Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI PUISI PADA LIMA PUISI TAUFIK

ISMAIL DALAM “MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA”

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Puisi merupakan salah satu genre sastra yang makin lama makin berkembang dari
waktu ke waktu, baik dari segi bentuk maupun jumlah peminatnya. Sebagai sebuah karya
sastra, puisi tentunya memiliki hakikat dan fungsi yang disebut dulce et utile. Dulce artinya
menyenangkan, sedangkan utile artinya bermanfaat. Jika menyoroti hakikat dulce, penyair
berusaha sebisa mungkin menggunakan berbagai cara untuk membuat puisinya memiliki
kesan yang menyenangkan.

Salah satu cara yang digunakan penyair untuk menimbulkan kesan menyenangkan
pada puisinya adalah dengan menggunakan ketidaklangsungan ekspresi
puisi. Ketidaklangsungan ekspresi puisi ini menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1997: 210)
merupakan konvensi tambahan puisi bahwa puisi itu menyatakan pengertian-pengertian atau
hal-hal secara tidak langsung, yaitu menyatakan sesuatu hal yang berarti lain.

Tujuan penyair menggunakan ketidaklangsungan ekspresi puisi adalah untuk


menyembunyikan arti sesungguhnya untuk kemudian menjadi tantangan bagi
pembaca. Bagaimana pembaca menginterpretasi dan mengapresiasi puisi yang dibacanya
menjadikan puisi itu memiliki fungsi mendidik dan tentunya bisa menjadi sarana hiburan
tersendiri. Ketidaklangsungan puisi juga seperti menjadi hal yang wajib ada dalam puisi,
karena hampir semua puisi menggunakan ketidaklangsungan ekspresi.

Setiap penyair memiliki ciri khas atau gaya sendiri-sendiri dalam menggunakan
ketidaklangsungan ekspresi. Salah satu penyair yang sering menggunakan ketidaklangsungan
ekspresi puisi adalah Taufik Ismail. Penyair yang banyak menulis puisi-puisi bernada sosial
ini juga sudah menelurkan berbagai antologi puisi diantaranya : Tirani dan Benteng (1966)
dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia(1998).

Bertolak dari uraian di atas, maka dalam karya tulis ini penulis berusaha menganalisis
dan mengulas ketidaklangsungan ekspresi puisi yang ada dalam puisi-puisi karya Taufik
Ismail yang terangkum dalam antologi puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Alasan
penulis memilih puisi-puisi karya Taufik Ismail sebagai bahan analisis adalah karena puisi-
puisinya dianggap memiliki gaya bahasa dan penyampaian ekspresi yang menarik untuk
dikaji. Nilai estetik yang terkandung dalam puisi-puisi Taufik Ismail juga merupakan daya
tarik tersendiri baik untuk sekedar dinikmati atau bahakan juga untuk dikaji. Selain itu, nama
besar Taufik Ismail sebagai sastrawan tenama di Indonesia juga mengundang perhatian
penulis untuk mencoba menganalisis karya puisinya.
1.2 Rumusan masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini antara lain:

Bagian puisi mana yang mengandung ketidaklangsungan ekspresi puisi penggantian arti
(displacing) yang ada dalam puisi-puisi karya Taufik Ismail?

Bagian puisi mana yang mengandung ketidaklangsungan ekspresi puisi penyimpangan arti
(distorting) yang ada dalam puisi-puisi karya Taufik Ismail?

Bagian puisi mana yang mengandung ketidaklangsungan ekspresi puisi penciptaan arti
(creating of meaning) yang ada dalam puisi-puisi karya Taufik Ismail?
1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam suatu kajian atau analisis sangatlah penting dalam menentukan arah
tujuan penulisan. Oleh karena itu penulis membatasi analisis dengan menggunakan pisau
analisis berupa ketidaklangsungan ekspresi puisi. Puisi yang dianalisis pun tidak merupakan
keseluruhan puisi yang ada dalam antologi puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia,
melainkan penulis memilih hanya lima puisi untuk dianalisis.
1.4 Tujuan

Berdasarkan pemahaman di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan
karya tulis ini antara lain:
Memperoleh pengetahuan mengenai pengertian dan fungsi ketidaklangsungan ekspresi puisi.
Memperoleh pengetahuan mengenai cara menganalisis ketidaklangsungan ekspresi puisi.

Dapat menemukan dan menginterpretasi ketidaklangsungan ekspresi puisi dalam puisi-puisi


karya Taufik Ismail.

Dapat menemukan letak estetik ketidaklangsungan ekspresi puisi dalam puisi-puisi karya
Taufik Ismail.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengantar

Landasan teoritik digunakan sebagai landasan kerja konseptual dan teoritis. Pada bagian ini
penulis memaparkan teori-teori ilmiah yang sudah ada dan relevan dengan masalah yang
telah dikemukakan sebelumnya. Landasan teori dalam analisis ini membahas mengenai
ketidaklangsungan ekspresi puisi yang meliputi 1)penggantian arti (displacing), 2)
penyimpangan arti (distorsing) dan 3) penciptaan arti (creating of meaning).

Menurut Teeuw (dalam Pradopo, 1995:146) analisis struktural yang digabungakan dengan
analisis semiotik disebut strukturalisme dinamik. Hal ini untuk mengatasi keterbatasan
strukturalisme murni yang perspektif tinjauannya sinkronis yang tak sepenuhnya dapat
menangkap relevansi eksistensial (rangka sosial-budaya) dan makna historis.
Sastra (puisi) merupakan sistem tanda (semiotik) tingkat kedua yang merupakan sistem tanda
tingkat kedua setelah bahasa. Di dalamnya terdapat konvensi sastra sendiri yang disebut
sebagai konvensi tambahan (tambahan di luar konvensi bahasa). Salah satu dari konvensi
tambahan itu adalah konvensi bahasa kiasan yang menyatakan pengertian-pengertian dan hal-
hal secara tidak langsung. Konvensi tambahan dalam sastra di antaranya konvensi bahasa
kiasan, persajakan, pembagian bait, persajakan, bahkan juga enjabement (perloncatan baris)
dan tipografi (susunan tulisan). Dalam hal tipografi, lebih memanfaatkan bentuk visual untuk
memberi arti atau makna tambahan. Sebenarnya baik konvensi bahasa atau konvensi
tambahan sama-sama memberikan makna dalam sebuah sajak.

Ketidaklangsungan pernyataan dalam puisi itu menurut Riffaterre dalam Pradopo (1995: 210)
disebabkan oleh penggantian arti (displacing), penyimpangan arti (distorsing) dan penciptaan
arti (creating of meaning).
2.2 Penggantian Arti

Penggantian arti merupakan penggunaan kata yang menggantikan arti sebenarnya. Menurut
Riffaterre (dalam Pradopo. 1987: 212) dalam hal ini penggantian arti menggunakan bahasa
kiasan yang berarti tidak menurut arti sesunguhnya. Bahasa kiasan itu diantaranya
menggunakan majas-majas seperti perbandingan, metafora, personifikasi, sinekdoki dan lain
sebagainya.

Contohnya terdapat pada penggalan puisi Chairil Anwar “Sajak Putih” (bait kedua, baris
pertama) yang berbunyi : “Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba”. Penggalan ini
menggunakan bahasa kiasan atau majas personifikasi yang mengibaratkan sepi yang sedang
bernyanyi. Di sini, sepi menyanyi bukan diartikan sebagai sepi yang menyanyi, melainkan
suasana sepi yang dirasakan oleh penyair ketika malam dimana saat khusuk berdoa.
2.3 Penyimpangan Arti

Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1995: 148) penyimpangan arti terjadi bila dalam sajak
ada ambiguitas, kontradiksi ataupun nonsense.
2.3.1 Ambiguitas

Salah satu sifat karya sastra khususnya puisi adalah polyinterpretable yang artinya
menimbulkan banyak penafsiran atau makna ganda. Contohnya: ingin kupetik seribu kupu-
kupu dari hatimu. Ini dapat diartikan bahwa penyair (aku) ingin merebut hati si (mu) yang
indahnya ibarat kupu-kupu. Dapat juga diartikan bahwa penyair (aku) ingin merebut hati si
(mu) namun terlalu sulit karena hati si (mu) terlalu liar, berterbangan seperti kupu-kupu yang
jumlahnya seribu.

Ambiguitas biasa digunakan oleh penyair untuk memberikan kebebasan pada pembaca
untuk mengartikan sendiri makna puisinya. Sehingga, setiap kali dibaca oleh pembaca yang
berlainan, maka akan menimbulkan makna-makna baru.
2.3.2 Kontradiksi
Kontradiksi disebut juga sebagai ironi, yaitu cara penyair menyampaikan maksud secara
berlawanan. Contoh: sekilas ia tersenyum menertawai kemiskinannya. Kata tersenyum dan
menertawai di sini sangat berlawanan arti dengan kata kemiskinan. Kemiskinan biasanya
diibaratkan dengan sesuatu yang menyedihkan atau suram, namun penyair
menggambarkannya secara kontradiktif menggunakan kata tersenyum dan menertawai.
2.3.3 Nonsense

Nonsense adalah bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak
terdapat dalam kosakata, misalnya penggabungan dua kata atau lebih sehingga menjadi
bentuk baru. Contoh: sepisaupi, sepisaupa. Dapat pula berupa pengulangan suku kata dalam
satu kata. Contoh: terkekeh-kekehkekehkeh.
2.4 Penciptaan Arti

Penciptaan arti terjadi bila dalam ruang teks diorganisasikan untuk membuat tanda-tanda
yang di kuar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada
artinya, misalnya simitri (keseimbangan), rima, tipografi, enjabement dan
sebagainya. Contoh:
Elang yang gugur tergeletak
Elang yang tergugur terebah
Satu harapku pada anak
Ingatkan pulang pabila lelah

Dalam bait sajak itu terdapat simitri (keseimbangan) berupa persejajaran bentuk yang
menimbulkan persejajaran arti: bahwa bagaimanapun hebatnya elang, sekali-kali ia gurur
tergeletak dan terebah, begitu pula si anak akan lelah juga dan ingatlah akan pulang.
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Metode Kualitatif

Kirk dan Miller dalam Indtayanto (2010) mendefinisikan metode kualitatif adalah tradisi
tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan pada manusia dalam kawasanya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang
tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahanya. Karya tulis ini menggunakan metode
kualitatif dengan melakukan pengamatan pada puisi untuk kemudian dianalisis berdasarkan
teori ketidaklangsungan ekspresi puisi.
3.2 Data

Data merupakan informasi atau bahan yang harus dicari dan dikumpulkan untuk menjawab
permasalahan yang akan dikaji dalam suatu penulisan karya ilmiah. Data dalam karya tulis ini
adalah lima buah puisi karya Taufik Ismail yang ada dalam kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi
Orang Indonesia.
3.3 Sumber Data

Sumber data merupakan aspek yang sangat penting karena ketepatan memilih dan
menentukan sumber data akan menentukan validitas data atau informasi yang disajikan. Ada
pun data yang menjadi sumber dalam karya tulis ini dibagi menjadi dua yaitu sumber primer
dan sumber sekunder. Sumber primer berasar dari buku antologi (kumpulan puisi) Malu
(Aku) Jadi Orang Indoneisia karya Taufik Ismail. Sedangkan untuk sumber sekunder berasal
dari buku-buku dan artikel-artikel dari internet yang memuat teori-teori yang relevan dengan
pembahasan.
3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan mengumpulkan
bahan pustaka, membaca, memilah data, mencatat, mengidentifikasi dan memantapkan
kebenaran data untuk kemudian digunakan sebagai bahan analisis. Pengumpulan data
dilakukan untuk menjaga kealamiahan data yang diperoleh. Dalam karya tulis ini,
pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka yaitu dengan mengumpulkan berbagai
sumber pustaka seperti kumpulan puisi Taufik Ismail Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, serta
pustaka-pustaka penunjang berupa teori-teori mengenai ketidaklangsungan ekspresi puisi.
3.5 Teknik Analisis

Teknik analisis data adalah proses mengatur urutan data dengan menggolongkannya ke dalam
suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Teknik analisis data yang digunakan dalam
karya tulis ini antara lain dengan identifikasi, interpretasi, analisis dan pemberian kesimpulan.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Analisis Puisi “Seratus Juta”
Puisi ini menceritakan bagaimana sengsaranya kehidupan orang-orang miskin yang tidak
mempunyai pekerjaan (pengangguran) dikarenakan sempitnya lapangan pekerjaan. Taufik
mengekspresikan jiwanya melalui puisi dengan kata-kata sederhana yang mengandung
ketidaklangsungan ekspresi sebagai pewarna yang memperindah karyanya.
Ketidaklangsungan ekspresi sudah dapat dilihat pada baris pertama puisi: Ummat miskin dan
penganggur berdiri hari ini. Kata berdiri mengandung penggantian arti dari hidup atau
kehidupan, sedangkanhari ini menggantikan arti dari sekarang. Di sini, digambarkan umat
atau kaum miskin dan pengangguran yang hidup di masa sekarang.

Baris kedua: Seratus juta banyaknya, tampakkah olehmu wajah mereka. Saking banyaknya
umat miskin dan pengangguran yang ada, penyair mengibaratkan jumlahnya seratus juta
untuk menggantikan jumlah sesungguhnya. Kemudian penyair bertanya tampakkah olehmu
wajah mereka. Maksudnya adalah dengan jumlah yang demikian banyak ini, wajah-wajah
umat miskin dan pengangguran itu sampai sulit untuk dikenali satu per satu.
Baris ketiga: Di tengah mereka tak tahu aku akan berbuat apa. Baris ini mengandung
penyimpangan arti, khususnya ambiguitas. Interpretasi pertama adalah si aku tidak tahu apa
yang akan dilakukan mereka (umat miskin dan pengangguran) di tengah-tengah
kehidupan. Sedangkan interpretasi kedua adalah si aku tidak tahu harus berbuat apa ketika
berada di tengah-tengah mereka (umat miskin dan pengangguran).

Ambiguitas kembali muncul pada baris keempat: Kini kutundukkan kepala,


karena. Kutundukkan kepala bisa berarti si penyair sedih dan merenung, melihat keadaan
seperti ini yang dianggapnya merupakan sesuatu yang luar biasa sperti yang ada pada baris
kelima Ada sesuatu besar luar biasa. Namun dapat pula berarti bahwa penyair tak kuasa
menahan malu karena melihat keadaan yang memprihatinkan sehingga ia hanya bisa
menundukkan kepala.
Penciptaan arti tercipta dari baris kelima dan keenam: Ada sesuatu besar luar biasa/Hilang
terasa dari rongga dada. Rima akhir yang dibentuk menimbulkan kesan paralel yang memberi
arti baru bahwa sesuatu yang besar (masalah kemiskinan dan pengangguran) terasa hilang
dari rongga dada yang sudah sesak. Sehingga penyair merasakan kehampaan dalam batinnya.

Penciptaan arti juga terdapat dalam baris ke-7 dan ke-8: Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa
kerja berdiri di sini/Saudara kita yang sempit rezeki, terbungkuk hari ini. Persejajaran bentuk
ini menimbulkan persejajaran arti: bahwa saudaraku (kaum miskin dan pengangguran) sama-
sama memiliki nasib yang menyedihkan karena tidak bisa mencari nafkah dan tidak
mendapatkan rezeki sehingga sekarang ini hanya bisa terbungkuk (tidak bisa berbuat apa-
apa), padahal mereka harus menghidupi anak dan isteri.

Nampaknya bahasa kias selalu mengiringi isi puisi. Penyair menggunakan majas hiperbola
seperti pada baris ke-9 sampai ke-14: Di belakang mereka tegak anak dan isteri, berjuta-
juta/Beratus ribu safberjejer susunannya/Sampai ke kakilangit khatulistiwa/Tak ada lagi
tempat tersedia/Di kantor, pabrik dan toko bagi mereka/Dan jadi semestalah ini sengsara. Di
sini penyair melebih-lebihkan jumlah untuk menyemai kesan bahwa angka kemiskinan dan
pengangguran sudah terlampau banyak dengan menggunakan kata-kata: berjuta-juta, berates
ribu saf, sampai ke kaki langit, dan semesta. Penyair ingin menlukiskan betapa banyaknya
orang miskin dan pengangguran yang tidak memiliki perkerjaan karena sudah tidak ada lagi
tempat yang tersedia baik di kantor, pabrik maupun toko. Keadaan seperti ini membuat
kehidupan menjadi sengsara.

Pada baris ke-14 sampai ke-16: Anak-anak tercerabut dari pendidikan/Penyakit dan obat,
sejarak dengan utara dan selatan/Cicilan kredit terlantar berantakan. Tiga baris ini
menggambarkan akibat dari makin banyaknya angka kemiskinan oleh adanya pengangguran.
Terdapat penggantian arti menggunakan majas simile atau perbandingan sesuatu yang
dianggap sama dengan hal lain yaitu pada Penyakit dan obat, sejarak dengan utara dan
selatan (baris ke-15). Maksudnya adalah bagi orang miskin yang sakit, sulit sekali untuk
mendapatkan pengobatan. Pada baris ke-15 ini juga dapat dikatakan mengandung
kontradiksi, yaitu seluruh rakyat seharusnya bisa mendapatkan pengobatan dengan mudah
dan murah namun kenyataannya tidak bagi orang miskin. Pengobatan hanya untuk orang-
orang yang punya uang.
Selanjutnya, pada baris ke-18 dan ke-19: Bilakah gerangan terbuka gerbang pekerjaan/Suram,
suramnya langit keadaan/Nestapa, nestapanya cuaca bangsa. Kata-kata yang digarisbawahi
mengandung penggantian arti. Gerbang pekerjaan dapat berarti sebagai lapangan atau
lowongan pekerjaan. Langit keadaan dan cuaca bangsa yaitu kondisi bangsa yang berubah-
ubah. Penggalan baris ini menceritakan betapa suramnya keadaan orang-orang miskin yang
tidak memiliki pekerjaan karena tak ada lowongan bagi mereka.

Baris ke-21 sampai ke-23 berisi pengulangan yang menimbulkan penciptaan arti yakni untuk
menekankan kembali perasaan penyair yang sudah dijelaskan seperti apa yang ada di baris
ke-4 sampai ke-6. Terakhir, penyair membuat bait baru (bait ke-2) yang
berisi: Saudaraku/Kita mesti berbuat sesuatu/Betapa pun sukarnya itu. Saudaraku di sini
dapat dikatakan ambigu karena dapat berarti ditujukan oleh pengarang kepada orang yang
tidak termasuk golongan miskin dan pengangguran atau ditujukan kepada orang-orang miskin
dan pengangguran. Intinya, penyair mengajak untuk berbuat sesuatu demi keluar dari
permasalahan kemiskinan dan pengangguran meskipun hal itu sangat sulit dilakukan.
4.2 Analisis Puisi “Syair Empat Kartu di Tangan”

Syair Empat Kartu di Tangan merupakan puisi bernada ironi yang menceritakan tentang
keserakahan. Dalam puisi ini banyak sekali ditemukan ketidaklangsungan ekspresi. Hal ini
sudah nampak hanya ketika membaca judul. Empat kartu merupakan simbol yang
menggantikan arti sebenarnya yaitu empat hal rahasia yang menjadi dasar acuan atau kunci
si aku (lirik) dalam menjalani hidup.

Bait pertama: Ini bicara blak-blakan, bang/ Buka kartu tampak tampang / Sehingga semua
jelas membayang / Monoloyalitas kami sebenarnya pada uang. Baris kedua pada buka
kartu merupakan kiasan atau penggantian arti dari terungkapnya sebuah rahasia
sehingga tampak tampang. Maksudnya adalah terungkapnya rahasia
membuat tampang (keadaan sesungguhnya) menjadi tampak. Maka dengan terungkapnya
rahasia ini, jelaslah segala yang ditutupi bahwa sesungguhnya monoloyalitas atau yang
dalam KBBI berarti kesetiaan tunggal kami ada pada uang. Apa pun yang
dipikirkan kami selalu mengerucut pada yang namanya uang.

Penciptaan arti jelas terlihat pada bait pertama yang penuh dengan keseimbangan (simitri),
baik dalam hal rima akhirnya, baris-baris dalam baitnya, maupun antara bait satu dengan bait
lainnya. Baris-baris dan bait-bait ini merupakan paralelisme yang tersusun rapi. Begitu pula
halnya dengan keseimbangan tipografinya. Hal ini dapat menimbulkan penciptakan arti baru
karena dari kesejajaran atau keseimbangan timbullah orkestrasi (bunyi musik) dan irama
yang menyebabkan kesan liris. Makna baru yang muncul oleh kesejajaran dan keparalelan ini
adalah bahwa terbukanya rahasia menyebabkan keburukan berupa monoloyalitas pada
uang yang ada di dalamnya terlihat jelas.

Pada bait kedua, baris pertama: Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara, penyair mulai
menggunakan penyimpangan arti berupa nonsense yaitu ka-bukaan. Di sini, terdapat
pengulangan suku kata dalam satu kata. Selain itu, pada baris ketiga sehingga buat apa basi
dan basa, penyair mempermainkan struktur kalimat dan menggunakan penggantian arti
pada basi dan basa. Basi dan basa menggantikan arti dari segala sesuatu yang dilakukan
dengan bertele-tele atau tidak langsung merujuk pada perbuatan yang dituju. Kemudian pada
baris keempat: Sila kami Keuangan yang Maha Esa. Jika diperhatikan, penyair mengadopsi
kalimat dari salah satu isi pancasila (sila pertama) dengan mengganti kata ketuhanan menjadi
keuangan.

Lanjut pada bait ketiga Jangan sungkan buat apa yah-payah/Analisa psikis toh cuma kuasi
ilmiah/Tak usahlah sah-susah/Ideologiku begitu jelas ideologi rupiah. Penyair kembali
menggunakan penyimpangan arti nonsense pada yah-payah. Selanjutnya pada baris
kedua Analisa psikis toh cuma kuasi ilmiah. Analisa psikis menggantikan arti sebenarnya
yaitu tes psikologi yang biasa digunakan pada tes-tes masuk sekolah maupun tes masuk
kerja. Kuasi ilmiah mewakili arti sebenarnya sebuah prosedur dan formalitas. Ada
pula ideologi rupiah yang menggantikan arti atau makna sebenarnya. Ideologi merupakan
dasar pemikiran atau pandangan, sedangkan rupiah adalah nama mata uang Indonesia. Frasa
ideologi rupiah berarti pandangan atau dasar pemikiran si aku (lirik) adalah uang yang dalam
hal ini dapat dikaitkan dengan materi. Si aku selalu melakukan seusatu dengan berorientasi
pada materi. Oleh karena penyair menggunakan kata rupiah yang menjadi mata uang
Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa si aku merupakan orang Indonesia.

Jadi apabila disatukan, maka pengantian arti yang digunakan penyair dalam puisi ini
memiliki makna bahwa tes-tes psikologi yang dilakukan selama ini dalam menerima siswa
ataupun pekerja hanya merupakan prosedur demi formalitas belaka. Sedangkan yang
menjadi pertimbangan sebenarnya hanyalah uang atau materi. Istilahnya adalah siapa yang
punya uang maka ia berkuasa. Seseorang yang memiliki harta lebih bisa masuk sekolah atau
kerja dengan uang tanpa harus bersusah payah memenuhi persyaratan.

Penggantian arti kembali muncul pada bait ke-4 (baris pertama): Begini kawan, bila dadaku
jalani pembedahan. Kata yang menjadi kiasan adalah dadaku. Dada diibaratkan sebagai
tempat hati nurani, di mana seseorang menentukan pilihan setelah melalui pertimbangan
pemikiran. Baris ke-2: Setiap jeroan berjajar keliatan. Jeroan yang mengandung arti isi perut
menjadi kiasan dari segala seuatu yang ada dalam dada (hati), lalu mengalagi
pembedahan. Secara keseluruhan bait yang baris satu sama lainnya saling berkaitan, maka
penggantian arti dapat lebih mudah diidentifikasi.

Lebih dari yang telah dijabarkan di atas, selain banyaknya penggantian arti yang
mendominasi puisi, terdapat pula penciptaan arti. Penciptaan arti dapat dilihat dari simitri
(keseimbangan) rima, jumlah (bait dan baris) dan tipografi. Pada rima, di setiap akhir baris
dalam satu bait menggunakan rima akhir yang sama. Puisi ini juga mengandung empat bait
yang masing-masing bait mengandung empat baris. Jumlah ini sesuai dengan judulnya Syair
Empat Kartu di Tangan. Hal ini dapat menciptakan arti baru berupa penguatan bahwa si
penyair benar-benar memiliki empat kartu (rahasia) yang menjadi pegangan atau pandangan
dalam hidupnya. Selain itu dapat pula dilihat dari segi tipografinya. Keseimbangan tadi
berpengaruh pada keselarasan tipografi yang tampak datar namun menciptakan arti bahwa
antara empat kartu yang semuanya merujuk pada uang (materi) dan semua itu berada pada
tataran yang sama dalam dasar pemikiran subjek dalam puisi.
4.3 Analisis Puisi “Miskin Desa, Miskin Kota”
Metafora pada puisi ini sangat kental. Penyair sering sekali mempersamakan atau
membandingkan satu hal dengan hal lain. Bait pertama (baris pertama): Kakekmu di zaman
Jepang kena kudis dan beri-beri. Penyair menggunakan kata Kakekmu dipersamakan untuk
menggantikan arti dari nenek moyang atau orang-orang yang hidup di zaman penjajahan
Jepang. Selanjutnya ada penyimpangan arti berupa ambiguitas pada baris kedua: Bengkak di
kaki, kelaparan dan mati. Bengkak di kaki dapat diartikan kaki bengkak karena penyakit atau
kaki bengkak yang disebabkan kerja paksa yang dialami.

Bait ke-2: Beribu kami mengais/Beribu pula mengemis. Terdapat penggantian arti
berupa hiperbola yang melebih-lebihkan jumlah, yaitu beribu. Mengais juga mewakili arti
sebenarnya yaitu sesuatu yang sangat dibutuhkan (bisa jadi sandang, pangan dan papan) yang
tidak dapat dimiliki karena jumlahnya terbatas, sehingga kami harus seolah-olah mengais
untuk dapat memilikinya. Selain mengais yang ada, kami juga mengemis untuk mendapatkan
apa yang mereka inginkan. Arti mengemis di sini dapat disejajarkan dengan meminta-minta.

Bait ke-3: Keluarga kita di zaman PKI makan bulgur kuda/Panen


sedesa dilindas cuaca dan hama/Bu-likmu, misanmu, semuanya mati muda. Penyair lagi-lagi
menyelipkan penggantian arti di dalam puisi ini. Keluarga menjadi kiasan dari orang-orang
atau penduduk Indonesia yang hidup di zaman penjajahan Jepang. Bulgur kuda dalam arti
sebenarnya adalah makanan kuda yang berupa rumput. Bulgur kuda mewakili arti begitu
parahnya keadaan saat dulu sehingga rakyat Indonesia hanya bisa makan makanan yang tidak
layak. Keadaan seperti itu diperparah lagi dengan kegagalan panen sedesa
akibat dilindas atau disebabkan oleh cuaca buruk dan merebaknya hama.

Bait ke-5: Tahun ini lagi kita ditebas kesengsaraan/Negeri rubuh, kasau-jeriau dan
pagu dapur berantakan/Sesabar-sabar makhluk makan angan-angan/Jam
berdetak, angin lewat di atas tungku penjerangan/Di halaman depan menanti keranda ke
kuburan. Penyair begitu sering menggunakan penggantian arti dalam puisi ini. Baris
pertama misalnya Tahun ini lagi kita ditebas kesengsaraan. Maksud ditebas adalah
dilanda. Negeri rubuh menganalogikan keadaan negeri yang sangat buruk akibat penjajahan.
Pada kasau-jeriau dan pagu dapur berantakan, dapur berarti bahwa keadaan segala yang
berhubungan dengan logistik pada waktu itu benar-benar kacau. Makan angan-angan berarti
orang-orang pada zaman itu tidak bisa memakan makanan yang layak, karena makanan yang
layak tidak tersedia bagi mereka. Mereka hanya berkhayal untuk bisa memakan makanan
yang layak. Kemudia jam berdetak mewakili arti dari waktu yang terus berjalan, sedangkan
angin berarti kekosongan atau ketiadaan dan tungku penjerangan berarti tempat
memasak. Jika baris ke-4 digabungkan maka penggantian arti jadi lebih mudah dipahami,
yaitu seiring berjalannya waktu namun tetap saja tidak ada yang bisa dimasak untuk di
makan. Baris terakhir, kuburan merupakan pengganti dari arti sebenarnya yaitu kematian.

Puisi Miskin Desa, Miskin Kota ini memiliki tipografi yang tidak beraturan dan
disusun tidak rata. Di sini muncul penciptaan arti di luar ketatabahasaan yang mendukung
suasana ketidakkodusifan keadaan yang digambarkan dalam puisi sehingga menambah kesan
keadaan yang kacau dengan kemiskinan yang merebak bukan hanya di desa tapi juga di desa.
4.4 Analisis Puisi “Air Kopi Menyiram Hutan”
Puisi Air Kopi Menyiram Hutan yang bersifat naratif ini lebih banyak menggunakan
kata-kata langsung daripada kata-kata tidak langsung dalam mengekspresikan maksud
penyair. Puisi ini menceritakan bagaimana sebuah berita besar seperti kebakaran hutan
dimuat dalam koran. Berikut analisa ketidaklangsungan ekspresi yang terdapat dalam
puisi Air Kopi Menyiram Hutan.

Saat membaca judul, mungkin pembaca masih belum mengerti dengan apa yang
dimaksud oleh penyair. Namun, setelah membaca isi pembaca dapat mengerti baik sebagian
maupun keseluruhan isi puisi. Ini dikarenakan pada judul saja penyair sudah menggunakan
ketidaklangsungan ekspresi puisi.

Tiga juta hektar/Halaman surat kabar/telah dirayapi api/Terbit pagi ini.


Ketidaklangsungan ekspresi puisi (penggantian arti) di sini sangat terasa, karena jika
diartikan secara langsung, kutipan puisi ini tidak masuk akal. Tidak mungkin halaman surat
kabar bisa mencapai luas tiga juta hektar. Namun yang dimaksudkan penyair di sini adalah
bahwa ada berita di dalam sebuah surat kabar atau koran yang mengabarkan bahwa telah
terjadi kebakaran (dirayapi api). Hal ini dijelaskan lagi dengan Panjang empat jari/Dua
kolom tegak lurus yang mewakili arti dari seberapa panjang berita tentang kebakaran yang
dimuat.

Puisi ini terdiri dari satu bait dengan jumlah baris tiga puluh satu. Puisi ini berkesan datar jika
dilihat dari segi simitri dan tipografinya. Hal ini dapat berarti bahwa kejadian yang
dilukiskan dalam puisi ini memang dikesankan datar oleh penyair. Datar dimaksudkan
menciptakan arti baru bahwa memang kejadian besar seperti kebakaran hutan yang menjadi
berita besar dalam koran sering kali tidak digubris atau dipedulikan oleh pembacanya, atau
dengan kata lain hanya dianggap seperti angin lalu belaka. Ini terbukti dengan setelah kopi
menumpahi koran, maka sang pemilik Koran hanya melipat Koran itu dan membuangnya
tanpa memikirkan berita yang ada di koran itu.
4.5 Analisis Puisi “Kuitansi”

Puisi ini menceritakan tentang kebingungan si aku (lirik) dalam menentukan


pilihan. Ketidaklangsungan ekspresi puisi ditemukan pada beberapa bagian puisi seperti pada
bait pertama, baris ke-2 yaituDua hektar luasnya yang secara tidak langsung memberikan
pengertian yang ambigu. Dua hektar, jika diartikan langsung menjadi luas kuitansi dan dapat
diartikan lain yaitu sebagai luas sebuah tanah yang menjadi nilai dalam kuitansi.Pada bait
pertama, baris ke-4 dan ke-5: Tak tahu aku cara/menandatanganinya. Maksud
dari menandatanginya secara tidak langsung mengungkapkan persetujuan.

Pada bait ke-2: Sebuah kuitansi/Berbentuk bom waktu/Bila kuteken hari ini
/Akan meledak dua dasawarsa/Dan mencencang anak cucuku/Tak tahu aku
cara/Menandatanganinya. Metafora bom waktu muncul pada baris ke-2. Bom waktu
dinyatakan seharga dengan sesuatu yang akan meledak dalam hitungan waktu. Lalu penyair
menegaskan bahwa bom waktu itu akan meledak. Sesunguhnya yang meledak bukanlah bom
atom, namun yang dimaksud adalah akibat dari apabila si aku menandatangani atau
menyetujui isi kuitansi itu. Meledak bisa jadi adalah kejadian luar biasa yang
akanmencencang atau menghancurkan masa depan anak cucu, yang dalam al ini mewakili
arti dari keturunan si aku.
Lanjut pada bait ke-3: Selembar kuitansi/Seluas langit/Biru jernih di atas sana/Tak
tergapai/Dalam jangkauan tak sampai/Tak tahu aku cara/Menandatanganinya. Seluas
langit merupakan metafora dari sesuatu yang begitu luas sehingga dinyatakan sama dengan
luasnya langit. Si aku harus benar-benar mempertimbangkan keputusan untuk menyetujui
atau tidak isi kuitansi yang sangat berharga dan bahkan mungkin tak tergapai. Namun, ia
masih saja bingung bagaimana menentukan pilihan (bagaimana cara menandatanganinya).

Bait ke-4: Sebuah kuitansi/Berbentuk lipatan kain kafan/Berwarna perak


berkilauan/Dengan jari bergetaran/Di bagian bawah di sudut
kanan/Tandatanganku/kugoreskan. Kain kafan bukan diartikan sebagai kain kafan
sebenarnya, namun menggantikan arti dari kematian atau sesuatu yang suram dan
mengantarkan pada keberakhiran. Perak berkilauan menggantikan arti dari sesuatu yang
menggiurkan atau memukau. Jari bergetaran, maksudnya adalah kegugupan yang dialami si
aku hingga akhirnya ia mengambi keputusan untuk menyetujui isi kuitansi yang diwakili
oleh Di bagian bawah di sudut kanan/Tandatanganku/kugoreskan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Ketidaklangsungan ekspresi puisi adalah salah satu cara yang digunakan penyair
untuk menimbulkan kesan menyenangkan pada puisinya. Ketidaklangsungan ini dapat
berupa pengantian arti, penyimpangan arti (ambiguitas, kontradiksi, nonsense) dan
penciptaan arti. Tujuan penyair menggunakan ketidaklangsungan ekspresi puisi adalah untuk
menyembunyikan arti sesungguhnya untuk kemudian menjadi tantangan bagi pembaca.

Setiap penyair memiliki ciri khas atau gaya sendiri-sendiri dalam menggunakan
ketidaklangsungan ekspresi dalam puisinya. Salah satu penyair yang banyak menggunakan
ketidaklangsungan ekspresi puisi adalah Taufik Ismail. Dalam kumpulan puisi Malu (Aku)
Jadi Orang Indonesia Karya Taufik Ismail, penulis telah menguraikan analisis
ketidaklangsungan ekspresi puisi yangterkandung di dalam lima puisi dengan masing-masing
judul: Seratus Juta; Syair Empat Kartu di Tangan; Miskin Desa, Miskin Kota; Air Kopi
Menyiram Koran; dan Kuitansi. Di antara ragam jenis ketidaklangsungan ekspresi puisi,
dalam kelima puisi yang dianalisis, penggantian artilah yang paling banyak muncul jika
dibandingkan dengan penyimpangan arti maupun penciptaan arti.
4.2 Saran

Ketidaklangsungan ekspresi memang seperti menjadi hal yang wajib ada dalam puisi. Hal ini
bukan semata-mata untuk memberikan kesan estetik pada puisi, namun juga mengandung
unsur mendidik pembaca. Namun alangkah baiknya apabila sebagai pembaca, tidak hanya
terus-menerus bentindak sebagai konsumen atau penikmat puisi karya orang lain. Terlebih
dengan seringnya membaca puisi karya-karya penyair terkenal seperti Taufik Ismail ini,
setidaknya pembaca mendapat pengetahuan lebih dan dimungkinkan mendapat inspirasi
untuk ikut berkarya. Dalam berkarya nantinya, ketidaklangsungan ekspresi puisi dapat
dipakai sebagai sarana menyampaikan maksud di dalam puisi secara halus, berseni dan
mendidik.
DAFTAR RUJUKAN
Ismail, Taufik. 1998. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Jakarta: PT Inter Masa.
Pradopo, R.D. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, R.D. 1997. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Indrayanto. 2010. “Pengertian Metode Kualitatif”. (online) http://id.shvoong.com/social-


sciences/education/2027031-pengertian-metode-kualitatif/. Diakses 13 Juni 2012.
LAMPIRAN
Seratus Juta
Ummat miskin dan penganggur berdiri hari ini
Seratus juta banyaknya, tampakkah olehmu wajah mereka
Di tengah mereka tak tahu aku akan berbuat apa
Kini kutundukan kepala, karena
Ada sesuatu besar luar biasa
Hilang terasa dari rongga dada
Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa kerja berdiri di sini
Saudara kita yang sempit rezeki, terbungkuk hari ini
Di belakang mereka tegak anak dan isteri, berjuta-juta
Beratus ribu saf berjejer susunannya
Sampai ke kakilangit khatulistiwa
Tak ada lagi tempat tersedia
Di kantor, pabrik dan toko bagi mereka
Dan jadi semestalah ini sengsara
Anak-anak tercerabut dari pendidikan
Penyakit dan obat, sejarak dengan utara dan selatan
Cicilan kredit terlantar berantakan
Bilakah gerangan terbuka gerbang pekerjaan
Suram, suramnya langit keadaan
Nestapa, nestapanya cuaca bangsa
Kini kutundukkan kepala, karena
Ada sesuatu besar luar biasa
Hilang terasa dari rongga dada
Saudaraku
Kita mesti berbuat sesuatu
Betapa pun sukarnya itu.
(Ismail, Taufik. 1998:5)
Syair Empat Kartu di Tangan
Ini bicara blak-blakan, bang
Buka kartu tampak tampang
Sehingga semua jelas membayang
Monoloyalitas kami sebenarnya pada uang
Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara
Koyak tampak terkubak semua
Seingga buat apa basi dan basa
Sila kami Keuangan Yang Maha Esa
Jangan sungkan buat apa yah-payah
Analisa psikis toh cuma kuasi ilmiah
Tak usahlah sah-susah
Ideologiku begitu jelas ideologi rupiah
Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan
Setiap jeroan berjajar keliatan
Sehingga jelas sebagai keseluruhan
Asas tunggalku memang keserakahan
(Ismail, Taufik.1998: 28)
Miskin Desa, Miskin Kota
Kakekmu di zaman Jepang kena kudis dan beri-beri
Bengkak di kaki, kelaparan dan mati
Beribu kami mengais
Beribu pula mengemis
Keluarga kita di zaman PKI makan bulgur kuda
Panen sedesa dilindas cuaca dan hama
Bu-likmu, misanmu, semuanya mati muda
Berpuluh ribu kami mengais
berpuluh ribu pula mengemis
Tahun ini lagi kita ditebas kesengsaraan
Negeri rubuh, kasau-jeriau dan pagu dapur berantakan
Sesabar-sabar makhluk makan angan-angan
Jam berdetak, angina lewat di atas tungku penjerangan
Di halaman depan menanti keranda ke kuburan
Tak terhitung kami mengais
tak terhitung pula yang mengemis
(Ismail, Taufik. 1998: 68)
Air Kopi Menyiram Hutan
Tiga juta hektar
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar dari pick-ap
Subuh dar percetakan
Ditumpuk di tepi jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di mejamakan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Ramut isteri kekusutan
Empat anak berseliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di ujung tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di bacaan
Menyiram tigajutahektar koran
Dua kolom kepanjangan
Api padam menutup hutan
Koranbasah dilipat empat
Keranjang plastik anyaman
Tempat dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan
(Ismail, Taufik. 1998: 134)
Kuitansi
Selembar kuitansi
Dua hektar luasnya
Terbentang di hadapanku
Tak tahu aku cara
Menandatanganinya
Sebuah kuitansi
Berbentuk bom waktu
Bila kuteken hari ini
Akan meledak dua dasawarsa
Dan mencencang anak cucuku
Tak tahu aku cara
Menandatanganinya
Selembar kuitansi
Seluas langit
Biru jernih di atas sana
Tak tergapai
Dalam jangkauan tak sampai
Tak tahu aku cara
Menandatanganinya
Sebuah kuitansi
Berbentuk lipatan kain kafan
Berwarna perak berkilauan
Dengan jari bergetaran
Di bagian bawah di sudut kanan
Tandatanganku
kugoreskan

Anda mungkin juga menyukai