Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persalinan normal merupakan suatu keadaan fisiologis, persalinan

normal dapat berlangsung sendiri tanpa intervensi penolong. Kelancaran

persalinan tergantung 3 faktor ”P” utama yaitu kekuatan ibu (power), keadaan

jalan lahir (passage) dan keadaan janin (passanger). Faktor lainnya adalah

psikologi ibu (respon ibu ), penolong saat bersalin, dan posisi ibu saat persalinan.

Dengan adanya keseimbangan atau kesesuaian antara faktor-faktor "P"

tersebut, persalinan normal diharapkan dapat berlangsung. Bila ada gangguan

pada satu atau lebih faktor “P” ini, dapat terjadi kesulitan atau gangguan pada

jalannya persalinan.

Kelambatan atau kesulitan persalinan ini disebut distosia. Salah satu

penyebab dari distosia karena adalah kelainan janin. Distosia berpengaruh

buruk bagi ibu maupun janin. Pengenalan dini dan penanganan tepat akan

menentukan prognosis ibu dan janin.

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi,, diagnosis,

penatalaksanaan dari distosia


1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

mengenai distosia

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini di tulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang

dirujuk dari berbagai literatur

1.5 Manfaat Penulisan

Makalah ini diharapkan bermanfaat untuk menambah ilmu dan

pengetahuan mengenai distosia


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Distosia

1. Definisi

Distosia berasal dari bahasa Yunani, Dys atau dus berarti buruk atau

jelek, tosia berasal dari tocos yang berarti persalinan, sehingga distosia

merupakan persalinan yang sulit, tidak ada kemajuan dalam persalinan atau

merupakan persalinan yang membawa satu akibat buruk bagi janin maupun

ibu (Winkjosastro et al, 2006).

2. Etiologi

Distosia terjadi karena beberapa faktor, yaitu kelainan power, passage,

dan passanger :

a) Kelainan Power

Power adalah kekuatan ibu mendorong janin, yaitu kekuatan his dan

kekuatan ibu dalam mengejan. His normal yaitu his yang timbul dominan

pada fundus uteri, simetris, kekuatannya semakin lama semakin kuat dan

sering serta mengalami fase relaksasi yang baik. Kelainan his ini dapat

berupa inersia uteri hipertonik atau inersia uteri hipotonik. Kontraksi

uterus atau his secara normal terjadi pada awal persalinan yakni pada kala

1, pada awal kala 1 his yang timbul masih jarang yaitu 1 kali dalam 15

menit dengan kekuatan 20 detik, his ini semakin lama akan timbul

semakin cepat dan sering yakni interval 2 sampai 3 kali dalam 10 menit
dengan kekuatan 50 sampai 100 detik. Apabila kontraksi tidak adekuat,

maka serviks tidak akan mengalami pembukaan, sehingga pada kondisi

tersebut dilakukan induksi persalinan, dan apabila tidak ada kemajuan

persalinan maka dilakukan seksio sesaria, namun pada persalinan kala II

apabila ibu mengalami kelelahan maka persalinan dilakukan dengan

menggunakan vacum ekstraksi (Cuningham et al, 2010).

Persalinan kala III yaitu melahirkan plasenta, apabila placenta belum

lahir dalam waktu 30 menit maka hal ini terjadi karena tidak ada kontraksi

uterus atau karena adanya perlengketan sehingga merangsang uterus maka

di berikan pemberian induksin dan melakukan massage uterus

(Cuningham et al, 2010).

b) Kelainan Passage

Distosia karena adanya kelainan Passage yaitu karena adanya

kelainan pada jalan lahir, jalan lahir sendiri terbagi atas jalan lahir lunak

dan jalan lahir keras. Jalan lahir keras atau tulang panggul dapat berupa

kelainan bentuk panggul, dan kelainan ukuran panggul. Sedangkan jalan

lahir lunak yang sering dijumpai karena adanya tumor ovarium yang

menghalangi jalan lahir dan adanya edema pada jalan lahir yang

dipaksakan (Winkjosastro et al, 2006).

Jenis kelainan pada jalan lahir keras berupa kelainan bentuk yaitu

bentuk panggul yang tidak normal, diantaranya gynecoid, antropoid,

android, dan platipeloid. Terutama pada panggul android distosia sulit

diatasi, selain itu terdapat kelainan panggul yang disertai dengan

perubahan bentuk karena pertumbuhan intrauterine yaitu panggul Naegele,


robert, split pelvis dan panggul asimilasi. Perubahan bentuk panggul juga

dapat terjadi karena adanya penyakit seperti rakhitis, osteomalasia,

neoplasma, fraktur, atrifi, karies, nekrosis maupun penyakit pada sendi

sakroiliaka dan sendi sakrokoksigea. Penyakit tulang belakang seperti

kifosis, skoliosis dan spondilolistesis serta penyakit pada kaki seperti

koksiis, luksasio koksa dan atrofi atau kelumpuhan satu kaki merupakan

termasuk penyulit dalam proses persalinan pervaginam (Winkjosastro et

al, 2006).

c) Kelainan Passanger

Kelainan passanger merupakan kelainan pada letak, ukuran ataupun

bentuk janin, kelainan letak ini termasuk dalam kelainan presentasi dan

kelainan posisi, pada kondisi normal, kepala memasuki pintu atas panggul

dengan sutura sagitalis dalam keadaan melintang atau oblik sehingga

ubun-ubun kecil berada dikanan atau dikiri lintang atau dikanan atau kiri

belakang, setelah kepala memasuki bidang tengah panggul (Hodge III),

kepala akan memutar ke depan akibat terbentur spina ischiadika sehingga

ubun-ubun kecil berada didepan (putaran paksi dalam), namun terkadang

tidak terjadi putaran sehingga ubun-ubun kecil tetap berada dibelakang

atau melintang, keadaaan ini disebut dengan deep transvere arrest,

oksipitalis posterior persisten atau oksipitalis transversus persisten,

keadaan ini akan mempersulit persalinan (Winkjosastro et al, 2006).

Presentasi muka merupakan salah satu kelainan janin, diagnosis

presentasi muka berdasarkan pemeriksaan luar yakni dada akan teraba

seperti punggung, bagian belakang kepala berlawanan dengan bagian


dada, dan daerah dada ada bagian kecil denyut jantung janin terdengan

jelas, dan berdasarkan pemeriksaan dalam umumnya teraba mata, hidung,

mulut dan dagu atau tepi orbita. Pada presentasi dahi pada umumnya

merupakan kedudukan sementara sehingga biasanya dapat menjadi

presentasi belakang kepala dan presentasi muka (Cuningham et al, 2010).

Letak sungsang merupakan keadaan dimana letak janin memanjang

dengan kepala dibagian fundus uteri dan bokong dibagian bawah cavum

uteri hal ini pula merupakan penyulit dalam persalinan. Selain letak

sungsang, letak lintang pula cukup sering terjadi, presentasi ini merupakan

presentasi yang tidak baik sama sekali dan tidak mungkin dilahirkan

pervaginam kecuali pada keadaan janin yang sangat kecil atau telah mati

dalam waktu yang cukup lama (Cuningham et al, 2010).

Beberapa kelainan dalam bentuk janin yaitu karena adanya

pertumbuhan janin yang berlebihan, berat neonatus pada umunya adalah

4000 gram, makrosomia atau bayi besar apabila lebih dari 4000 gram,

umumnya hal ini karena adanya faktor genetik, kehamilan dengan diabetes

mellitus, kehamilan post matur atau pada grande multipara. Hidrocephalus

pula merupakan kelainan bentuk janin, hal ini merupakan keadaan dimana

cairan serebrospinal dalam ventrikel janin berlebih sehingga kepala janin

menjadi besar dan keadaan ini dapat menyebabkan cephalo pelvic

disproportion (Winkjosastro et al, 2006).


B. Distosia Karena Kelainan Tenaga

1. Hypotonic uterine contraction

a) Definisi

Inersia uteri hipotoni atau hipotonic uterine contraction merupakan

suatu keadaan dimana kontraksi uterus terkoordinasi namun tidak adekuat

dalam membuat kemajuan dalam persalinan, biasanya his yang muncul

kurang kuat, terlalu lemah, pendek dan jarang. Inersia uteri terbagi menjadi

dua macam, yakni inersia uteri primer dan inersia uteri sekunder. Inersia

uteri primer adalah ketika his yang timbul sejak awal lemah, sedangkan

inersia uteri sekunder his lemah timbul setelah sebelumnya mengalami his

yang kuat (Cuningham et al, 2010).

b) Etiologi

Penyebab inersia uteri umumnya belum diketahui secara pasti,

namun ada beberapa yang menyebutkan penyebab terjadinya inersia uteri

karena ibu merupakan primi tua, psikis ibu dalam kondisi ketakutan,

peregangan uterus yang berlebih umumnya pada kondisi gemeli dan

hidramnion, herediter, uterus bikornis, atau karena bagian janin tidak

merapat pada segmen bawah rahim dalam hal ini kelainan letak atau CPD

(cephalo-pelvic disproportion) (Winkjosastro et al, 2006).

Secara normal his muncul sejak memasuki persalinan kala 1, his

yang timbul dominan pada bagian fundus uterus, terjadi secara simetris,

kekuatan his semakin lama semakin sering dan mengalami fase relaksasi,

sehingga his yang baik akan memberikan kemajuan persalinan. Apabila


sejak awal his yang timbul bersifat lemah, atau kurang kuat, pendek serta

jarang, maka hal ini disebut dengan inersia uteri primer hal ini umumnya

terjadi pada kala 1 fase laten. Namun apabila sebelumnya his baik, lalu

menjadi lemah, kurang kuat, pendek serta jarang, biasanya terjadi pada

kala 1 dan 2 serta saat pengeluaran placenta, maka hal ini dinamakan

inersia uteri sekunder (Winkjosastro et al, 2006).

c) Diagnosis

Dalam membantu melihat kelainan his dapat didukung dengan

pemeriksaan CTG dan USG, pada inersia uteri hipotoni, his yang timbul

tetap dominan pada fundus, namun kontraksi yang terjadi biasanya lebih

singkat dari biasanyanya, keadaan umum pasien pada umumnya baik, rasa

nyeri yang timbul tidak terlalu sakit. Apabila ketuban masih utuh, keadaan

ini tidak berbahaya baik bagi ibu maupun bagi janin, kecuali apabila

persalinan berlangsung lama (Winkjosastro et al, 2006).

d) Penatalaksanaan

Penanganan kasus inersia uteri hipotoni yaitu dilakukan pengawasan

yang meliputi tekanan darah, denyut jantung janin, dehidrasi serta tanda-

tanda asidosis, diberikan diet cair sebagai persiapan operasi, infus D5%

atau NaCl dan apabila nyeri diberikan pethidine 50 mg, serta dilakukan

pemeriksaan dalam di analisa apakah ada CPD menggunakan pelvimetri

atau MRI (Winkjosastro et al, 2006).

Apabila pasien inersia uteri dengan CPD maka dilakukan seksio

sesaria, apabila tidak ditemukan CPD maka perbaiki terlebih dahulu

keadaan umum pasien, apabila kepala atau bokong sudah masuk panggul
maka pasien di edukasi untuk aktivitas berjalan, lakukan pemecahan

ketuban, berikan oksitosin drip 5 IU per D5% dimulai 8 tetes permenit

sampai dengan 40 tetes permenit, pasien harus diawasi terus menerus

mengenai kekuatan interval his dan denyut jantung janin dan apabila

oksitosin drip gagal, maka dilakukan seksio sesaria (Winkjosastro et al,

2002).

2. Hypertonic uterine contraction

a) Definisi

His terlampau kuat atau juga disebut hypertonic uterine contraction.

Walaupun pada golongan incoordinated hypertonic uterine contraction

bukan merupakan penyebab distosia, namun hal ini dibicarakan di sini

dalam rangka kelainan his. His yang terlalu kuat dan yang terlalu efisien

menyebabkan persalinan selesai dalam waktu yang singkat. Partus yang

sudah selesai kurang dari tiga jam, dinamakan partus presipitatus: sifat his

normal, tonus otot di luar his juga biasa, kelainannya terletak pada

kekuatan his. Bahaya partus presipitatus bagi ibu ialah terjadinya

perlukaan luas pada jalan lahir, khususnya serviks uteri, vagina dan

perineum, sedangkan bayi bisa mengalami perdarahan dalam tengkorak

karena bagian tersebut mengalami tekanan kuat dalam waktu yang singkat

(Winkjosastro et al, 2006).

Batas antara bagian atas dan segmen bawah atau lingkaran retraksi

menjadi sangat jelas dan meninggi. Dalam keadaan demikian lingkaran

dinamakan lingkaran retraksi patologik atau lingkaran Bandl. Ligamentum

rotundum menjadi tegang secara lebih jelas teraba, penderita merasa nyeri
terus menerus dan menjadi gelisah. Akhirnya, apabila tidak diberi

pertolongan, regangan segmen bawah uterus melampaui kekuatan

jaringan; terjadilah ruptura uteri (Winkjosastro et al, 2006).

b) Etiologi

Kelainan his pertama kali ditemukan pada primigravida, khususnya

primigravida tua. Sampai seberapa jauh faktor emosi mempengaruhi

kelainan his, belum ada persesuaian paham antara para ahli. Hipertonic

uterine contraction dan incoordinate uterine contraction sering terjadi

bersama-sama yang ditandai dengan peningkatan tekanan uterus, kontraksi

yang tidak sinkron dan peningkatan tonus otot di segmen bawah rahim

serta frekuensi kontraksi yang menjadi lebih sering. Hal ini pada umumnya

berhubungan dengan solutio plasenta, penggunaan oksitosin yang

berlebihan, disproporsi sefalopelvik dan malpresentasi janin (DeCherney,

2007).

c) Diagnosis

Kelainan his dapat didukung oleh pemeriksaan :

1. KTG

2. USG

d) Penatalaksanaan

Dalam menghadapi persalinan lama oleh sebab apapun, keadaan

wanita yang bersangkutan harus diawasi dengan seksama. Tekanan darah

diukur tiap empat jam, pemeriksaan ini perlu dilakukan lebih sering

apabila ada gejala preeklampsia. Denyut jantung janin dicatat dalam

setengah jam dalam kala I dan lebih sering kala II. Kemungkinan dehidrasi
dan asidosis harus mendapat perhatian sepenuhnya. Karena pada

persalinan lama selalu ada kemungkinan untuk melakukan tindakan

pembedahan dengan narkosis, hendaknya wanita jangan diberi makanan

biasa melainkan dalam bentuk cairan. Sebaiknya diberikan infus larutan

glukosa 5% dan larutan NaCl isotonik secara intravena berganti-ganti.

Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberi pethidin 50 mg yang dapat

diulangi; pada permulaan kala I dapat diberi 10 mg morfin. Pemeriksaan

dalam perlu diadakan, akan tetapi harus selalu disadari bahwa tiap

pemeriksaan dalam mengandung bahaya infeksi. Apabila persalinan

berlangsung 24 jam tanpa kemajuan yang berarti, perlu diadakan penilaian

yang seksama tentang keadaan. Selain penilaian keadaan umum, perlu

ditetapkan apakah persalinan benar-benar sudah mulai atau masih dalam

tingkat false labour, apakah ada inersia uteri atau incoordinate uterine

action dan apakah tidak ada disproporsi sefalopelvik biarpun ringan.

Untuk menetapkan hal terakhir ini, jika perlu dilakukan pelvimetri

roentgenologik atau MRI (Magnetis Resonence Imaging). Apabila serviks

sudah terbuka sedikit-dikitnya 3 cm, dapat diambil kesimpulan bahwa

persalinan dapat dimulai.1 Dalam menentukan sikap lebih lanjut perlu

diketahui apakah ketuban sudah atau belum pecah. Apabila ketuban sudah

pecah, maka keputusan untuk menyelesaikan persalinan tidak boleh

ditunda terlalu lama berhubung dengan bahaya infeksi. Sebaiknya dalam

24 jam setelah ketuban pecah sudah dapat diambil keputusan apakah perlu

dilakukan seksio sesaria dalam waktu singkat, atau persalinan dapat

dibiarkan berlangsung terus (Winkjosastro et al, 2006).


His terlalu kuat. Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat

dilakukan karena biasanya bayi sudah lahir tanpa ada seorang yang

menolong. Kalau seorang wanita pernah mengalami partus presipitatus,

kemungkinan besar kejadian ini akan berulang pada persalinan berikutnya.

Karena itu sebaiknya wanita dirawat sebelum persalinan, sehingga

pengawasan dapat dilakukan dengan baik. Pada persalinan keadaan

diawasi dengan cermat, dan episiotomi dilakukan pada waktu yang tepat

untuk menghindarkan terjadinya ruptura uteri. Dalam keadaan demikian

janin harus segera dilahirkan dengan cara yang memberikan trauma

sedikit-sedikitnya bagi ibu dan anak (Winkjosastro et al, 2006).

3. Incoordinate uterine action

Tonus uterus otot meningkat, juga di luar his, dan kontraksinya tidak

berlangsung seperti biasa karena tidak ada sinkronisasi antara kontraksi

bagian-bagiannya. Tidak adanya koordinasi antara kontraksi bagian atas,

tengah dan bawah menyebabkan his tidak efisien dalam mengadakan

pembukaan. Di samping itu tonus otot uterus yang meningkat

menyebabkan rasa nyeri yang lebih keras dan lama bagi ibu dan

menyebabkan hipoksia dalam janin. His jenis ini juga disebut sebagai

uncoordinated hypertonic uterine contraction. Kadang-kadang dalam

persalinan lama dengan ketuban yang sudah lama pecah, kelainan his ini

menyebabkan spamus sirkuler setempat, sehingga terjadi penyempitan

kavum uteri pada tempat itu. Ini dinamakan lingkaran kontraksi atau

lingkaran konstriksi (Winkjosastro et al, 2006).


Secara teoritis lingkaran ini dapat terjadi dimana-mana, akan tetapi

biasanya ditemukan pada batas antara bagian atas dan bagian segmen

uterus. Lingkaran konstriksi tidak dapat diketahui dengan pemeriksaan

dalam, kecuali pembukaan sudah lengkap, sehingga tangan dapat

dimasukkan ke dalam kavum uteri. Oleh sebab itu jika pembukaan belum

lengkap, biasanya tidak mungkin mengenal kelainan ini dengan pasti.

Adakalanya persalinan tidak maju karena kelainan pada serviks yang

dinamakan distosia servikalis. Kelainan ini bisa primer atau sekunder.

Distosia servikalis dinamakan primer kalau serviks tidak membuka karena

tidak mengadakan relaksasi berhubungan dengan incoordinate uterin

action. Penderita biasanya seorang primigravida. Kala I menjadi lama, dan

dapat diraba jalan serviks yang kaku. Kalau keadaan ini dibiarkan, maka

tekanan kepala uterus terus menerus akan menyebabkan nekrosis jaringan

serviks dan dapat mengakibatkan lepasnya bagian tengah serviks secara

sirkuler. Distosia servikalis sekunder disebabkan oleh kelainan organik

pada serviks, misalnya karena jaringan parut atau karena karsinoma.

Dengan his kuat serviks bisa robek, dan robekan ini dapat menjalar

kebagian bawah uterus. Oleh karena itu setiap wanita yang pernah

mengalami operasi pada serviks, selalu diawasi persalinannya di rumah

sakit (Winkjosastro et al, 2006).

C. Distosia Karena Kelainan Letak dan Bentuk Janin

1. Posisi Oksipitalis Posterior Persisten (POPP)

a) Definisi
Secara normal pada presentasi belakang kepala, kepala yang pertama

sampai kedasar panggul adalah bagian oksiput, sehingga oksiput berputar

kedepan karena panggul luas didepan, pada POPP, oksiput ini tidak

berputar kedepan sehingga tetap dibelakang (Cuningham et al, 2010).

b) Etiologi

POPP ini dapat disebabkan karena beberapa hal, diantaranya bentuk

panggul antropoid, panggul android karena memiliki segmen depan yang

sempit, otot panggul yang sudah lembek biasanya hal ini terjadi pada

multipara, dan karena kepala janin yang kecil dan bulat (Crowin, 2009).

c) Penatalaksanaan

Proses persalinan pada kasus POPP ini apabila dengan presentasi

kepala dan panggung longgar, maka dapat dilahirkan dengan spontan

namun dengan proses yang lama sehingga perlu adanya pengawasan ketat

dengan harapan janin dapat dilahirkan spontan pervaginam. Tindakan baru

dilakukan apabila kala II terlalu lama atau adanya tanda-tanda kegawatan

pada janin. Pada persalinan dapat terjadi robekan perineum yang teratur

atau ekstensi dari episiotomi karena mekanisme persalinan pervaginam

pada POPP yaitu ketika kepala sudah sampai pada dasar panggul, ubun-

ubun besar dibawah symphisis sebagai hipomoklion oksiput lahir

melewati perineum, jalan lahir dengan Sirkum Farensia Frontooksipitalis

lebih besar dari Sirkum Suboksipito Bregmatika sehingga kerusakan

perineum atau vagina lebih luas. Sebelumnya periksa ketuban pasien,

apabila masih intake maka pecahkan terlebih dahulu ketubannya, apabila

penurunan kepala sudah lebih dari 3/5 diatas PAP atau diatas 2 maka
sebagiknya dilakukan seksio sesaria, apabila pembukaan serviks belum

lengkap dan tidak ada tanda obstruksi maka diberikan oksitosin drip, bila

pembukaan lengkap dan tidak ada kemajuan pada fase pengeluaran,

dipastikan kembali tidak adanya obstruksi kemudian apabila tidak ada

tanda obstruksi diberikan oksitosin drip, namun bila pembukaan lengkap

dan kepala masuk tidak kurang dari 1/5 PAP atau pada kala II bila kepala

turun sampai dengan Hodge III dan atau UUK lintang sudah dipimpin

namun tak ada kemajuan sehingga menyebabkan deep transvered arrest

maka dilakukan vacum ekstraksi atau forceps, namun apabila ada tanda

obstruksi serta gawat janin maka akhiri kehamilan dengan seksio sesaria

(Cuningham et al, 2005).

Prognosis persalinan dengan POPP ini persalinan menjadi lebih lama

dan kerusakan jalan lahir lebih besar, selain itu kematian perinatal lebih

besar pada POPP dari pada presentasi kepala dengan UUK di bagian depan

(Cuningham et al, 2005).

2. Letak Sungsang

a) Definisi

Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak

memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian

bawah kavum uteri. Tipe letak sungsang yaitu: Frank breech (50-70%)

yaitu kedua tungkai fleksi ; Complete breech (5-10%) yaitu tungkai atas

lurus keatas, tungkai bawah ekstensi ; Footling (10-30%) yaitu satu atau

kedua tungkai atas ekstensi, presentasi kaki (Cunningham, 2005).

b) Etiologi
Faktor predisposisi dari letak sungsang adalah prematuritas,

abnormalitas uterus (malformasi, fibroid), abnormalitas janin (malformasi

CNS, massa pada leher, aneploid), overdistensi uterus (kehamilan ganda,

polihidramnion), multipara dengan berkurangnya kekuatan otot uterus,

dan obstruksi pelvis (plasenta previa, myoma, tumor pelvis lain). Dengan

pemeriksaan USG, prevalensi letak sungsang tinggi pada implantasi

plasenta pada cornu-fundal. Lebih dari 50 % kasus tidak ditemukan faktor

yang menyebabkan terjadinya letak sungsang (Schiara et al, 1997).

c) Diagnosis

Diagnosis letak bokong dapat ditentukan dengan persepsi gerakan

janin oleh ibu, pemeriksaan Leopold, auskultasi denyut jantung janin di

atas umbilikus, pemeriksaan dalam, USG dan Foto sinar-X (Schiara et al,

1997).

d) Penatalaksanaan

Untuk memilih jenis persalinan pada letak sungsang Zatuchni dan

Andros telah membuat suatu indeks prognosis untuk menilai apakah

persalinan dapat dilahirkan pervaginam atau perabdominan. Jika nilai

kurang atau sama dengan 3 dilakukan persalinan perabdominan, jika nilai

4 dilakukan evaluasi kembali secara cermat, khususnya berat badan janin;

bila nilai tetap dapat dilahirkan pervaginam, jika nilai lebih dari 5

dilahirkan pervaginam (Setjalilakusuma, 2000). ALARM memberikan

kriteria seleksi untuk partus pervaginam yaitu jenis letak sungsang adalah

frank atau bokong komplit, kepala fetus tidak hiperekstensi dan taksiran
berat janin 2500-3600 gram serta tindakan augmentasi dan induksi

persalinan diperbolehkan pada janin letak sungsang (Wiknjosastro, 2005).

Zatuchni dan Andros telah membuat suatu indeks prognosis untuk

menilai lebih tepat apakah persalinan dapat dilahirkan pervaginam atau

perabdominan, sebagai berikut (Cunningham, 2005).

0 1 2

Paritas Primigravida Multigravida

Umur >39 minggu 38 minggu < 37 minggu

Kehamilan

Taksiran >3630 gr 3629 gr -3176 gr < 3176 gr

berat janin

Pernah letak Tidak 1x >2x

sungsang

Pembukaan <2 cm 3 cm >4cm

serviks

Station <3 <2 1 atau lebih

rendah

Arti nilai :

< 3 : persalinan perabdomen

4 : evaluasi kembali secara cermat, khususnya berat badan janin bila

nilainya tetap maka dapat dilahirkan pervaginam


> 5 : dilahirkan pervaginam

Prosedur persalinan sungsang secara spontan :

a. Tahap lambat : mulai lahirnya bokong sampai pusar merupakan fase yang

tidak berbahaya.

b. Tahap cepat : dari lahirnya pusar sampai mulut, pada fase ini kepala janin

masuk PAP, sehingga kemungkinan tali pusat terjepit.

c. Tahap lama : lahirnya mulut sampai seluruh bagian kepala, kepala keluar

dari ruangan yang bertekanan tinggi (uterus) ke dunia luar yang

tekanannya lebih rendah sehingga kepala harus dilahirkan perlahan-lahan

untuk menghindari pendarahan intrakranial (adanya tentorium

cerebellum).

Teknik persalinan

a. Persiapan ibu, janin, penolong dan alat yaitu cunam piper.

b. Ibu tidur dalam posisi litotomi, penolong berdiri di depan vulva saat

bokong mulai membuka vulva, disuntikkan 2-5 unit oksitosin

intramuskulus. Dilakukan episiotomi.

c. Segera setelah bokong lahir, bokong dicengkram dengan cara Bracht,

yaitu kedua ibu jari penolong sejajar sumbu panjang paha, sedangkan

jari-jari lain memegang panggul. Saat tali pusat lahir dan tampak

teregang, tali pusat dikendorkan terlebih dahulu.

d. Penolong melakukan hiperlordosis badan janin untuk menutupi gerakan

rotasi anterior, yaitu punggung janin didekatkan ke perut ibu, gerakan ini

disesuaikan dengan gaya berat badan janin. Bersamaan dengan

hiperlordosis, seorang asisten melakukan ekspresi kristeller. Maksudnya


agar tenaga mengejan lebih kuat sehingga fase cepat dapat diselesaikan.

Menjaga kepala janin tetap dalam posisi fleksi, dan menghindari ruang

kosong antara fundus uterus dan kepala janin, sehingga tidak teradi

lengan menjungkit.

e. Dengan gerakan hiperlordosis, berturut-turut lahir pusar, perut, bahu,

lengan, dagu, mulut dan akhirnya seluruh kepala.

f. Janin yang baru lahir diletakkan diperut ibu.

Prosedur manual aid (partial breech extraction) :

Indikasi : jika persalinan secara bracht mengalami kegagalan misalnya

terjadi kemacetan saat melahirkan bahu atau kepala.

Tahapan :

a. Lahirnya bokong sampai pusar yang dilahirkan dengan tenaga ibu

sendiri.

b. Lahirnya bahu dan lengan yang memakai tenaga penolong dengan cara

klasik (Deventer), Mueller, Louvset, Bickenbach.

c. Lahirnya kepala dengan cara Mauriceau (Veit Smellie), Wajouk, Wid and

Martin Winctel, Prague Terbalik, Cunan Piper.

Cara klasik :

a. Prinsip-prinsip melahirkan lengan belakang lebih dahulu karena lengan

belakang berada di ruangan yang lebih besar (sacrum), baru kemudian

melahirkan lengan depan di bawah simpisis tetapi jika lengan depan sulit

dilahirkan maka lengan depan diputar menjadi lengan belakang, yaitu


dengan memutar gelang bahu ke arah belakang dan kemudian lengan

belakang dilahirkan.

b. Kedua kaki janin dilahirkan dan tangan kanan menolong pada

pergelangan kakinya dan dielevasi ke atau sejauh mungkin sehingga

perut janin mendekati perut ibu.

c. Bersamaan dengan itu tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam jalan

lahir dan dengan jari tengah dan telunjuk menelusuri bahu janin sampai

fossa cubiti kemudian lengan bawah dilahirkan dengan gerakan seolah-

olah lengan bawah mengusap muka janin.

d. Untuk melahirkan lengan depan, pegangan pada pergelangan kaki janin

diganti dengan tangan kanan penolong dan ditarik curam ke bawah

sehingga punggung janin mendekati punggung ibu.

e. Dengan cara yang sama lengan depan dilahirkan.

f. Jika lengan depan sukar dilahirkan, maka harus diputar menjadi lengan

belakang. Gelang bahu dan lengan yang sudah lahir dicengkram dengan

kedua tangan penolong sedemikian rupa sehingga kedua ibu jari tangan

penolong terletak di punggung dan sejajar dengan sumbu badan janin

sedang jari-jari lain mencengkram dada. Putaran diarahkan ke perut dan

dada janin sehingga lengan depan terletak di belakang kemudian lengan

dilahirkan dengan cara yang sama.

Cara Mueller

a. Prinsipnya : melahirkan bahu dan lengan depan lebih dahulu dengan

ekstraksi, baru kemudian melahirkan bahu dan lengan belakang.


b. Bokong janin dipegang secara femuro-pelviks, yaitu kedua ibu jari

penolong diletakkan sejajar spina sacralis media dan jari telunjuk pada

crista illiaca dan jari-jari lain mencengkram paha bagian depan. Badan

janin ditarik curam ke bawah sejauh mungkin sampai bahu depan tampak

dibawah simpisis, dan lengan depan dilahirkan dengan mengait lengan di

bawahnya.

c. Setelah bahu depan dan lengan depan lahir, maka badan janin yang masih

dipegang secara femuro-pelviks ditarik ke atas sampai bahu ke belakang

lahir. Bila bahu belakang tak lahir dengan sendirinya, maka lengan

belakang dilahirkan dengan mengait lengan bawah dengan kedua jari

penolong.

Cara louvset :

a. Prinsipnya : memutar badan janin dalam setengah lingkaran bolak-balik

sambil dilakukan traksi awam ke bawah sehingga bahu yang sebelumnya

berada dibelakang akhirnya lahir dibawah simpisis.

b. Badan janin dipegang secara femuro-pelviks dan sambil dilakukan traksi

curam ke bawah, badan janin diputar setengah lingkaran, sehingga bahu

belakang menjadi bahu depan. Kemudian sambil dilakukan traksi, badan

janin diputar lagi ke arah yang berlawanan setengah lingkaran. Demikian

seterusnya bolak-balik sehingga bahu belakang tampak di bawah

simpisis dan lengan dapat dilahirkan.

Cara Mauriceau (Veit-Smellie) :

a. Tangan penolong yang sesuai dengan muka janin dimasukkan ke dalam

jalan lahir. Jari tengah dimasukkan ke dalam mulut dan jari telunjuk dan
jari ke 4 mencengkram fossa kanina, sedangkan jari lain mencengkeram

leher. Badan anak diletakkan di atas lengan bawah penolong, seolah-olah

janin menunggang kuda. Jari telunjuk dan jari ke 3 penolong yang lain

mencengkeram leher janin dari arah punggung.

b. Kedua tangan penolong menarik kepala janin curam ke bawah sambil

seorang asisten melakukan ekspresi kristeller. Tenaga tarikan terutama

dilakukan oleh tangan penolong yang mencengkeram leher janin dari

arah punggung. Jika suboksiput tampak di bawah simpisis, kepala janin

diekspasi ke atas dengan suboksiput sebagai hipomoklion sehingga

berturut-turut lahir dagu, mulut, hidung, mata, dahi, ubun-ubun besar dan

akhirnya lahir seluruh kepala janin.

Cara cunam piper :

Pemasangan cunam pada after coming head tekniknya sama dengan

pemasangan lengan pada letak belakang kepala. Hanya pada kasus ini,

cunam dimasukkan pada arah bawah, yaitu sejajar pelipatan paha belakang.

Hanya pada kasus ini cunam dimasukkan dari arah bawah, yaitu sejajar

pelipatan paha belakang. Setelah suboksiput tampak dibawah simpisis,

maka cunam dielevasi ke atas dan dengan suboksiput sebagai hipomoklion

berturut-turut lahir dagu, mulut, muka, dahi dan akhirnya seluruh kepala

lahir.

3. Letak Lintang

a) Definisi

Letak lintang adalah bila dalam kehamilan atau dalam persalinan

sumbu panjang janin melintang terhadap sumbu panjang ibu (termasuk di


dalamnya bila janin dalam posisi oblique). Letak lintang kasep adalah

letak lintang kepala janin tidak dapat didorong ke atas tanpa merobekkan

uterus (Winkjosastro et al, 2006). Letak lintang dapat dibagi menjadi 2

macam, yang dibagi berdasarkan:

a. Letak kepala

1. Kepala anak bisa di sebelah kiri ibu

2. Kepala anak bisa di sebelah kanan ibu

b. Letak punggung

1. Jika punggung terletak di sebelah depan ibu, disebut dorso-anterior

2. Jika punggung terletak di sebelah belakang ibu, disebut dorso-

posterior

3. Jika punggung terletak di sebelah atas ibu, disebut dorso-superior

4. Jika punggung terletak di sebelah bawah ibu, disebut dorso-inferior

b) Etiologi

Penyebab dari letak lintang sering merupakan kombinasi dari berbagai

faktor, sering pula penyebabnya tetap merupakan suatu misteri. Faktor –

faktor tersebut adalah :

1) Fiksasi kepala tidak ada karena panggul sempit, hidrosefalus,

anesefalus, plasenta previa, dan tumor pelvis

2) Janin sudah bergerak pada hidramnion, multiparitas, atau sudah mati.

3) Gemeli

4) Pelvic kidney dan rectum penuh

5) Multiparitas disertai dinding uterus dan perut yang lembek

c) Diagnosis
1) Inspeksi

Perut membuncit ke samping

2) Palpasi

Fundus uteri lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan

Fundus uteri kosong dan bagian bawah kosong, kecuali kalau bahu

sudah masuk ke dalam pintu atas panggul

Kepala (ballotement) teraba di kanan atau di kiri

3) Auskultasi

Denyut jantung janin setinggi pusat kanan atau kiri.

4) Pemeriksaan dalam (vaginal toucher)

Teraba tulang iga, skapula, dan kalau tangan menumbung teraba

tangan. Untuk menentukan tangan kanan atau kiri lakukan dengan cara

bersalaman.

Teraba bahu dan ketiak yang bisa menutup ke kanan atau ke kiri. Bila

kepala terletak di kiri, ketiak menutup ke kiri.

Letak punggung ditentukan dengan adanya skapula, letak dada dengan

klavikula.

Pemeriksaan dalam agak sukar dilakukan bila pembukaan kecil dan

ketuban intak, namun pada letak lintang biasanya ketuban cepat pecah.

d) Penatalaksanaan

Pada permulaan persalinan dalam letak lintang, pintu atas panggung

tidak tertutup oleh bagian bawah anak seperti pada letak memanjang. Oleh

karena itu seringkali ketuban sudah lebih dulu pecah sebelum pembukaan

lengkap atau hampir lengkap. Setelah ketuban pecah, maka tidak ada lagi
tekanan pada bagian bawah, sehingga persalinan berlangsung lebih lama.

His berperan dalam meluaskan pembukaan, selain itu dengan kontraksi

yang semakin kuat, maka anak makin terdorong ke bawah. Akibatnya

tubuh anak menjadi membengkok sedikit, terutama pada bagian yang

mudah membengkok, yaitu di daerah tulang leher. Ini pun disebabkan

karena biasnaya ketuban sudah lekas pecah dan karena tak ada lagi air

ketuban, maka dinding uterus lebih menekan anak di dalam rahim. Dengan

demikian bagian anak yang lebih rendah akan masuk lebih dulu ke dalam

pintu atas panggul, yaitu bahu anak. Karena pada letak lintang pintu atas

panggul tidak begitu tertutup, maka tali pusat seringkali menumbung, dan

ini akan memperburuk keadaan janin.

Bila pembukaan telah lengkap, ini pada awalnya tidak begitu jelas

tampaknya. Karena tidak ada tekanan dari atas oleh bagian anak pada

lingkaran pembukaan, makan lingkaran ini tidak dapat lenyap sama sekali,

senantiasa masih berasa pinggirnya seperti suatu corong yang lembut.

Penting untuk diketahui, bahwa tidak ada pembukaan yang benar-benar

lengkap pada letak lintang seperti halnya pembukaan lengkap pada letak

memanjang.

Tandanya pembukaan itu sudah lengkap adalah lingkaran

pembukaan itu mudah dilalui oleh kepalan tangan pemeriksa, sedangkan

pada pembukaan yang belum lengkap, kepalan tangan pemeriksa sukar

untuk memasuki lingkaran tersebut. Lain halnya dengan letak memanjang,

pada letak lintang setelah pembukaan lengkap, karena his dan tenaga

mengejan, badan anak tidak dapat dikeluarkan dari rongga rahim, akan
tetapi sebagian besar masih di dalam uterus, meskipun tubuh anak menjadi

semakin membengkok.. Jika ini terjadi terus menerus, maka akan terjadi

suatu letak lintang kasep, dimana tubuh anak tidak dapat lagi didorong ke

atas. Letak lintang kasep terjadi bukanlah karena lamanya persalinan,

namun faktor yang penting ialah karena faktor kuatnya his. Pada letak

lintang kasep, biasanya anak telah mati, yang disebabkan karena kompresi

pada tali pusat, perdarahan pada plasenta, ataupun cedera organ dalam

karena tubuh anak terkompresi dan membengkok.

4. Makrosomia (Distosia Bahu)

a) Definisi

Makrosomia dimana janin diperkirakan memiliki berat > 4000 gram.

Faktor resiko terjadinya makrosomia yaitu riwayat melahirkan bayi besar

sebelumnya, obesitas pada ibu, multiparitas, kehamilan postterm, dan ibu

dengan diabetes mellitus. Makrosomia dapat menyebabkan terjadinya

penyulit pada persalinan diantaranya distosia bahu dan chepalo pelvic

disproportion (CPD) (Cunningham, 2005).

Distosia bahu adalah suatu keadaan dimana diperlukannya tambahan

manuver obstetrik oleh karena terjadi impaksi bahu depan diatas simphisis

sehingga dengan tarikan ke arah belakang pada kepala bayi tidak bisa

untuk melahirkan bayi (Prawirohardjo, 2009).

b) Etiologi

Penyebab terjadinya distosia bahu antara lain :

1) Makrosomia ( bayi yang dikandung oleh seorang ibu dengan diabetes

mellitus, obesitas, dan kehamilan postterm).


2) Kelainan bentuk panggul.

3) Kegagalan bahu untuk melipat kedalam panggul.

c) Diagnosis

Penegakan diagnosis pada kondisi terjadinya persalinan dengan

distosia bahu antara lain (Prawirohardjo, 2009) :

1) Kepala janin telah lahir namun masih menekan vulva dengan kencang.

2) Dagu tertarik dan menekan perineum.

3) Turtle sign : suatu keadaan dimana kepala sudah dilahirkan gagal

melakukan putaran paksi luar dan tertahan akibat adanya tarikan yang

terjadi antara bahu posterior dengan kepala.

4) Traksi pada kepala tidak berhasil melahirkan bahu.

d) Penatalaksanaan

Penanganan persalinan dengan distosia bahu dikenal dengan

“ALARM“ (Ask for help, Lift the legs and buttocks, Anterior shoulder

disimpaction, Rotation of posterior shoulder, Manual remover posterior

arm).

1) Ask for help

Meminta bantuan asisten untuk melakukan pertolongan persalinan.

2) Lift the legs and buttocks

Melakukan manuver McRoberts yang dimulai dengan memposisikan

ibu dalam posisi McRoberts yaitu ibu terlentang, memfleksikan kedua

paha sehingga posisi lutut menjadi sedekat mungkin dengan dada, dan

merotasikan kedua kaki ke arah luar. Manuver ini dapat menyebabkan

terjadinya pelurusan relatif dari sakrum terhadap vertebra lumbal


disertai dengan rotasi simphisis phubis ke arah kepala ibu serta

pengurangan sudut kemiringan panggul. Mintalah asisten untuk

melakukan penekanan suprasimphisis ke arah posterior menggunakan

pangkal tangan (Manuver Massanti). Penekanan ini bertujuan untuk

menekan bahu anterior agar mau masuk ke simphisis. Sementara itu

lakukanlah tarikan pada kepala janin ke arah posterokaudal

(Cunningham, 2005).

3) Anterior shoulder disimpaction

Melakukan disimpaksi bahu depan dengan menggunakan dua cara yaitu

eksternal dan internal. Disimpaksi bahu depan secara eksternal dapat

dilakukan dengan menggunakan manuver massanti, sedangkan

disimpaksi bahu depan secara internal dapat dilakukan dengan

menggunakan manuver rubin. Manuver Rubin dilakukan dengan cara

(masih dalam manuver McRoberts) masukkan tangan pada bagian

posterior vagina, tekanlah daerah ketiak bayi sehingga bahu berputar

menjadi posisi obliq atau transversa dan dengan bantuan penekanan


simphisis maka akan membuat bahu bayi semakin abduksi sehingga

diameternya mengecil (Prawirohardjo, 2009).

4) Rotation of posterior shoulder

Melakukan rotasi bahu belakang dengan manuver Woods. Manuver ini

dilakukan dengan cara memasukkan tangan penolong sesuai dengan

punggung bayi (jika punggung kanan gunakan tangan kanan, dan

sebaliknya) ke vagina dan diletakkan di belakang bahu janin. Bahu

kemudian diputar 180 derajat ke anterior dengan gerakan seperti

membuka tutup botol (Cunningham, 2005).

5) Manual remover posterior arm

Pelahiran bahu belakang secara manual dapat dilakukan dengan

menggunakan manuver Shwartz. Manuver ini dilakukan dengan cara

memasukkan tangan ke vagina sepanjang humerus posterior janin yang

dipisahkan ketika lengan disapukan ke arah dada, namun tetap terfleksi


pada siku. Tangan janin digenggam dan ditarik sepanjang sisi wajah

dan kemudian lengan belakang dilahirkan dari vagina (Cunningham,

2005).

D. Distosia Karena Kelainan Tulang Panggul

1. Definisi

Distosia karena kelainan panggul adalah persalinan yang sulit yang

disebabkan oleh adanya kelainan dari bentuk panggul atau ukuran panggul.

Menurut Caldwell dan Moloy bentuk panggul di bagi dalam empat jenis, yaitu

(Cunningham, 2005):

a) Panggul Ginekoid

Pintu panggul yang bundar dengan diameter transversa yang sedikit lebih

panjang daripada diameter anteroposterior dan panggul tengah serta pintu


bawah panggul yang cukup luas. Dinding samping panggul lurus, spina

tidak menonjol, dan diameter transversa spina ischiadika 10 cm atau lebih.

b) Panggul Antropoid

Panggul jenis ini memiliki diameter anteroposterior yang lebih panjang

daripada diameter transversa dan dengan arkus pubis menyempit. Spina

ischiadika pada panggul jenis ini cenderung menonjol dan dinding

samping panggul cenderung berbentuk konvergen.

c) Panggul Android

Panggul android memiliki ciri pintu atas panggul berbentuk segitiga

dengan spina ischiadika menonjol kedalam dan arkus pubis menyempit.

Dinding samping biasanya konvergen, spina ischiadika menonjol, dan os

sakrum tidak melengkung tetapi lurus dan maju ke depan.

d) Panggul Platipelloid

Panggul dengan diameter anteroposterior yang lebih pendek daripada

diameter transversa pada pintu atas panggul dan dengan arkus pubis yang

luas. Sudut panggul anterior sangat lebar dan kelengkungan os sakrum

biasanya cukup.
Dari keempat jenis panggul diatas panggul ginekoid merupakan jenis panggul

dengan prognosa persalinan paling baik, sedangkan ketiga jenis panggul

lainnya dapat menyebabkan terjadinya distosia persalinan.

Distosia karena kelainan ukuran panggul (disproporsi fetopelvik) dapat

disebabkan karena berkurangnya ukuran panggul, ukuran janin yang terlalu

besar, atau kombinasi diantara keduanya. Setiap penyempitan pada diameter

panggul baik pintu atas panggul, pintu tengah panggul, maupun pintu bawah

panggul dapat menyebabkan terjadinya distosia pada persalinan.

a) Penyempitan pintu atas panggul

Pintu masuk panggul dianggap menyempit apabila diameter

anteroposterior terpendeknya kurang dari 10 cm atau diameter transversa

terbesarnya kurang dari 12 cm.

b) Penyempitan pintu tengah panggul

Pintu tengah panggul dikatakan menyempit apabila jumlah diameter

intraspinarum ditambah diameter sagitalis posterior panggul tengah

kurang dari atau sama dengan 13,5 cm.


c) Penyempitan pintu bawah panggul

Pintu bawah panggul menyempit didefinisikan sebagai pemendekan

diamter intertuberosum hingga 8 cm atau kurang (Cunningham, 2005).

2. Diagnosis

Penegakan diagnosis pada distosia akibat adanya kelainan ukuran

panggul dapat ditegakkan dengan melakukan pengukuran pengukuran

kapasitas panggul (Cunningham, 2005).

a) Pintu atas panggul

Dilakukan pemeriksaan dalam untuk menentukan konjugata diagonalis

yang diukur dari tepi bawah simphisis phubis hingga ke promomtorium os

sacrum. Pintu atas panggul berukuran cukup apabila promontorium tidak

menonjol dan ukuran konjugata diagonalis lebih besar dari 11,5 cm.

b) Pintu tengah panggul

Dilakukan pemeriksaan dalam untuk mengetahui kapasitas pintu tengah

panggul, pintu tengah dikatakan tidak menyempit apabila spina ischiadika

tidak menonjol, dinding samping tidak teraba melengkung, dan

kecekungan os sacrum tidak dangkal.

c) Pintu bawah panggul

Dilakukan pengukuran diameter intertuberosum dengan meletakkan

tangan terkepal pada perineum diantara kedua tuberositas ischii. Ukuran

normal apabila lebih dari 8 cm.

3. Penatalaksanaan

Persalinan dengan distosia akibat adanya kelainan ukuran panggul atau

kelainan bentuk panggul sebaiknya dilakukan melalui perabdominam.


Persalinan pervaginam dapat dilakukan tetapi memiliki resiko kegagalan

yang cukup besar dan dapat menimbulkan terjadinya cedera pada kepala janin

(Cunningham, 2005).
BAB III

KESIMPULAN

1. Distosia merupakan persalinan yang sulit, tidak ada kemajuan dalam persalinan

atau merupakan persalinan yang membawa satu akibat buruk bagi janin maupun

ibu.

2. Distosia terjadi karena beberapa faktor, yaitu :

a. Kelainan Power

b. Kelainan Passage

c. Kelainan Passanger

3. Penanganan distosia tergantung dari jenis distosianya, dapat dilakukan manuver

obsteterik tambahan agar dapat dilahirkan secara pervaginam atau melakukan

persalinan perabdominam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, Elizabeth J. 2009. Sistem Reproduksi. Dalam : Buku Saku Patofisiologi.


Jakarta :EGC, 784-785.
2. Cuningham F G, Norman F, Kenneth J, Larry C, John C, Katharine D, et al.
Abnormal Labor. In. Williams Obstetrics 23rd Edition. Thw Mc Graw-Hill
Companies, New York. 2010
3. Cuningham F G, Norman F, Kenneth J, Larry C, John C, Katharine D, et al..
Williams Obstetrics 22nd Edition. Thw Mc Graw-Hill Companies, New York.
2005
4. DeCherney,Alan. 2007. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics &
Gynecology,Ed 10. McGraw-Hill Companies.

5. Muchtar R. Bentuk dan Kelainan Panggul. Dalam. Sinopsis obstetri. Penerbit


Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 2002: 315-330.
6. Schiara J, et al. 1997. Breech Presentation. Gynecology and Obstetric 6th edition,
Lippincot-Raven Publisher, Chicago.

7. Setjalilakusuma L. 2000. Induksi Persalinan, dalam Ilmu Bedah Kebidanan,


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.

8. Winkjosastro, Hanifa, 2006. “Ilmu kebidanan” Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai