,5 x 4,60741) = 29,5500 +6,911115 = 36,461115

b. µ+0,5σ = 29,5500 + (0,5 x 4,60741) = 29,5500 + 2,303705 = 31,853705

c. µ-1,5σ =29,5500 - (1,5 x 4,60741) =29,5500 - 6,911115 = 22,638885

d. µ-0,5σ =29,5500 - (0,5 x 4,60741) = 29,5500 - 2,303705 = 27,246295

Tabel 4.9
Distribusi Frekuensi Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri

No Interval F Persen Kriteria


1 36,461115< X 1 2,5 Sangat Tinggi
2 31,853705< X ≤ 36,461115 13 32,5 Tinggi
3 27,246295< X ≤ 31,853705 18 45 Sedang
4 22,638885< X ≤ 27,246295 8 20 Rendah
87

No Interval F Persen Kriteria


5 X ≤ 22,638885 0 0 Sangat Rendah

Berdasarkan tabel 4.9 dapat diketahui bahwa terdapat 1 anak jalanan atau

2,5% anak jalanan yang memiliki penerimaan terhadap keterbatasan diri sangat

tinggi. Anak jalanan yang memiliki tingkat penerimaan terhadap keterbatasn diri

dalam taraf tinggi ada 13 anak atau 32,5% anak jalanan, itu artinya ada ada 32,5%

anak jalanan yang memberikan pandangan secara positif terhadap penerimaan

keterbatasan diri. Banyak anak jalanan yang menanggapi biasa-biasa saja atau

memiliki tingkat penerimaan terhadap keterbatasan diri sedang yaitu sebanyak 18

anak atau 45% dari 40 anak jalanan tersebut. Selain itu terdapat 8 anak atau 20%

anak jalanan yang memiliki penerimaan terhadap keterbatasan diri yang rendah.

Tidak terdapat anak jalanan yang memiliki keterbatasan diri denagn taraf sangat

rendah.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan terhadap

keterbatasan diri pada anak jalanan dalam kategori sedang (45%). Untuk lebih

jelasnya keterangan mengenai tingkat penerimaan terhadap keterbatasan diri dapat

di lihat pada gambar di bawah ini:


88

Gambar 4.3 Indikator Penerimaan Terhadap Keterbatasan Diri

45%
45.00%
40.00%
35.00% 32.50%
30.00%
25.00%
Prosentase 20%
20.00%
15.00%
10.00%
5.00% 2.50%
0
0.00%
Sangat Tinggi Sedang Rendah Sangat
Tinggi Rendah
Kriteria

4.4.1.3 Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri

Berdasarkan tabel 4.7 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 28,4750

dan standar deviasi (σ) sebesar 4,19394. Maka hasil perhitungan klasifikasi

distribusi normal sebagai berikut:

a. µ+1,5σ = 28,4750 + (1,5 x 4,19394) = 28,4750 +6,29091= 34,76591

b. µ+0,5σ = 28,4750 + (0,5 x 4,19394) =28,4750 + 2,09697= 30,57197

c. µ-1,5σ =28,4750 - (1,5 x 4,19394) =28,4750 - 6,29091= 22,18409

d. µ-0,5σ =28,4750 - (0,5 x 4,19394) = 28,4750 - 2,09697= 26,37803

Tabel 4.10
Distribusi Frekuensi Mengetahui Kualitas dan Bakat Sendiri

No Interval F Persen Kriteria


1 34,76591< X 1 2,5 Sangat Tinggi
2 30,57197< X ≤ 34,76591 10 25 Tinggi
3 26,37803< X ≤ 30,57197 22 55 Sedang
4 22,18409< X ≤ 26,37803 7 17,5 Rendah
5 X ≤ 22,18409 0 0 Sangat Rendah
Berdasarkan tabel 4.10 dapat diketahui bahwa terdapat 1 anak jalanan atau

2,5% anak jalanan yang tahu akan kualitas dan bakat sendiri dengan tingkat sangat
89

tinggi. Anak jalanan yang memiliki tingkat pengetahuan terhadap kualitas dan

bakat sendiri dalam taraf tinggi terdapat 10 anak atau 25% anak jalanan. Sebagian

besar anak jalanan menanggapi biasa-biasa saja atau memiliki tingkat

pengetahuan kualitas dan bakat diri dengan taraf sedang yaitu sebanyak 22 remaja

atau 55% dari 40 anak jalanan tersebut, dan sebanyak 7 anak atau sekitar 17,5%

anak jalanan yang mengetahui kualitas dan bakat sendiri dengan taraf rendah, itu

artinya ada 17,5% anak jalanan yang memberikan pandangan secara negatif

terhadap pengetahuan akan kualitas dan bakat diri. Selain itu tidak terdapat anak

jalanan yang mengetahui kualitas dan bakat sendiri dalam taraf sangat rendah.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa indikator mengetahui

kualitas dan bakat sendiri pada anak jalanan dalam kategori sedang (55%). Untuk

lebih jelasnya keterangan mengenai tingkat pengetahuan kualitas dan bakat sendiri

dapat di lihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.4 Indikator Mengetahui Kualitas dan Bakat


Sendiri

60.00% 55%

50.00%

40.00%

Prosentase 30.00% 25%

20.00% 17.50%

10.00%
2.50%
0
0.00%
Sangat Tinggi Sedang Rendah Sangat
Tinggi Rendah
Kriteria

4.4.2 Gambaran Konsep Diri Anak Jalanan


90

Konsep diri anak jalanan di RPSA Kota Semarang dapat dilihat dari

pengertian karakteristik seseorang pada konsep diri yaitu: mengetahui

pengetahuan tentang diri, mengetahui penilaian tentang diri sendiri, serta

mengetahui harapan yanhg diinginkan oleh diri sendiri. Data mengenai konsep

diri diambil dengan menggunakan skala konsep diri sebanyak 50 aitem dengan

jumlah subyek sebanyak 40 remaja panti asuhan.

Berdasarkan tabel 4.4 diperoleh mean empirik (µ) sebesar 117,8000 dan

standar deviasi (σ) sebear 16,19307. Maka di dapat perhitungan klasifikasi

distribusi normal sebagai berikut:

e. µ+1,5σ = 117,8000 + (1,5 x 16,19307) = 117,8000 + 24,289605 = 142,089605

b. µ+0,5σ = 117,8000 + (0,5 x 16,19307) = 117,8000 + 8,096535 = 125,896535

c. µ-1,5σ = 117,8000 - (1,5 x 16,19307) = 117,8000 - 24,289605 = 93,510395

d. µ-0,5σ = 117,8000 - (0,5 x 16,19307) = 117,8000 - 8,096535 = 109,703465

Berdasarkan perhitungan di atas maka klasifikasi distribusi konsep diri

adalah sebagai berikut:

Tabel 4.11

Klasifikasi Distribusi Frekuensi Konsep Diri

No Interval F Persen Kriteria


1 142,09 < X 1 2,5% Sangat Tinggi
2 125,89 < X ≤ 142,09 20 50% Tinggi
3 109,70 < X ≤ 125,89 16 40% Sedang
4 93,51 < X ≤ 109,70 3 7,5% Rendah
5 X ≤ 93,51 0 0 Sangat Rendah

Berdasarkan tabel 4.11 dapat diketahui bahwa, subyek yang memperoleh

skor lebih besar 142,09 dengan kategori sangat tinggi sebanyak 1 anak atau 2,5%
91

anak jalanan. Subjek penelitian yang memperoleh skor lebih besar dari 125,89 dan

lebih kecil atau sama dengan 142,09 berarti subyek penelitian memiliki tingkat

konsep diri dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 20 anak jalanan atau 50% anak

jalanan. Apabila subyek penelitian memperoleh skor lebih besar dari 109,70 dan

lebih kecil atau sama dengan 125,89 maka subyek penelitian tergolong memiliki

tingkat konsep diri yang sedang yaitu sebanyak 16 anak atau 40% anak jalanan.

Apabila seorang subyek mendapatkan skor lebih besar dari 93,51 dan lebih kecil

atau sama dengan 109,70 maka dapat dikatakan subyek tersebut memiliki tingkat

konsep diri yang rendah anak atau yaitu sebanyak 3 anak atau 7,5% anak jalanan,

dan tidak terdapat subyek dengan skor lebih kecil dari 93,51 dengan kategori

sangat rendah.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri pada anak

jalanan dalam kategori tinggi. Untuk lebih jelasnya keterangan mengenai tingkat

konsep diri dapat di lihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.5 Tingkat Konsep Diri Anak Jalanan


50%
50.00%
45.00% 40%
40.00%
35.00%
30.00%
Prosentase 25.00%
20.00%
15.00%
10.00% 7.50%
5.00% 2.50%
0
0.00%
Sangat Tinggi Sedang Rendah Sangat
Tinggi Rendah
Kriteria
92

Gambar 4.1. Grafik Konsep Diri


Masing-masing indikator konsep diri pada anak jalanan akan dijelaskan

secara lebih rinci. Gambaran mengenai data penelitian pada masing-masing

indikator yang telah dianalisis terdapat pada tabel 4.12 berikut ini:

Tabel 4.12

Perhitungan Hasil Klasifikasi Indikator Konsep Diri

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


Pengetahuan Tentang Diri 40 34.00 62.00 50.1750 6.94258
Penilaian Tentang Diri 40 24.00 49.00 36.8000 6.59526
Pengharapan 40 17.00 40.00 30.8250 4.41958
Konsep Diri 40 80.00 147.00 117.8000 16.19307
Valid N (listwise) 40

4.4.2.1 Pengetahuan Tentang Diri

Berdasarkan tabel 4.12 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 50,1750

dan standar deviasi (σ) sebesar 6,94258. Maka hasil perhitungan klasifikasi

distribusi normal sebagai berikut:

a. µ+1,5σ = 50,1750 + (1,5 x 6,94258) = 50,1750 + 50,1750 = 60,58887

b. µ+0,5σ = 50,1750 + (0,5 x 6,94258) = 50,1750 + 3,47129= 53,64629

c. µ-1,5σ = 50,1750 - (1,5 x 6,94258) = 50,1750 -50,1750 = 39,76113

d. µ-0,5σ = 50,1750 - (0,5 x 6,94258) = 50,1750 -3,47129 = 46,70371

Tabel 4.13
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tentang Diri

No Interval F Persen Kriteria


1 60,58887 < X 0 0 Sangat Tinggi
2 53,64629< X ≤ 60,58887 24 60% Tinggi
3 46,70371< X ≤ 53,64629 13 32,5% Sedang
4 39,76113< X ≤ 46,70371 3 7,5% Rendah
93

5 X ≤ 39,76113 0 0 Sangat Rendah

Berdasarkan tabel 4.13 dapat diketahui bahwa dari 40 anjal terdapat 24

anak jalanan atau 60% anak jalanan mempunyai tingkat pengetahuan tentang diri

yang tinggi, tidak sedikit anak jalanan di RPSA Kota Semarang yang memiliki

tingkat pengetahuan tentang diri dalam taraf sedang, yaitu sebanyak 13 anjal atau

32,5% anak jalanan. Sebanyak 3 anak jalanan atau 7,5% anak jalanan memiliki

tingkat pengetahuan tentang diri dalam taraf rendah. Tidak terdapat anak jalanan

yang memiliki tingkat pengetahuan tentang diri dengan taraf sangat tinggi dan

taraf sangat rendah.

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang

diri anak jalanan dalam taraf tinggi (60%). Ini menunjukkan bahwa anak jalanan

memiliki pegetahuai tentang diri yang cukup tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat di

lihat pada gambar 4.4 di bawah.

Gambar 4.6 Pengetahuan Tentang diri

60%
60%

50%

40%
32.50%
Prose ntase 30%

20%

10% 7.50%
0% 0%
0%
Sangat Tinggi Sedang Rendah Sangat
Tinggi Rendah
Kriteria

4.4.2.2 Penilaian Tentang Diri


94

Berdasarkan tabel 4.12 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 36,8000

dan standar deviasi (σ) sebesar 6,59526. Maka hasil perhitungan klasifikasi

distribusi normal sebagai berikut:

a. µ+1,5σ = 36,8000 + (1,5 x 6,59526) = 36,8000 + 9,89289 = 46,69289

b. µ+0,5σ = 36,8000 + (0,5 x 6,59526) = 36,8000 + 3,29763 = 40,09763

c. µ-1,5σ =36,8000 - (1,5 x 6,59526) = 36,8000 -9,89289 = 26,90711

d. µ-0,5σ =36,8000 - (0,5 x 6,59526) = 36,8000 -3,29763 = 33,50237

Tabel 4.14
Distribusi Frekuensi Penilaian Tentang Diri

No Interval F % Kriteria

1 46,69289< X 3 7,5 Sangat Tinggi


2 40,09763< X ≤ 46,69289 12 30 Tinggi
3 33,50237< X ≤ 40,09763 19 47,5 Sedang
4 26,90711< X ≤ 33,50237 6 15 Rendah
5 X ≤ 26,90711 0 0 Sangat Rendah
Jumlah 40 100
Berdasarkan tabel 4.14 dapat diketahui bahwa terdapat 3 anak jalanan atau

7,5% anak jalanan yang mempunyai tingkat penilaian tentang diri dengan tingkat

orientasi sangat tinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat 12 anak

jalanan atau 30% anak jalanan yang memiliki tingkat penilaian tentang diri

dengan tingkat orientasi tinggi. Anak jalanan yang memiliki tingkat penilaian

tentang diri sedang yaitu sebanyak 19 remaja atau 47,5%. Hanya terdapat pula 6

anak jalanan atau 15% yang memiliki tingkat penilaian tentang diri dengan tingkat

orientasi rendah dan tidak ada anak jalanan yang memiliki tingkat orientasi sangat

rendah.
95

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa penilaian tentang diri

anak jalanan dalam taraf sedang (47,5%). Ini menunjukkan bahwa anak jalanan

biasa-biasa saja dalam memenilai tentang diri.

Gambar 4.7 Indikator Penilaian Tentang Diri

50.00% 47.50%
45.00%
40.00%
35.00%
30%
30.00%
Prosentase 25.00%
20.00%
15%
15.00%
10.00% 7.50%
5.00%
0
0.00%
Sangat Tinggi Sedang Rendah Sangat
Tinggi Rendah
Kriteria

4.4.2.3 Pengharapan

Berdasarkan tabel 4.12 di atas didapat mean empirik (µ) sebesar 30,8250

dan standar deviasi (σ) sebesar 4,41958. Maka hasil perhitungan klasifikasi

distribusi normal sebagai berikut:

a. µ+1,5σ = 30,8250 + (1,5 x 4,41958) = 30,8250 +9,89289 = 46,69289

b. µ+0,5σ = 30,8250 + (0,5 x 4,41958) = 30,8250 +3,29763 = 40,09763

c. µ-1,5σ =30,8250 - (1,5 x 4,41958) = 30,8250 -9,89289 = 26,90711

d. µ-0,5σ =30,8250 - (0,5 x 4,41958) =30,8250 -3,29763 = 33,50237

Tabel 4.15
Distribusi Frekuensi Pengharapan
96

No Interval F % Kriteria

1 46,69289< X 1 2,5 Sangat Tinggi


2 40,09763< X ≤ 46,69289 23 57,5 Tinggi
3 33,50237< X ≤ 40,09763 12 30 Sedang
4 26,90711< X ≤ 33,50237 3 7,5 Rendah
5 X ≤ 26,90711 1 2,5 Sangat Rendah

Berdasarkan tabel 4.15 dapat diketahui bahwa dari 40 anak jalanan

terdapat sebanyak 1 anak jalanan atau 2,5% yang memiliki tingkat pengharapan

sangat tinggi, 23 anak jalanan atau 57,5% anak dalam taraf tinggi, sedangkan 12

anak jalanan atau sebanyak 30% yang memiliki tingkat pengharapan dalam taraf

sedang. Dalam kriteria rendah terdapat 3 anak jalanan atau 7,5% anak jalanan .

Selain juga terdapat terdapat 1 anak jalanan atau 2,5% anak jalanan yang

memiliki tingkat pengharapan sangat rendah.

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pengharapan anak

jalanan dalam taraf tinggi (57,5%). Ini menunjukkan bahwa anak jalanan memiliki

pengaharapan yang tinggi.

Gambar 4.8 Indikator Pengharapan

60.00% 57.50%

50.00%

40.00%
30%
Prosentase 30.00%

20.00%

10.00% 7.50%
2.50% 2.50%
0.00%
Sangat Tinggi Sedang Rendah Sangat
Tinggi Rendah
Kriteria
97

4.4.3 Uji Asumsi

Sebelum dilakukan analisis, data yang telah diperoleh diuji asumsikan

terlebih dahulu dengan melakukan uji normalitas dan uji linieritas. Tujuan

diadakan uji asumsi adalah untuk mengetahui apakah data yang diperlukan

memenuhi syarat penelitian. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan

program SPSS.

4.4.3.1 Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui tingkat normalitas data. Dalam

penelitian ini menggunakan One-Sample Kolmogorof Test dari SPSS versi 12.00

untuk melakukan uji normalitas data. Kriteria pengambilan keputusan data

dianggap normal apabila nilai sig Hitung > 0.05. Jika nilai sig dibawah 0.05, maka

dapat diambil kesimpulan bahwa data tidak berdistribusi normal.

Dari hasil perhitungan SPSS versi 12.00 nilai Kolmogorof-Smirnov

sebesar 0,630 dan nilai signifikansi variabel konsep diri 0,822 > 0.05, ini

menunjukkan bahwa variabel konsep diri berdistribusi normal. Variabel

penerimaan diri dilihat dari nilai Kolmogorof-Smirnov sebesar 0,593 dan nilai

signifikansi 0,874 > 0,05, ini menunjukkan bahwa variabel penerimaan diri

berdistribusi normal.

4.4.3.2 Uji Linieritas

Linearitas dalam penelitian ini merupakan syarat bagi kelanjutan uji

normalitas untuk menuju uji hipotesis. Pada penelitian ini di peroleh hasil pada

variabel konsep diri dan penerimaan diri berdistribusi normal, maka uji linieritas

dapat dilakukan. Dari hasil perhitungan SPSS nilai signifikansi dari variabel
98

konsep diri dan penerimaan diri 0,01 < 0,05, ini menunjukkan bahwa kedua

variabel linear.

Tabel 4.16

ANOVA Table

Sum of Mean
Squares df Square F Sig.
Penerimaan Diri * Between Groups (Combined)
4739.233 30 157.974 2.276 .097
Konsep Diri
Linearity 27.68
1921.809 1 1921.809 .001
9
Deviation from
2817.424 29 97.153 1.400 .309
Linearity
Within Groups 624.667 9 69.407
Total 5363.900 39

4.4.3.3 Uji Hipotesis

Berdasarkan hasil uji analisis linieritas dan normalitas yang telah

dilakukan diatas, diketahui bahwa data hasil penelitian ini berdistribusi normal.

Dari hasil tersebut kemudian dilakukan analisis, apakah data hasil penelitian ini

memenuhi syarat bagi diterimanaya hipotesis atau tidak. Karena data memenuhi

syarat normalitas maka digunakan statistik parametrik. Pengujian terhadap

hipotesis dengan variabel bebas konsep diri dan penerimaan diri dengan variabel

tergantung pada statistik parametrik dilakukan dengan menggunakan teknik

korelasi Product Moment

Tabel 4.17
Analisis Korelasi Konsep Diri dengan Penerimaan Diri
Correlations

konsep diri penerimaan diri


konsep diri Pearson Correlation 1 .599(**)
Sig. (2-tailed) . .000
N 40 40
penerimaan diri Pearson Correlation .599(**) 1
99

Sig. (2-tailed) .000 .


N 40 40
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Berdasarkan analisis korelasi Product Moment dari Pearson, diperoleh rxy

sebesar 0,599 dengan signifikansi (2-tailed) p value sebesar 0,00 (p < 0,01)

artinya terdapat pengaruh positif konsep diri terhadap penerimaan diri, nilai r xy

menunjukkan arah yang positif. Keberartian dari koefisien korelasi tersebut dapat

diuji dengan cara mengkonsultasikan hara r hitung dengan rtabel product moment

untuk taraf signifikansi 1% dengan N = 40 sebesar 0,403. Karena rhitung = 0,599 >

rtabel = 0.403, maka dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi tersebut signifikan

artinya terdapat pengaruh positif konsep diri terhadap penerimaan diri, dan nilai

rxy menunjukkan arah yang positif.

Dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini,

yang berbunyi “Ada Pengaruh Positif Konsep Diri Terhadap Penerimaan Diri

Anak Jalanan (Street Children) di RPSA Kota Semarang” dinyatakan diterima.

Dengan kata lain terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara konsep diri

terhadap penerimaan diri, yang berarti semakin tinggi konsep diri maka akan

semakin tinggi pula penerimaan diri anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota

Semarang.

4.4.3.4 Tabel Model Summary

Pada model ini nilai regresi antara variabel X dengan variabel Y secara

umum (R) sebesar 0,599, sedangkan koefisien determinasi (R square) sebesar

0,358 perhitungan ini menggunakan analisis program SPSS. Berdasarkan hasil di


100

atas maka dapat diartikan bahwa 35,8% penerimaan diri anak jalanan dipengaruhi

oleh konsep diri, dan sisanya 64,2% dipengaruhi oleh faktor lain.

4.5 Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian analisis di peroleh gambaran hasil penelitian

sebagai berikut:

4.5.1 Penerimaan Diri anak jalanan

Pada pembahasan hasil penelitian ini merupakan jawaban dari perumusan

masalah, yaitu bagaimana gambaran penerimaan diri anak jalanan di RPSA Kota

Semarang?. Penerimaan diri adalah suatu sikap yang menunjukkan rasa puas

terhadap diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan pengakuan

akan keterbatasan-keterbatasan sendiri (Chaplin, 1999:450). Penerimaan diri

merupakan komponen dari kesehatan mental, seseorang yang mempunyai tingkat

penerimaan diri yang baik merupakan orang yang berpribadi matang. Penerimaan

diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri dan

kepribadian yang positif seseorang. Individu dengan konsep diri yang positif akan

menerima dirinya dengan baik pula. Menurut Supratiknya (1995:84-85),

penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan kita untuk membuka atau

mengungkapakan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain,

kesehatan psikologis berkaitan erat dengan kualitas perasaan kita terhadap diri

sendiri, penerimaan kita terhadap orang lain.

Bagi anak-anak jalanan, berkaitan dengan pemahamannya bahwa orang

lain menerima mereka merupakan hal yang jarang mereka pikirkan. Sebagian
101

besar dari mereka merasa bahwa orang lain memandang mereka kurang berharga.

Tetapi disisi lain mereka memiliki perasaan terhadap diri yang baik. Dengan

adanya pendekatan yang intens, maka secara perlahan-lahan anak jalanan akan

dapat menganggap dirinya berharga di mata orang lain.

Pada hasil penelitian terhadap penerimaan diri (gambar 4.6) diperoleh

gambaran bahwa mayoritas anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang

mempunyai penerimaan diri pada kategori sedang (59%), maksudnya rata-rata

anak jalanan dalam menerima keterbatasan diri serta mengetahui kualitas dan

bakat sendiri adalah cukup. Penerimaan diri dapat diperjelas dalam rincian

indikator penerimaan diri (Gambar 4.8, 4.9, dan 4.10), yaitu perasaan puas

terhadap diri sendiri (47,5%) dengan kategori tinggi, maksudnya rata-rata

kepuasan anak jalanan terhadap diri sendiri adalah tinggi, mereka puas akan diri

mereka sendiri. Penerimaan terhadap keterbatasan diri pada kategori sedang

(45%), maksudnya sebagian anak jalanan penerimaan terhadap keterbatasan diri

pada anak jalanan cukup. Sedangkan dalam mengetahui kualitas dan bakat sendiri

pada kategori sedang (55%), maksudnya sebagian besar anak jalanan dalam

mengetahui kualitas dan bakat sendiri adalah cukup.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa penerimaan diri terhadap

kepuasan diri sendiri kurang diimbangi dengan penerimaan terhadap keterbatasan

dan pengetahuan terhadap kualitas dan bakat diri yang tinggi.

Penerimaan diri yang dimiliki sebagian besar dari anak jalanan pada

jangkauan RPSA Kota Semarang termasuk dalam kriteria sedang dan penyebab

dari tinggi rendahnya penerimaan diri tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal
102

seperti latar belakang bagaimana awalnya mereka turun ke jalan. Faktor dan latar

belakang tersebut masih kurang mencerminkan seorang individu yang mempunyai

penerimaan diri tinggi atau positif. Individu yang memiliki penerimaan diri tinggi,

maka dia setidak-tidaknya memiliki kriteria yang dapat menunjukkan penerimaan

diri positif seseorang dengan kerelaan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan

diri sendiri, kesehatan psikologis, serta melalui penerimaan terhadap orang lain,

yang dicerminkan dengan adanya perasaan puas terhadap diri sendiri, adanya

penerimaan terhadap keterbatasan diri, serta mengetahui akan kualitas dan bakat

sendiri (Chaplin, 1999:450).

Ada beberapa faktor agar seorang anak jalanan bisa meningkatkan

penerimaan dirinya agar lebih positif ataupun tinggi dari sebelumnya, salah

satunya adalah dengan adanya faktor dari dalam diri atau intern, faktor keluarga,

serta faktor dari lingkungan dan masyarakat yang dapat memberikan kondisi yang

dapat mendukung pembentukan dan perkembangan konsep diri ke arah yang

positif.

4.5.2 Konsep Diri Anak Jalanan

Pada pembahasan hasil penelitian ini merupakan jawaban dari perumusan

masalah, yaitu bagaimana gambaran konsep diri anak jalanan di RPSA Kota

Semarang?. Konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi

konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seseorang,

yaitu dari masa kecil hingga dewasa. Karena itu, konsep diri mempunyai peranan

penting dalam menentukan perilaku individu. Bagaimana individu memandang

dirinya, akan tampak dalam seluruh perilakunya tersebut. Perilaku individu


103

tersebut akan sesuai dengan cara individu memandang dirinya sendiri

(Pudjijogyanti, 1991:4). Individu tidak dilahirkan dengan konsep diri, konsep diri

muncul sebagai pengalaman yang didapatkan dari proses interaksi dengan orang-

orang yang ada disekitarnya. Selain itu, konsep diri individu terbentuk dan

berkembang melalui hasil dari pengaruh interaksi yang dilakukan melalui

hubungan sosial dengan lingkungan terutama lingkungan keluarga, pendidikan

dan hasil tanggapan dari orang lain. Perlakuan orang-orang tersebutlah yang

menjadikan cerminan tentang diri kita. Seperti yang dikemukakan oleh

Djalaluddin Rakhmat (2004:100) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang

membentuk konsep diri adalah orang lain atau significan others yang meliputi

orang tua dan teman, dan kelompok rujukan, misalnya komunitas pada anak

jalanan.

Begitu juga dengan yang dialami oleh anak-anak jalanan, konsep diri

mereka terbentuk terutama hasil dari interaksi dengan keluarga dan teman, karena

sebagian besar dari anak jalanan turun ke jalan disebabkan oleh faktor keluarga

(faktor ekonomi, broken home, mengalami kekerasan, memiliki banyak saudara,

eksploitasi anak) dan dari faktor ikut-ikutan teman.

Pada hasil penelitian terhadap konsep diri (gambar 4.11) diperoleh

gambaran bahwa mayoritas anak jalanan pada jangkauan RPSA di Kota Semarang

mempunyai konsep diri pada kategori tinggi (50%), maksudnya rata-rata anak

jalanan dalam memiliki pengetahuan tentang diri serta pengharapan mereka

adalah tinggi. Konsep diri dapat diperjelas dalam rincian indikator konsep diri

(Gambar 4.13, 4.14, dan 4.15), yaitu pengetahuan tentang diri (60%) dengan
104

kategori tinggi, maksudnya rata-rata pengetahuan anak jalanan terhadap diri

sendiri adalah tinggi, yaitu mereka mengetahui bagaimana diri mereka sendiri.

Penilaian tentang diri pada kategori sedang (47,5%), maksudnya sebagian anak

jalanan menilai tentang diri mereka cukup. Sedangkan dalam pengharapan anak

jalanan pada kategori tinggi (57,5%), maksudnya sebagian besar anak jalanan

berharap agar mereka dapat hidup lebih baik lagi.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa konsep diri terhadap pengetahuan

tentang diri dan pengaharapannya sendiri yang tinggi kurang diimbangi dengan

penilaian tentang diri sendiri yang cukup.

Oleh sebab itu untuk membentuk konsep diri anak agar memiliki konsep

diri yang positif, walaupun dengan keadaan ekonomi yang tidak mencukupi

kebutuhan keluarga, orang tua tidak dapat membebankan tanggung jawab secara

materiil kepada anak-anaknya, dan sebagai orang tua juga harus dapat

memberikan asuhan, arahan dan dukungan bagi anak-anaknya serta dapat

memperlakukan anak sebagaimana mestinya dalam kehidupan yang dibutuhkan

bagi perkembangan mental dan sosial anak.

4.5.3 Pengaruh Konsep Diri terhadap Penerimaan Diri Anak Jalanan

Pada pembahasan hasil penelitian ini merupakan jawaban dari perumusan

masalah, yaitu apakah terdapat pengaruh konsep diri terhadap penerimaan diri

anak jalanan di RPSA Kota Semarang?. Calhoun dan Acocella (1995:73), bahwa

dasar dari konsep diri yang positif bukanlah suatu kebanggaan yang besar tentang

diri, tetapi lebih berupa penerimaan diri. Yang menjadikan penerimaan diri

mungkin adalah bahwa orang dengan konsep diri positif yaitu dengan mengenal
105

dirinya dengan baik sekali. Penerimaan diri erat kaitannya dengan konsep diri

yang dimiliki seseorang. Semakin positif konsep dirinya maka akan semakin

tinggi penerimaan dirinya, begitu juga sebaliknya, jika konsep diri yang dimiliki

seseorang rendah maka akan rendah penerimaan dirinya. (Wicklund dan Frey

dalam Calhoun dan Acocella, 1995:73). Begitu juga dengan yang terjadi pada

anak-anak jalanan, karena berbagai kondisi dan situasi dari latar belakang turun ke

jalan hingga masa anak beraktivitas, tinggal dan berinteraksi dengan lingkungan

di jalan, selanjutnya pengambilan sikap positif atau negatif dalam menghadapi

kehidupannya yang serba begitu keras tersebut akan ditentukan dan ditunjukkan

oleh sikap mereka.

Menurut Hurlock (1974:435) salah satu kondisi yang dapat mempengaruhi

penerimaan diri adalah konsep diri atau cara seseorang melihat diri sendiri. Berarti

konsep diri tidak dapat dijauhkan dari proses seseorang dalam pembentukan

penerimaaan diri seseorang, termasuk dalam hal ini yaitu anak jalanan.

Hasil uji analisis yang diperoleh dari perhitungan korelasi Product

Moment Pearson dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS 12

untuk variabel konsep diri dan variabel penerimaan diri pada anak jalanan pada

jangkauan RPSA Kota Semarang menunjukkan bahwa ada pengaruh yang

signifikan antara konsep diri terhadap penerimaan diri, atau hipotesis yang

berbunyi: “ada pengaruh positif konsep diri terhadap penerimaaan diri anak

jalanan di RPSA Kota Semarang”, diterima. Hal ini terlihat dari diperolehnya nilai

korelasi Pearson rxy sebesar 0,599 dengan signifikansi (2-tailed) p value sebesar

0,00 (p < 0,01) artinya konsep diri mempengaruhi penerimaan diri anak jalanan.
106

Hasil uji analisis tersebut menunjukkan bahwa ketika individu mempunyai konsep

diri yang tinggi maka mereka akan mengalami hal yang positif dalam

kehidupannya. Apabila anak-anak jalanan merasakan konsep diri yang positif

pada dirinya atas segala kejadian dalam kehidupannya maka akan memunculkan

penerimaan dalam diri yang positf pula.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa adanya konsep diri yang baik

dapat mempengaruhi bagaimana penerimaan diri mereka para anak-anak jalanan.

Adanya konsep diri yang baik (positif) membuat para anak-anak jalanan tersebut

menjadi memiliki penerimaan diri yang lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Calhoun dan Acocella (1995:73) seperti di atas.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil bahwa mean empiris

sebesar 89,5250 memberikan kesimpulan bahwa sebagian besar dari anak jalanan

pada jangkauan RPSA di Kota Semarang mempunyai tingkat penerimaan yang

sedang. Hal tersebut dapat diketahui dari mean empiris sebesar 89,5250 berada

dalam kategoi sedang. Selain itu juga dapat diketahui dari banyaknya anak jalanan

yang mempunyai tingkat penerimaan diri dalam kriteria sedang yaitu sebanyak 20

anak atau 50% anak jalanan dari 40 subyek yang diteliti. Jumlah anak jalanan

yang mempunyai tingkat penerimaan diri sangat tinggi sebanyak 1 anak atau 2,5%

dari 40 anak jalanan, sedangkan anak yang memiliki penerimaan diri dalam

kategori tinggi sebanyak 14 anak atau 35% dari keseluruhan anak jalanan, serta

terdapat juga anak jalanan dalam kategori rendah, yaitu berjumlah 5 anak atau

sebanyak 12,5% dan tidak terdapat anak jalanan yang memiliki penerimaan diri

dalam kategori sangat rendah. Tidak adanya anak jalanan yang memiliki tingkat
107

penerimaan diri dalam taraf sangat rendah bisa dibilang bahwa anak jalanan

tersebut memiliki penerimaan diri yang cukup positif.

Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian Citra Desy tentang hubungan

antara konsep diri dengan penerimaan diri pada remaja yang menunjukkan bahwa

terdapat hubungan positif yang signifikan antara konsep diri dengan penerimaan

diri pada remaja, dimana semakin tinggi konsep diri maka penerimaan dirinya

akan semakin tinggi pula.

Dijelaskan oleh Mead (dalam Burns, 2003:19) bahwa konsep diri sebagai

suatu obyek timbul di dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan

dari perhatian individu tersebut mengenai bagaimana orang-orang lain bereaksi

kepadanya. Konsep diri merupakan faktor yang dipelajari dan dapat dibentuk

melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain. Seseorang dengan

konsep diri yang baik atau positif baik secara fisik, sosial dan psikologis

mengenai pengetahuan tentang diri, mengetahui penilaian tentang diri, serta

mengetahui apa yang diharapkan oleh individu tersebut (Calhoun, 1995:67).

Beberapa kriteria konsep diri tersebut tentunya akan ditanggapi secara berbeda-

beda oleh setiap individu khususnya oleh anak jalanan.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh mean empiris sebesar 117,8000

memberikan kesimpulan bahwa sebagian besar dari anak jalanan mempunyai

tingkat konsep diri yang tinggi. Hal tersebut dapat diketahui dari banyaknya anak

jalanan yang mempunyai tingkat konsep diri dalam kriteria tinggi yaitu sebanyak

20 anak atau 50% anak jalanan dari 40 subyek yang diteliti, walaupun banyak

juga anak jalanan yang memiliki tingkat konsep diri sedang. Anak jalanan yang
108

mempunyai tingkat konsep diri sangat tinggi terdapat 1 anak atau 2,5%, jumlah

anak jalanan yang mempunyai tingkat konsep diri sedang sebanyak 16 anak

jalanan atau 40% dari 40 anak jalanan, sedangkan anak jalanan yang memiliki

konsep diri dalam kategori rendah sebanyak 3 anak atau 7,5%, dari keseluruhan

anak jalanan dan tidak terdapat anak jalanan yang memiliki konsep diri dalam

kategori sangat rendah. Berdasarkan data tersebut dapat diambil kesimpulan

bahwa rata-rata anak jalanan pada jangkauan RPSA Kota Semarang memiliki

tingkat konsep diri tinggi dan memiliki konsep diri yang baik karena sebagian

dari anak jalanan tersebut terdapat pada kategori tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa variabel konsep diri

mempunyai sumbangan sebesar 35,8% terhadap varibel tergantung yaitu

penerimaan diri dan sisanya sebesar 64,2% berasal dari faktor lain di luar konsep

diri. Hal ini menunjukkan bahwa konsep diri memiliki peranan penting dalam

penerimaan diri anak jalanan, karena sumbangan konsep diri terhadap penerimaan

diri sebesar 35,8% memegang peranan yang juga penting artinya bagi

terbentuknya penerimaan diri anak jalanan, selain dari faktor-faktor lain yang

dapat mempengaruhi penerimaan diri. Sehingga untuk selanjutnya perlu lebih

diperhatikan bagi pengelola RPSA atau para pendamping anak jalanan bahwa

pembentukan konsep diri pada anak jalanan sangat penting artinya bagi

terbentuknya penerimaan diri.

Hal tersebut juga dapat diketahui dari besarnya koefisien korelasi (rxy)

sebesar 0,599 dengan probalititas (p) sebesar 0,01 dengan jumlah subyek

sebanyak 40 orang. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh positif


109

konsep diri terhadap penerimaan diri pada anak jalanan pada jangkauan RPSA di

Kota Semarang. Artinya semakin tinggi konsep diri maka akan semakin tinggi

penerimaan diri. Sebaliknya semakin rendah konsep diri maka akan semakin

rendah pula penerimaan diri.

Kesimpulan di atas sesuai dengan pendapat dari Calhoun dan Acocella

(1995:73), bahwa dasar dari konsep diri yang positif bukanlah suatu kebanggaan

yang besar tentang diri, tetapi lebih berupa penerimaan diri. Yang menjadikan

penerimaan diri mungkin adalah bahwa orang dengan konsep diri positif yaitu

dengan mengenal dirinya dengan baik sekali ( Wicklund dan Frey dalam Calhoun

dan Acocella, 1995:73).

Begitu juga dengan yang terjadi pada anak-anak jalanan, karena berbagai

kondisi, situasi dan latar belakang turun ke jalan hingga masa anak beraktivitas,

tinggal dan berinteraksi dengan lingkungan di jalan, selanjutnya pengambilan

sikap positif atau negatif dalam menghadapi kehidupannya yang serba begitu

keras tersebut akan ditentukan dan ditunjukkan oleh sikap mereka, sehingga faktor

keluarga dan lingkungan menjadikan sangat penting fungsinya bagi pembentukan

dan perkembangan kepribadian anak jalanan karena bagaimana pandangan orang

lain terhadap anak jalanan juga dapat mempengaruhi bagaimana penerimaan diri

anak jalanan tersebut, karena jika pandangan orang terhadap anak jalanan buruk,

maka tidak menutup kemunginan juga anak-anak jalanan tersebut akan menerima

diri secara negatif. Oleh sebab itu, sehingga faktor keluarga dan lingkungan sangat

penting fungsinya agar anak-anak jalanan pada khususnya menjadi pribadi yang
110

sehat, matang, percaya diri dan memiliki nilai-nilai yang baik sebagai manusia

yang berkualitas.
BAB 5

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka simpulan yang

dapat diambil dari penelitian ini adalah anak-anak jalanan pada jangkauan RPSA

di Kota Semarang masih membutuhkan lebih banyak pendampingan dan

bimbingan sosial agar anak jalanan dapat lebih mengenal dan menerima dirinya

sendiri secara positif. Pendampingan dan bimbingan akan membuat anak jalanan

tersebut merasa diperhatikan, diurus, disayangi dan dicintai. Adanya

pendampingan dan bimbingan sosial tersebut, sangat berguna untuk pembentukan

serta menumbuhkan konsep diri dan penerimaan diri yang positif. Selain itu

pendampingan tersebut juga bertujuan sebagai sarana sharing anak jalanan untuk

mengidentifikasi permasalahan yang ada pada diri anak jalanan sehingga

dikemudian hari tidak akan mengganggu perkembangan psikologisnya dan

diharapkan nantinya akan mendapatkan solusi yang tepat bagi anak jalanan

tersebut supaya tidak lagi melakukan kegiatan di jalan.

Di lain pihak, keluarga juga merupakan lingkungan terpenting dalam

pembentukan konsep diri serta penerimaan diri bagi anak jalanan, karena

keluarga sebagai lingkungan terdekat anak yang secara langsung akan dapat

membantu anak terutama anak jalanan bagi pembentukan dan perkembangan

konsep diri serta penerimaan diri anak jalanan.

111
112

5.2 Saran

Berdasarkan simpulan hasil penelitian di atas, saran yang dapat

diberikan adalah sebagai berikut :

(1) Bagi Pihak RPSA

Bagi pihak RPSA supaya tetap memberikan pelayanan-pelayanan terutama

mengenai pelayanan bimbingan dan pengasuhan atau pendampingan yang

bersifat psikologis dan sosial agar dapat membantu bagi terbentunya

konsep diri yang positif pada anak jalanan, sehingga mereka dapat

memiliki penerimaan diri yang positif pula. Selain itu juga dengan tetap

memperhatikan anak jalanan, melakukan pendampingan ketika mereka

sedang mempunyai masalah, mampu menjadi teman ketika mereka

mengalami kesulitan dan memotivasi anak jalanan agar mau berusaha dan

berkarya supaya tidak lagi turun ke jalan dan dapat menjadi pribadi yang

bermanfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, agama dan bangsa.

(2) Bagi Anak Jalanan

Bagi anak jalanan supaya lebih dapat mengembangkan diri, walaupun

mungkin sulit dan membutuhkan waktu, tapi dengan adanya dukungan

dari keluarga, masyarakat serta pemerintah, anak-anak jalanan harus tetap

berusaha untuk menjadi pribadi yang sehat, matang serta carilah

lingkungan yang terdapat orang-orang yang dapat membentuk konsep diri

positif agar dapat menjadi pribadi yang berkualitas agar nantinya dapat

meraih cita-cita dan harapan yang diinginkan.


113

(3) Bagi Pemerintah

Pemerintah supaya lebih memperhatikan anak-anak jalanan, walaupun

membutuhkan dana yang besar untuk mengatasi permasalahan anak

jalanan yang begitu kompleks, tapi sesuai dengan Undang-Undang yang

berlaku bahwa fakir miskin dan anak terlantar, dalam hal ini anak jalanan

dipelihara oleh negara, jadi ini merupakan salah satu tugas pemerintah.

Tetapi dengan adanya kerjasama dari masyarakat pada umumnya, serta

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Yayasan-yayasan yang fokus

pada penanganan anak jalanan pada khususnya, tentu akan sangat

membantu dalam penanganan anak jalanan ini, karena semua anak

termasuk anak jalanan adalah penerus bangsa, sehingga penanganan secara

psikologis penting artinya bagi keberadaan anak jalanan.

(4) Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan penelitian yang

sejenis, disarankan untuk mengacu pada jumlah sampel yang lebih besar,

dengan pendekatan yang lebih mendalam serta diharapkan juga

memperhatikan faktor lain yang berpengaruh terhadap penerimaan diri

namun belum diteliti dalam penelitian ini. Faktor-faktor lain yang dapat

mempengaruhi penerimaan diri dan belum termasuk dalam penelitian ini

antara lain adalah pola asuh orang tua, lingkungan keluarga serta faktor

intern dari anak jalanan itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, S. 2003. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Badan Kesejahteraan Sosial Nasional. 2000. Modul Pelatihan Pekerja Sosial


Rumah Singgah.

Burns, R.B.1993. Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Pertimbangan, dan Perilaku


(Penerjemah : Eddy). Jakarta:Arcan.

Calhoun, J.F. dan Acocella, J.R. 1995. Psikologi tentang Penyesuaian dan
Hubungan Kemanusiaan. Edisi Ketiga. Alih bahasa : Satmoko, R.S.
Edisi ke-3. Semarang: IKIP Semarang Press.

Chaplin, J.P. 1999. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Cronbach, L. J. 1963. Educational Psychology. Second edition. New York:


Harcourt, Brace and World, Inc.

Dharmono dan Darmabrata. 1999. Faktor-Faktor Psikososial Dengan


Berkembangnyaa Perilaku Antisosial Pada Kelompok Anak Jalanan di
Jakarta. Jiwa, Indon Psychiat Quart 1999: XXXII: 1.

Dinas Kesejahteraan Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. 2006. Data dan
Informasi Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Tengah Tahun
2006.

Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial. 1999. Pedoman Penyelenggaran


Pembinaan Anak Jalanan melalui Rumah Singgah. Rumah Singgah
dalam Penanganan Anak Jalanan. Jakarta: Departemen Sosial RI

Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabiltasi Sosial. 2002. Standar Pelayanan


Sosial Anak jalanan melalui Rumah Singgah. Jakarta: Departemen
Sosial RI.

_________________________________________________. Acuan Teknis


Pengembangan Pelayanan Sosial. Jakarta: Departemen Sosial RI.

_________________________________________________. Standar Pelayanan


Sosial anak Jalanan mealui Rumah Singgah. Jakarta: Departemen
Sosial RI.

114
115

Hadi, Sutrisno.2002. Metodologi Research jilid 1. Yogyakarta: ANDI.

Handayani, Ratnawati dan Helmi. 1998. Efektivitas Pelatihan Pengenalan Diri


Terhadap Peningkatan Penerimaan Diri dan Harga Diri. Jurnal
Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. ISSN. 0215-
8884.No.2, 47-55.

Handayani, Mulyo M. 2000. Efektivitas Pelatihan Pengenalan Diri Terhadap


Peningkatan Penerimaan Diri dan Harga Diri. Insan. Surabaya: Fakultas
Psikologi Universitas Airlangga. Vol.2 No.1.November 2000.

Hapsari, Mia. 2008. Penelitian Deskriptif Tentang Faktor-Faktor Minat


Bersekolah Pada Anak Jalanan di Semarang. Skripsi (Tidak diterbitkan).
Semarang: Jurusan Psikologi Universitas Negeri Semarang.

Hapsari, P. 2007. Anak Jalanan (Perempuan) Subordinat Orang Dewasa. Jurnal


Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Herlina, A. et al dan UNICEF Indonesia. 2002. Perlindungan Anak

Huraerah, Abu. 2007.Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak). Bandung: Nuansa.

Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

___________.1978. Perkembangan Anak Jilid 2. Alih bahasa : Tjandrasa, M.M.,


& Zarkasih, M. Edisi ke-6. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.

___________. 1974. Personality Development. New Delhi: Tata McGraw-Hill.

Irawati, Henny. 2007. Ranperda Gepeng Sapu Anak Jalanan di Medan. Jurnal
Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

__________. 1983. Psikologi Orang Dewasa. . Surabaya: Usaha Nasional.

MB Ubangha, RE Oputa. 2007. Differences in Self-Concept, Academic


Orientation And Vocational Interests of Normal And Institutionalized
Street Children in Lagos Metropolis. International Journal of
Educational Research Vol 3 (1) pp 1-12. ISSN 1595-8485: AJOL
(African Journals Online)

Nurharjadmo, W. 1999. Seksualitas Anak Jalanan. Yogyakarta: Kerja sama Ford


Fundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah
Mada.
116

Oktaviana, R. 2004. Hubungan Antara Penerimaan Diri Terhadap Ciri-Ciri


Perkembangan Sekunder Dengan Konsep Diri Pada Remaja Puteri
SLTPN 10 Yogyakarta. Jurnal Psyche. Palembang: Vol.1 No.2.
Desember 2004.

Permadi, Gunawan dan Ardhianie, Nila. 1999. Selinting Ganja di Tangan.


Semarang: Yayasan Duta Awam.

Prasetyo, Bambang dan Jannah, M.L. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif Teori
dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Pudjijogyanti, C.R.1991. Konsep Diri dalam Pendidikan. Jakarta: ARCAN


Penerbit Umum.

Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya.

Salmani, Barough N et al. 2003. Self Concept and Influential Factors on it In The
Street Children Aged 6-12 Years. TUMS E Journals 2004-2009: Central
Library And Documents Center Tehran University of Medical Sciences.

Shalahuddin, Odi. 2004. Di Bawah Bayang-Bayang Ancaman (Dinamika


Kehidupan Anak Jalanan). Semarang: Yayasan Setara.

Sarwono, Sarlito.Wirawan.1997. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori


Psikologi Sosial. Jakarta: PT Balai Pustaka.

Sitorus, Magdalena. 2007. Ketika ’Anak’ Sebagai Perempuan. Jurnal Perempuan.


Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Soeitoe, Samuel. 1994. Psikologi Pendidikan (Mengutamakan Segi-Segi


Perkembangan). Jilid 2. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.

Sujanto, A. 1988. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Aksara Baru

Sulaeman, Dadang. 1995. Psikologi Remaja. Bandung: Mandar Maju.

Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antar Pribadi (Tinjauan Psikologis).


Yogyakarta: Kanisius.

Surachmad, Winarno. 1977. Psikologi Pemuda (Sebuah Pengantar Dalam


Perkembangan Pribadi dan Interaksi Sosialnya. Bandung: CV Jemmars.
117

Thompson, B.L dan Waltz, J.A. 2007. Mindfulness, Self-Esteem, and


Unconditional Sef-Acceptance. Journal of Rational-Emotive &
Cognitive-Behavior Therapy. Department of Psychology University of
Montana: Springer Netherlands. Vol 26 No.2 / June, 2008.

Wrastari dan Handadari. 2003. Pengaruh Pemberian Neuro Linguistic


Programming (NLP) terhadap Peningkatan Penerimaan Diri
Penyandang Cacat Tubuh pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh di
Pusat Rehabilitasi Panti Sosial Bina Daksa ”Suryatama” Bangil
Pasuruan. Insan. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
Vol.5 No.1. April 2003, 17-35.

Anda mungkin juga menyukai