Komodifikasi merupakan proses yang tidak hanya berhubungan dengan bagaimana produksi menjadi produk
massa, tetapi juga berhubungan bagaimana produk tersebut dapat didistribusikan ke pasar untuk memenuhi
kebutuhan konsumen. Seni lukis wayang Kamasan merupakan fenomena komodifikasi dan industri kreatif yang
menarik untuk dikaji secara kritis dengan pendekatan culture studies untuk mengetahui keinginan pariwisata.
Sebagai alat analisis digunakan teori teori komodifikasi. Metode yang digunakan mengkaji penelitan
komodifikasi adalah metode kritis yang bersifat emansipatoris, melibatkan pelukis,dan pelaku bisnis (industri
pariwisata). Hasil penelitian ini; (1) produksi seni lukis wayang Kamasan sudah terjadi pengkaburan makna dari
makna simbolik menjadi makna ekonomi, keos (brecolage), dan menjadi produksi massa, (2) distribusi seni lukis
wayang Kamasan di pasar sangat dinamis, selain untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal tetapi juga pasar global
berupa produk kreatif. (3) konsumsi seni lukis wayang Kamasan tidak hanya oleh masyarakat lokal sebagai
persembahan, tetapi juga oleh pariwisata sebagai souvenir
Commodification is a process that not only relates to how the production becomes a mass product, but also to
how the product can be distributed to the market to meet customer needs. Wayang Kamasan painting is a
phenomenon of commodification and creative industries which is interesting to study critically with an approach
to cultural studies to determine the wishes of tourism. As an analytical tool theories of commodification are
applied. The method used in analyzing a modification research is the critical method that is emancipatory,
involving painters, and businesses owner (tourism industry).
The results of the discussion are (1) in the production of wayang Kamasan painting, obscuring of meaning of the
symbolic into economic significance, keos (brecolage), and into mass production, (2) the distribution of painting
puppet Kamasan in the market is very dynamic, in addition to meeting the needs of the local market but also the
global market in the form of creative products. (3) consumption of wayang Kamasan painting not only by the
local people as offerings, but also by tourism as a souvenir
68
I Wayan Mudana, Pande Ketut Ribek (Komodifikasi Seni Lukis...) MUDRA Jurnal Seni Budaya
69
MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 1, Februari 2017
70
I Wayan Mudana, Pande Ketut Ribek (Komodifikasi Seni Lukis...) MUDRA Jurnal Seni Budaya
terdapat ‘sebel’ (kotor kain) yang datang dengan terjadinya kesetaraan gender di Desa
setiap bulan sekali. Kamasan.
Pemujaan ideologi secara buta dengan
menganggap ‘sebel’ sebagai pantangan Implikasinya seni lukis wayang Kamasan
melukis dapat meminggirkan perempuan berkembang sangat cepat disertai dengan
dalam melakukan aktivitasnya sebagai munculnya pelukis-pelukis perempuan,
pelukis. Pekerjaan perempuan dibatasi untuk seperti Ni Srengkog, Ni Tangkid, Suciarmi,
menghasilkan tekstil (menenun) berupa kain Normi, Muriari, dan Sriwedari. Pelukis
endek, cepuk, songket, dan membuat sesaji tersebut merupakan pendobrak tradisi lama
untuk dipersembahkan kepada Ida yang tidak memperbolehkan seorang
Sanghyang Widhi Wasa, melayani suami, perempuan untuk mengambil pekerjaan
mengurus anak dan dapur. melukis. Secara tradisi di Desa Kamasan
orang yang dapat dikatakan sebagai
Implikasinya semenjak meninggalnya sangging/pelukis apabila sudah bisa
Sangging Modara terjadi kemandekan membuat sketsa. Komersialisasi mampu
generasi melukis (habitus) karena semua mendorong motivasi ekonomi para pelukis
anak-anak Gede Modara perempuan. untuk untuk memproduksi produk-produk
Sedangkan perempuan tidak diperkenankan kreatif dalam memenuhi kebutuhan
untuk mengambil pekerjaan melukis. pariwisata. Produksi kultural berhubungan
Generasi pelukis justru muncul dari kumpi dengan produk yang diproduksi dan pihak-
Payungan (seorang undagi) yang bernama pihak yang terlibat dalam proses produksi.
Ketut Kute lebih dikenal dengan Ketut Lui. Produk-produk yang diproduksi secara
Pelukis seangkatan Lui adalah Kaki massa berupa produk souvenir dengan
Sambug, dan Kaki Liya. Pada generasi Lui- memanfaatkan medium-medium yang
lah lahir pelukis-pelukis maestro (sangging), bersifat eklektik berupa barang-barang
seperti Kayun, Dogol, Lenged, Ngales, dan kerajinan, seperti kipas, tas, dompet,
Pan Remi. Kelima pelukis ini merupakan payung, tempat tisu, gantungan kunci dll.
kawan sepermainan sejak kecil dan belajar
melukis pada Lui secara bersama-sama. Kapitalisme diasumsikan sebagai
Padahal orang tua Dogol seorang sangging pecundang, Bourdieu (2010 : xvii), dengan
yang sangat pinter melukis wayang bernama kekuatan modal dan jaringan yang dimiliki
Kaki Sambug dan sangat disegani pada saat mampu mendistribusikan ide-ide dalam
itu. memproduksi dan mereproduksi produk
massa untuk didistribusikan ke pasar.
Untuk meningkatkan kesejahteraan Konsumen dikatakan telah mengkonsumsi
masyarakat Kamasan secara ekonomi, pada ide-idenya sendiri dengan standarisasi dan
masa pemerintahan kolonial Belanda (1908) idealisme semu. Pihak-pihak yang terlibat
terjadi pembongkaran tradisi lama dengan dalam proses produksi kultural, adalah
memperbolehkan perempuan terlibat dalam pelukis dan kapitalisme.
profesi melukis sehingga terjadi
komersialisasi dan kesetaraan gender. Ni Estetika pencerahan ditransformasikan ke dalam
Tanjung dan Ni Srengkog dilibatkan dalam bentuk produk kreatif berupa karya souvenir untuk
pemugaran lukisan yang terdapat pada di distribusikan ke pasar. Produk pencerahan
bangunan Kertha Gosa tahun 1930 dikaburkan untuk ditukarkan dengan simbol-
khususnya dalam bidang pewarnaan. simbol uang berupa karya-karya fitis, produksi dan
Masuknya modernisasi di Bali khususnya reproduksi. Ruang-ruang pemahaman terhadap
dalam kontek seni lukis wayang Kamasan penjelasan dan interpretasi tentang nilai-nilai
ditandai dengan komersialisasi dan ketuhanan, kreatifitas, dan keindahan (Siwam,
pembongkaran atas kebiasaankebiasaan Satyam, Sundaram) (Ratna, 2011: 32-34)
melukis tradisi lama sebagai tanda dikomodifikasi menjadi ruang-ruang untuk
berakhirnya dominasi laki-laki terhadap melakukan daya tawar yang menampilkan
perempuan dalam aktivitas melukis ditandai permainan simulasi untuk meningkatkan nilai jual.
71
MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 1, Februari 2017
Lukisan wayang pada kober pengider-ider sebagai semu merupakan produk rekaan dengan cara
obyek, kualitas dan tanda yang sarat dengan meniru, mendaur-ulang dengan cara memberikan
simbol-simbol warna digunakan sebagai sarana tambahan, sisipan, sentuhan-sentuhan estetika
ritual melambangkan arah mata angin sehingga mencerminkan kebaruan. Semakin tinggi
dikomodifikasi untuk memenuhi kebutuhan standar produksi yang dikonsumsi oleh konsumen
konsumen berupa karya-karya souvenir seperti, tas, harus berani mengeluarkan uang yang lebih tinggi
dompet, payung, kipas, dan tempat tisu. untuk memperoleh standar kualitas produksi.
Produk industri budaya bersifat “fitisisme” yang
Komodifikasi ruang dan waktu memiliki hubungan mendewa-dewakan uang. Nilai-nilai sakral yang
sangat erat serta merupakan satu kesatuan untuk dilekatkan pada seni lukis wayang Kamasan seperti
kepentingan ritual dan komersial. Ketika kober, ide-ider, pedapa, tabing sudah dikaburkan
ditempatkan ditempat-tempat suci atau tempat- dengan produk kreatif berupa karya soevenir
tempat yang dapat memberikan pencerahan dengan menonjolkan nilai ekonomi untuk
kemudian disucikan (dipelaspas) dengan sarana mendapatkan keuntungan berupa uang.
banten maka disebut sebagai seni sakral. Produk budaya yang didistribusikan di pasar
Sedangkan kalau dipajang di toko, artshop sebagai direduksi dari kepentingan kapitalisme
barang dagangan yang setiap saat dapat industri kreatif dengan hitung-hitungan
diperjualbelikan maka disebut sebagai seni profan. untung dan rugi.
Sesungguhnya pelukis memiliki keinginan dan Produksi seni lukis wayang Kamasan
kemampuan untuk membuat lukisan yang merupakan produk simulasi permainan
mencerminkan idealisme tradisi. Karena terbentur kreatif untuk menciptakan produk-produk
oleh kebutuhan hidup sehingga tidak dapat baru yang efektif, efisien, dan ekonomis
menolak keinginan-keinginan kapitalisme untuk dengan cara mengaburkan seni sakral
melakukan praktik produk massa dan profanisasi. dengan seni profan. Produk kreatif
Di lain pihak jumlah pelukis yang memproduksi postmodern sangat irasional, relatif,
idealism jumlahnya semakin berkurang dari tahun memperhatikan hal-hal yang remeh-temeh
ke tahun. Produksi massa dan profanisasi dan terpinggirkan. Produksi postmodern
merupakan gejala postmodern produk budaya juga sangat korperatif, terstruktur, chaos,
yang memproduksi produk tiruan, daur-ulang dari mencerminkan persepsi-persepsi kritis,
ide-ide masa lalu sehingga mencerminkan fleksibel dan bebas. Setiap individu
standarisasi dan idealisme semu yang mirip dan diberikan ruang untuk mempersepsikan
sepadan (Mudana, 2015; Strinati,1992: 76). secara kritis pandanganpandangan kritisnya
Semakin mirip produk yang diproduksi tentang perubahan sehingga tercipta produk-
menunjukan keberhasilan untuk menentukan produk baru berupa produk soevenir.
standarisasi harga di pasar. Sedangkan idealisme
Tabel 1
Komodifikasi Seni lukis wayang Kamasan
Perubahan Tradisional Postmodern
Proses Laki-laki saja Tran-Gender
Ide renungan suci, simbolik, Ide pinjaman masa lalu, daur
Bentuk Estetika sebagai persembahan kepada ulang, didistribusikan di
Ida Sanghyang Widhi Wasa. pasar, dipersembahkan kepada
untuk memohon keselamatan. pariwisata. untuk memperoleh
uang.
Ngedum karang yang terikat Arena bermain-main, sebagai
Pembagian Ruang oleh ruang dan waktu dan daya tawar untuk menentukan
pakem. harga.
72
I Wayan Mudana, Pande Ketut Ribek (Komodifikasi Seni Lukis...) MUDRA Jurnal Seni Budaya
Gambar Estetika Pragmatis (Oposisi) Seni Lukis Wayang Kamasan dalam bentuk payung, angklung, tas dll.
Dokumen: I Wayan Mudana, (2014)
2.2 Perubahan Distribusi Pada era modern yang ditandai dengan
Untuk meningkatkan kesejahteraan para pemerintahan Kolonial Belanda (1908)
seniman karya-karya lukisan yang bermutu Gubernur Jenderal De Jonge menugaskan
tinggi dan adiluhung yang digunakan Walter Spies (1927), dan Rudulf Bonnet
sebagai persembahan sangat potensial (1929) untuk memberikan pembinaan
dikomersialkan untuk menyediakan kepada pelukis-pelukis Kamasan untuk
kebutuhan pariwisata. Pihak-pihak yang menghasilkan karya yang layak
terlibat dalam proses pendistribusian produk dikomersialkan. Dalam pembinaan Spies
pasar adalah (1) pemerintah, yang mengatur dan Bonnet memperkenalkan estetika
regulasi berkaitan dengan perizinan dan modern, tentang pengungkapan ekspresi,
dokumen, (2) pebisnis; travel, memberikan cara-cara menstilir, cara-cara membuat
informasi tentang objek dan atraksi wisata, komposisi, proporsi, cara memperoleh kesan
pasar seni; Artshop, dan gallery, sebagai harmonis, pewarnaan, persefektif dan
agen, (3) media, memberikan informasi dan penyajian. Identitas tradisi yang unik dan
gambaran tentang kondisi dan keadaan khas tetap dipertahankan seperti persfektif
barang terhadap masyarakat, dan (4) hierarkis, ngedum karang, molokan, neling,
masyarakat lokal yang berinteraksi langsung ngampad, nyepuk, nyoca, meleti, dan ngerus
dalam proses distribusi. tetap dipertahankan sebagai identitas.
73
MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 1, Februari 2017
Komoditas yang didistribusikan di pasar sangat sudah cukup bagi orang miskin untuk makan dan
dinamis, selain didistribusikan ke pasar lokal juga minum.
didistribusikan ke pasar global. Produk
komodifikasi, selain memiliki nilai guna juga Pada tahun 1946 seorang warga Belanda bernama
memiliki nilai tukar (Barker, 2004 : 14). Menurut Koopman mendirikan Gallery di Sindu, Sanur. Hal
Piliang (2005 : 191) komoditas pasar diasosiasikan itu merupakan angin segar bagi para pelukis untuk
sebagai kapitalisme yang memiliki kemampuan berkarya kembali karena Gallery ini dapat
mengubah seni lukis wayang Kamasan menjadi memasarkan karya-karya mereka. Pada tahun 1948
produk souvenir untuk didistribusikan di pasar. tempat Neuhaus dibeli oleh Thomas Cook dari
Produksi pasar dikaburkan dengan pencitraan Surabaya yang bekerja sebagai biro perjalanan
untuk meningkatkan nilai jual. Citra bukan wisata. Selanjutnya, didirikan Gallery sekaligus
merupakan representasi realitas, melainkan citra sebagai tempat hunian. Berdirinya Gallery ini
yang dikonstruksi melalui mekanisme transformasi dapat menyalurkan karya-karya seniman lebih
yang berimplikasi perubahan. Citra merupakan banyak lagi sehingga menyulut minat pelukis
salinan realitas di luar dirinya yang disebut untuk bekerja lebih keras untuk menghasilkan
Baudrillard sebagai simulakra. karya-karya terbaik.
Pendistribusian karya-karya lukisan binaan Walter Arus kunjungan wisatawan ke Bali terus
Spies dan R. Bonnet selain dipamerkan dan meningkat setelah Hotel Bali Beach di Sanur
dilombakan juga disalurkan melalui komersialisasi (sekarang Inna Bali Beach) berdiri tahun 1966.
dengan meminta batuan Han Neuhaus dan Rolf Selain itu, diresmikannya Airport Ngurah Rai,
Neuhaus (kembar) bersaudara yang lebih dikenal Tuban 1976 menyebabkan Gallery, artshop, toko
dengan “Mr. Be” berkebangsaan Jerman untuk seni, yang menjual lukisan tumbuh dan
membuka salah satu cabang Gallery di Bali yang berkembang sangat pesat. Donal Freied (Tuan
berlokasi di Pantai Sindu Sanur. Sekarang Tonal) seniman asal Australia membuat tempat
lokasinya disekitar Hotel Segara Village, Sanur, tinggal di Batu Jimbar Sanur tahun 1968. Tempat
Bali (Setem, 2003: 56--57). Neuhaus bersaudara ini berkembang menjadi pusat seni dan gallery
tinggal dan membuka bisnis berupa Gallery di untuk menjual karya-karya lukisan. Setelah
Pantai Sindu, Sanur dengan barang dagangan Donald Friend meninggal tempat ini dibeli oleh
berupa keramik, togog (patung), dan lukisan. Wija Wawuruntu. Selanjutnya direstorasi menjadi
Tanjung Sari Cottages yang didalamnya terdapat
Karya lukisan yang dipasarkan di Sanur pada Gallery. Semakin berkembangnya pariwisata
Gallery “Mr.Be” dibeli sangat murah, yaitu 20-30 menyebabkan muncul Gallerygalery di Sanur,
sen. Mr.Be, bekerja sama dengan KPM dan seperti Gabrig, Darga, Swardana, Restro,
menghubungi Bali Hotel sebagai penginapan Rareangon, Puri Santrian. Di Ubud muncul
terbesar saat itu. Pelukis sangat senang karya- Gallery Pande Suteja Neka Gallery (1966),
karya mereka dapat diperjualbelikan. Karya yang Rudana (1974), Anak Agung Rai, Barwa.
dibeli sangat murah dijual dengan harga murah Semua Gallery tersebut menjual produk-
kepada wisatawan ternyata tidak ada yang mau produk lukisan wayang Kamasan.
membeli mengakibatkan Neuhaus frustasi dan
tidak mau menjual lukisan. Dalam kondisi frustasi Secara khusus Belanda juga pernah
dan panik dia menganggap sudah tidak ada memamerkan seni lukis wayang Kamasan di
harapan untuk menjual barang seni, harga lukisan Prancis dengan tajuk “Pameran Kolonial”
dinaikkan menjadi harga yang wajar dipasarkan (Exposition Colonial) tahun 1931 dalam satu
dengan pendekatan profesional, ternyata bisnisnya anjungan yang dibuat sangat khusus. Dalam
menjadi sangat lancar. Karya-karya yang awalnya pameran tersebut disertakan lukisan wayang
tidak laku diborong habis oleh wisatawan saat itu Kamasan dan tersedia informasi-informasi
sehingga menambah semangat Neuhaus pariwisata yang bermutu tentang masyarakat
bersaudara untuk berburu lukisan. Menurut Bali khususnya Desa Kamasan sebagai
Pedanda Simpar (dalam Setem, 2003: 57), harga sentra produksi seni lukis wayang Kamasan.
lukisan yang dibeli sekitar 20--30 sen, lalu dijual Sayangnya anjungan yang sangat khusus
kembali dengan 40 sen oleh Mr Be. Uang satu sen
74
I Wayan Mudana, Pande Ketut Ribek (Komodifikasi Seni Lukis...) MUDRA Jurnal Seni Budaya
dibuat untuk promosi wisata Bali terbakar lukisan pasar. Meskipun ada beberapa yang
(Gouda,1995: 363). masih bertahan pada struktur idealisme
tradisi lama. Untuk memperkenalkan
Seni lukis wayang Kamasan yang produk-produk yang diproduksi oleh perajin
didistribusikan sebagai komoditas pasar dipromosikan melalui pameran dagang atau
sangat dinamis, selain didistribusikan di pameran pembangunan yang bersekala lokal,
pasar lokal juga dapat didistribusikan ke daerah, nasional, maupun internasional.
pasar global. Produk yang didistribusikan di
pasar lokal berupa sarana persembahan, Perubahan pendistribusian gaya lukisan
lukisan pajangan, dan menghias bangunan. Mangku Mura terjadi semenjak
Sedangkan yang didistribusikan di pasar meninggalnya sang mestro pelukis wayang
global berupa produk-produk souvenir. Kamasan yang sangat menjunjung tinggi
Menurut Barker (2004: 14) produk pasar idealisme tradisi pakem dan sangat
selain memiliki nilai guna juga memiliki mempercayai kodrat. Lukisan Mangku
nilai tukar. Pengusung gaya lukisan Mangku Mura lebih banyak didistribusikan untuk
Mura mendistribusikan produk-produknya memenuhi kebutuhan para elite yang
untuk melengkapi koleksi pribadi, koleksi memiliki kemampuan untuk mengkoleksi
gallery, dan melengkapi koleksi Museum. dan melengkapi koleksi museum dan
Semenjak meninggalnya Mangku Mura koleksi pribadi.
kebiasaan melukis dilanjutkan oleh putra
dan putrinya, seperti I Nyoman Kondra, Karena banyaknya permintaan terhadap lukisan
Nengah Muriati, Darmini, dan Widiatmika. Mura dan koleksi sangat terbatas, maka muncul
Pelukis-pelukis tersebut memiliki keinginan-keinginan untuk menduplikasi,
kemampuan menduplikasi gaya lukisan mendistribusikan pencitraan untuk memperoleh
Mangku Mura dengan baik meskipun tidak imbalan uang. Kelompok pelukis Siku memiliki
pernah mendapat bimbingan secara khusus kemampuan menduplikasi lukisan Mangku Mura.
dari orang tuanya. Menduplikasi merupakan Komodifikasi juga dilakukan untuk menghias
ciri dari postmodern dan komodifikasi untuk hotel dan menghias tempat-tempat suci. Ketika
mengkaburkan pendistribusian order-order melukis di Vila Ating Bahay Muriati mengatakan
pencitraan pasar ditukarkan dengan nilai bahwa sesungguhnya banyak pelukis yang
ekonomi berupa uang. menawar dengan harga bervariasi. Karena pemilik
vila menghendaki lukisan yang berkarakter gaya
Di lain pihak, pengusung gaya lukisan lukisan Mangku Mura maka ditunjuk Muriati
Nyoman Mandra jumlahnya sangat banyak untuk mengambil proyek vila ini. Muriati juga
dan sangat dinamis. Hampir sebagian besar mengatakan dalam mendistribusikan lukisan untuk
pelukis di Kamasan sebagai pendukung gaya menghias hotel banyak dibantu oleh ibu
Mandra yang tersebar dari Br Sangging, Br Ambarwati kurator Hotel Four Season Jimbaran
Pande, Pande Mas, Br Tabanan. Pendukung- Bali.
pendukungnya ini sebagian mengembangkan
Tabel 2
Perubahan Distribusi dan Konsumsi Lukisan Pengusung Identitas Mangku Mura
Konsumen Asal Pekerjaan Distribusi
75
MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 1, Februari 2017
76
I Wayan Mudana, Pande Ketut Ribek (Komodifikasi Seni Lukis...) MUDRA Jurnal Seni Budaya
77
MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 1, Februari 2017
konsumen selalu diberi tau bahwa lukisan yang Perubahan-perubahan konsumsi dalam memenuhi
dikonsumsi bukan lukisan Mangku Mura tetapi kebutuhan pasar menurut Douglas & Isherwood
lukisan duplikasi yang dihasilkan oleh anak-anak dalam (Kebayantini, 2013:71), disebut sebagai
dari Mangku Mura sendiri. penanda identitas yang berkaitan dengan (1)
perubahan konsumsi pelukis, bahan kain, bahan
Pengusung gaya lukisan Mandra lebih banyak dari kerajinan, bahan warna, perekat warna,
mengkonsumsi seni lukis wayang Kamasan peralatan melukis, (2) karakteristik konsumsi
menjadi produk souvenir untuk memenuhi konsumen, bisa dilihat dari negara asal,
kebutuhan pariwisata. Produk pariwisata bersifat pendidikan, pekerjaan yang menjelaskan status
sangat touristic sarat dengan permainan sosial ekonomi, status sosial tradisional, (2) pola-
kapitalisme dengan hitung-hitungan untung dan pola konsumsi konsumen, terkait dengan waktu,
rugi. Nilai-nilai tradisi yang biasanya dilekatkan tempat, dan keterlibatan konsumen, (3) tanggapan
pada lukisan dikaburkan dengan pertimbangan konsumsi konsumen, berkaitan dengan identitas
untung dan rugi. Lukisan direduksi menjadi baru yang mencerminkan adanya pencitraan.
produk-produk yang cepat laku, tepat sasaran, dan
cepat mendatangkan uang. Individualisme a. Perubahan konsumsi pelukis
mendorong masyarakat tradisi bekerja keras untuk Untuk memproduksi produk-produk yang cepat
mengekplorasi gagasan, mimpi-mimpi, image laku dan mendapatkan keuntungan dilakukan
dengan memanpaatkan waktu luang dengan kerja- dengan inovasi terhadap bahan dan peralatan untuk
kerja kreatif, inovatif, dan variatif. Produk yang menghasilkan produk-produk baru yang
dikonsumsi oleh konsumen ketika didistribusikan remehtemeh, kecil-kecil, dan harganya terjangkau.
ke pasar diproduksi dari ide-ide konsumen sendiri. Bahan dan pelatan yang dikonsumsi berupa
produk-produk souvenir dengan memberikan
Konsumen lokal sangat terbatas berasal dari narasi-narasi baru sehingga terkesan adanya
kalangan umat beragama Hindu di Bali. Di lain kebaruan. Di lain pihak juga mengkonsumsi bahan
pihak konsumen global sangat luas tersebar dan peralatan yang yang bersifat pabrikan, seperti
keseluruh pelosok dan bersekala dunia. Konsumen bahan dari kain, dari kayu, dari barang kerajinan,
global selain mengkonsumsi produk-produk yang bahan warna, dan perekat warna (ancur) dan
dikonsumsi untuk kebutuhan ritual juga peralatan melukis.
mengkonsumsi produk-produk kreatif yang
dikomodifikasi dari ide-ide masa lalu melalui b. Karakter konsumsi konsumen Untuk
proses daur-ulang. Produk daur-ulang merupakan menandakan status sosial ekonomi, dan status
cerminan dari karya-karya kreatif yang bersifat sosial tradisional ditandai ketika merenovasi
eklektik yang berupaya untuk menampilkan “Pura” yang rusak sebagai pencitraan untuk
pesyen berupa produk souvenir, seperti kipas, tas, menunjukan status sosial ekonomi, dan status
dompet, map, gantungan kunci, tempat tisu, sosial tradisional. Seni lukis wayag Kamasan
lukisan, lukisan telur, kerajinan batok kelapa, dijadikan seni pastiche untuk mementaskan
benda kerajinan. parodi dan skizoprenia. Secara pastiche seni
lukis wayang Kamasan dijadikan pencitraan
Produk yang dikonsumsi oleh pelukis untuk meningkatkan nilai jual sehingga
sesungguhnya adalah order-oder pasar. Dalam mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih
“Masyarakat Konsumsi”, Baudrillard (2009: 90) besar ketika didistribusikan ke pasar
mengatakan bahwa konsumsi adalah tempat
ditemukannya isu-isu dan masalah baru. Di lain c. Pola-pola konsumsi
pihak, konsumsi juga berhubungan dengan gaya Tidak ditentukan oleh pelukis tetapi lebih
hidup oleh Bourdieu (2004) disebut sebagai selera banyak ditentukan oleh ketentuan-ketentuan
pastiche sebagai pencitraan untuk meningkatkan yang sudah disepakati sebelumnya antara
kelas dan status sosial. Dalam praktik-praktik konsumen dengan para agen sebagai
produksi kultural selain untuk menunjukan selera penghubung. Pola-pola konsumsi dalam
pastiche oleh Baudrillard juga disebut memproduksi seni lukis wayang Kamasan
mementaskan kitch, camp, parodi, dan berdasarkan standar desain yang sudah
skizoprenia. disepakati seringkali dihadapkan dengan
78
I Wayan Mudana, Pande Ketut Ribek (Komodifikasi Seni Lukis...) MUDRA Jurnal Seni Budaya
79
MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 1, Februari 2017
80