Anda di halaman 1dari 37

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang umum terjadi

pada dewasa yang membutuhkan supervise medis berkelanjutan dan edukasi

perawatan mandiri pada pasien. (Priscilla Lemone, Karen M. Burke, Gerene

Bauldoff, 2016). Menurut Yuliana elin (2009) Diabetes mellitus (DM) adalah

gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemi yang berhubungan

dengan abnormalitas karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh

penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau keduanya

dan menyebabkan komplikasi kronis, makrovaskular dan neuropati.

Komplikasi makrovaskular salah satunya menyebabkan penyakit vaskuler

perifer (vasa vasorium) dan menyebabkan iskemik serta cedera neural

metabolic (Bilous dan Danelly, 2014), Neuropati peifer menimbulkan

kerusakan pada serabut motoric, sensorik dan otonom. Ketiga bentuk

komlikasi tersebut adalah sebagai penyebab terjadinya ulkus hingga ganggren

juga mempersulit penyembuhan. Ulkus kaki diabetic merupakan komplikasi

serius yang sering dijumpai pada diabetes. Ulkus hingga ganggren terjadi

akibat tekanan perubahan status metabolic dan kerusakan sirkulasi penurunan

sirkulasi darah ke perifer, gangguan pembulu darah tepi, atau kombinasi

keduanya dapat menyebabkan kerusakan integritas kulit. (dr. Theddeus O.H

praswetyo, 2016).
Menurut data World Health Organitation (WHO) pada tahun 2014,

prevalensi diabetes pada populasi dewasa tercatat sekitar 9%. Sedangkan pada

probabilitas terjadinya ulkus kaki diabetic pada pasien diabetes itu sendiri

mencapai angka 15%; 60-80% diantaranya sembuh, sedangkan 5-24% sisanya

harus menjalani amputasi. Padahal menurut World Health Organitation

(WHO), 80% amputasi ulkus diabetic dapat dicegah dengan penanganan

diabetes dan perawatan luka sederhana. International Diabetes Federation

(IDF) menyebutkan bahwa prevalensi Diabetes Melitus di dunia adalah 1,9%

dan telah menjadikan DM sebagai penyebab kematian urutan ke tujuh di

dunia sedangkan tahun 2012 angka kejadian diabetes mellitus didunia adalah

sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2

adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus. Hasil Riset

Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia

membesar sampai 57%. Tingginya prevalensi Diabetes Melitus tipe 2

disebabkan oleh faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis

kelamin, umur, dan faktor genetik yang kedua adalah faktor risiko yang dapat

diubah misalnya kebiasaan merokok tingkat Riset kesehatan dasar

(Riskesdas) tahun 2015, di Indonesia terdapat 10 juta orang penderita diabetes,

dan 17,9 juta juga beresiko menderita penyakit ini. Sementara di provinsi Jawa

Timur masuk 10 besar prevalensi penyakit diabetes se Indonesia menempati

urutan ke 9 dengan prevalensi 6,8. Sedangkan di Mojokerto sendiri

berdasarkan dari data Dinkes Mojokerto tahun 2016 penyakit ini sebanyak

11.692. proporsi penduduk yang pernah di diagnosis menderita kencing manis


oleh dokter dan penduduk yang pernah di diagnosis menderita kencing manis

oleh dokter tetapi dalam satu bulan terakhir mengalami gejala sering lapar,

sering haus, sering buang air kecil dengan jumlah banyak dan berat badan

turun. Proporsi penduduk yang mengalami gejala diabetes mellitus namun

belum terdiagnosis diabetes dapat menunjukan besarnya jumlah penduduk

indonesia yang mengalami gejala diabetes tapi belum dipastikan atau

diperiksa/apakah memang menderita diabetes atau tidak. Proporsi meningkat

sampai seiring usia hingga tertinggi pada kelompok usia 65-74 tahun

kemudian sedikit menurun. Prediksi mengenai prevalensi DM telah gagal

karena 300 juta orang di seluruh dunia menderita diabetes pada tahun 2025

telah terlampaui pada tahun 2011, beberapa penulis memperkirakan bahwa

meningkat menjadi 347 juta (Goodarz et al, 2011), namun di Lisbon, Portugal

Federasi Diabetes Internasional Selain itu, diperkirakan dalam 15 tahun (2025)

akan ada 500 juta orang di seluruh dunia yang menderita diabetes jika kita

tidak melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah penyebaran

penyakit ini. (Mbanya JC, 2011).

Umumnya ulkus kaki diabetic terjadi akibat beberapa factor resiko yang

mendasari, termasuk trauma pada kaki, dan memiliki beberapa area predileksi.

Neuropati diabetic merupakan penyebab paling sring terjadinya ulkus diabetic.

Internasional Working Group On Diabetic Food (IWGDF) mencatat adanya

perbedaan distribusi patofisologi terjadinya ulkus kaki diabetic antara Negara

maju dan Negara berkembang. Ulkus yang terjadi akibat penyakit arteri perifer

umum dijumpai dinegara berkembang. Pada neuropati diabetic, terjadi


gangguan serabut syaraf sensorik, motoric, otonom yang dapat menimbulkan

manifestasi berupa kelemahan dan atrofi otot, deficit sensorik berdampak

selanjutnya pada penurunan refelks protektif terhadap rangsangan nyeri,

tekanan, dan panas, penurunan sekresi keringat yang mneyebabakan hilangnya

integritas kulit. Serta peningkatan resiko infeksi. Selain gangguan neuropati,

pasien diabetes juga beresiko mengalami penyakit arteri perifer. Umumnya

penyakit arteri perifer terjadi pada tungkai, tepatnya pada daerah diantara lutut

dan sendir pergelangan kaki. Gangguan system vaskuler akan menyebabkan

penurunan aliran darah sehingga terjadilah iskhemi pada daerah yang

diperdarahinya. Selanjutnya, kondisi iskhemi akan meningkatkan resiko

infeksi karena pada dasarnya darah itulah yang bertugas membawa “tentara”

(Leukosit) ke area luka. Jika “tentara” (Leukosit) tersebut tidak dapat

mencapai “medan tempur” (Area luka), maka “Musuh” (Mikroba) akan

menginfeksi “medan tempur” dan akhirnya terbentuklah ulkus (dr. Theddeus

O.H praswetyo, 2016). Kerusakan Integritas Jaringan adalah kerusakan

(dermis/epidermis ) atau jaringan membrane mukosa, kornea, fasia, otot,

tendon, tulang, kartilago, kapsul, sendi dan atau ligament (diagnosa

keperawatan definisi dan klasifikasi, 2015-2017 edisi 10). Pada pasien Dm

disebabkan karena factor genetic dan inveksi virus kemudian terjadi kerusakan

sel beta dan menyebabkan ketidakseimbangan produksi insulin. Dalam

keadaan ini gula tidak dapat masuk dalam aliran darah. Dan terjadilah

anabolisme protein. Kemudian terjadi kerusakan pada antibody dan

menyebabkan kekebalan tubuh menurun dan terjadi gangguan Neuropati


sensori. Pada keadaan ini klien merasa kesakitan yang disebabkan oleh

nekrosis luka dan terjadilah ganggren dan mneyebabkan kerussakan integritas

kulit (Amin dan Hardi, 2016). Apabila Kerusakan integritas Jaringan tidak

ditangani lama kelamaan akan menyebabkan komplikasi kronis yang paling

ditakuti yaitu berakhir dengan kecacatan dan kemtian (Ernawati, 2013).

Intervensi keperawatan pada pasien diabetes mellitus dengan kerusakan

inegritas kulit ditujukan pada pencegahan masuknya kuman atau kotoran

kedalam luka, mencegah terjadinya infeksi, memberikan rasa aman dan

nyaman pada pasien, dan mempercepat proses penyembuhan (SOP perawatan

luka RSI Sakinah, 2017). Untuk mempermudah pengkajian terhadap luka,

dapat digunakan system klasifikasi system luka oleh IWGDF yang disingkat

menjadi PEDIS (Perfusi, Extenth/ukuran, Deptl/kedalaman, Infeksi, Sensasi).

Pengajian dengan menentukan terlebih dahulu skor untuk setiap variable

menurut derajatnya. Pada variasi perfusi, skoring diberikan dalam rentang 1-3

yang implikasinya bervariasi mulai dari asimtomatik hingga ischemia tungkai

yang berat. (CLI; critical limb iskhemik). Derajat gangguan perfusi tersebut

nantinya akan digunakan untuk mengklasifikasikan penyakit arteri perifer

yang dialami. Sedangkan pada penentuan ukuran luka, ukuran dinyatakan

dalam satuan (cm) dan pengukuran dilakukan setalah debridement (dr.

Theddeus O.H praswetyo, 2016). Selanjutnya pembersihan luka menggunakan

NaCl 0,9%, serta perhidrol dan betdin lalu dikeringkan menggunakan kassa

steril, sedangkan balutan luka dilakukan dengan mengolesi luka dengan


betadin kemudian ditutup dengan kassa steril lalu dibalut, dan balutan rutin

diganti setiap hari (SOP perawatan RSI Sakinah).

1.2 Batasan Masalah

Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada “Asuhan Keperawatan

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan Nekrosis pada jaringan kulit

pada penderita Diabetes Mellitus di RSI Sakinah Kota Mojokerto”

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah studi kasus ini :

“Bagaimana Asuhan Keperawatan Kerusakan integritas kulit berhubungan

dengan Nekrosis pada jaringan kulit pada penderita Diabetes Mellitus di RSI

Sakinah Kota Mojokerto”

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Melaksanakan Asuhan Keperawatan Kerusakan integritas kulit

berhubungan dengan Nekrosis pada jaringan kulit pada penderita Diabetes

Mellitus di RSI Sakinah Kota Mojokerto

1.4.2 Tujuan Khusus


1.) Melakukan pengkajian keperawatan Kerusakan integritas kulit

berhubungan dengan Nekrosis pada jaringan kulit pada penderita Diabetes

Mellitus di RSI Sakinah Kota Mojokerto.

2.) Menetapkan diagnosa keperawatan Kerusakan integritas kulit berhubungan

dengan Nekrosis pada jaringan kulit pada penderita Diabetes Mellitus di

RSI Sakinah Kota Mojokerto.

3.) Menyusun perencanaan keperawatan Kerusakan integritas kulit

berhubungan dengan Nekrosis pada jaringan kulit pada penderita Diabetes

Mellitus di RSI Sakinah Kota Mojokerto.

4.) Melaksanakan tindakan keperawatan Kerusakan integritas kulit

berhubungan dengan Nekrosis pada jaringan kulit pada penderita Diabetes

Mellitus di RSI Sakinah Kota Mojokerto.

5.) Melakukan evalausi pada Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan

Nekrosis pada jaringan kulit pada penderita Diabetes Mellitus di RSI

Sakinah Kota Mojokerto.

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat teoritis

1.) Bagi ilmu keperawatan

Diharapkan KTI dengan studi kasus asuhan keperawatan

kerusakan integritas kulit berhubungan dengan nekrosis jaringan kulit

pada penderita Diabetes Mellitus dapat digunakan untuk penegmbangan


ilmu keperawatan berdasarkan hasil dan analisis atas hasil yang

ditemukan dilapangan.

1.5.2 Manfaat Praktis

1.) Bagi perawat

Diharapkan perawat dapat menggunakan studi kasus ini sebagai

bekal dan melakukan asuhan keperawatan kerusakan integritas kulit

berhubungan dengan nekrosis pada jaringan kulit pada penderita

DiabeteS Mellitus.

2.) Bagi rumah sakit

Diharapkan rumah sakit bisa mendapatkan manfaat positif dari

diadakanya studi kasus terhadap masalah kerusakan integritas kulit

berhubungan dengan nekrosis jaringan kuylit pada penderita Diabetes

Mellitus oleh mahasiswa, sehingga turut menciptakan tenaga kesehatan

yang unggul secara ilmuan maupun praktisi.

3.) Bagi institusi pendidikan

Diharapkan studi kasus ini dapat memperkaya pemahaman

mahasiswa atas masalah klien yang mengalami kerusakan integritas kulit

berhubungan dengan nekrosis jaringan kulit pada penderita Diabetes

Mellitus, sehingga dapat melaksanakan asuhan keperawatan dengan

sebaik baiknya.

4.) Bagi klien


Diharapkan usai menjalani asuhan keperawatan, klien dapat

mengalami peningkatan pemahaman mengenai penyakitnya dan dapat

merespon penyakit dengan baik.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 konsep kerusakan integritas kulit

2.1.1 Definisi

Kerusakan integritas kulit adalah cedera membrane mukosa, kornea, sistem

integument, fascia muscular, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi,

dan/atau ligament. (diagnosis keperawatan definisi dan klarifikasi, 2015-

2017 edisi 10). Menurut (nanda nic noc, 2015) yang dimaksud dengan

kerusakan integritas kulit adalah perubahan/gangguan epidermis dan/atau

dermis.

2.1.2 Penyebab menurut (diagnosis keperawatan definisi dan klarifikasi, 2015-

2017 edisi 10)

1. Agen cedera kimiawi (misalnya, luka bkar, kapsaisin, metilien, klorida,

agens mustard)

2. Agen farmaseutikal

3. Factor mekanik

4. Gangguan metabolism

5. Gangguan sensasi

6. Gangguan sirkulasi

7. Hambtan mobilitas fisik

8. Kelebihan volume cairan

9. Ketidakseimbangan status nutrisi (misalnya obesitas, malnutrisi)


10. Kurang pengetahuan tentang perlindungan integritas jaringan

11. Kurang pengetahuan tentang pemeliharan integritas jaringan

12. Kurang volume cairan

13. Neuropati perifer

14. Prosedur bedah

15. Suhu lingkungan ekstrem

16. Suplai daya voltase tinggi

17. Terapi radiasi

18. Usia ekstrem

2.1.3 Gejala dan tanda mayor (SKDI, 2016).

Subyektif

(tidak tersedia)

Obyektif

1. Kerusakan jaringan dan atau lapisan kulit

Subyektif

(tidak tersedia)

Obyektif

1. Nyeri

2. Perdarahan.

3. Kemerahan.

4. Hematoma.
Kondisi klinik terkait

1. Imobilisasi.

2. Gagal jantung kongesif.

3. Gagal ginjal.

4. Diabetes mellitus.

5. Imunodefisiensin (mis. AIDS)

2.1.4 Klasifikasi ulkus DM berdasarkan system luka diabetic menurut universal

Texas.

Derajat 0 Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3

Stadium Tidak ada luka Luka Tandon/kapsul. Tulang/sendi

A terbuka. superfisial.

Stadium Infeksi (+) Infeksi (+) Infeksi (+) Infeksi (+)

Stadium Iskemik Iskemik Iskemik Iskemik

Stadium Infeksi/Iskemik Infeksi/Iskemik Infeksi/ Infeksi/iskemik

E iskemik

Tabel 2.1 Klasifikasi Ulkus


2.2 KONSEP DIABETES MELLITUS

2.2.1 Definisi

Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit kronis progresif yang ditandai

dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolism karbohidrat dan

protein, mengarah ke hiperglikemia (kadar glukosa tinggi). (JameES A. Fain,

2016). Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang umum terjadi

pada dewasa yang emmbutuhkan supervise medis berkelanjutan dan edukasi

perawatan mandiri pada pasien. (Priscilla Lemone, Karen M. Burke, Gerene

Bauldoff, 2016).

Menurut Yuliana elin (2009) Diabetes mellitus (DM) adalah gangguan

metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemi yang berhubungan dengan

abnormalitas karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan

sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau keduanya dan

menyebabkan komplikasi kronis, makrovaskular dan neuropati. Komplikasi

makrovaskular salah satunya menyebabkan penyakit vaskuler perifer , yaitu

penyempitan pembuluh nadi yang menyalurkan darah ke lengan, kaki dan organ

tubuh dibawah perut. Neuropati peifer menimbulkan kerusakan pada serabut

motoric, sensorik dan otonom. Ketiga bentuk komlikasi tersebut adalah sebagai

penyebab terjadinya ulkus hingga ganggren juga mempersulit penyembuhan.

Dapat disimpulkan menurut penelitian ( Restyana Noor Fatimah Medical

Faculty, Lampung University) adalah Diabetes Melitus adalahpenyakit yang

ditandai dengan terjadinya hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat,

lemak, dan protein yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau
relatif dari kerja dan atau sekresi insulin.Gejala yang dikeluhkan pada penderita

Diabetes Melitus yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat

badan,kesemutan.

2.2.2 Etiologi

1. DM tipe I

Diabetes yang tergantung insulin ditandai dengan penghancuran sel-sel beta

pancreas yang disebabkan oleh:

a. Faktor genetic penderita tidak mewarisi diabtes tipe itu sendiri, tetapi

mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetic kea rah terjadinya

diabetes tipe 1

b. factor imunologi (autoimun)

c. factor lingkungan : virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun

yang menimbulkan ekstruksi sel beta.

2. DM tipe 2

Disebabkan oleh kegagalan relative sel beta dan resistensi insulin. Factor resiko

yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe II : usia, obesitas,

riwayat dan keluarga.

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembedahan dibagi menjadi 3 yaitu

: (Sudoyo Aru, 2009)

1. <140 mg/dl Normal

2. 140-<200 mg/dl Toleransi glukosa terganggu

3. ≥200 mg/dl Diabetes


2.2.3 Manifestasi klinis

Manifestasi DM tipe 1 terjadi akibat kekurangan insulin untuk

menghantarkan glukosa menembus membrane sel ke dalam sel. Molekul glukosa

menumpuk dalam peredaran darah, mengakibatkan hiperglikemi. Hiperglikemi

menyebabkan hiperosmolaritas serum, yang menarik air dari ruang intaseluler ke

dalam sirkulasi umum. Peningkatan volume darah meningkatkan haluaran urine.

Kondisi ini disebut dengan POLIURI. Ketika kadar glukosa darah melebihi

ambang batas biasanya sekitar 180 mg/dl glukosa di eskresi ke dalam urine, suatu

kondisi yang disebut GLUKOSURIA. Penurunan volume intaseluler dan

peningkatan haluaran urine menyebabkan dehidrasi. Mulut menjadi kering dan

sensor haus diaktifkan. Yang menyebabkan orang tersebut minum dalam jumlah

air yang banyak. Kondisi ini disebut dengan POLIDIPSIA.

Karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel tanpa insulin, produksi

energy menurun. Penurunan energy ini menstimulasi rasa lapar dan orang makan

lebih banyak yang disebut POLIFAGIA. Meski asupan makanan meningkat,

berat badan orang tersebut turum saat kehilangan air dan memecah protein dan

lemak sebgai upaya memulihkan sumber energy. Malaise dan keletihan menyertai

penurunan energy. Penglihatan yang buram juga umum terjadi, akibat pengaruh

osmotic yang menyebabkan pembekakan lensa mata.

Oleh sebab itu, manifestasi klasik meliputi poliuri, polidipsi, dan polifagi,

disertai dengan penurunan berat badan, malaise dan keletihan. Bergantung pada

tingkat kekurangan insulin eksogen (eksternal) untuk mempertahankan hidup.


DM tipe II adalah suatu kondisi hiperglikemi puasa yang terjadi meski

tersedia insulin endogen. DM tipe 2 dapat terjadi pada semua usia tetapi biasanya

dijumpai pada usia paruh baya dan lansia. DM tipe 2 merupakan bentuk paling

umum DM. Hereditas berperan dalam transmisi. Kadar insulin yang dihasilkan

pada tipe 2 berbeda-beda dan meski ada, fungsinya dirusak oleh resistensi insulin

dijaringan perifer. Hati memproduksi glukosa lebih dari normal, karbohidrat

dalam makanan tidak dimetabolisme dengan baik, dan akhirnya pancreas

mengeluarkan jumlah insulin yang kurang dari yang dibutuhkan (Poth, 2007).

Apapun penyebabnya, terdapat cukup produksi insulin untuk mencegah

pemecahan lemak yang dapat menyebabkan ketosis sehingga DM tipe 2

digolongkan sebgai bentuk DM non ketosis. Namun, jumlah insulin yang ada

tidak cukup untuk menurunkan kadar glukosa darah melelui ambilan glukosa oleh

otot dan sel lemak.

Factor utama perkembangan DM tipe 2 adalah resistensi seluler terhadap

efek insulin Resistensi ini ditingkatkan oleh kegemukan, tidak beraktifitas,

penyekit, obat-obatan, dan pertambahan usia. Pada kegemukan, insulin

mengalami penurunan kemampuan untuk mempengruhi absorpsi dan metabolism

glukosa oleh hati, otot rangka, dan jaringan adipose. Hiperglikemi meningkat

secra perlahandan dapat berlangsung lama sebeleum DM didiagnosa, sehingga

kira-kira separuh diagnosis baru DM tipe 2 yang baru didiagnosa sudah

mnegalami komplikasi (Capriotti, 2005). Terapi biasanya dimulai dengan program

penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas. Jika perubahan ini dapat

dipertahankan maka tidak tidak dibutuhkan terapi lanjutkan bagi banyak individu.
Medikasi hipoglikemi mulai diberikan saat perubahan gaya hidup tidak cukup.

Sering kali, kombinasi insulin dan medikasi hipolikemik digunakan untuk

mencapai control glikemik pada pasien dengan DM tipe 2. (Priscilla Lemone,

Karen M. Burke, Gerene Bauldoff, 2016).

Table 2.2 Manifestasi klinis (JameES A. Fain, 2016).

DM DM

Manifestasi Klinis Dasar Patofiologi Tipe Tipe

I II

Manifestasi utama

Poliuri (sering BAK) Air tidak diserap kembali oleh ++ +

tubulus ginjal sekunder untuk

aktivitas osmotic glukosa, mengarah

kepada kehilangan air, glukosa dan

Polidipsi (haus berlebihan) elektrolit. ++ +

Dehidrasi sekunder terhadap polyuria

Polifagi (lapar berlebihan) menyebabkan haus. ++ +

Kelaparan sekunder terhadap

Penurunan berat badan katabolisme jaringan menyebabkan ++ -

rasa lapar.

Kehilangan awal sekunder terhadap

penipisan simpanan air, glukosa, dan

triglerid kehilangan kronis sekunder

terhadap penurunan massa otot


Pandangan kabur berulang karena asam amino dialihkan unutk + ++

membentuk glukosa dan keton.

Sekunder terhadap paparan kronis

Pruitus infeksi kulit, retina dan lensa mata terhadap cairan + ++

vaginitis hyperosmolar.

Infeksi jamur dan bakteri pada kulit

terliht lebih umum, hasil penelitian ++ -

Ketonuria masih bertentangan

Ketika glukosa tidak dapat dapat

digunakan untuk energi oleh sel sel

tergantung insulin, asam lemak

digunakan untuk energy, asam lemak

dipecah menjadi keton dalam darah

dan diekskresikan oleh ginjal: pada

DM tipe 2, insulin cukup untuk

menekan berlebihan penggunaan ++ +

Lemah dan letih, pusing asam lemak tapi tidak cukup untuk

penurunan glukosa.

Penurunan isi plasma mengarah

kepada postural hipertensi,

Sering asimtomatik kehilangan, kalium dan katabolisme

protein berkontribuksi terhadap

kelemahan.
Tubuh dapat “berdaptasi” terhadap

peningkatan pelan-pelan kadar

glukosa darah sampai tingkat lebih

besar dibandingkan peningkatan yang

cepat.

2.2.4 Patofisiologi

1. Diabetes Tipe I

DM tipe I tidak berkembang pada semua orang yang predisposisi genetic.

Pada mereka yang memiliki yang memiliki indikasi risiko penanda gen (DR3 dan

DR4 HLA) , DM terjadia kurang 1%. Lingkungan telah lama dicurigai sebagai

pemicu DM tipe I. insiden meningkat, baik pada musim semi maupun gugur, dan

onset sering bersamaan dengan epidemic berbagai penyakit virus. Autoimun aktif

langsung menyerang sel beta pancreas dan produknya. ICA dan antibody insulin

secara progresif menurunkan keefektifan kadar sirkulasi insulin.

Hal ini secara pelan-pelan terus menyerang sel beta dan molekul insulin

endogen sehingga menimbulkan onset mendadak DM. Hiperglikemia dapat

timbul akibat dari penyakit akut atu stress, dimana meningkatkan kebutuhan

insulin melebihi cadangan dari keusakan massa sel beta. Ketika penyakit akut atau

stress terobati, klien dapat kembali kepada status terkompensasi dengan durasi

yang berbeda-beda dimana pancreas kembali mengatur produksi sejumlah insulin

secara adekuat. Status kompensasi ini disebut sebagai periode honeymoon, secara
khas bertahan untuk 3-12 bulan. Proses berakhir ketika massa sel beta yang

berkurang tidak dapat memproduksi cukup insulin unutk meneruskan kehidupan.

Klien menjadi bergantung kepada pemberian insulineksogen (diproduksi diluar

tubuh) untuk bertahan hidup.

2. Diabetes tipe II

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan

yaitu :

1. Resistensi insulin 2. Disfungsi sel B pancreas

(Restyana Noor F J MAJORITY | Volume 4 Nomor 5 | Februari 2015 |95) Dalam

patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu :

1. Resistensi insulin, 2. Disfungsi sel B pancreas. Diabetes melitus tipe 2 bukan

disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin

gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal.Keadaan ini lazim

disebut sebagai “resistensi insulin”.1,8 Resistensi insulinbanyak terjadi akibat dari

obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes

melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun

tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes

melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2

hanya bersifat relatif dan tidak absolut.4,5 Pada awal perkembangan diabetes

melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase

pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila

tidak ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi


kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara

progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya

penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2

memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan

defisiensi insulin.
2.2.6 Komplikasi

Komplikasi yang paling penting dari diabetes melitus adalah neuropati dan

kaki diabetik. Manifestasi komplikasi yang dihasilkan berkisar dari yang mudah

sampai yang sangat kompleks, termasuk amputasi anggota tubuh dan infeksi yang

mengancam jiwa. Infeksi kaki pada penderita diabetes umum terjadi; Hal ini

menciptakan masalah sosial yang kompleks karena beban keuangan akibat

tingginya biaya pengobatan dan penyembuhan (Aguilar, 2009). Selain morbiditas

yang parah, infeksi kaki menyebabkan rawat inap yang berkepanjangan dan

masalah psikologis dan sosial bagi pasien dan keluarganya. Meskipun patologi

kaki pada pasien diabetes memerlukan biaya medis yang tinggi, namun patologi

kaki pada pasien diabetes (Ramsey et al, 1999) Prediksi mengenai prevalensi DM

telah gagal karena 300 juta orang di seluruh dunia menderita diabetes pada tahun

2025 telah terlampaui pada tahun 2011, beberapa penulis memperkirakan bahwa

meningkat menjadi 347 juta (Goodarz et al, 2011), namun di Lisbon, Portugal

Federasi Diabetes Internasional (Federasi Diabetes Internasional) IDF)

mengatakan bahwa prevalensi DM di seluruh dunia adalah 366 juta (Mbanya JC,

2011). Selain itu, diperkirakan dalam 15 tahun (2025) akan ada 500 juta orang di

seluruh dunia yang menderita diabetes jika kita tidak melakukan tindakan yang

diperlukan untuk mencegah penyebaran penyakit ini. Di sisi lain, penyebab

amputasi non-traumatik yang paling umum adalah diabetes melitus, dan 80% dari

ini dapat dihindari melalui pencegahan dan intervensi dini yang adekuat. Sebagai

contoh, pada tahun 2002 biaya medis untuk merawat pasien dengan DM adalah 92

miliar USD. Hilangnya produktivitas bisa mewakili tambahan 40 miliar. Proyeksi


untuk biaya pengobatan akan meningkat menjadi sekitar 160 miliar di tahun 2010

dan mendekati 200 miliar pada tahun 2020, atau bahkan lebih tinggi (Hogan P et

al, 2003). Oleh karena itu, komplikasi yang timbul dari kaki diabetes merupakan

tantangan medis penting dalam proporsi yang meningkat. Biaya pengobatan

ulserasi tanpa intervensi bedah mendekati beberapa ribu dolar, dan dalam

beberapa kasus bahkan lebih, dibandingkan dengan borok yang dirawat melalui

amputasi (Kruse & Edelman 2006). Ulserasi kaki mewakili 85% dari semua

amputasi. Oleh karena itu, hubungan antara borok dan amputasi ekstremitas

bawah jelas terlihat jelas. Dengan mempertimbangkan bahwa faktor risiko utama

yang menyebabkan amputasi adalah ulserasi, sekitar 15% dari semua bisul kaki

pada akhirnya akan memerlukan amputasi pada beberapa titik.( F. Aguilar

Rebolledo, J. M. Terán Soto and Jorge Escobedo de la Peña Centro Integral de

Medicina Avanzada (CIMA))

2.2.7 Faktor factor yang mempengaruhi penyembuhan luka ganggren pada

penderita DM

Patognesis diabetes mellitus meliputi banyan jalur, baik jalur metabolic,

vaskuler, maupun neoropati yang seluruhnya bersumber dari sorbitol. Sorbitol

merupakan produksi sisa hasil metabolisme glukosa yang tidak efektif dan tidak

efisien, dan akan bersifat toksik, seiring terjadinyab akimulasi, terutama pada

jaringan retina ginjal, system vaskuler, maupun system saraf tepi. Hal ini

menjelaskan mengapa penyakit diabetes mellitus sering di ikuti oleh komplikasi

berupa disfungsi retina (diabetic retinopathy), gagal gunjal kronis, mikroangiopati

dan juga neuropati.


Sarbitol yang terakumulasi dan bersifat toksik nampaknya memicu

deposisi albumin di albumin di perikapiler. Proyein non fungsional, yang berasal

dari peningkatan vaskularitas dermis, akan mengganggu difusi oksigen dan nutrisi

pada organ organ perifer, termasuk kulit pada ekstremitas bagian bawah.

1. KORTIKOSTEROID SISTEMIK

Kortikostiroid sistemik dapat mengakibatkan gangguan stimulus imunitas yang

meneyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi maupun sepsis. Kedua

kondisi tersebut dapat mengakibatkan kegagalan luka dalam berespons

terhadap pengobatan.

2. ALKOHOLISME

Beberapa studi menyebutkan bahwa konsumsi alcohol dan paparan etanol

dapat menghambat proses penyembuhan luka. Disebutkan juga bahwa

konsusmsi alcohol secara kronis dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi.

Terlebih lagi, paparan terhadap alcohol dapat mempengaruhi proliferasi sel,

menghambat angiogenesis, menurunkan baik oksitosi jaringan maupun

produksi kolagen, serta mempengaruhi keseimbangan protein pada jaringan

luka.

3. KANKER/KEGANASAN

Seseorang yang menderita kanker lebih rentan mengalami masalah dalam

penyembuhan luka karena banyaknya paparan terhadap radiologi dan/atau

kemoterapi sebagai upaya pengobatan kanker. Penurunan fungsi organ yang

spesifik, gangguan metabolisme, dan asupan nutrisi yang buruk akan

melemahkan system imunitas tubuh penderita kanker yang menyebabkan


penderita lebih rentan terhadap infeksi dan sepsis sehingga mengalami prose

penyembuhan luka yng terganggu.

4. UREMIA

Akumulasi ureum yang bersifat toksik akan menimbulkankondsi asidosis

metabolic. Ketiak ginjal sudah tidak dapat mngeliminasi toksin yang sudah

terakumulasi, pasien akan jatuh pada kondisi gagal ginjal dan mebutuhkan

dialysis secara rutin. Kondisi ini mempengaruhi sistem imun yang membuat

pasien menjadi rentan terhadap infeksi. Sperti telah disinggung di atas, adanya

infeksi akan menghambat proses penyembuhan luka.

5. PENYAKIT KUNING/JAUNDICE

Penyakit kuning/jaundice terjadi akibat kegagalan fungsi hepar. Kondisi ini

kemudian menyebabkan penururnan jumlah factor-faktor pembekuan darah,

penurunan kadar protein plasma, dan kegagalan regulasi glukosa dengan

demikian, jaundice merupakan factor penghambat penyembuhan luka.

6. KEMOTERAPI

Obat yang digunakan dalam kemoterapi memiliki sifat sitotoksik, dengan

demikian proses regenerasi sel dan penyembuhan luka tentu akan terganggu.

7. OBESITAS

Obesitas memiliki keterkaitan dengan penyembuhan jarigan yang buruk dan

tingkat komplikasi yang tinggi pada tindakan operasi. Pengertian obesitas

adalah BMI (body mass index) yang lebih dari 30.0-39,9 sedangkan obesitas

morbid dijelaskan sebagai kondisi BMI diatas 40. Dari hipotesis yang da,

dikatakan bahwa jarak antarsel pada pasien dengan obesistas jauh lebih besar
daripada jarak antarsel pada individu dengan berat badan normal, yang ada

giliranya akan menurunkan jumlah perfusi oksigen ke dalam sel. Padien

dengan obesitas mungkin mengalami kesulitan dalam memelihara kebersihan

dirinya, seperti pada ekstremitas bagian bawah dan area ginjal yang sulit

dibersihkan akibat terhalang oleh perut besar.

8. USIA TUA

Waktu penyembuhan luka pada pasien geriatric lebih lambat jika dibandingkan

dengan pasien dari kelompok usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan oleh

adanya disfungsi organ tubuh, penyakit penyerta, dan penurunan kemampuan

regenerasi jaringan utbuh akibat proses penuaan yang terjadi pada pasien

geriatric. Penyakit penyerta mel;iputi tuberkolosis, penurunan fungsi paru,

diabetes mellitus, penyakit arteri koronaria, penyakit kardivaskular, dan penyakit

pembuluh darah perifer yang semuanya merupakan kondisi yang tidak

menunjang prose penyembuhan dengan terjadinya hambatan distribusi oksigen

dan nutrisi ke perifer.

9. MEROKOK

Kebiasaan buruk berupa konsumsi rokok memiliki efek signifikan pada proses

penyembuhan luka. Substansi kimia yang terkadung oada rokok, seperti nikotin,

hydrogen sianida, dan CO akan memicu terjadi vasokontriksi. Dengan demikian,

pasien yang perokok besiko mengalami kegagalan penerimaan graft maupun

flap. Segala substansi kimia yang terdapat pada rokok juga mengakibatkan

peningkatan agresis platelet, penurunan deposisi kolagen, serta penurunan

pembentukan pembentukan prostasiklin.


10. PENYAKIT METABOLIK/ENDOKRIN

Selain diabetes mellitus, gangguan sistem endokrin lainya dapat turut

menghambat proses penyembuhan luka. Sebagai contoh, hipotiroideisme

menyebabkan penurunan kadar hidroksipolin yang soluble. Hidroksiprolin

memiliki peranan penting dalam menjaga stabilitas kolagen. Engan demikian,

penurunan kadar hidroksiprolin menyebabkan turunya produksi kolagen.

2.2.8 Penatalaksanaan

Kaki diabetik dapat timbul karena tidak terkontrolnya gula darah, oleh

sebab itu sangat diperlukan manajemen diabetes yang baik dalam upaya

pencegahan primer kaki diabetik. Menurut Perkeni (2011), manajemen

Diabetes Melitus terdiri dari:

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan

perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang

diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat.

Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku.

Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi.

2. Terapi gizi medis atau Perencanaan Makan

Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan

diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan

secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas

kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Menurut Smeltzer et al,
(2008) yang juga mengutip dari ADA bahwa perencanaan makan pada

pasien diabetes meliputi :

a. Memenuhi kebutuhan energi pada pasien Diabetes Melitus

b. Terpenuhinya nutrisi yang optimal pada makanan yang disajikan

seperti vitamin dan mineral

c. Mencapai dan memelihara berat badan yang stabil

d. Menghindari makan makanan yang mengandung lemak, karena

pada pasien Diabetes Melitus jika serum lipid menurun maka

resiko komplikasi penyakit makrovaskuler akan menurun

e. Mencegah level glukosa darah naik, karena dapat mengurangi

komplikasi yang dapat ditimbulkan dari Diabetes Melitus

3. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari - hari dan latihan jasmani secara teratur (3 - 4

kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu

pilar dalam pengelolaan Diabetes Melitus. Kegiatan sehari – hari

seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus

tetap dilakukan. Selain untuk menjaga kebugaran juga, latihan jasmani

dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,

sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani

yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti:

jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani

sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.

Pasien yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan,


sementara yang sudah mendapat komplikasi Diabetes Melitus dapat

dikurangi.

4. Intervensi farmakologis

Pengobatan diabetes secara menyeluruh mencakup diet yang benar,

olah raga yang teratur, dan obat - obatan yang diminum atau suntikan

insulin. Pasien Diabetes tipe 1 mutlak diperlukan suntikan insulin

setiap hari. Pasien Diabetes tipe 2, umumnya pasien perlu minum obat

antidiabetes secara oral atau tablet. Pasien diabetes memerlukan

suntikan insulin pada kondisi tertentu, atau bahkan kombinasi suntikan

insulin dan tablet.

5. Monitoring keton dan gula darah

Ini merupakan pilar kelima yang dianjurkan kepada pasien Diabetes

Melitus. Monitor level gula darah sendiri dapat mencegah dan

mendeteksi kemungkinan terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia

dan pasien dapat melakukan keempat pilar diatas untuk menurunkan

resiko komplikasi dari Diabetes Melitus (Smeltzer et al, 2008).

2.3 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.3.1 Pengkajian (Andra Saferi Wijaya, 2013)


1. Identitas klien: Nama, alamat, tanggal MRS, diagnose medis,

penanggung jawab, catatan kedatangan.

2. Riwayat kesehatan

Riwayat kesehatan sekarang

a. Adanya gatal pada kulit disertai luka yang tidak kunjung sembuh.

b. Kesemutan.

c. Menurunya BB.

d. Keletihan

e. Meningkatnya nafsu makan.

f. Sering haus.

g. Banyak kencing.

Riwayat kesehatan dahulu : Riwayat penyakit pancreas, hipertensi, ISK

berulang.

Riwayat kesehatan keluarga : Riwayat keluarga dengan DM.

2.3.2 Pengkajian pola kebutuhan.

Pengkajian menurut model Virginia Henderson meliputi :

1. Kebutuhan nutrisi

Penderita diabetes mellitus mengeluh ingin selalu makan tetapi

berat badanya justru semakin turun karena glukosa tidak dapat ditarik

kedalam sel dan terjadi penurunan masa sel. Pada pengkajian intake cairan

pasien akan terkaji banyak minum (sehari mungkin 2500-4000 cc).

2.Kebutuhan nafas.
Data pernafasan yang sangat mungkin terjadi pada pasien dabetes

mellitus adalah munculnya peningkatan pernafasan sebagai kompensasi

penurunan metabolism sel yang melibatkan oksigen (respirasi aerob)

dengan irama dalam cepat karena banyak benda keton yang dibongkar.

3.Kebutuhan eliminasi

Data eliminasi untuk buang air besar (BAB) pada pasien diabtes

mellitus tidak ada perubahan yang mencolok. Frekuensi seperti biasa 1-2x

perhari, dengan warna kekuningan sedangkan pada eliminasi buang air

kecil (BAK) akan dijumpai jumlah urine yang banyak baik secara

frekuensi maupun volumenya, pada frekuensi biasnya lebih dari 10x

perhari), sedangkan volumenya mencapai 2500-3000 cc perhari). Untuk

warna mungkin tidak ada perubahan sedangkan bau mungkin muncul

aroma unsur gula.

4.Kebutuhan rasa aman dan nyaman.

Pasien diabetes mellitus mengalami gangguan rasa nyeri panas

pada punggung kaki tetapi dengan skala yang ringan dan dapat ditoleransi

sehingga tidak mengganggu aktifitas sehari hari. (untuk kebutuhan rasa

nyaman) sampai yang berat terasa sangat panas dan mengganggu aktifitas

selama berjalan, sedangkan kebutuhan aman pasien mengalami resiko

mudah terjadi perlukaan pada ekstremitas bawah.

5.Kebutuhan kerja
Kebutuhan kerja pada pasien diabetes mellitus telah mengalami

penurunan karena penderita mudal mengalami kelelahan tetapi saat

dirawat barangkali tidak menjadi gangguan yang prioritas. Mungkin yang

jadi kendala justru kondisi psikologi karena sudah tidak bekerja atau

mengalami penurunan kerja kondisi psikologi yang sering muncul

penurunan harga diri, menarik diri mungkin sampai kondisi frustasi.

2.2.3 Pemeriksaan fisik

1. Umum.

Dari keadaan ini kita dapat mengetahui keadaan klien secara

umum, apalagi klien sakit ringan, sedang, berat.

2. Tanda-tanda vital.

Dapat ditemukan peningkatan system denyut nadi distrikmia.

3. Sistem kardiovaskuler.

Dapat ditemukan dari palpasi dan distrikmia

4. Sistem respirasi.

Pada penyakit ini tidak ditemukan gangguan atau kelainan.

5. Sistem penglihatan

Banyaknya penyakit ini dapat menimbulkan komplikasi kronik

6. Sistem neuro sensori.


Kadang didapatkan insomnia, konjugntiva merah.

7. Sistem musculoskeletal.

Biasanya karena luka sudah menyebar maka akan dilakukan

amputasi.

2.3.4 Diagnosa keperawatan

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan nekrosis kerusakan

jaringan (nekrosis luka ganggren).

2.3.5 Intervensi

Diagnosa keperawatan: Kerusakan integritas kulit.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan

pasien menunjukan tanda tanda perbaikan integritas kulit dan perbaikan

sirkulasi.

Kriteria hasil:

1. Tidak ada tanda tanda infeksi (pus sedikit atau tidak ada, lekosit

rentang normal).

2. Berkurangnya oedema sekitar luka.

3. Adanya jaringan granulasi.

4. Luka tidak berbau busuk.

5. Menunjukan tanda penyembuhan dengan tepi luka bersih/pink.

Intervensi keperawatan:

1. Rawat luka dengan benar. Membuyka balutan setelah sebelumnya dibasahi

NaCL 0,9% dengan memakai pinset, kapas kotor dibuang ke bengkok,

pinset yang sudah tidak steril diletakan pada tempat dekontaminasi (air
clorin 0,5%). Luka yang diolesi dengan betadine sedikit kemudian ditutup

dengan sufratul dan kasa steril lalu dinalut dengan plaster kering.

R/ Merawat luka dengan teknik aseptic dapat menjaga kontaminasi luka. Menjaga

kebersihan luka dapat meminimalkan kontaminasi silang, plester adesif dapat

membuat abrasi terhadap jaringan mudah rusak.

2. Kaji area luka setiap kali mengganti balutan, meliputi lokasi, stadium luka,

bentuk dan ukuran luka, tepi luka (epitelisasi), bau, seta status vaskuler

(palpasi, capillary refill time/CRT, edema, temperature kulit).

R/ Untuk mengetahui tingkat metabolisme jaringan pada integritas kulit

guna memudahkan manajemen perawatan luka ganggren.

3. Mengkaji status infeksi.

R/ Dengan mengetahui status infeksi dapat dilakukan tindakan guna

mempercepat perbaikkan luka ganggren, menurunkan lama perawatan dan

biaya perawatan.

4. Massase area sekitar sisi luka.

R/ Merangsang sirkulasi dan mengalirkan sel darah putih, fibroblast dan

nutrisi yang dibutuhkan unutk penyembuhan dan membuang debris yang

terfagositasi.

Kolaborasi pemberian ceftriaxone 2x1 gr perhari. Amati tanda-tanda

hypersensitive, seperti pruritus, urtikaria, ruam, diare.

R/ Pencegahan infeksi / pencegahan komplikasi. Makanan yang

mengganggu absorbs oabt memerlukan penjadwalan sekitar jam makan.

(Maryunani, 2013;Damayanti, 2015, nanda nic noc jilid 1, 2015)


2.3.6 Implementasi

Menurut pendapat Potter dan Perry (2005), implementasi adalah kategori

dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan unutk mencapai

tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan

diselesaikan.

Untuk dapat mengevaluasi asuhan keperawatan, maka perlu dibandingkan

apakah tindakan keperawatan yang diberikan menghasilkan perubahan pada

klien sesuai tujuan jangka panjang, atau dalam kata lain apakah rencana

yang dirumuskan efektif dalam mencapai tujuan atau mengatasi diagnosa

keperawatan.

2.3.7 Evaluasi

Evaluasi merupakan rangkaian dari proses keperawatan sehingga untuk

dapat melakukan evaluasi perlu melihat langkah-langkah proses

keperawatan sejak pengkajain, perumusan diagnosa, perencanaan, dan

implementasi. Selanjutnya, pada tahap akhir perawat mengevaluasi

kemajuan klien terhadap tindakan dalam mencapai tujuan dan bila tujuan

belum atau tidak tercapai, maka perlu melakukan revisi data dasar serta

memperbarui diagnosis keperawatan maupun perencanaan. Secara singkat,

dapat dikatakan bahwa evaluasi adalah penilaian terhadap tindakan

keperawatan yang diberikan/dilakukan dan mengetahui apakah tujuan

asuhan keperawatan dapat tercapai sesuai yang telah ditetapkan. Evaluasi

dilakukan terhadap tujuan asuhan keperawatan, apakah hal-hal yang telah


dilakukan sudah terlaksana sesuai kriteria tujuan yang telah ditetapkan.

(Sunaryo dkk, 2016).

Anda mungkin juga menyukai