Anda di halaman 1dari 19

vol.

9- September 2012
No 2,

KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN WAYANG GAYA KAMASAN DIKAITKAN


DENGAN KONTEKS
ARSITEKTUR BALI

Abstract
The inspiration to utilise the wayang painting as a decorative element in public
buildings have caught the attention of designers, however their and the society's
understanding of the symbolic meanings of classical art as one of the local genius
inheritance needs also to be socialised and increased. The placement of wayang
painting in the Kamasan style on traditional Balinese houses is based on the
placement concept that contains sacred and symbolic values. This research has used
descriptive qualitative method, with observation, interniew and literature studies
being the main research techniques employed to gather data and information needed.
In the scholarly work of design and architecture, it is important to bring give live,
symbolic and meaningful artifacts with conditioning the placement of wayang
paintings is a placement concept in the Utama/ Main section and in the Madya/
Middle section of the building. The wayang painting that is laden with moral
meanings is a sacred guidancefor a king (Klungkung) to rule.
Keywords : story, wayang painting, the placement, Balinese Architecture

Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Trisakti sangayu


laksemi@yahoo.com.
**) Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung
imamz@fsrd.itb.ac.id
GAYA
ARSITEKTUR Ni[otııma,: imanı

Abstrak
KONSEP SIMBOLJK PADA LUKISAN WAYANG KAMAŞAN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS
BALI (Sangayu Ketut Laksemi Santosa).
Inspirasi pemakaian lukisan wayang sebagai elemen dekoratif pada bangunan
publik telah mendapat perhatian para desainer, tetapi pemahaman para desainer
dan masyarakat tentang makna simbolik dari seni rupa klasik sebagai salah satu
warisan adi luhung tersebut juga perlu ditingkatkan dan disosialisasikan. Tata
letak lukisan wayang gaya (Style) Kamaşan pada bangunan tradisional Bali/
berlandaskan pada konsep tata letak yang mengandung nilai sakral dan simbolik.
Penelitian ini mempergunakan metoda kualitatif deskriptif, dengan teknik
penelitian utama yang digunakan dalam rnengumpulkan informasi dan data yang
diperlukan, seperti pengamatan, observasi, dokumentasi, wawancara dan
kepustakaan-
Dalanı keilmuan desain dan arsitektur penting menghadirkan artefak yang hidup,
simbolik dan bermakna dengan mengkondisikan peletakannya secara kontekstual,
Temuan penelitian ini bahwa tata letak lukisan wayang adalah konsep tata letak
pada bagian üfmna/ Atas dan bagian Madya/ Tengah bangunan berkaitan antara
cerita, figur dengan fungsi dan bentuk bangunannya. Lukisan Wayang yang sarat
akan makna moral merupakan pedoman luhur bagi seorang raja (Klungkung)
bagaimana seharusnya bertindak.
Kata kunci: cerita, lukisan wayang, tata letak, arsitektur Bali.
Dimensi, N02,

Pendahuluan
Sejak abad ke 16 seni lukis Wayang gaya Kamasan mengalami masa keemasan
di bawah perintah raja Gelgel yaitu Raja Dalem Waturenggong, dan berkembang hingga
saat ini secara turun temurun. Selama berabad-abad, seni lukis tradisi Kamasan ini
dipraktekkan oleh kelompok keturunan Sangging, yang berdampak desa Kamasan menjadi
tempatnya para seniman seni rupa klasik berkumpul. Seni rupa klasik merupakan puncak
dari seni rupa Bali yang telah menanggalkan pengaruh seni rupa Hindu di Jawa Timur.
Memasuki abad ke 19 penerus tradisi semakin berkurang, diakibatkan karena tidak ada
penerus ahli waris laki-laki (purusa), oleh seniman Modara seni rupa tradisi ini
dikembangkan di luar desa Kamasan. Kesadaran tradisi Kamasan tetap kokoh karena
faktor dukungan kuat dari patron atau pelindung senimannya yaitu raja Bali. Para
sangging mendapat hadiah sawah dari para bangsawan atas pengabdian mereka terhadap
istana dan Pura. Masa keemasan seni lukis wayang ikut memudar sejak hancurnya Puri
Semarapura akibat serangan tentara Belanda, kompleks puri habis terbakar, raja dan
keluarganya terbunuh saat perang Puputan di tahun 1908. Salah satu bukti masa keemasan
seni lukis wayang yang masih tertinggal terdapat di dalam kompleks Puri Semarapura,
yaitu Kerthagosa yang saat ini sebagai berfungsi sebagai
museum.
Tokoh pelukis wayang gaya Kamasan yang tetap produktif sampai saat ini adalah
I Nyoman Mandra (lahir 1946). Nyoman Mandra berasal dari keluarga seniman besar,
kakeknya Rambug (1850-1925) adalah pelukis (sangging) terbaik pada akhir abad ke 19-
20. Pamannya Nyoman Dogol (1875-1963) salah satu pelukis terkenal dijamannya.
Rambug dan Dogol berperan dalam pemolesan awal Kerthagosa "Balai Pengadilan'
terkenal di Klungkung, yang aslinya dibangun tahun 1700 Masehi. Nyoman Mandra
sangat terkenal dan ahli dalam membuat sketsa (ngereka) figur wayang, penguasaannya
atas figur-figur sangat ekspresif, dan menguasai proporsi ideal wayang. la menyediakan
sketsa dasar bagi semua orang yang belajar, sedangkan untuk pewarnaan dilanjutkan oleh
Nyoman Normi (istrinya), para asistennya (cantrik) dan para muridnya, selanjutnya
ditegaskan dengan garis yang tebal oleh sangging senior, sebelum dipoles dengan kulit
kerang untuk menyelesaikan dan mengkilapkan permukaan lukisan. Salah satu murid
berbakat pelukis wayang adalah putri Nyoman Mandra bernama Ni Wayan Sri Wedari.
KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN WAYANG KAMASÄN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS BALI
(Sangayu Ketut Laksemi Imam Saniosa),
GA YA
ARSITEKTUR Ni{otamar;

Dewa-dewa penjaga surga Gambar Pohon Burung Surga , simbol atma (roll)

den
gan simbol sinar laxning
Punakawan Delem dan Sangut
Gambar Batu, sebagai pemisah ruang

Gambar 1. Lukisan Wayang dengan cerita Bhima Swarga


Perjalanan Bhima ke surga untuk mencari Tirtha Amertha
(Sumber : Penulis 2008, lokasi Bale Kerthagosa-Klungkung Bali)

Menurut Adrian Vickers (dalam katalog Pameran karya I Nyoman Mandra 2009),
seni lukis wayang tradisi desa Kamasan adalah ragam seni rupa bercorak khas yang
memiliki kedekatan dengan seni pertunjukan wayang kulit. Ikonografi figur-figur
lukisannya kurang lebih sama dengan wayang, dan mempergunakan pakem-pakem
pernentasan wayang, misalnya penempatan tokoh-tokoh di sisi kiri atau kanan gunungan
(pohon atau batu). Figur-figur di sisi kanan adalah figur-figur positif, para pahlawan seperti
Arjuna atau yang terpenting adalah figur-figur dewa-dewa (Dewa Siwa, Dewata
Dalam pakem seni lukis Kamasan, 'kanan' dan 'kiri' bukan ditampilkan dari sudut pandang
pernirsa. Melainkan, lukisan ditampilkan seolaholah ada dalang di balik kanvas,
sebagaimana ketika orang menonton bayangan wayang pada layar pertunjukan (kelir)
wayang kulit. Maka para pahlawan 'di sisi kanan' adalah juga para pahlawan yang akan
dipegang dengan tangan kanan dalang wayang.
Berdasarkan survey tentang wayang di beberapa lokasi diperoleh data-data bahwa tema
pewayangan dalam seni rupa Bali yang bersumber dari karya susastra dikenal dalam
berbagai bentuk seperti seni sastra, seni tari, seni pahat, seni patung, seni ukir, seni lukis,
dan seni bangunan. Melihat begitu banyaknya media yang diterapkan dalam karya seni,
maka dalam penelitian ini dibatasi pada tata letak
Dimensi, NO 2,
KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN YANG GAYA KAMASAN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS BALI
(Sangayu Ketut [nksemi Imam Santosa).
seni lukis wayang pada seni bangunan. Pembatasan ini dengan pertimbangan singkaffiya
waktu dan pentingnya mengungkap makna dibalik tata letak lukisan klasik tersebut pada
bangunan.
Selain ditemukan aplikasi lukisan Kamasan dalam bentuk tersebut di atas, ditemukan
beberapa keunikan dalam tata letak lukisan wayang pada ruang atau bangunan (bale) yaitu :
lukisan diletakkan pada bagian dinding bangunan tertentu seperti bangunan ibadah, lukisan
diletakkan pada bagian langit-langit suatu bangunan (hotel, rumah, dan bangunan fasilitas
publik), dan lukisan diletakkan pada listpank bagian luar atap bangunan.
Untuk memperoleh data dan informasi tentang peletakan lukisan wayang, lokasi
survey dibatasi : di beberapa rumah penduduk yang mempergunakan seni lukis wayang,
bangunan pengadilan tradisional (Kerthagosa) dan koleksi seni lukis wayang di Museum
Lukisan Nyoman Gunarsa. Klungkung sebagai lokasi survey dengan pertimbangan, bahwa
desa Kamasan merupakan cikal bakal lahirnya wayang dalam media lukis (dua dimensi)
terletak di kabupaten Klungkung.
Penelitian kualitatif deskriptif ini bertujuan untuk memperoleh konsep simbolik tata letak
lukisan wayang pada ruang atau bangunan Bali. Sebagai salah satu kesenian asli bangsa
Indonesia dan warisan sejarah kebudayaan Bali, peranan tata letak lukisan wayang sangat
penting untuk diketahui dan diuraikan terutama upaya memahami konsep peletakan lukisan
tersebut agar dalam proses perancangan desain interior pada khususnya menjadi jelas dan
mengikuti pakem-pakem tradisi masyarakat Hindu Bali.
WA
ARSITEKTUR Nilotama••

Wayang kulit Sidakarya untuk Seni tari Topeng tema Seni bangunan dengan ukiran
upacara ritual. pewayangan motif wayang.

Seni Sastra lontar dengan Hiasan sakral terbuat dari kue


Seni Patung lukisan wayang dengan tema wayang.
vol.9- September 2012

Ukiran wayang pada Lukisan wayang pada tandu


Kori museum Lukisan Nyoman Lukisan wayang sebagai singgasana raja Klungkung
Gunarsa. souvenir (abad17)
Gambar 2. Tema cerita pewayangan pada karya seni
(Sumber : koleksi museum Kerthagosa dan pribadi 2009-2011)
KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN YANG GAYA KAMASAN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS BALI
(Sangayu Ketut [nksemi Imam Santosa).

Cerita dalam Seni Lukis Wayang


Inspirasi seni pewayangan di Bali bersumber dari wiracerita dan epos Ramayana,
Mahabarata, dan beberapa hasil karya saduran pujangga, seperti Arjuna Wiwaha, Bharata
Yudha, Sutasoma, Bhomakawya menjadi tema-tema yang digemari oleh para seniman.
Menurut W. Watra dalam 'Filsafat Wayang' (2005:17-93), dalam cerita Ramavana terbagi
dalam tujuh kanda atau tujuh bagian, yang kemudian diubah bentuk syair menjadi 245 sloka.
Ke tujuh kanda tersebut, yaitu : Bala Kanda, Ayodya Kanda, Aranyaka Kanda, Kiskinda
Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Uttara Kanda. Sedangkan cerita Mahabarata yang
ditulis oleh Bhagawan Byasa (Wiyasa Kresna Dwipayana), merupakan kumpulan cerita yang
hidup antara 400 tahun sebelum masehi sampai 400 sesudah masehi, terdiri dari delapan belas
parwa. Delapan belas parwa tersebut, adalah : Adi Parwa, Saba Parwa, Wana Parwa, Wirata
Parwa, Udayaga Parwa, Bhisma Panoa, Drona Parwa, Karna Panva, Salya Panva, Sauptika
Panoa, Stri Parwa, Santi Parwa, Anusasana Panva, Aswamedika Parwa, Aswameda Parwa,
Mausala Parwa, Mahaprasthanika Parwa dan Swargaraha (Swargarohani) Partva.
Selain cerita berdasarkan karya susastra dalam bukunya Watra mengungkapkan
bahwa terdapat cerita Carangan atau cerita yang berdasarkan karva susastra Ramayana atau
Mahabarata tetapi terdapat penambahan-penambahan disesuaikan dengan ide pelukis
(sangging) atau pedalang (seniman). Cerita Carangan adalah ide cerita yang diangkat dari
budaya lokal yang masih dihormati oleh masyarakat Bali, dan mengandung visi dan misi untuk
kepentingan masyarakat setempat, dan perkembangannya saat ini interpretasi cerita
dimanfaatkan pula untuk kepentingan nasional bahkan dunia. Cerita Carangan biasanya
mengandung nasehat, pesan moral, dan kritikan kepada masyarakat yang dituju, tanpa keluar
dari pakem pakem inti cerita Ramayana dan Mahabarata. Cerita Carangan yang terkenal di Bali
diantaranva diangkat dari beberapa Parwa, antara lain : cerita Sri Tanjung (Adi Parwa), cerita
Garuda Sakti (Adi Parwa), cerita Dharmawangsa Kembar (Santhi Parwa), cerita Bhima Kembar
(dikembangkan dari cerita Dewa Ruci atau Bhima Swarga), cerita Arjuna Kembar (Sabha
Parwa), cerita Nakula Kembar (Salva Parwa), cerita Sahadewa Kembar (diangkat dari cerita
Kuntz' Saraya), cerita Panca Pandawa Kembar (diangkat dari cerita Iahirnya Panca Pandawa
dan Seratus Korawa), dan cerita Perang Sugriwa dan Subali (Ramayana).
Para seniman lukis (sangging) seperti halnya seniman Bali lainnya sepakat tentang
adanya penggolongkan kesenian Bali menjadi
ARSITEKTUR Nilotanıw'

tiga golongan, yaitu : seni wali (seni sakral), seni bebali (seni semi sakrql), dan seni balih-
balih (seni profan). Dalam setiap upacara keagamaan, mereka meyakini akan kemahaesaan
Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), bahwa kesenian bukanlah ciptaan manusia, melainkan
ciptaan Tuhan. Oleh karenanya sudah menjadi kewajiban untuk "mempersembahkan” kembali
hasil karya tersebut ke sumber pencipta-Nya. Dalam hal ini semua wujud atau karya seni yang
dipersembahkan kepada Tuhan sebagai invisible audieızce di katagorikan sebagai karya seni
sakalı dan pada saat yang bersamaan karya seni sakral ini juga dilihat dan dinikmati oleh
manusia sebagai humarı audience yang dikatagorikan karya seni sekuler/profan. Lukisan
wayang Kamaşan termasuk dalam karya seni sakral dan karya seni bebali, karena karya-karya
seni ini dahulu hanya diperuntukkan dalam ritual keagamaan dan diletakkan pada bangunan-
bangunan suci. Maka dapat dikatakan bahwa para seniman Bali beribadah dijalur kesenian,
sesuai dengan tujuan hidup masyarakat Hindu adalah berdasarkan konsep Tri Hita Karana
dimaksudkan sebagai keselarasan dan keseimbangan hubungan arıtara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan sesamanya, yaitu :
Moksartham Jagadithiya ca iti Dharnıa (keselarasan arıtara b/ıuwana alit dengan bhuzuana
agung). Dengan melihat lukisan-lukisan tersebut diharapkan membuat manusia Bali menjadi
tahtı akan tujuan hidupnya yaitu mencapai Moksha.
Lukisan wayang dikenal dengan sebutan lukisan klasik, kata 'klasik' berasal dari kata
'kelas', dan bermakna terbaik, puncak, paling semptırnaı sesuai dengan pakem pakem baku
dalam penciptaan. Klasik dalam pengertian bukan hanya dalam bentuk atau wondo atau
proporsi figur, ikonografi, raut wajah untuk tokoh yang halus, untuk tokoh kasar, lucu, seram
dan figur raksasa, tetapi juga terhadap pemakaian simbolis warna untuk membedakan
sejumlah tokoh. Simbolis warna tokoh seperti : merah, kuning, hitam dan biru, simbolis sikap
tangan (mudra), sikap kaki, sikap tubuh kesemuanya mengikuti tata attıran filosofi Hindu
Bali yang harus dipatuhi oleh penganut gaya seni lukis klasik.

Gambar 3. sketsa figur-figur pewayangan (Bhima, Dewi Kunti, Mredah, dan pohon berdaun
keris)
(Sumber : Penulis, 2010)

Lukisan wayang ini dikenal dengan sebutan lukisan gaya/style Kamasan disebut juga
gaya wong-wongan, karena memang meniru sosok wayang kulit Bali, dan ternanya diambil
dari repertoar wayang. Lukisan wayang Bali sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu
sebagai agama rakyat. Berbeda dengan wayang Jawa tidak lagi menyerap kehidupan
beragama, tetapi dari segi tema kedua daerah ini masih sama yaitu berdasarkan cerita
Mahabarata dan Ramayana.

Konsep Tata Letak Arsitektur Bali


Dalam arsitektur Bali terutama pada bangunan suci seperti Pura (tempat ibadah
masyarakat), Merajan (tempat ibadah keluarga/ pribadi) dan bangunan perumahan seperti
Griya, Puri, Jero, dan Umah bermacam simbol keagamaan banyak ditemukan di dalam
bangunan tersebut. Simbol-simbol keagamaan berupa ragam hias dan elemen dekoratif
dengan mempergunakan media lukisan wayang telah menjadi bagian penting dan masih
bertahan hingga saat ini. Dalam konsep arsitektur tradisional terdapat tiga kelompok nilai tata
ruang, yaitu : utama, madya, dan nista yang mengikuti garis vertikal dan horisontal.
Pengertian ruang untuk bangunan rumah sesungguhnya juga masih menyimpan beberapa
detail yang menyangkut fungsi banžunan seperti : bale dangin, bale dauh adalah ruang untuk
tempat pelaksanaan upacara manusa vadnya, tempat untuk menggarap sarana upacara.
Timbulnya bentuk adalah karena fungsi, demikian pula pada arsitektur tradisional Bali.
Bentuk bale Meten tertutup, Sumanggen terbuka, Jineng (lumbung beratap lonjong), bale
Gede terbuka dan beratap limasan, karena fungsi masing-masing menghendaki bentuk seperti
itu.
KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN WAYANG GAYA KAMASAN DIKAITKAN DENCAN KONTEKS
BALI (Sangayu Ketut Laksemi

Menurut Gelebet (2002) dalam pandangan orang Bali, bangunan perwujudannya


serupa dengan manusia, yaitu ada bagian kepala-atasuttama, badan-tengah-madya dan kaki-
bawah-nista (konsep Tri Angga). Bagian bawah terdiri dari komposisi masa bangunan
seperti konstruksi tiang rangka badan yang ditutupi dinding-dinding tembok, bagian lantai.
Bagian tengah terdiri dari konstruksi rangka ruang, tiangtiang, sedangkan bagian atas terdiri
dari bentuk-bentuk atap seperti atap limasan dan memiliki beberapa penamaan dengan
penutup atap umumnya alang-alang. Dalam bidang seni bangunan tradisional; transformasi
bentuk, wujud, dan sosok merupakan fisik arsitektural yang terjadi akibat transformasi ide
dari sang undagi, Latar belakang lahirnya ide-ide sangat beragam, dapat diperoleh
berdasarkan alam lingkungannya, sumber "teks" sastra, teknologi, bahan dan sebagainya.
Transformasi bentuk diperoleh salah satunya dengan pendekatan analogi. Undagi adalù juga
seorang pendeta (seni bangunan) dan arsitek, tetapi arsitek belum tentu undagi, mereka
sama-sama memiliki kemampuan ipteks, namun pola pendekatannya yang berbeda.
Pendekatan Undagi berdasarkan energi supranatural. Kemampuan undagi lebih statis karena
berawal dari pendidikan informal yang terikat pada kaidah-kaidah tradisi yang telah baku,
Undagi dalam setiap karyanya berpegang teguh pada kepercayaan (srada) dan pengorbanan
suci (yadnya) tulus iklas, sehingga setiap melakukan rancang bangun selalu menampakkan
rangkaian kegiatan yang penuh ritual. Dalam hal ini raja dapat berprofesi sebagai undagi,
karena peran dan kekuasaannya yang tidak terbatas.
Karya seni (rupa) menurut Widagdo bukanlah hasil kreatifitas, intuisi, spontanitas,
dan pencerahan individu tertentu saja, tetapi karya seni adalah upaya "mengkopi" atau
"meniru" objek yang ada di alam. Seniman menghasilkan karya seni bukan menjadi tujuan
akhir satusatunya, tetapi terdapat beberapa bentuk ungkapan yang harus diperhatikannyag
antara lain : lebih kepada proses dalam menghasikan karya. Penilaian mutu karya
tergantung• pada pendekatan intelektualnya, cara atau teknik mengungkapkannya, dan
terutama pada kepandaiannya dalam meniru keindahan dari yang tampak dan keindahan
jiwanya. Tugas seni adalah dengan kesempurnaan yang tinggi menyuguhkan keindahan
secara ontologis (Xenophone Nachahmung der sichtbaren order des geistigen Sch'nen).
Morris Weilz mengatakan dalam esainya berjudul " The Role of Teory in Esthetics (Peran
Teori Estetika), bahwa seni terlalu rumit dan beragam untuk disingkat menjadi suatu
definisi. Weitz menambahkan bahwa label-
label estetika tidak dilekatkan menjadi satu bagian pada keseluruhan rangka seni, namun
sebaiknya diterapkan secara terpisah pada beragam unsur dari proses kreatif, artefak estetika,
dan pengalaman estetika.
Setiap bagian bangunan dengan bentuk-bentuk tertentu dibedakan dalam tiga
bagian, yaitu kepala, badan dan kaki, (konsep vertikal Tri Angga) dan masing-masing bagian
dibagi tiga hingga komponen terkecil. Demikian pula pada pola ruang dalam arsitektur Bali
berlaku berulang dari lingkungan terbesar sampai ke elemen terkecil. Masing-masing
disediakan ruang Jiwa, Fisik, dan Tenaga (konsep Tri Hita Karana). Pengelompokan hirarki
berdasarkan jenis bangunan, yaitu : Parhyangan/ Utama untuk tempat suci (Pura, sanggah,
merajan), Pawongan/ Madya perumahan atau tempat aktivitas kehidupan, dan Palemahan/
Nista untuk tempat pelayanan.

Atas, Utama, Kepala, Jiwa

Tengah, Madya, Badan, Fisik


Bawah, Nista, Kaki, Tenaga

Gambar 4. Ilustrasi Konsep Tata Letak Ruang/ Bangunan Tradisional Bali

Perspektif tentang ruang sebagai salah satu manifestasi kesadaran budaya secara
esensi banyak dipengaruhi asas-asas logika vang bersifat elementer, kemudian dijelaskan
dengan konsepsi kosmos yang bersifat klasifikasi simbolikal. Istilah kosmos secara tradisi
pertama kali diterapkan Pythagoras (580-500) pada alam dunia, selanjutnya diterangkan
kembali oleh Plato (427-347). Menurut Donder (2007:4-5) kosmologi Hindu menempatkan
Tuhan pada posisi pertama dan utama sebagai causa prima, 'cikal bakal' (sangkan paraning
dumadi) dari alam semesta ini. Kosmologi Hindu melihat penciptaan alam semesta atau jagat
raya ini bermula dari Tuhan. Dari dalam badan atau kandungan Tuhan (hiranya garbha)
dilahirkan dan akan pula dikembalikan kepadaNya. Dengan demikian alarn semesta beserta
isinya mengalami
WA
AR SITEKTUR Lakse7Ťii Niletatna: Inuvn

proses kelahiran, kehidupan, dan kematian yang berulang-ulang secara siklik (jantra).
Dengan kata Iain jagad raya bermakna alam semesta beserta seluruh ciptaanNya. Kata
bhuwana agung merupakan gabungan antara bahasa Sanskerta dengan bahasa Kawi (Jawa
Kuno), bhuwana berarti bhu artinya bumi, material atau benda; kata agung berasal dari
bahasa Jawa Kuno geng, gong, ageng yang artinya besar (Donder 2007:77).
Masyarakat Hindu Bali dalam setiap aktivitasnya sangat memperhatikan akan
konsep orientasi arah yang terbagi dua, yaitu Kangin Kauli (Timur Barat) sebagai sumbu
religi dan Kaja Kelod (Utara Selatan) sebagai sumbu bumi. Orientasi vertikal atas, tengah
dan bawah dimaknai dalam kosmos/ alam semesta/ bhuwana agung, terbagi tiga alam/
Triloka : Swahloka, Bhwahloka, dan Bhurloka.
Menurut Dharmayudha (1991:15) Oleh karena manusia berkedudukan sebagai
pusat (centrum), maka muncullah antinomis misalnya : (1). Hulu-Teben, yaitu hulil adalah
kepala/ utamn dan teben adalah hilir/ nista. Konsep hulu teben digunakan untuk memberikan
kualitas arah. Arah Gu.nung disebut Utarn/Kaja/Hulu, dan arah Laut disebut
Selatan/Kelod/Teben. (2). Purwadaksina-Prasawya, artinya berputar ke kanan dan berputar
ke kiri. Purwadaksina/Pradaksina berputar ke kanan digunakan sebagai simbol upacara
penyucian yang tertuju pada Swahloka. Sedangkan Prasawya berputar ke kiri digunakan
simbol upacara peleburan atau pengembalian kepada Bhuta menuju Bhurloka.
KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN YANG GAYA KAMASAN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS BALI
(Sangayct Ketut Santosa).

Gambar 5. Orientasi Sltrnbu Religi, Orientasi Sumbu Burni dan Triloka


Dimensi, Vol.9-No 2, September 2012

Pada kebudayaan Bali terdapat potensi-potensi dasar membangun dan menjadi


struktur kuat yang melandasi dasar pertahanan kebudayaan aslinya. Potensi-potensi tersebut
terdapat dalam bentuk konsep-konsep dasar, antara Iain : Rwa Bhineda (dualistik, baik-buruk,
gunung-laut), Desa Kala Patra, Trihita Karana, Karmapala. Berdasarkan konsep-konsep
tersebut, kebudayaan Bali telah mempunyai kemampuan dalam memelihara keharmonisan dan
keutuhan perkembangan kebudayaan aslinya dalam menghadapi tantangan kebudayaan baru
atau modernisasi. Pada dasarnya konsepkonsep dasar tersebut merupakan satu kesatuan yang
utuh. Konsep Desa Kala Patra adalah konsep kontekstual ruang, waktu dan keadaan,
maksudnya menyesuaikan diri dengan ruang/ tempat, waktu dan keadaan dalam menghadapi
setiap peristiwa atau kejadian. Konsep Karmapala atau hukum karma adalah suatu pandangan
dan keyakinan bahwa setiap pikiran dan perbuatan pasti mendatangkan hasil. Pikiran dan
perbuatan baik mendatangkan hasil yang baik, tetapi pikiran dan perbuatan buruk
membuahkan hasil yang buruk pula.
Di dalam agama Hindu terdapat suatu landasan logika (analisa) yang disebut disebut
Tri Semaya atau Tri Pramana Kalai Landasan berfikir ini berkaitan 'Kala' (waktu), yaitu :
setiap tindakan atau perilaku lahir dari cipta rasa dan karsa manusia. Semua tindakan dan
perilaku ini tercermin dalam : athita — perilaku di masa yang lampau, nagata perilaku di
masa yang akan datang, dan wartarnana — perilaku di masa sekarang. Landasan logika ini
dipergunakan baik dalam kehidupan dan proses pembangunan arsitektur tradisional Bali.
Penerapan cerita pewayangan dalam kegiatan upacara keagamaan (Panca Yadnya)
merupakan suatu persyaratan utama. Hal ini disebabkan karena sumber cerita, memuat makna
dan pesan simbolis. Yadnya (Sanskrit) merupakan suatu persembahan atau pengorbanan yang
dilandasi dengan ketulusan hati untuk Sang Hyang Widhi Wasa, alam semesta (bhuwana
loka), sesama manusia, dan mahluk hidup Iainnya.

Lukisan pada Arsitektur Bali


1. Lukisan-lukisan koleksi 'Museum Lukisan Nyoman Gunarsa'
Berdasarkan hasil survey ditemukan beberapa peletakan tema wayang pada
bangunan, antara Iain pada Pintu Kori Museum Lukisan Nyoman Gunarsa terdapat ukiran
bahan kayu mempergunakan simbol Nakula Sadewa figur dewa dewa pewayangan.
Berdasarkan tata letaknya sudah memenuhi konsepsi yang menjadi pakem bangunan
tradisional Bali, Atas, tengah dan bawah. Suasana ruang serba guna ini menjadi terlihat
berwibawa dan megah dengan dimensi dan skala Pintu yang besar dan tinggi. Pintu bagian
tengah menjadi pusat orientasi akan dibuka dan dipergunakan untuk keperluan penting saja.
Sedangkan untuk Pintu kiri dan kanan dipergunakan untuk sirkulasi masuk dan keluar
museum.
Lukisan wayang pada umumnya ditempatkan pada bagian dinding atau pada sejajar
pandangan mata, tetapi pada kenyataannya sejak abad ke 17 ditemukan bukti artefak bahwa
peletakan lukisan wayang tidak hanya pada bidang dinding, tetapi juga dalam bentuk
bendera (Iontek/ umbul-umbul/ penjor), hiasan pada listplank atap (iderider), hiasan dinding
(parba), ulon, tirai (langse) dan lukisan diletakkan pada bagian langit-langit bangunan.
Dalam museum Nyoman Gunarsa terdapat koleksi berbagai macam bentuk, fungsi,
tema, dan dimensi lukisan. Beberapa koleksi berasal dari abad 16-19 masih dalam kondisi
yang baik, lukisan dibuat di atas kain ulon tage dengan bahan pewarna alami seperti
(jelagahitam, daun taum-indigo, tulang-putih, ancur, kencu-merah Cina, atalkuning, sirih-
orange dan sebagainya). Yang menarik adalah terdapat satu koleksi ider-ider dari abad ke
17-19 dengan ukuran 30x2000cm, 40x900cm, 28x498cm. Ukuran rata-rata untuk parba,
ulon (lukisan dinding pada Merajan (Pura keluarga) : 49x70cm, 68x133cm, 145x152cm
(disesuaikan dengan kebutuhan atau besaran dinding) dan Iontek (umbul-umbul, bendera)
ukuran : 63x739 cm. Demikian pula lukisan tentang kalender Bali (Palelintangan) yang
dibuat abad ke 17 membuktikan bahwa sampai saat ini ilmu tentang hukum alam, bhuwana
agung sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Bali.

Gambar 6. (kiri)ider-ider dan (kanan) Lontek, koleksi Museum Lukisan Nyoman


Gunarsa, (sumber : Pemulis, 2009)

lder-ider panjang ini menceritakan tentang Arjuna Wiwaha dalam perjalanannya ke


surga. Selama pertapaannya Aijuna diganggu oleh tujuh bidadari yang sengaja
diperintahkan oleh Dewa Indra untuk menguji keteguhan hati Arjuna. Disaat yang
bersamaan Dewa Indra mendapat saran dari seorang pendeta, untuk mendapatkan ksatria
yang mampu melawan raksasa Nirwata Kawaca adalah Aijuna.
Oleh karena keteguhan hati Arjuna diberikan anugerah dapat bertemu Dewa
Indra, ia pun dihadiahi 7 bidadari yang akan mendampingi Arjuna kemanapun ia pergi.
Lontek (umbul-umbul) bertema Naga Banda, adalah cerita tentang tiga naga yang
masingmasing berfungsi sebagai simbol pengikat norma-norma keagamaan dalam sistem
kepercayaan agama Hindu. Umbul-umbul biasanya ditempatkan di depan rumah atau di
dalam Pura, bertujuan untuk menunjukkan jalan yang benar kepada umatnya. Dalam
mitologi ketiga naga tersebut bermakna : 1. Ananta Boga artinya makanan yang tidak ada
habisnya, 2. Naga Besuki bermakna keselamatan, dan 3. Taksaka menjaga keselamatan di
atas bumi. Dapat diuraikan bahwa hubungan cerita atau tema lukisan (Mahabarata) dalam
bentuk tersebut bersumber pada konsep Tri Angga (Atas, Kepala, Swahloka-konsep
vertikal), konsep Purwadak5ina (ider-ider) karena mengelilingi atap bangunan,
pengelompokan berdasarkan hirarki bangunan yaitu di kelompok Parhyangan/ Utama.
KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN YANG GAYA KAMASAN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS BALI
(Sangayct Ketut Santosa).

Gambar 7. Pemakaian ider-ider pada bangunan, dan tata letak Parba pada Merajan
(Sumber : Penulis, 2009)

153
WA
ARSITEKTIIR LÃkË,k'ffii Niiotanuv Imam

2. Lukisan wayang karya I Nyoman Mandra


Karya seni lukis wayang Kamasan menggambarkan tentang kehidupan
manusia baik dan buruk, dan posisi tengah (antara baik dan buruk). Dalam
visualisasinya mempunyai arti sebagai sumber pengetahuan, pendidikan dalam hidup
sehari-hari, dan pedoman hidup. Konsep Orientasi vertikal dan horisontal menjadi
tanggung jawab setiap individu secara struktur kosmik, sebab manusia merupakan
struktur terkecil dalam struktur mikrokosmos.
Interpretasi tersebut terlihat dalam pameran karya I Nyoman Mandra berjudul
'Garuda Nawasanga'. Nyoman bukan hanya melukis demi keindahan tetapi juga
menyampaikan pesan dalam bentuk dan tata letak yang berbeda serta disesuaikan
dengan pakem-pakem orientasi Vertikal (atas, tengah dan bawah). Karya instalasi ini
lukisan (langse) diletakkan tergantung pada langit„langit ( makna alam atas/
Swallloka), dan pada tengah/Bhwahloka posisi manusia berdiri di antara langit dan
bumi/ bawah Bhurloka. Dalam karya instalasi ini pada bagian lantai (bhurloka)
Nyoman mempersiapkan cermin pada bagian lantai, Karya instalasi ini dapat di
interpretasikan sebagai proses introspeksi manusia akan perbuatannya selama di dunia
(bhuwana alit), sebuah pesan moral.
Lukisan
diletakkan
pada langit-
langit sebagai
makna Atas,
Swahloka

Ruang tengah
adalah kosong
antara langit dan
bumi sebagai
makna Tengah/
Bhwahloka

Penikmat lukisan dapat


melihat mekalui cermin, sebagai makna Bawah/ Bhurloka .

154
ı vın.

Gambar 8. Pameran lukisan I Nyoman Mandra, judul "Garuda Nawasanga” Lukisan


diletakkan tergantung di atas sebagai langit-langit
(Sumber : foto Penulis, 2009)

Dalam karya ini Nyoman Mandra mempergunakan konsep Punuadaksina yaitu


pembacaan lukisan dibaca searah jarum jam melambangkan perputaran kehidupan, makna
kanan digunakan sebagai simbol upacara penyucian yang tertuju pada Swahloka atau alam
atas tempat para dewata berstana. Lukisan menggambarkan simbolsimbol delapan dewa
secara berkeliling dan satu Gamda sebagai pusatnya. Simbolisasi lukisan ini bahwa alam
atas tempat bersemayamnya para dewata, batara dan para leluhur.

3. Lukisan wayang pada Bale Kerthagosa


KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN YANG GAYA KAMASAN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS BALI
(Sangayct Ketut Santosa).
Bale Kerthagosa memiliki keunikan dalam tata letak ruang, bale dengan ciri atap
limasan, bagian dalam langit-langitnya terdapat lukisan wayang , terbagi dalam sembilan
baris lukisan bercerita, terdiri dari kurang lebih 267 panel. Lukisan tersusun mengikuti
bentuk atap limas. Bale Kerthagosa adalah suatu bangunan bağan dari komplek kerajaan
Semarapura. Bale ini saat masa pemerintahan raja Klungkung berfungsi sebagai bale
pengadilan. Saat itü diceritakan bahwa bila raja sedang menentukan hukuman bagi
rakyatnya yang bersalah, raja akan berkeliling sambil menatap ke atas langit-langit untuk
menemukan dan memberikan hukuman berdasarkan pedomah-pedoman kitab suci dan
susastra Hindu. Kedudukan seorang raja Klungkung selain berkuasa atas pulau Bali dan
Lombok, raja juga sebagai hakim tertinggi, pimpinan adat dan keagamaan, dan sebagai
pemimpin kebudayaan. Secara simbolik raja adalah avatüra-wakil/penjelmaan Sang Hyang
Widi Wasa di dunia. Kedudukannya yang sangat tinggi dan simbolik tercermin dalam
konsep Bale Kerthagosa secara keseluruhan.
KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN WAYANG GAYA KAMASAN DIKAITKAN DENCAN KONTEKS
ARSITEKTUR BALI (Sangayu Ketut Santosa).

Cerita lukisan pada langit-langit, yaitu : Baris 1. Cerita Tantri Kandaka, Baris 2 &
3. Cerita Atma Prasangsa, Baris 4. Cerita Garuda mencari Tirta Amerta, Baris 5. Palelindon
(gempa bumi), Baris 6 & 7 Cerita Bima Sena, Baris 8. Kisah Sorga Roll, dan Baris 9. Kisah
Dewa Dewi. Tema dan cerita lukisan pada atap Bale Kerthagosa ini berdasarkan epos
(wiracarita) Bhima Swarga dan mitologi Hindu seperti tokoh-tokoh dewa dewi yang
memiliki tugas sebagai penjaga alam semesta dalam wujudnya masing-masing sebagai
avatära Tuhan Yang Maha Esa. Cerita Bhima Swarga berhubungan dengan konsep-konsep
filosofi kehidupan yang melibatkan dunia manusia, alam neraka, alam dewa dan alam
surga. Bhima Swarga merupakan simbolisasi kisah penderitaan roh-roh di neraka-sorga,
memaparkan hasil perbuatan selama manusia di dunia. Dalam mitologi Hindu 'swarga' atau
surga merupakan persinggahan sementara bagi roh /atma yang berjiwa baik sebelum
bereinkarnasi dan swarga merupakan lapisan ketiga sorga di antara tujuh sorga (saptaloka).
Dunia atas merupakan dunia yang suci, dunia para dewa yang memiliki tugas sebagai
penguji iman. Dewa-dewi merupakan personifikasi dari alam atau sebagai wujud
kemahakuasaan Hyang Widhi Wasa. Dewa-dewa tersebut antara lain : Dewata Natoasanga
(sembilan dewa penjaga kosmos) : Utara/Uttara — dewa Wisnu, Timur
Laut/Airsania dewa Sambu, Timur /Purwa dewa Iswara, Tenggara/Gneyan dewa Mahesora,
Selatan/Daksina- detva , Barat
Daya/Netiti — dewa Ludra, Barat/ Pascima dewa Mahadewa, dan Barat Laut/Wayabya -
dewa Sangkara,
Hasil penelitian ditemukan bahwa cara membaca lukisan pada langit-langit ini
yaitu dengan cara orientasi searah jarum jam — berputar dari kiri ke kanan (purwadaksina).
Pada penelitian ini terdapat beberapa temuan menarik bahwa cerita pada baris satu, dua,
empat dan lima cara membaca diawali dari sudut timur laut (timur/Purwa).
KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN WAYANG
ARSITEKTUR BALI (Sangayu Kefut

Gambar 9. Tata Letak lukisan Wayang pada langit-langit Pengadilan Kerthagosa


berdasarkan orientasi sumbu Bum-i : Utara, Timur, Selatan dan Barat
(Sumber : Penulis, 2010)

Tokoh-tokoh cerita pada baris satu tidak berhubungan dengan baris selanjutnya
(baris dua, empat dan lima), tetapi terdapat kesamaan dalam penyampaian makna ajaran
moral agar manusia tidak berbohong, tidak menyakiti sesama mahluk, dan terdapat makna
persahabatan serta cinta kasih
Sedangkan baris ketiga, enam, tujuh, delapan dan sembilan di awali dari arah
sudut Tenggara (selatan/Daksina). Baris-baris ini merupakan cerita utama dalam perjalanan
spiritual Bhima di alam neraka dan alam surga. Arah mata angin kosmologi merupakan
konsep dasar penting dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan ritual
GAYA KAMAŞAN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS

keagamaan dan spiritualitasq Spiritualitas merupakan sesuatu yang berhubungan dengan


keseluruhan yang luas dan berhubungan dengan sesuatu yang transenden. Timur dan Barat
sebagai Sumbu Religi sedangkan Utara dan Selatan sebagai Sumbu Bumi. Kedua konsep tata
nilai ruang ini dapat diuraikan bahwa nilai Utama adalah arah utara dan timur, nilai madya adalah
tengah/ pusat, dan nilai nista adalah arah selatan dan barat. Posisi Puri di timur laut adalah
Utama, Puri adalah tempat tinggal Raja (Dewq Agung) dan raja adalah perwujudan avitara Tuhan
di dunia. Matahari merupakan sumber cahaya di alam nyata/ sekala memberikan cahaya
kehidupan, sehingga agama Hindu memiliki arah sakral Timur laut/ Timur dan arah gunung/hulu,
karena merupakan tempat yang paling tinggi, tempat Sang Hyang Widi Wasa. Sedangkan arah
Tenggara/ Selatan/ Daksina diartikan kananı juga Brahman atau Sang Hyang Widhi Wasa. Dari
dua sumber tersebutj bila diperhatikan lukisan pada baris-baris tiga, enam, tujuh, delapan dan
sembilan telah memasuki alam surga atau Swargaloka merupakan tempat kediaman dewa Indra
dan menuju ke Brahmqloka kediaman Brahma. Bale Kerthagosa merupakan satu-satunya
bangunan yang menerapkan semua pakem-pakem konsep arsitektur Bali, sehingga membuat Bale
ini memenuhi kriteria bangunan yang memiliki konsep simbolik.

Lukisan Wayang dalam Bangunan Publik


Penghargaan dan apresiasi para arsitek dan desainer interior saat ini dibuktikan dalam
penerapan dan peletakan cerita lukisan wayang sesuai dengan pakem-pakem tradisi klasik
tersebut. Seperti pada penataan langit-langit hotel Bali Clifft Nusa Dua, ballroom
mempergunakan inspirasi konsep inspirasi Bale Kerthagosa.

Gambar 10. (kiri) hotel Bali Clifft Resort Nusa Dua, (kanan) gedung Art Center Denpasar.
(Sumber : Majalah Laras dan foto pribadi)
Pada perancangan langit-langit di Art Center Denpasar, keputusan tata letak yang
tidak terencana dengan baik. Sangat ironis Art Center adalah suatu wadah berkumpulnya para
seniman Bali bila berpameran, tetapi salah satu gedungnya tidak terencana dengan baik.
Fungsi sebagai langit-langit sudah tercapai, tetapi fungsi simbolis pemakaian lukisan wayang
tidak tercapai* Hal ini disebabkan oleh lukisan ditutupi oleh rangka kayu. Lukisan wayang
memiliki ciri khas cerita berdasarkan pernbagian babak atau tema cerita yang telah dipisahkan
dengan simbol tumbuhan dan batu. Karema tertutup oleh barisan rangka plafon sehingga cerita
yang ingin disampaikan tidak terlihat.

Simpulan
Seni lukis wayang tumbuh subur di Kamasan sejak abad ke-17 (sekitar tahun 1686)
atas bimbingan raja Klungkung (Dewa Agung). Salah satu media budaya yang dipergunakan
masyarakat Hindu Bali untuk menyebarkan nilai-nilai ajaran agama Hindu adalah salah
satunya melalui seni lukis wayang. Pada lukisan wayang gaya Kamasan yang terdapat di Bale
Kerthagosa ini terlihat bahwa konsep rcoa bhinedakonsep dualistik disimbolkan oleh tema
atau karakter tokoh wayang tersebut. Dalam cerita juga ditampilkan atma dari tokoh-tokoh
yang sedang disiksa oleh Dewa Yama di neraka, dan pesan dari konsep desa kala patra sangat
terlihat jelas karena berkaitan dengan karma seseorang selama perjalanan hidup sesuai dengan
konsep Tri Semaya.
Lukisan Bhima Swarga pada langit-langit Bale Kerthagosa memberikan informasi
tentang hakikat dari tujuan hidup orang Bali dan makna hidup seiring dengan tujuan etika,
KONSEP SIMBOLIK PADA LUKISAN WAYANG
ARSITEKTUR BALI (Sangayu Kefut
yaitu untuk membina susila (ajaran moral), ajaran suci yang diturunkan oleh Sang Hyang
Widhi Wasa. Lukisan wayang merupakan media sistem nilai budaya, konsepsi-konsepsi yang
hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat dalam kaitannya tentang sesuatu
yang dianggap paling penting atau paling bernilai dalam hidup. Sistem nilai budaya ini
merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat istiadat dan wujud ideel dari kebudayaan.
Pesan ajaran yang ingin disampaikan melalui cerita dalam bentuk lukisan dengan harapan
setiap orang dapat bercermin dan mengambil hikmahnya dari setiap perbuatan buruk para roh
(atma) di neraka, lukisan ini disimbolkan sebagai perwujudan konsep hukum karma
(karmapala).
Penelitian ini belum selesai, masih banyak unsur-unsur lain dari lukisan wayang yang
termasuk dalam warisan budaya Bali ini belum
GAYA KAMASAN DIKAITKAN DENGAN KONTEKS

terungkap. Nilai dałam karya seni adalah sesuatu yang selalu bersifat subjektif, tergantung pada
manusia yang menilainya. Dałam nilai juga berkonteks praktis, sebagai 'sesuatu” dikatakan
bernilai karena terdapat kegunaannya. Nilai juga sebagai "sesuatu” iłu dikatakan mengandung
nilai seni atau tidak sama sekali bernilai seni tergantung pada penilaian orang lain. Sebagai
bagian dari adat, nilai-nilai adalah bersifat kontekstual dengan pengertian berhubungan untuk
keperluan praktis dan berfungsi dałam kehidupan. Makna lukisan wayang pada Bale Kerthagosa
tidak semata-mata sebuah hiasan untuk kepentingan estetika (keindahan), tetapi lebih jauh dari
iłu merupakan pedoman luhur bagi seorang Raja (Klungkung) bagaimana seharusnya dałam
bertindak, sebagai suatu konsep simbolik yang adi luhung.
Referensi

Dharmayudha, I Made Suasthawa. Filsafat Adat Bali. Denpasar : Upada


Sastra, 1991
Donder, I Ketut.Viratvidya Kosmologi Hindu Penciptaan, Pemeliharaanr dan
Peleburan serta Penciptaan kernbali alam semesta. Surabaya .
Paramita, 2007
Gelebet, I Nyoman, dkk. Arsitektur Tradisional Daerah Bali,Dept.P & K Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah Bali, 1982
Titib, I Made. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Denpasar : Paramita, 2003
Wantra,W. Filsafat Wayang dalam Panca Yadnya. Surabaya : Paramita, 2005
Vickers, Adrian, Dalam katalog Pameran karya I Nyoman Mandra,
Penerbit Griya Santrian. Sanur Bali, 2009
Widagdo. Desain dan Kebudayaan. Direktorat Jend. Pendidikan Tinggi — Departemen
Pendidikan Nasional, 2000

Anda mungkin juga menyukai