Anda di halaman 1dari 18

Haruki Murakami

Suatu pagi yang cerah di bulan April, di pinggiran jalan sempit di


Harajuku, sebuah area perbelanjaan di Tokyo, aku berjalan melewati
seorang gadis yang 100% sempurna.

Sejujurnya, dia tidak terlalu cantik. Dia juga tidak terlalu menyolok.
Pakaian yang dikenakannya tidak terlalu spesial. Dan rambutnya
masih menyisakan jejak ranjang seolah tak disisir merata. Dia juga
tidak terlalu muda—kuperkirakan usianya sekitar 30 tahun, dan
sebenarnya tidak cocok dipanggil dengan kata ‘gadis’. Meski begitu,
aku tahu saat melihatnya dari kejauhan 0.05 kilometer: bahwa dia
adalah gadis yang 100% sempurna untukku. Begitu aku melihatnya,
ada gemuruh yang timbul di dadaku, lalu mulutku mendadak kering
seperti padang pasir.

Mungkin Anda punya tipe gadis favorit—dan dia mungkin memiliki


pergelangan kaki yang ramping, atau sepasang mata yang besar,
atau jemari yang lentik, atau Anda menyukai seorang gadis yang
selalu menghabiskan waktu lama sekali untuk bersantap, entah
kenapa. Aku juga punya tipeku sendiri. Sesekali, saat aku ada di
sebuah restoran, aku sering curi-curi pandang ke arah gadis yang
duduk di meja sebelahku hanya gara-gara aku menyukai bentuk
hidungnya.

Namun bagi seorang laki-laki yang hatinya telah kepincut, maka


gadis yang 100% sempurna itu takkan ada tandingannya. Walau aku
suka memperhatikan bentuk hidung orang, namun aku tidak ingat
bentuk hidung gadis yang sempurna itu—atau apakah dia punya
hidung sama sekali. Yang kuingat dengan pasti adalah gadis itu
bukan gadis tercantik sedunia. Aneh, kan?

“Kemarin, di jalan, aku melewati seorang gadis yang 100%


sempurna,” ujarku pada seseorang.

“Masa?” sahut orang itu. “Cantik?”

“Tidak juga.”
“Kalau gitu dia tipe kesukaanmu?”

“Entahlah. Aku bahkan tidak ingat terlalu banyak hal tentang dia—
seperti bentuk matanya atau ukuran dadanya.”

“Aneh.”

“Aneh sekali.”

“Lantas,” tutur lawan bicaraku yang mulai bosan. “Apa yang kau
lakukan? Menyapanya? Atau membuntutinya?”

“Tidak. Aku hanya numpang lewat di hadapannya.”

Gadis itu berjalan dari arah timur ke barat, sedangkan aku dari barat
ke timur. Sungguh pagi yang cerah di bulan April.

Seandainya saja aku bisa menyapa dia. Aku hanya butuh setengah
jam: untuk bertanya tentang siapa dia, lalu aku kan memberitahukan
siapa aku, dan—yang sangat ingin kulakukan—menjelaskan
kepadanya tentang betapa rumitnya cara kerja takdir untuk
mempertemukan aku dan dia di pinggiran jalan di area Harajuku di
sebuah pagi yang cerah di bulan April tahun 1981. Kejadian ini
tentunya melibatkan banyak rahasia yang tidak kita ketahui; seperti
jam antik yang dibuat saat perang dunia usai.

Setelah mengajaknya bicara, kami akan pergi makan siang bersama,


lalu menonton film besutan Woody Allen di bioskop, dan dilanjutkan
dengan acara minum-minum di bar hotel. Bila keberuntungan ada di
pihakku, kami akan mengakhiri kebersamaan ini di atas ranjang.

Kemungkinan-kemungkinan yang belum terjamah itu mengetuk pintu


hatiku.

Sekarang jarak di antara kami menyempit jadi 0.013 kilometer.


Bagaimana sebaiknya aku mendekati dia? Apa yang harus
kukatakan?

“Selamat pagi, nona. Maukah kau menyisihkan waktu selama


setengah jam untuk berbincang?”

Konyol. Aku terdengar seperti salesman asuransi.

“Permisi, apakah kau tahu tempat cuci baju yang buka sepanjang
malam di sekitar sini?”

Tidak, sama saja konyolnya. Aku juga tidak bawa baju kotor. Siapa
yang akan percaya?

Mungkin aku harus jujur. “Selamat pagi. Kau adalah gadis yang
100% sempurna untukku.”

Tidak, dia takkan percaya. Atau bila dia percaya, dia mungkin takkan
mau berbincang denganku. Maaf, dia akan berkata padaku, aku
mungkin gadis yang 100% sempurna untukmu, tapi kau bukan
pemuda yang 100% sempurna untukku. Bisa saja kan? Dan jika aku
berada dalam situasi itu, hatiku pasti hancur. Aku takkan pernah bisa
mengatasinya. Usiaku 32 tahun—dan di usia sepertiku seharusnya
aku bisa menerima penolakan dengan dada lapang.

Kami melewati sebuah toko bunga. Udara pagi berembus ringan dan
membelai kulitku dengan kehangatan. Lapisan aspal di bawah
kakiku tampak lembap dan aku mencium sekelebat wangi bunga.
Aku tidak berani menyapa gadis itu. Ia mengenakan
sebuah sweater berwarna putih dan di tangan kanannya ada secarik
amplop putih yang hanya butuh perangko saja untuk diposkan. Jadi:
gadis itu sudah menulis surat untuk seseorang, mungkin
menghabiskan waktu semalaman menulisnya, apalagi melihat
matanya yang berat karena kantuk. Di dalam amplop itu mungkin
saja terselip seluruh rahasia hidupnya.
Aku mengambil beberapa langkah ke depan, lalu membalikkan
badan: gadis itu menghilang di tengah keramaian.

Sekarang aku baru tahu bagaimana seharusnya aku menyapa


gadis itu. Tentunya aku harus memberikan pidato panjang; terlalu
panjang untuk kusampaikan dengan baik. Semua ide yang ada di
kepalaku memang tidak ada yang praktis.

Oh well. Tadinya aku akan memulai pidato itu dengan kalimat “Pada
suatu hari” dan diakhiri dengan “Cerita yang sedih, bukan?”

Pada suatu hari, hiduplah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia
pemuda itu delapan belas tahun; dan gadis itu enam belas tahun.
Pemuda itu tidak terlalu tampan, dan gadis itu tidak terlalu cantik.
Mereka adalah muda-mudi yang seperti pada umumnya cenderung
kesepian. Namun mereka percaya sepenuh hati bahwa di dunia ini
ada pasangan hidup yang 100% sempurna untuk mereka. Ya,
mereka percaya pada mukjizat. Dan bahwa mukjizat bukanlah hal
yang mustahil.

Suatu hari, si pemuda dan gadis itu tak sengaja berjumpa di ujung
jalan.

“Luar biasa,” ujar si pemuda. “Aku sudah mencarimu seumur


hidupku. Kau mungkin tidak mempercayai ini, tapi kau adalah gadis
yang 100% sempurna untukku.”

“Dan kau,” balas gadis itu. “Kau adalah pemuda yang 100%
sempurna untukku, persis seperti pemuda yang kubayangkan
selama ini. Seperti mimpi rasanya.”
Mereka duduk di atas kursi taman, berpegangan tangan, dan
menceritakan kisah hidup mereka masing-masing selama berjam-
jam. Mereka tidak lagi kesepian. Mereka telah menemukan dan
ditemukan oleh pasangan masing-masing yang 100% sempurna
untuk mereka. Betapa indahnya menemukan dan ditemukan oleh
pasangan yang 100% sempurna untuk kita. Sebuah mukjizat,
sebuah pertanda.

Namun, saat mereka duduk dan berbincang, masih ada sedikit rasa
ragu yang menggantung di dada: apa mungkin impian seseorang
terkabul begitu saja dengan mudahnya?

Maka, ketika keduanya terdiam, si pemuda mengambil kesempatan


untuk berkata kepada gadis itu: “Mari kita uji diri kita—sekali ini saja.
Jika kita memang pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama
lain, maka di suatu saat, di suatu hari, kita pasti berjumpa lagi. Dan
ketika itu terjadi, dan kita tahu bahwa kita adalah pasangan yang
100% sempurna untuk satu sama lain, maka kita akan menikah saat
itu juga. Bagaimana?”

“Ya,” kata si gadis. “Itu yang harus kita lakukan.”

Kemudian mereka berpisah. Si gadis melangkah ke arah timur,


sementara si pemuda ke arah barat.

Meski begitu, proses uji itu sebenarnya tidak perlu mereka lakukan,
karena mereka memang benar pasangan yang 100% sempurna
untuk satu sama lain—dan pertemuan awal mereka adalah sebuah
mukjizat. Tapi mereka tak mungkin mengetahui semua ini di usia
belia. Gelombang takdir yang dingin dan tak pandang bulu terus
membuat mereka terombang-ambing tanpa akhir.

Pada suatu musim dingin, si pemuda dan si gadis menderita sakit flu
yang terjangkit di mana-mana. Setelah dua minggu terkapar tanpa
daya, mereka pun lupa terhadap tahun-tahun remaja mereka. Ketika
mereka tersadar, ingatan mereka sama kosongnya seperti celengan
baru.
Keduanya adalah individu yang cerdas dan ambisius; dan dengan
usaha keras mereka berhasil membangun hidup mereka hingga
menjadi sosok terpandang di masyarakat. Syukurlah, mereka juga
menjadi warga yang taat peraturan dan tahu caranya naik kereta
bawah tanah tanpa tersesat; yang sanggup mengirimkan surat
dengan status kilat di kantor pos. Dan mereka juga sanggup jatuh
cinta, terkadang cinta itu mengisi hati mereka sampai 75% atau
bahkan 80%.

Waktu berlalu dengan kecepatan tak terduga; mendadak si pemuda


telah berusia 32 tahun dan si gadis 30 tahun.

Di suatu pagi yang cerah di bulan April, dalam perjalanan untuk


membeli secangkir kopi, si pemuda melangkah dari arah barat ke
timur, sementara si gadis, dalam perjalanan ke kantor pos,
melangkah dari arah timur ke barat. Keduanya menelusuri pinggiran
jalan yang memanjang di sebuah area pusat perbelanjaan di Tokyo
yang bernama Harajuku. Mereka saling melewati satu sama lain
tepat di tengah jalan. Ingatan mereka kembali samar-samar dan
untuk sesaat hati mereka bergetar. Masing-masing merasakan
gemuruh yang mendesak dada. Dan mereka tahu:

Dia adalah gadis yang 100% sempurna untukku.

Dia adalah pemuda yang 100% sempurna untukku.

Namun, sayang, gema ingatan mereka terlalu lemah; dan pikiran


mereka tak lagi jernih seperti empat belas tahun lalu saat pertama
kali berjumpa. Tanpa mengutarakan sepatah kata pun, mereka
melewati satu sama lain begitu saja, hilang di tengah keramaian.
Selamanya.

Cerita yang sedih, bukan?

*
Ya, itu dia. Seharusnya itu yang kukatakan padanya. FL
2013 © Hak Cipta. Fiksi Lotus dan Haruki Murakami. Tidak untuk
dijual, digandakan ataupun ditukar.

—————-

# CATATAN:

> Cerpen ini berjudul On Seeing the 100% Perfect Girl One Beautiful
April Morning karya HARUKI MURAKAMI dan disertakan dalam
koleksi cerita pendek berjudul The Elephant Vanishes (Random
House, 1993).

>> HARUKI MURAKAMI adalah seorang penulis dan penerjemah


asal Jepang yang telah menerbitkan sejumlah novel, koleksi cerita
pendek dan esai. Beberapa karyanya yang telah mendunia,
termasuk di antaranya: Kafka on the Shore, The Wind-Up Bird
Chronicle, Norwegian Wood, dan—yang terakhir—IQ84. Karya non-
fiksi yang ia terbitkan termasuk di antaranya: Underground: The
Tokyo Gas Attack and the Japanese Psyche dan What I Talk About
When I Talk About Running.

# POIN DISKUSI:

1. ‘Cinta yang muram’ adalah komentar salah satu kritikus karya Haruki
Murakami mengenai cerita ini. Menurut kamu?
2. Apa pendapat kamu tentang struktur cerita? Serta penggunaan efek
‘cerita dalam cerita’?
3. Apa kesan kamu saat membaca ending cerita?
4. Simbol apa yang kamu tangkap dari dalam cerita ini + apa tafsiran
kamu?
Cerpen Haruki Murakami : Manusia Es

illustration by Sarah Lacey


Manusia Es

Oleh HARUKI MURAKAMI

Aku menikahi Manusia Es.

Pertama bertemu dengannya di sebuah hotel di ski resort, tempat paling sempurna
untuk menemukan Manusia Es, memang. Lobi hotel begitu riuh dengan anak muda,
tapi Manusia Es duduk sendiri di kursi sudut yang letaknya paling jauh dari perapian,
diam membaca buku sendirian. Meski sudah hampir malam, tapi cahaya dingin pagi
awal winter terlihat berpendar mengitarinya.

“Lihat! Itu si Manusia Es,” bisik temanku.

Waktu itu, aku sungguh tak tahu makhluk apa itu Manusia Es. Temanku juga. “Dia
pasti terbuat dari es. Itu sebabnya orang-orang menyebutnya Manusia Es.” Temanku
mengatakan hal tersebut dalam nada serius seolah dia sedang membicarakan hantu
atau seseorang dengan penyakit menular.

Manusia Es tinggi, tampak muda, tegap, sedikit bagian rambutnya tampak putih
seperti segenggam salju yang tak meleleh. Tulang pipinya tajam meninggi seperti batu
yang beku, dan jarinya embun beku putih yang seolah abadi. Namun begitu, Manusia
Es terlihat seperti manusia normal. Dia tidak seperti lelaki yang bisa kau sebut tampan
memang, tapi dia terlihat begitu menarik—tergantung dari bagaimana kau
melihatnya. Dalam suatu kesempatan, sesuatu tentang dia menusukku sampai ke hati.
Aku merasakan hal tersebut terutama saat memandang matanya. Tatapannya senyap
dan transparan seperti serpih cahaya dalam untaian tetes salju di pagi musim dingin.
Seperti kilatan kehidupan dalam tubuh makhluk buatan.

Aku berdiri beberapa saat memperhatikan si Manusia Es dalam jarak dekat. Dia tak
menoleh. Dia hanya duduk diam, tak bergerak. Membaca bukunya seakan tiada
seorang pun yang ada di sana selain dirinya….

Keesokan paginya, Manusia Es masih berada di tempat yang sama, membaca buku
dengan cara yang persis sama. Ketika aku melangkah ke ruang makan untuk makan
siang, dan ketika aku kembali dari bermain ski dengan teman-teman pada malam
tersebut, dia masih ada di sana, mengarahkan tatapan yang sama pada halaman-
halaman buku yang sama. Hal serupa terjadi sehari setelah itu. Bahkan ketika
matahari tenggelam rendah, dan jam terlambat tumbuh, ia duduk di kursinya,
setenang adegan musim dingin di luar jendela.

Pada sore di hari keempat, aku me-reka berbagai alasan supaya bisa tidak turut keluar
menelusur lereng. Aku tinggal di hotel sendiri dan mondar-mandir di lobi yang
sekosong kota hantu. Udara di lobi terasa hangat dan lembab, dan ruangan itu
memiliki bau aneh yang sedih mematahkan hati—bau salju yang terlacak di dalam sol
sepatu yang sekarang tengah mencair di depan perapian.

Aku menatap keluar jendela, berdesir saat melihat halaman-halaman surat kabar, dan
sekonyong mendekat ke Manusia Es, mengumpulkan keberaniann untuk berbicara.

Aku cenderung pemalu dengan orang asing, kecuali memiliki alasan yang sangat
bagus, aku biasanya tak mudah berbicara dengan orang yang tak kukenal. Tapi dengan
Manusia Es aku merasa memiliki dorongan untuk berbincang, tak peduli tentang apa
pun itu. Ini malam terakhirku di hotel tersebut, dan jika kubiarkan kesempatan ini
pergi, aku takut aku takkan punya kesempatan lagi untuk bisa berbicara dengan dia:
pria es, si Manusia Es itu….

“Tidak main ski?” tanyaku padanya, sesantai mungkin.

Dia memalingkan wajah perlahan seolah mendengar suara di kejauhan. Dia


menatapku, lalu dengan tenang menggeleng. “Aku tidak bermain ski,” ucapnya.
“Hanya ingin duduk di sini, membaca dan melihat salju.”

Kata-katanya membentuk awan putih di atas kepala, seperti balon-balon kata


keterangan di komik strip. Aku benar-benar bisa melihat kata-kata itu mengambang
di udara, sampai ia menggosok mereka pergi dengan jarinya yang beku. Aku tak tahu
lagi apa yang harus dikatakan selanjutnya. Aku hanya tersipu dan berdiri di sana.

Manusia Es menatap mataku dan tampak sedikit tersenyum. “Mau duduk?” tanyanya.
“Kau tertarik padaku, kan? Ingin tahu apa itu Manusia Es?” Ia tertawa. “Tenang, tak
ada yang perlu dikhawatirkan. Tak akan pilek kok kalau cuma bicara denganku….”

Kami duduk berdampingan di sofa di sudut lobi dan menyaksikan butiran-butiran


salju menari di luar jendela. Aku memesan cokelat panas dan meminumnya, sedang
Manusia Es tidak memimun apa-apa. Rupanya dia tidak lebih jago dalam bercakap-
cakap dari aku. Dan bukan hanya itu, kami juga tak memiliki kesamaan apa pun untuk
dijadikan bahan obrolan. Awalnya, kami berbincang tentang cuaca. Lalu kami ngobrol
tentang hotel.

“Anda di sini sendirian?” tanyaku pada si Manusia Es.

“Ya,” jawabnya.

Dia bertanya, apakah aku suka main ski? “Tidak terlalu,” kataku. “Aku hanya datang
karena teman-temanku ngotot mengajakku. Sesungguhnya aku benar-benar jarang
main ski….”
Ada banyak hal yang sebenarnya sangat ingin aku tahu dari Manusia Es. Benarkan
tubuhnya sungguh-sungguh terbuat dari es? Apa yang dia makan? Di mana dia tinggal
di musim panas? Apakah dia punya keluarga? Ya, hal-hal semacam itulah. Tetapi
Manusia Es tidak bicara tentang dirinya, dan itu membuatku menahan diri untuk
tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan pribadi. Sebaliknya, Manusia Es malah
berbicara tentang aku. Rasanya sulit dipercaya, tetapi entah bagaimana ia tahu
semuanya. Dia tahu anggota keluargaku, dia tahu umurku, tahu apa yang kusuka dan
yang tidak, tahu keadaan kesehatanku, tahu sekolah yang kumasuki dan tahu juga
teman-teman yang biasa kukunjungi. Dia bahkan tahu hal-hal yang telah terjadi
begitu jauh di masa lalu yang aku sendiri telah lupa.

“Saya tak mengerti,” kataku, bingung. Aku merasa seakan-akan aku telanjang di depan
orang asing. “Bagaimana kamu bisa tahu begitu banyak tentang saya? Bisa baca
pikiran orang ya…?”

“Tidak, saya tak bisa baca pikiran atau apa pun yang semacam itu. Cuma tahu saja,”
ucap si Manusia Es. “Saya tahu begitu saja. Seakan-akan saya jauh melihat ke dalam
es, dan, ketika saya melihat Anda seperti ini, hal-hal tentang Anda menjadi terlihat
begitu jelas bagi saya.”

Lalu aku bertanya, “Bisakah kamu melihat masa depan?”

“Saya tak bisa melihat masa depan,” kata Manusia Es perlahan. “Saya sama sekali
tidak mampu mengambil keuntungan dari masa depan. Lebih tepatnya…, saya tidak
punya konsep masa depan karena es tak memiliki masa depan. Semuanya hanya masa
lalu yang terlampir di dalamnya. Dengan cara yang sangat bersih dan jelas, es bisa
mengawetkan banyak hal dan membuatnya seolah-olah masih hidup, meskipun itu
masa lalu. Itulah esensi es,” terangnya.

“Itu bagus,” ucapku sambil tersenyum. “Benar-benar lega mendengarnya. Setelah


ini… aku pun sungguh-sungguh tak ingin tahu bagaimana masa depanku.”

***

Kami bertemu lagi beberapa kali setelah aku kembali ke kota. Akhirnya, kami mulai
berkencan. Kami tidak pergi ke bioskop, atau ke café. Kami bahkan tidak pergi ke
restoran. Manusia Es jarang makan. Kita paling sering duduk-duduk di bangku taman
dan berbincang tentang banyak hal selain tentang Manusia Es sendiri.

“Kenapa begitu?” Sekali aku pernah bertanya. “Mengapa kamu tidak mau bicara
tentang dirimu? Aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu. Di manakah kamu
dilahirkan? Seperti apa rupa orang tuamu? Bagaimana ceritanya hingga kamu
menjadi Manusia Es?”

Manusia Es menatapku sekejap lalu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu,”


katanya pelan dan jelas, mengembuskan embusan gelembung kata putih ke udara.
“Aku tahu banyak tentang masa lalu hal-hal lain, tapi aku sendiri tidak punya masa
lalu. Aku tidak tahu di mana aku lahir, atau seperti apa orang tuaku. Aku bahkan tidak
tahu apakah aku memiliki orang tua. Aku juga tidak tahu berapa umurku, dan bahkan
aku tidak tahu apakah aku memiliki umur.” Manusia Es ternyata sesepi gunung es di
malam muram….

***

Aku serius jatuh cinta pada Manusia Es. Manusia Es pun mencintaiku apa adanya—di
masa kini, tanpa masa depan. Pada gilirannya aku pun mencintai Manusia Es apa
adanya—di masa sekarang, tanpa masa lalu. Kami bahkan mulai berbicara tentang
pernikahan.

Aku baru berusia dua puluh, dan Manusia Es adalah lelaki pertama yang benar-benar
kucintai. Saat itu, aku tidak bisa membayangkan apa artinya mencintai seorang
Manusia Es. Tapi bahkan jika aku jatuh cinta pada pria normal sekalipun, aku ragu
akankah aku bisa memiliki ide yang jelas tentang cinta?

Ibu dan kakak perempuanku tentu saja menentang ide menikahi Manusia Es.

“Kamu terlalu muda untuk menikah,” kata mereka. “Selain itu, kamu juga tidak tahu
apa-apa tentang latar belakangnya. Kamu bahkan tidak tahu di mana Manusia Es
dilahirkan dan kapan ia lahir. Bagaimana mungkin kita bisa bilang ke saudara dan
kerabat kita kalau kamu menikahi orang semacam itu? Lagi pula, yang kita bicarakan
ini Manusia Es! Apa yang akan kamu lakukan jika tiba-tiba ia mencair, hah? Kamu
nggak paham kalau pernikahan itu memerlukan komitmen yang ‘riil’?!”

Biar bagaimanapun, kekhawatiran mereka tidak beralasan. Karena pada akhirnya,


Manusia Es tidak pernah benar-benar terbuat dari es….

***

Dia tidak akan meleleh, tak peduli betapa hangat kondisi sekitar di mana ia berada.
Dia disebut Manusia Es karena tubuhnya sedingin es, tapi apa yang membuatnya
begitu, jelas bukan es. Itu bukan jenis dingin yang bisa menghapus panas orang lain.
Jadi… kami menikah.

Tidak ada yang memberkati pernikahan itu. Tidak ada teman atau kerabat yang
berbahagia untuk kami. Kami tidak mengadakan upacara, dan, ketika datang
waktunya bagiku untuk memiliki nama keluarga yang terdaftar, Manusia Es tak
memilikinya. Kami hanya memutuskan bahwa kami berdua menikah. Kami membeli
kue kecil dan makan bersama, dan itulah pernikahan kami yang sederhana.

Kami menyewa subuah apartemen kecil, dan Manusia Es mencari nafkah dengan
bekerja di sebuah fasilitas penyimpanan daging dingin. Dia bisa mengambil sejumlah
rasa dingin dari sana, dan tak pernah merasa lelah tak peduli seberapa keras ia
bekerja. Majikan suamiku sangat menyukainya, dan membayar gaji Manusia Es lebih
tinggi dari karyawan lain.

Kami berdua hidup bahagia tanpa mengganggu atau diganggu siapa pun. Ketika kami
bercinta dan Manusia Es menggumuliku, aku melihat dalam pikiranku, sepotong es
yang kuyakin ada di suatu tempat di kesendirian yang tenang.
Kupikir Manusia Es mungkin tahu di mana es tersebut berada. Es yang dingin, beku,
dan keras, sebegitu kerasnya hingga kupikir tidak ada yang bisa melebihi
kekerasannya. Itulah lempengan es terbesar di dunia. Terletak di suatu tempat yang
sangat jauh, dan rupanya manusia Es tengah membagikan kenangan tersebut padaku
dan pada dunia.

Awalnya, aku kerap bingung bila Manusia Es mengajak bercinta. Tapi, setelah
beberapa waktu, aku menjadi terbiasa. Aku bahkan mulai menyukai bercinta dengan
Manusia Es.

Pada malam hari, diam-diam kami berbagi potongan es terbesar di dunia, di mana
ratusan juta tahun masa lalu dunia, tersimpan di dalamnya.

***

Dalam kehidupan pernikahan kami, tidak ada masalah untuk “berbicara”. Kami saling
mencintai begitu dalam, dan tak ada yang lebih penting dari itu.

Kami ingin punya anak, tapi itu tampaknya tak mungkin. Ini lebih karena, mungkin…
gen manusia dan gen Manusia Es tidak bisa digabungkan dengan mudah. Dalam kasus
semacam ini, karena kami tidak memiliki anak, aku memiliki lebih banyak waktu.

Aku menyelesaikan semua pekerjaan rumah di pagi hari, dan kemudian tidak ada lagi
yang bisa kukerjakan. Aku tidak punya teman untuk bicara atau pergi bersama, dan
aku tak memiliki banyak hal yang bisa dilakukan dengan para tetangga. Ibu dan kakak
perempuanku masih marah dan tidak menunjukkan tanda-tanda ingin bertemu
denganku lagi. Dan meskipun bulan-bulan berlalu, dan orang-orang di sekitar kami
mulai berbicara dengan Manusia Es, jauh di dalam hati, mereka masih belum bisa
menerima keberadaan Manusia Es atau aku—yang telah menikahinya. Kami berbeda
dari mereka, dan tak ada jumlah waktu yang dapat menjembatani kesenjangan itu.
Jadi, sementara suamiku Manusia Es bekerja, aku tinggal sendiri di rumah, membaca
buku dan mendengarkan musik.

Biar bagaimanapun aku cnderung lebih suka tinggal di rumah dan aku tak keberatan
sendirian. Hanya saja aku masih muda, dan melakukan hal yang sama hari demi hari
akhirnya mulai terasa mengganggu. Bukan kebosanan yang menyakitkan, tapi
pengulangan. Itu sebabnya suatu hari aku berkata pada suamiku, “Bagaimana kalau
kita pergi berdua? Sebuah perjalanan. Untuk ganti suasana saja….”

“Sebuah perjalanan?” tukas Manusia Es. Dia menyipitkan mata dan menatapku.
“Untuk apa kita melakukan perjalanan? Tidakkah kau bahagia di sini bersamaku?”

“Bukan itu,” kataku. “Tentu saja aku senang bersamamu, tapi aku bosan. Aku merasa
ingin pergi ke suatu tempat yang jauh dan melihat hal-hal yang belum pernah kulihat.
Aku ingin tahu bagaimana rasanya menghirup udara baru. Kamu mengerti kan
maksudku? Lagi pula… kita belum berbulan madu. Kita punya tabungan dan kamu
punya hari libur yang harus kamu isi. Bukankah ini cuma masalah waktu saja? Kita
akan pergi ke suatu tempat, dan segalanya akan mudah serta menyenangkan.”

Manusia Es menghela napas bekunya dalam-dalam. Napas beku yang mengkristal di


udara diiringi sedikit suara gemerincing. Dia menyusurkan jejarinya yang panjang
bersama-sama di lutut. “Baiklah, jika kamu benar-benar ingin melakukan perjalanan,
aku tak keberatan. Aku akan turut pergi ke mana pun kamu pergi andai itu
membuatmu bahagia. Tapi, kamu tahu ke mana kamu mau pergi?”

“Bagaimana kalau kita mengunjungi Kutub Selatan?” kataku. Kupilih Kutub Selatan
karena aku yakin bahwa Manusia Es akan tertarik pergi ke suatu tempat yang dingin.
Dan, jujur saja, aku memang selalu ingin melakukan perjalanan ke sana. Aku ingin
mengenakan mantel bulu yang bertopi indah, aku ingin melihat aurora australis dan
juga kawanan penguin yang sibuk bermain. Namun, saat kukatakan hal tersebut,
suamiku menatapku lekat, tanpa berkedip, dan aku merasa seolah-olah sebongkoah
es menusukku, menembus bagian belakang kepalaku.

Manusia Es diam sejenak, dan akhirnya berkata dengan suara yang seperti salju
berdentingan, “Baiklah kalau itu yang kau inginkan. Mari kita pergi ke Kutub
Selatan…. Kau sungguh-sungguh yakin ini yang kau inginkan?”

Entah kenapa aku tak bisa segera menjawab. Suamiku, Manusia Es, menatapku begitu
lama, sedang di dalam kepalaku, aku seperti mati rasa. Lalu aku mengangguk.

***

Seiring waktu berlalu, aku mulai menyesali gagasan pergi ke Kutub Selatan. Aku tak
tahu persisnya kenapa, tapi begitu aku mengucapkan kata “Kutub Selatan”, sesuatu
berubah dalam diri suamiku. Matanya menjadi lebih tajam, napas yang keluar jadi
lebih putih, dan jejarinya terlihat semakin beku. Setelah itu dia tak berbicara padaku
lagi dan ia juga berhenti makan sepenuhnya. Semua itu tentu saja membuatku merasa
sangat tidak nyaman.

Lima hari sebelum waktu berangkat, kubangun keberanian dan kukatakan pada
suamiku, “Mari kita lupakan Kutub Selatan. Ketika kupikir hal itu sekarang, aku sadar
kalau saat ini akan menjadi sangat dingin di sana, dan itu tidak bagus untuk
kesehatanku. Jadi aku mulai berpikir mungkin lebih baik kalau kita pergi ke suatu
tempat yang lebih biasa. Bagaimana kalau Eropa? Mari kita liburan di Spanyol. Kita
bisa minum anggur, makan paella, dan melihat adu banteng atau sesuatu yang….”

Tapi suamiku tak menaruh perhatian, ia menatap angkasa beberapa lama lalu berkata,
“Tidak, aku tidak terlalu ingin pergi ke Spanyol. Spanyol terlalu panas bagiku dan
kotanya terlalu berdebu. Makanannya terlalu pedas. Selain itu, kita sudah membeli
tiket ke Kutub Selatan. Dan kita punya mantel bulu, dan sepatu boot berbulumu sudah
berbaris. Tak mungkin kita membuangnya ke tempat sampah. Sekarang kita sudah
sejauh ini, kita tidak bisa tidak pergi….”

Alasan sesungguhnya aku mengajukan ide Eropa adalah bahwa sebenarnya aku takut.
Aku memiliki firasat bahwa jika kami pergi ke Kutub Selatan sesuatu akan terjadi, dan
sesuatu itu tak akan mungkin bisa di-undo. Tidak bisa diulang-kembalikan lagi.

Belakangan aku mengalami mimpi buruk, dan itu terjadi berulang-ulang. Selalu
mimpi yang sama. Aku keluar berjalan-jalan sendiri lalu terjatuh begitu saja ke jurang
yang dalam. Jurang terbuka di dasar tanah. Tak seorang pun menemukanku. Aku
membeku di bawah sana. Diam dalam es, menatap nyalang ke langit di atas
permukaan. Aku sadar, tapi aku tidak bisa bergerak, bahkan untuk menggerakkan jari
pun aku tak mampu. Dari waktu ke waktu aku sadar aku telah menjadi masa lalu. Aku
seolah ada dalam adegan yang bergerak mundur, menjauh dari mereka; orang-orang
tersebut. Lalu sekonyong aku terbangun, dan saat terbangun, aku menemukan
Manusia Es terbaring tidur di sampingku.

Suamiku, Manusia Es yang selalu tidur tanpa bernapas, Manusia Es yang seperti
manusia mati….

***

Kini aku merindukan Manusia Es yang dulu pernah kutemui di ski resort. Di sini tak
mungkin lagi keberadaannya menjadi perhatian siapa pun. Semua orang di Kutub
Selatan menyukai Manusia Es, dan anehnya, orang-orang itu tak mengerti sepenggal
pun kata yang kuucapkan. Sambil menguapkan napas putih mereka, mereka akan
saling menceritakan lelucon dan berdebat serta menyanyikan lagu dalam bahasa
mereka yang tak kumengerti, sementara aku duduk sendirian di kamar kami,
memandang langit abu-abu yang sepertinya tak mungkin akan menjadi cerah dalam
beberapa bulan mendatang. Pesawat terbang yang membawa kami ke sana sudah lama
hilang, dan landasan pesawat kini tertutup lapisan es keras, sekeras hatiku.

“Musim dingin telah datang,” ujar suamiku. “Ini akan menjadi musim dingin yang
sangat panjang. Takkan lagi ada pesawat atau kapal. Semuanya telah membeku.
Kelihatannya kita harus tinggal di sini sampai musim semi berikutnya,” begitu
ucapnya.

Sekitar tiga bulan setelah kami tiba di Kutub Selatan, aku baru sadar kalau aku hamil.
Anak yang akan kulahirkan pastilah Manusia Es kecil, si junior—aku tahu itu!
Rahimku sudah beku dan cairan ketubanku adalah lumpur es. Aku bisa merasakan
dingin dalam diriku. Anakku akan menjadi seperti ayahnya, memiliki mata seperti
tetesan air beku dan jejari yang juga kaku beku. Keluarga baru kami tidak akan pernah
lagi menginjakkan kaki di luar Kutub Selatan.

O, aku baru tersadar. Masa lalu abadi, teramat berat dan melampaui semua
pemahaman, mencengkeram begitu erat. Kita tak akan mampu mengguncangnya.

Sekarang… hampir tak ada hati tertinggal padaku. Kehangatanku telah pergi teramat
jauh, dan terkadang aku bahkan lupa kalau kehangatan itu pernah ada. Di tempat ini,
aku lebih kesepian dari siapa pun di dunia. Dan ketika aku menangis, suamiku sang
Manusia Es akan mendekat dan mencium pipiku. Mengubah air mataku menjadi es.
Dan dengan lembut dia akan mengambil air mata yang membeku di tangannya itu dan
meletakkannya di ujung lidah, “Lihat betapa aku mencintaimu,” katanya.

Dia mengatakan hal yang sesungguhnya, tapi angin menyapunya ke ketiadaan,


meniupkan kata-kata putihnya kembali dan kembali ke masa lalu…. (*)

(Hadiah ultah ke-25 untuk seseorang….)

Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris oleh Richard L.
Peterson. Lalu, diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Ucu
Agustin.

Sumber : Jawa Pos, 26 Desember 2010

ilustrasi cerpen oleh Sarah Lacey


4月のある晴れた朝に100パーセントの女の子に出会うことについて
四月のある晴れた朝、原宿の裏通りで僕は100パーセントの女の子とすれ違う。
たいして綺麗な女の子ではない。素敵な服を着ているわけでもない。髪の後ろの方には寝ぐせがつい
たままだし、歳だっておそら くもう三十に近いはずだ。しかし五十メートルも先から僕にはちゃん
とわかっていた。

彼女は僕にとっての100パーセントの女の子なのだ。彼女の姿を目にした瞬間から僕の胸は不規則に
震え、口の中は 砂漠みたいにカラカラに乾いてしまう。あるいはあなたには好みの女の子のタイプ
があるかもしれない 。例えば足首の細い女の子がいいだとか、やはり目の大きい女の子だなとか、
絶対に指の綺麗な女の子だとか、よくわからないけれど ゆっくり時間をかけて食事をする女の子に
ひかれるとか、そんな感じだ。僕にだってもちろんそんな好みはある。レストランで食事をしながら
、隣りのテーブルに座った女の子の鼻の形に見とれたりすることもある。しかし100パーセントの女
の子をタイプファイすることなんて誰にもできない。彼女の鼻がどんな格好をしていたかなんて、僕
には絶対に思い出せない。いや、鼻があったのかどうかさえうまく思い出せない。僕が今思い出せる
のは、彼女はたいして美人じゃなかったということだけである。なんだか不思議なものだ。

「昨日100パーセントの女の子と道ですれ違ったんだ」と僕は誰かに言う。「ふうん」と彼は答える
。「美人だったのかい?」 「いや、そんなわけじゃないんだ」「じゃあ好みのタイプだったんだな」
「それが思い出せないんだ。目がどんな形をしていたかとか、胸が大きいか小さいかとか、まるで何
も覚えていないんだよ」「変なものだな」「変なものだよ」「それで」と彼は退屈そうに言った。「
何かしたのかい、声をかけるとか、あとをついていくとかさ」「何もしない」と僕は言った。「ただ
すれ違っただけさ」

彼女は東から西へ、僕は西から東に向けて歩いていた。とても気持の良い四月の朝だ。たとえ一二十
分でもいいから彼女と話をしてみたいと僕は思う。彼女の身の上を聞いてみたいし、僕の身の上を打
ちあけてもみたい。そして何よりも、一九八一年の四月のある晴れた朝に、我々が原宿の裏通りです
れ違うに至った運命の経緯のようなものを解き明かしてみたいと思う。きっとそこには平和な時代の
古い機械のよう な温かい秘密が充ちているに違いない。我々はそんな話をしてからどこかで昼食を
とり、ウディー.アレンの映画でも観て、ホテルのバーに寄ってカクテルか何かを飲む。うまくいけ
ば、そのあとで彼女と寝ることになるかもしれない。可能性が僕の心のドアを叩く。僕と彼女のあい
だの距離はもう十五メートルばかりに近づいて いる。さて、僕はいったいどんな風に彼女に話しか
ければいいのだろう? 「こんにちは。ほんの三十分でいいんだけれど僕と話をしてく れませんか?」
馬鹿げてる。まるで保険の勧誘みたいだ。「すみません、このあたりに二十四時間営業のクリーニン
グ屋はありますか?」これも馬鹿げてる。だいいち僕は洗濯物の袋さえ持ってはいないではないか。
あるいは正直に切り出した方がいいのかもしれない。「こんにちは。あなたは僕にとって100パーセ
ントの女の子なんですよ」 彼女はおそらくそんな科白を信じてはくれないだろう。それにもし信じ
てくれたとしても、彼女は僕と話なんかしたくないと思うかもしれない。あなたにとって私が100パ
ーセントの女の子だとしても、私にとってあなたは100パーセントの男じゃないのよ、と彼女は 言う
かもしれない。そういう事態に陥ったとしたら、きっと僕はおそろしく混乱してしまうに違いない。
僕はもう三十二で、結局のところ年を取るというのはそういうことなのだ。

花屋の店先で、僕は彼女とすれ違う。温かい小さな空気の塊りが僕の肌に触れる。アスファルトの
舗道には水が撒かれていて、あたりにはバラの花の匂いがする。僕は彼女に声をかけることもできな
い。彼女は白いセーターを着て、まだ切手の貼られていない白い角封筒を右手に持っている。彼女は
誰かに手紙を書いたのだ。彼女はひどく眠そうな目をしていたから、あるいは一晩かけてそれを書き
上げたのかもしれない。そしてその角封筒の中には彼女についての秘密の全てが収まっているのかも
しれない。何歩か歩いてから振り返った時、彼女の姿は既に人混みの中に消えていた。

もちろん今では、その時彼女に向ってどんな風に話しかけるべきであったのか、僕にはちゃんとわか
っている。しかし何にしても あまりに長い科白だから、きっと上手くはしゃべれなかったに違いな
い。このように、僕が思いつくことはいつも実用的ではないのだ 。とにかくその科白は「昔々」で
始まり「悲しい話だと思いませんか」で終わる。

昔々、あるところに少年と少女がいた。少年は十八歳で、少女 は十六歳だった。たいしてハンサム
な少年でもないし、たいして綺 麗な少女でもない。どこにでもいる孤独で平凡な少年と少女だ。で
も彼らは。この世の中のどこかには100パーセント自分にぴったりの 少女と少年がいるに違いないと
固く信じている。ある日二人は街角でばったりとめぐり会うことになる。「驚いたな、僕はずっと君
を捜していたんだよ。信じてくれないかもしれないけれど、君は僕にとって100パーセントの女の子
なんだよ」と少年は少女に言う。少女は少年に言う。「あなたこそ私にとって100パーセントの男の
子なのよ。何から何まで私の想像していたとおり。まるで夢みたいだわ」 二人は公園のベンチに座
り、いつまでも飽きることなく語りつづける。二人はもう孤独ではない。100パーセント相手を求め
、100パーセント相手から求められるということは、なんて素晴らしいことなのだろう。しかし二人
の心をわずかな、ほんのわずかな疑念が横切る。こんなに簡単に夢が実現してしまって良いのだろう
か、と。会話がふと途切れた時、少年がこう言う。「ねえ、もう一度だけ試してみよう。もし僕たち
二人が本当に 100パーセントの恋人同士だったとしたら、いつか必ずどこかでまためぐり会えるに違
いない。そしてこの次にめぐり会った時に、やはりお互いが100パーセントだったなら、そこですぐ
に結婚しよう。いいかい?」「いいわ」と少女は言った。そして二人は別れた。しかし本当のことを
言えば、試してみる必要なんて何もなかったのだ。彼らは正真正銘の100パーセントの恋人同士だっ
たのだから。そしておきまりの運命の波が二人を翻弄することになる。ある年の冬、二人はその年に
流行った悪性のインフルエンザにかかり、何週間も生死の境をさまよった末に、昔の記憶をすっかり
失くしてしまったのだ。彼らが目覚めた時、彼らの頭の中は少年時 代のD・H・ロレンスの貯金箱のよ
うに空っぽだった。しかし二人は賢明で我慢強い少年と少女であったから、努力に努力をかさね、再
び新しい知識や感情を身につけ、立派に社会に復帰することができた。彼らはちゃんと地下鉄を乗り
換えたり、郵便局で速達を出したりできるようにもなった。そして75パーセントの恋愛や、85パー
セントの恋愛を経験したりもした。 そのように少年は三十二歳になり、少女は三十歳になった。時
は驚くべき速度で過ぎ去っていった。そして四月のある晴れた朝、少年はモーニング・サービスのコ
ーヒーを飲むために原宿の裏通りを西から東へと向い、少女は速達用の切手を買うために同じ通りを
東から西へと向う。二人は通りのまんなかですれ違う。失われた記憶の微かな光が二人の心を一瞬照
らし出す。彼女は僕にとっての100パーセントの女の子なんだ。彼は私にとっての100パーセントの
男の子だわ。しかし彼らの記憶の光は余りにも弱く、彼らのことばは十四年前ほど澄んではいない。
二人はことばもなくすれ違い、そのまま人混みの中へと消えてしまう。悲しい話だと思いませんか。
僕は彼女にそんな風に切り出してみるべきであったのだ。

禁断の全文抜粋
| before2 | 11:36 | comments(2) | - |

コメント

こんな恋をしたいと14歳の頃に13歳の男の子を見つめていました。
その男の子に20代で再開して、やっぱり恋しました。14歳の頃の憧れは現実になり、この小説をせつなく
読み返しました。ひとは幸福なとき不幸なことを考えるものなのでしょうか?
三十も半ばを過ぎた一週間前の木曜日、朝のランニングの途中でその男の子とすれ違いました。彼も反対側を
走っていました。そして、私は自分が初恋の記憶を完全に失ってしまったのだと気づきました。自分の全存在を
細胞から揺るがすような恋。眩暈、心臓の鼓動、100%の恋人であるという確信。
やっと村上春樹の本質、激しい喪失と再生という言葉の意味を理解できる年齢にさしかかったのでしょう。
物語はハッピーエンドでなくては。幸せな結末を信じて、運命を神の采配にまかせます。

| 松岡幸希 | 2012/11/29 9:12 AM |

Anda mungkin juga menyukai