Waktu itu, aku sungguh tak tahu makhluk apa itu Manusia Es. Temanku
juga. “Dia pasti terbuat dari es. Itu sebabnya orang-orang menyebutnya
Manusia Es.” Temanku mengatakan hal tersebut dalam nada serius seolah
dia sedang membicarakan hantu atau seseorang dengan penyakit
menular.
Pada sore di hari keempat, aku me-reka berbagai alasan supaya bisa tidak
turut keluar menelusur lereng. Aku tinggal di hotel sendiri dan mondar-
mandir di lobi yang sekosong kota hantu. Udara di lobi terasa hangat dan
lembab, dan ruangan itu memiliki bau aneh yang sedih mematahkan hati—
bau salju yang terlacak di dalam sol sepatu yang sekarang tengah mencair
di depan perapian.
Aku cenderung pemalu dengan orang asing, kecuali memiliki alasan yang
sangat bagus, aku biasanya tak mudah berbicara dengan orang yang tak
kukenal. Tapi dengan Manusia Es aku merasa memiliki dorongan untuk
berbincang, tak peduli tentang apa pun itu. Ini malam terakhirku di hotel
tersebut, dan jika kubiarkan kesempatan ini pergi, aku takut aku takkan
punya kesempatan lagi untuk bisa berbicara dengan dia: pria es, si
Manusia Es itu….
“Ya,” jawabnya.
Dia bertanya, apakah aku suka main ski? “Nggak terlalu,” kataku. “Aku
hanya datang karena teman-temanku ngotot mengajakku. Sesungguhnya
aku benar-benar jarang main ski….”
Ada banyak hal yang sebenarnya sangat ingin aku tahu dari Manusia Es.
Benarkan tubuhnya sungguh-sungguh terbuat dari es? Apa yang dia
makan? Di mana dia tinggal di musim panas? Apakah dia punya keluarga?
Ya, hal-hal semacam itulah. Tetapi Manusia Es tidak bicara tentang dirinya,
dan itu membuatku menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan-
pertanyaan pribadi. Sebaliknya, Manusia Es malah berbicara tentang aku.
Rasanya sulit dipercaya, tetapi entah bagaimana ia tahu semuanya. Dia
tahu anggota keluargaku, dia tahu umurku, tahu apa yang kusuka dan
yang tidak, tahu keadaan kesehatanku, tahu sekolah yang kumasuki dan
tahu juga teman-teman yang biasa kukunjungi. Dia bahkan tahu hal-hal
yang telah terjadi begitu jauh di masa lalu yang aku sendiri telah lupa.
“Saya nggak bisa melihat masa depan,” kata Manusia Es perlahan. “Saya
sama sekali nggak mampu mengambil keuntungan dari masa depan. Lebih
tepatnya…, saya nggak punya konsep masa depan karena es tak memiliki
masa depan. Semuanya hanya masa lalu yang terlampir di dalamnya.
Dengan cara yang sangat bersih dan jelas, es bisa mengawetkan banyak
hal dan membuatnya seolah-olah masih hidup, meskipun itu masa lalu.
Itulah esensi es,” terangnya.
***
Kami bertemu lagi beberapa kali setelah aku kembali ke kota. Akhirnya,
kami mulai berkencan. Kami tidak pergi ke bioskop, atau ke café. Kami
bahkan tidak pergi ke restoran. Manusia Es jarang makan. Kita paling
sering duduk-duduk di bangku taman dan berbincang tentang banyak hal
selain tentang Manusia Es sendiri.
“Kenapa begitu?” Sekali aku pernah bertanya. “Mengapa kamu tidak mau
bicara tentang dirimu? Aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu. Di
manakah kamu dilahirkan? Seperti apa rupa orang tuamu? Bagaimana
ceritanya hingga kamu menjadi Manusia Es?”
***
Aku serius jatuh cinta pada Manusia Es. Manusia Es pun mencintaiku apa
adanya—di masa kini, tanpa masa depan. Pada gilirannya aku pun
mencintai Manusia Es apa adanya—di masa sekarang, tanpa masa lalu.
Kami bahkan mulai berbicara tentang pernikahan.
Aku baru berusia dua puluh, dan Manusia Es adalah lelaki pertama yang
benar-benar kucintai. Saat itu, aku tidak bisa membayangkan apa artinya
mencintai seorang Manusia Es. Tapi bahkan jika aku jatuh cinta pada pria
normal sekalipun, aku ragu akankah aku bisa memiliki ide yang jelas
tentang cinta?
Ibu dan kakak perempuanku tentu saja menentang ide menikahi Manusia
Es.
“Kamu terlalu muda untuk menikah,” kata mereka. “Selain itu, kamu juga
tidak tahu apa-apa tentang latar belakangnya. Kamu bahkan tidak tahu di
mana Manusia Es dilahirkan dan kapan ia lahir. Bagaimana mungkin kita
bisa bilang ke saudara dan kerabat kita kalau kamu menikahi orang
semacam itu? Lagi pula, yang kita bicarakan ini Manusia Es! Apa yang
akan kamu lakukan jika tiba-tiba ia mencair, hah? Kamu nggak paham
kalau pernikahan itu memerlukan komitmen yang ‘riil’?!”
***
Dia tidak akan meleleh, tak peduli betapa hangat kondisi sekitar di mana ia
berada. Dia disebut Manusia Es karena tubuhnya sedingin es, tapi apa
yang membuatnya begitu, jelas bukan es. Itu bukan jenis dingin yang bisa
menghapus panas orang lain. Jadi… kami menikah.
Tidak ada yang memberkati pernikahan itu. Tidak ada teman atau kerabat
yang berbahagia untuk kami. Kami tidak mengadakan upacara, dan, ketika
datang waktunya bagiku untuk memiliki nama keluarga yang terdaftar,
Manusia Es tak memilikinya. Kami hanya memutuskan bahwa kami berdua
menikah. Kami membeli kue kecil dan makan bersama, dan itulah
pernikahan kami yang sederhana.
Kami berdua hidup bahagia tanpa mengganggu atau diganggu siapa pun.
Ketika kami bercinta dan Manusia Es menggumuliku, aku melihat dalam
pikiranku, sepotong es yang kuyakin ada di suatu tempat di kesendirian
yang tenang.
***
Kami ingin punya anak, tapi itu tampaknya tak mungkin. Ini lebih karena,
mungkin… gen manusia dan gen Manusia Es tidak bisa digabungkan
dengan mudah. Dalam kasus semacam ini, karena kami tidak memiliki
anak, aku memiliki lebih banyak waktu.
Biar bagaimanapun aku cnderung lebih suka tinggal di rumah dan aku tak
keberatan sendirian. Hanya saja aku masih muda, dan melakukan hal yang
sama hari demi hari akhirnya mulai terasa mengganggu. Bukan kebosanan
yang menyakitkan, tapi pengulangan. Itu sebabnya suatu hari aku berkata
pada suamiku, “Bagaimana kalau kita pergi berdua? Sebuah perjalanan.
Untuk ganti suasana saja….”
“Bukan itu,” kataku. “Tentu saja aku senang bersamamu, tapi aku bosan.
Aku merasa ingin pergi ke suatu tempat yang jauh dan melihat hal-hal yang
belum pernah kulihat. Aku ingin tahu bagaimana rasanya menghirup udara
baru. Kamu mengerti kan maksudku? Lagi pula… kita belum berbulan
madu. Kita punya tabungan dan kamu punya hari libur yang harus kamu
isi. Bukankah ini cuma masalah waktu saja? Kita akan pergi ke suatu
tempat, dan segalanya akan mudah serta menyenangkan.”
Manusia Es diam sejenak, dan akhirnya berkata dengan suara yang seperti
salju berdentingan, “Baiklah kalau itu yang kau inginkan. Mari kita pergi ke
Kutub Selatan…. Kau sungguh-sungguh yakin ini yang kau inginkan?”
Entah kenapa aku tak bisa segera menjawab. Suamiku, Manusia Es,
menatapku begitu lama, sedang di dalam kepalaku, aku seperti mati rasa.
Lalu aku mengangguk.
***
***
Kini aku merindukan Manusia Es yang dulu pernah kutemui di ski resort. Di
sini tak mungkin lagi keberadaannya menjadi perhatian siapa pun. Semua
orang di Kutub Selatan menyukai Manusia Es, dan anehnya, orang-orang
itu tak mengerti sepenggal pun kata yang kuucapkan. Sambil menguapkan
napas putih mereka, mereka akan saling menceritakan lelucon dan
berdebat serta menyanyikan lagu dalam bahasa mereka yang tak
kumengerti, sementara aku duduk sendirian di kamar kami, memandang
langit abu-abu yang sepertinya tak mungkin akan menjadi cerah dalam
beberapa bulan mendatang. Pesawat terbang yang membawa kami ke
sana sudah lama hilang, dan landasan pesawat kini tertutup lapisan es
keras, sekeras hatiku.
“Musim dingin telah datang,” ujar suamiku. “Ini akan menjadi musim dingin
yang sangat panjang. Takkan lagi ada pesawat atau kapal. Semuanya
telah membeku. Kelihatannya kita harus tinggal di sini sampai musim semi
berikutnya,” begitu ucapnya.
Sekitar tiga bulan setelah kami tiba di Kutub Selatan, aku baru sadar kalau
aku hamil. Anak yang akan kulahirkan pastilah Manusia Es kecil, si junior—
aku tahu itu! Rahimku sudah beku dan cairan ketubanku adalah lumpur es.
Aku bisa merasakan dingin dalam diriku. Anakku akan menjadi seperti
ayahnya, memiliki mata seperti tetesan air beku dan jejari yang juga kaku
beku. Keluarga baru kami tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di luar
Kutub Selatan.
O, aku baru tersadar. Masa lalu abadi, teramat berat dan melampaui
semua pemahaman, mencengkeram begitu erat. Kita tak akan mampu
mengguncangnya.