9- September 2012
No 2,
Abstract
The inspiration to utilise the wayang painting as a decorative element in public
buildings have caught the attention of designers, however their and the society's
understanding of the symbolic meanings of classical art as one of the local genius
inheritance needs also to be socialised and increased. The placement of wayang
painting in the Kamasan style on traditional Balinese houses is based on the
placement concept that contains sacred and symbolic values. This research has used
descriptive qualitative method, with observation, interniew and literature studies
being the main research techniques employed to gather data and information needed.
In the scholarly work of design and architecture, it is important to bring give live,
symbolic and meaningful artifacts with conditioning the placement of wayang
paintings is a placement concept in the Utama/ Main section and in the Madya/
Middle section of the building. The wayang painting that is laden with moral
meanings is a sacred guidancefor a king (Klungkung) to rule.
Keywords : story, wayang painting, the placement, Balinese Architecture
Abstrak
KONSEP SIMBOLJK PADA LUKISAN WAYANG KAMAŞAN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS
BALI (Sangayu Ketut Laksemi Santosa).
Inspirasi pemakaian lukisan wayang sebagai elemen dekoratif pada bangunan
publik telah mendapat perhatian para desainer, tetapi pemahaman para desainer
dan masyarakat tentang makna simbolik dari seni rupa klasik sebagai salah satu
warisan adi luhung tersebut juga perlu ditingkatkan dan disosialisasikan. Tata
letak lukisan wayang gaya (Style) Kamaşan pada bangunan tradisional Bali/
berlandaskan pada konsep tata letak yang mengandung nilai sakral dan simbolik.
Penelitian ini mempergunakan metoda kualitatif deskriptif, dengan teknik
penelitian utama yang digunakan dalam rnengumpulkan informasi dan data yang
diperlukan, seperti pengamatan, observasi, dokumentasi, wawancara dan
kepustakaan-
Dalanı keilmuan desain dan arsitektur penting menghadirkan artefak yang hidup,
simbolik dan bermakna dengan mengkondisikan peletakannya secara kontekstual,
Temuan penelitian ini bahwa tata letak lukisan wayang adalah konsep tata letak
pada bagian üfmna/ Atas dan bagian Madya/ Tengah bangunan berkaitan antara
cerita, figur dengan fungsi dan bentuk bangunannya. Lukisan Wayang yang sarat
akan makna moral merupakan pedoman luhur bagi seorang raja (Klungkung)
bagaimana seharusnya bertindak.
Kata kunci: cerita, lukisan wayang, tata letak, arsitektur Bali.
Dimensi, N02,
Pendahuluan
Sejak abad ke 16 seni lukis Wayang gaya Kamasan mengalami masa keemasan
di bawah perintah raja Gelgel yaitu Raja Dalem Waturenggong, dan berkembang hingga
saat ini secara turun temurun. Selama berabad-abad, seni lukis tradisi Kamasan ini
dipraktekkan oleh kelompok keturunan Sangging, yang berdampak desa Kamasan menjadi
tempatnya para seniman seni rupa klasik berkumpul. Seni rupa klasik merupakan puncak
dari seni rupa Bali yang telah menanggalkan pengaruh seni rupa Hindu di Jawa Timur.
Memasuki abad ke 19 penerus tradisi semakin berkurang, diakibatkan karena tidak ada
penerus ahli waris laki-laki (purusa), oleh seniman Modara seni rupa tradisi ini
dikembangkan di luar desa Kamasan. Kesadaran tradisi Kamasan tetap kokoh karena
faktor dukungan kuat dari patron atau pelindung senimannya yaitu raja Bali. Para
sangging mendapat hadiah sawah dari para bangsawan atas pengabdian mereka terhadap
istana dan Pura. Masa keemasan seni lukis wayang ikut memudar sejak hancurnya Puri
Semarapura akibat serangan tentara Belanda, kompleks puri habis terbakar, raja dan
keluarganya terbunuh saat perang Puputan di tahun 1908. Salah satu bukti masa keemasan
seni lukis wayang yang masih tertinggal terdapat di dalam kompleks Puri Semarapura,
yaitu Kerthagosa yang saat ini sebagai berfungsi sebagai
museum.
Tokoh pelukis wayang gaya Kamasan yang tetap produktif sampai saat ini adalah
I Nyoman Mandra (lahir 1946). Nyoman Mandra berasal dari keluarga seniman besar,
kakeknya Rambug (1850-1925) adalah pelukis (sangging) terbaik pada akhir abad ke 19-
20. Pamannya Nyoman Dogol (1875-1963) salah satu pelukis terkenal dijamannya.
Rambug dan Dogol berperan dalam pemolesan awal Kerthagosa "Balai Pengadilan'
terkenal di Klungkung, yang aslinya dibangun tahun 1700 Masehi. Nyoman Mandra
sangat terkenal dan ahli dalam membuat sketsa (ngereka) figur wayang, penguasaannya
atas figur-figur sangat ekspresif, dan menguasai proporsi ideal wayang. la menyediakan
sketsa dasar bagi semua orang yang belajar, sedangkan untuk pewarnaan dilanjutkan oleh
Nyoman Normi (istrinya), para asistennya (cantrik) dan para muridnya, selanjutnya
ditegaskan dengan garis yang tebal oleh sangging senior, sebelum dipoles dengan kulit
kerang untuk menyelesaikan dan mengkilapkan permukaan lukisan. Salah satu murid
berbakat pelukis wayang adalah putri Nyoman Mandra bernama Ni Wayan Sri Wedari.
KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN WAYANG KAMASÄN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS BALI
(Sangayu Ketut Laksemi Imam Saniosa),
GA YA
ARSITEKTUR Ni{otamar;
Dewa-dewa penjaga surga Gambar Pohon Burung Surga , simbol atma (roll)
den
gan simbol sinar laxning
Punakawan Delem dan Sangut
Gambar Batu, sebagai pemisah ruang
Menurut Adrian Vickers (dalam katalog Pameran karya I Nyoman Mandra 2009),
seni lukis wayang tradisi desa Kamasan adalah ragam seni rupa bercorak khas yang
memiliki kedekatan dengan seni pertunjukan wayang kulit. Ikonografi figur-figur
lukisannya kurang lebih sama dengan wayang, dan mempergunakan pakem-pakem
pernentasan wayang, misalnya penempatan tokoh-tokoh di sisi kiri atau kanan gunungan
(pohon atau batu). Figur-figur di sisi kanan adalah figur-figur positif, para pahlawan seperti
Arjuna atau yang terpenting adalah figur-figur dewa-dewa (Dewa Siwa, Dewata
Dalam pakem seni lukis Kamasan, 'kanan' dan 'kiri' bukan ditampilkan dari sudut pandang
pernirsa. Melainkan, lukisan ditampilkan seolaholah ada dalang di balik kanvas,
sebagaimana ketika orang menonton bayangan wayang pada layar pertunjukan (kelir)
wayang kulit. Maka para pahlawan 'di sisi kanan' adalah juga para pahlawan yang akan
dipegang dengan tangan kanan dalang wayang.
Berdasarkan survey tentang wayang di beberapa lokasi diperoleh data-data bahwa tema
pewayangan dalam seni rupa Bali yang bersumber dari karya susastra dikenal dalam
berbagai bentuk seperti seni sastra, seni tari, seni pahat, seni patung, seni ukir, seni lukis,
dan seni bangunan. Melihat begitu banyaknya media yang diterapkan dalam karya seni,
maka dalam penelitian ini dibatasi pada tata letak
Dimensi, NO 2,
KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN YANG GAYA KAMASAN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS BALI
(Sangayu Ketut [nksemi Imam Santosa).
seni lukis wayang pada seni bangunan. Pembatasan ini dengan pertimbangan singkaffiya
waktu dan pentingnya mengungkap makna dibalik tata letak lukisan klasik tersebut pada
bangunan.
Selain ditemukan aplikasi lukisan Kamasan dalam bentuk tersebut di atas, ditemukan
beberapa keunikan dalam tata letak lukisan wayang pada ruang atau bangunan (bale) yaitu :
lukisan diletakkan pada bagian dinding bangunan tertentu seperti bangunan ibadah, lukisan
diletakkan pada bagian langit-langit suatu bangunan (hotel, rumah, dan bangunan fasilitas
publik), dan lukisan diletakkan pada listpank bagian luar atap bangunan.
Untuk memperoleh data dan informasi tentang peletakan lukisan wayang, lokasi
survey dibatasi : di beberapa rumah penduduk yang mempergunakan seni lukis wayang,
bangunan pengadilan tradisional (Kerthagosa) dan koleksi seni lukis wayang di Museum
Lukisan Nyoman Gunarsa. Klungkung sebagai lokasi survey dengan pertimbangan, bahwa
desa Kamasan merupakan cikal bakal lahirnya wayang dalam media lukis (dua dimensi)
terletak di kabupaten Klungkung.
Penelitian kualitatif deskriptif ini bertujuan untuk memperoleh konsep simbolik tata letak
lukisan wayang pada ruang atau bangunan Bali. Sebagai salah satu kesenian asli bangsa
Indonesia dan warisan sejarah kebudayaan Bali, peranan tata letak lukisan wayang sangat
penting untuk diketahui dan diuraikan terutama upaya memahami konsep peletakan lukisan
tersebut agar dalam proses perancangan desain interior pada khususnya menjadi jelas dan
mengikuti pakem-pakem tradisi masyarakat Hindu Bali.
WA
ARSITEKTUR Nilotama••
Wayang kulit Sidakarya untuk Seni tari Topeng tema Seni bangunan dengan ukiran
upacara ritual. pewayangan motif wayang.
tiga golongan, yaitu : seni wali (seni sakral), seni bebali (seni semi sakrql), dan seni balih-
balih (seni profan). Dalam setiap upacara keagamaan, mereka meyakini akan kemahaesaan
Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), bahwa kesenian bukanlah ciptaan manusia, melainkan
ciptaan Tuhan. Oleh karenanya sudah menjadi kewajiban untuk "mempersembahkan” kembali
hasil karya tersebut ke sumber pencipta-Nya. Dalam hal ini semua wujud atau karya seni yang
dipersembahkan kepada Tuhan sebagai invisible audieızce di katagorikan sebagai karya seni
sakalı dan pada saat yang bersamaan karya seni sakral ini juga dilihat dan dinikmati oleh
manusia sebagai humarı audience yang dikatagorikan karya seni sekuler/profan. Lukisan
wayang Kamaşan termasuk dalam karya seni sakral dan karya seni bebali, karena karya-karya
seni ini dahulu hanya diperuntukkan dalam ritual keagamaan dan diletakkan pada bangunan-
bangunan suci. Maka dapat dikatakan bahwa para seniman Bali beribadah dijalur kesenian,
sesuai dengan tujuan hidup masyarakat Hindu adalah berdasarkan konsep Tri Hita Karana
dimaksudkan sebagai keselarasan dan keseimbangan hubungan arıtara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan sesamanya, yaitu :
Moksartham Jagadithiya ca iti Dharnıa (keselarasan arıtara b/ıuwana alit dengan bhuzuana
agung). Dengan melihat lukisan-lukisan tersebut diharapkan membuat manusia Bali menjadi
tahtı akan tujuan hidupnya yaitu mencapai Moksha.
Lukisan wayang dikenal dengan sebutan lukisan klasik, kata 'klasik' berasal dari kata
'kelas', dan bermakna terbaik, puncak, paling semptırnaı sesuai dengan pakem pakem baku
dalam penciptaan. Klasik dalam pengertian bukan hanya dalam bentuk atau wondo atau
proporsi figur, ikonografi, raut wajah untuk tokoh yang halus, untuk tokoh kasar, lucu, seram
dan figur raksasa, tetapi juga terhadap pemakaian simbolis warna untuk membedakan
sejumlah tokoh. Simbolis warna tokoh seperti : merah, kuning, hitam dan biru, simbolis sikap
tangan (mudra), sikap kaki, sikap tubuh kesemuanya mengikuti tata attıran filosofi Hindu
Bali yang harus dipatuhi oleh penganut gaya seni lukis klasik.
Gambar 3. sketsa figur-figur pewayangan (Bhima, Dewi Kunti, Mredah, dan pohon berdaun
keris)
(Sumber : Penulis, 2010)
Lukisan wayang ini dikenal dengan sebutan lukisan gaya/style Kamasan disebut juga
gaya wong-wongan, karena memang meniru sosok wayang kulit Bali, dan ternanya diambil
dari repertoar wayang. Lukisan wayang Bali sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu
sebagai agama rakyat. Berbeda dengan wayang Jawa tidak lagi menyerap kehidupan
beragama, tetapi dari segi tema kedua daerah ini masih sama yaitu berdasarkan cerita
Mahabarata dan Ramayana.
Perspektif tentang ruang sebagai salah satu manifestasi kesadaran budaya secara
esensi banyak dipengaruhi asas-asas logika vang bersifat elementer, kemudian dijelaskan
dengan konsepsi kosmos yang bersifat klasifikasi simbolikal. Istilah kosmos secara tradisi
pertama kali diterapkan Pythagoras (580-500) pada alam dunia, selanjutnya diterangkan
kembali oleh Plato (427-347). Menurut Donder (2007:4-5) kosmologi Hindu menempatkan
Tuhan pada posisi pertama dan utama sebagai causa prima, 'cikal bakal' (sangkan paraning
dumadi) dari alam semesta ini. Kosmologi Hindu melihat penciptaan alam semesta atau jagat
raya ini bermula dari Tuhan. Dari dalam badan atau kandungan Tuhan (hiranya garbha)
dilahirkan dan akan pula dikembalikan kepadaNya. Dengan demikian alarn semesta beserta
isinya mengalami
WA
AR SITEKTUR Lakse7Ťii Niletatna: Inuvn
proses kelahiran, kehidupan, dan kematian yang berulang-ulang secara siklik (jantra).
Dengan kata Iain jagad raya bermakna alam semesta beserta seluruh ciptaanNya. Kata
bhuwana agung merupakan gabungan antara bahasa Sanskerta dengan bahasa Kawi (Jawa
Kuno), bhuwana berarti bhu artinya bumi, material atau benda; kata agung berasal dari
bahasa Jawa Kuno geng, gong, ageng yang artinya besar (Donder 2007:77).
Masyarakat Hindu Bali dalam setiap aktivitasnya sangat memperhatikan akan
konsep orientasi arah yang terbagi dua, yaitu Kangin Kauli (Timur Barat) sebagai sumbu
religi dan Kaja Kelod (Utara Selatan) sebagai sumbu bumi. Orientasi vertikal atas, tengah
dan bawah dimaknai dalam kosmos/ alam semesta/ bhuwana agung, terbagi tiga alam/
Triloka : Swahloka, Bhwahloka, dan Bhurloka.
Menurut Dharmayudha (1991:15) Oleh karena manusia berkedudukan sebagai
pusat (centrum), maka muncullah antinomis misalnya : (1). Hulu-Teben, yaitu hulil adalah
kepala/ utamn dan teben adalah hilir/ nista. Konsep hulu teben digunakan untuk memberikan
kualitas arah. Arah Gu.nung disebut Utarn/Kaja/Hulu, dan arah Laut disebut
Selatan/Kelod/Teben. (2). Purwadaksina-Prasawya, artinya berputar ke kanan dan berputar
ke kiri. Purwadaksina/Pradaksina berputar ke kanan digunakan sebagai simbol upacara
penyucian yang tertuju pada Swahloka. Sedangkan Prasawya berputar ke kiri digunakan
simbol upacara peleburan atau pengembalian kepada Bhuta menuju Bhurloka.
KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN YANG GAYA KAMASAN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS BALI
(Sangayct Ketut Santosa).
Gambar 7. Pemakaian ider-ider pada bangunan, dan tata letak Parba pada Merajan
(Sumber : Penulis, 2009)
153
WA
ARSITEKTIIR LÃkË,k'ffii Niiotanuv Imam
Ruang tengah
adalah kosong
antara langit dan
bumi sebagai
makna Tengah/
Bhwahloka
154
ı vın.
Cerita lukisan pada langit-langit, yaitu : Baris 1. Cerita Tantri Kandaka, Baris 2 &
3. Cerita Atma Prasangsa, Baris 4. Cerita Garuda mencari Tirta Amerta, Baris 5. Palelindon
(gempa bumi), Baris 6 & 7 Cerita Bima Sena, Baris 8. Kisah Sorga Roll, dan Baris 9. Kisah
Dewa Dewi. Tema dan cerita lukisan pada atap Bale Kerthagosa ini berdasarkan epos
(wiracarita) Bhima Swarga dan mitologi Hindu seperti tokoh-tokoh dewa dewi yang
memiliki tugas sebagai penjaga alam semesta dalam wujudnya masing-masing sebagai
avatära Tuhan Yang Maha Esa. Cerita Bhima Swarga berhubungan dengan konsep-konsep
filosofi kehidupan yang melibatkan dunia manusia, alam neraka, alam dewa dan alam
surga. Bhima Swarga merupakan simbolisasi kisah penderitaan roh-roh di neraka-sorga,
memaparkan hasil perbuatan selama manusia di dunia. Dalam mitologi Hindu 'swarga' atau
surga merupakan persinggahan sementara bagi roh /atma yang berjiwa baik sebelum
bereinkarnasi dan swarga merupakan lapisan ketiga sorga di antara tujuh sorga (saptaloka).
Dunia atas merupakan dunia yang suci, dunia para dewa yang memiliki tugas sebagai
penguji iman. Dewa-dewi merupakan personifikasi dari alam atau sebagai wujud
kemahakuasaan Hyang Widhi Wasa. Dewa-dewa tersebut antara lain : Dewata Natoasanga
(sembilan dewa penjaga kosmos) : Utara/Uttara — dewa Wisnu, Timur
Laut/Airsania dewa Sambu, Timur /Purwa dewa Iswara, Tenggara/Gneyan dewa Mahesora,
Selatan/Daksina- detva , Barat
Daya/Netiti — dewa Ludra, Barat/ Pascima dewa Mahadewa, dan Barat Laut/Wayabya -
dewa Sangkara,
Hasil penelitian ditemukan bahwa cara membaca lukisan pada langit-langit ini
yaitu dengan cara orientasi searah jarum jam — berputar dari kiri ke kanan (purwadaksina).
Pada penelitian ini terdapat beberapa temuan menarik bahwa cerita pada baris satu, dua,
empat dan lima cara membaca diawali dari sudut timur laut (timur/Purwa).
KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN WAYANG
ARSITEKTUR BALI (Sangayu Kefut
Tokoh-tokoh cerita pada baris satu tidak berhubungan dengan baris selanjutnya
(baris dua, empat dan lima), tetapi terdapat kesamaan dalam penyampaian makna ajaran
moral agar manusia tidak berbohong, tidak menyakiti sesama mahluk, dan terdapat makna
persahabatan serta cinta kasih
Sedangkan baris ketiga, enam, tujuh, delapan dan sembilan di awali dari arah
sudut Tenggara (selatan/Daksina). Baris-baris ini merupakan cerita utama dalam perjalanan
spiritual Bhima di alam neraka dan alam surga. Arah mata angin kosmologi merupakan
konsep dasar penting dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan ritual
GAYA KAMAŞAN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS
Gambar 10. (kiri) hotel Bali Clifft Resort Nusa Dua, (kanan) gedung Art Center Denpasar.
(Sumber : Majalah Laras dan foto pribadi)
Pada perancangan langit-langit di Art Center Denpasar, keputusan tata letak yang
tidak terencana dengan baik. Sangat ironis Art Center adalah suatu wadah berkumpulnya para
seniman Bali bila berpameran, tetapi salah satu gedungnya tidak terencana dengan baik.
Fungsi sebagai langit-langit sudah tercapai, tetapi fungsi simbolis pemakaian lukisan wayang
tidak tercapai* Hal ini disebabkan oleh lukisan ditutupi oleh rangka kayu. Lukisan wayang
memiliki ciri khas cerita berdasarkan pernbagian babak atau tema cerita yang telah dipisahkan
dengan simbol tumbuhan dan batu. Karema tertutup oleh barisan rangka plafon sehingga cerita
yang ingin disampaikan tidak terlihat.
Simpulan
Seni lukis wayang tumbuh subur di Kamasan sejak abad ke-17 (sekitar tahun 1686)
atas bimbingan raja Klungkung (Dewa Agung). Salah satu media budaya yang dipergunakan
masyarakat Hindu Bali untuk menyebarkan nilai-nilai ajaran agama Hindu adalah salah
satunya melalui seni lukis wayang. Pada lukisan wayang gaya Kamasan yang terdapat di Bale
Kerthagosa ini terlihat bahwa konsep rcoa bhinedakonsep dualistik disimbolkan oleh tema
atau karakter tokoh wayang tersebut. Dalam cerita juga ditampilkan atma dari tokoh-tokoh
yang sedang disiksa oleh Dewa Yama di neraka, dan pesan dari konsep desa kala patra sangat
terlihat jelas karena berkaitan dengan karma seseorang selama perjalanan hidup sesuai dengan
konsep Tri Semaya.
Lukisan Bhima Swarga pada langit-langit Bale Kerthagosa memberikan informasi
tentang hakikat dari tujuan hidup orang Bali dan makna hidup seiring dengan tujuan etika,
KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN WAYANG
ARSITEKTUR BALI (Sangayu Kefut
yaitu untuk membina susila (ajaran moral), ajaran suci yang diturunkan oleh Sang Hyang
Widhi Wasa. Lukisan wayang merupakan media sistem nilai budaya, konsepsi-konsepsi yang
hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat dalam kaitannya tentang sesuatu
yang dianggap paling penting atau paling bernilai dalam hidup. Sistem nilai budaya ini
merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat istiadat dan wujud ideel dari kebudayaan.
Pesan ajaran yang ingin disampaikan melalui cerita dalam bentuk lukisan dengan harapan
setiap orang dapat bercermin dan mengambil hikmahnya dari setiap perbuatan buruk para roh
(atma) di neraka, lukisan ini disimbolkan sebagai perwujudan konsep hukum karma
(karmapala).
Penelitian ini belum selesai, masih banyak unsur-unsur lain dari lukisan wayang yang
termasuk dalam warisan budaya Bali ini belum
GAYA KAMASAN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS
terungkap. Nilai dałam karya seni adalah sesuatu yang selalu bersifat subjektif, tergantung pada
manusia yang menilainya. Dałam nilai juga berkonteks praktis, sebagai 'sesuatu” dikatakan
bernilai karena terdapat kegunaannya. Nilai juga sebagai "sesuatu” iłu dikatakan mengandung
nilai seni atau tidak sama sekali bernilai seni tergantung pada penilaian orang lain. Sebagai
bagian dari adat, nilai-nilai adalah bersifat kontekstual dengan pengertian berhubungan untuk
keperluan praktis dan berfungsi dałam kehidupan. Makna lukisan wayang pada Bale Kerthagosa
tidak semata-mata sebuah hiasan untuk kepentingan estetika (keindahan), tetapi lebih jauh dari
iłu merupakan pedoman luhur bagi seorang Raja (Klungkung) bagaimana seharusnya dałam
bertindak, sebagai suatu konsep simbolik yang adi luhung.
Referensi