Anda di halaman 1dari 3

Judul : Tahun 69

Penulis : Ryu Murakami (1987)


Penerjemah : Widati Utami
Penerbit : TransMedia Pustaka, 2008
Edisi : Cetakan I, 268 halaman

Desain sampulnya berkesan lucu, sekaligus retro abis. Angka "69" yang besar dan mendominasi
dengan bentuk yang kekanak2an langsung menarik perhatian. Sementara latar belakangnya yang
bergambar sosok berkacamata lebar dengan rambut gondrong awut-awutan plus sebuah gitar
berhasil memberikan suasana retro dari akhir tahun 60-an. Pilihan font-nya juga lucu.

Dan setelah membaca isinya. Sampul ini menurutku sangat cocok dengan jalan ceritanya.
Tentang hiruk pikuk kehidupan seorang anak muda dari kota kecil di Jepang yang sedang
mencari jati diri di tengah serbuan budaya barat. Kisah tentang sekolah, pemberontakan, seni,
kebebasan dan wanita.

RINGKASAN

Sebagaimana judulnya, setting novel ini adalah tahun 1969 di sebuah kota kecil bernama Sasebo,
Jepang. Kensuke Yazaki atau lebih suka dipanggil Ken, adalah remaja berusia 17 tahun yang
sedang menjalani tahun terakhirnya di "SMA Kita". Ken awalnya bukanlah remaja yang
menonjol di sekolahnya, tidak di akademik, tidak juga di olahraga. Tapi Ken punya banyak
energi dan optimisme untuk mewujudkan berbagai macam ide liar yang ada di kepalanya.

Ken adalah anak muda yang sangat mengagumi dan menjadi pengikut setia dari budaya barat
yang digelontorkan oleh media ke seluruh pelosok dunia. Ia memuja grup-grup musik barat
seperti Beatles, Rolling Stones, hingga Simon and Garfunkel. Juga film, buku, filsuf, hingga
tokoh2 pergerakan dari dunia barat. Bahkan ia menjadi penentang keras perang Vietnam, dan
berusaha meyakinkan banyak orang tentang hal itu, meskipun Jepang sama sekali tidak terlibat
dalam perang tersebut.

Satu saat Ken bersama teman akrabnya Adama dan Iwase mendapat ide hebat tentang proyek
pembuatan film. Dari ide awal membuat film, angan mereka berkembang untuk membuat sebuah
festival untuk menampilkan film hasil buatan mereka tersebut. Dalam festival itu akan ada
pemutaran film, panggung drama, dan pertunjukan musik. Bertiga merekapun merencanakan
semuanya.

Sebagai bintang dalam film yang akan mereka buat, Ken mengincar gadis tercantik di sekolah
bernama Kazuko Matsui. Ken menjulukinya sebagai "Lady Jane", mengambil dari judul lagu
milik Rolling Stones. Dalam pendekatannya kepada Lady Jane, Ken menangkap kesan bahwa
gadis itu mengagumi tokoh2 luar di berita TV yang berani melakukan demonstrasi dan barikade
untuk menyuarakan aspirasinya.
Tanpa pikir panjang Ken langsung mengajak teman2nya untuk merencanakan membuat barikade
di "SMA Kita". Pada malam yang ditentukan mereka akan memasang spanduk besar, mengecat
dinding sekolah dengan slogan-slogan tertentu, membuat kekacauan di seluruh penjuru sekolah,
lalu menghubungi media. Dan esok paginya saat murid dan guru SMA Kita datang, mereka akan
terbengong-bengong melihat kejutan itu, dan media telah siap meliputnya.

Berhasilkah barikade itu? apa yang akan terjadi pada Ken dan teman2nya akibat tindakan liar
tersebut? Lalu bagaimana dengan rencana pembuatan Film dan Festival? Dan mampukah pada
akhirnya Ken menaklukkan hati Kazuko Matsui setelah segala usahanya itu?

REVIEW

Mungkin perlu diingatkan bahwa Ryu Murakami tidak memiliki hubungan apapun dengan
Haruki Murakami yang terkenal dengan "Norwegian Wood" dan "Kafka on the Shore", kecuali
sama-sama orang Jepang. Karya Ryu Murakami lainnya yang sudah diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia antara lain adalah "In The Miso Soup". Selain menulis novel, ia juga terkenal
sebagai pembuat film. Novel "69" ini yang ditulis berdasarkan kehidupan masa remaja Ryu
Murakami sendiri juga sudah difilmkan dengan judul yang sama.

Pemberontak yang Penuh Ide dan Kocak

Membaca novel ini yang memakai narator seorang remaja lelaki pemberontak dengan segala
pemikiran liarnya, sedikit banyak mengingatkanku pada novel legendaris "Catcher in The Rye".
Hanya saja tokoh Ken dalam novel ini tidak bersikap sinis dan mengalami depresi seperti Holden
Caulfield dalam "Catcher in The Rye". Jika Holden membuatku lelah dengan segala makiannya
di sepanjang cerita, Ken malah membuatku tersenyum dan tertawa dengan celetukan segar dan
pikiran2 konyol nya meskipun sama2 pemberontak.

Entah sejauh mana porsi fiksi dalam novel ini dibandingkan dengan masa remaja Ryu Murakami
yang sebenarnya, yang jelas cerita di dalamnya sangatlah seru. Perayaan ide untuk
mendemonstrasikan harapan akan kebebasan ala barat yang dilakukan Ken dan teman-temannya.
Dan memang, novel ini amat kental nuansa kebarat2annya. Suasana Jepangnya akan sama sekali
hilang jika saja tokoh dan settingnya bukanlah nama2 Jepang. Acuan hidup Ken semuanya
adalah dari barat, barat dan barat. Bahkan judul2 bab dalam buku ini nyaris semuanya dinamai
berdasarkan ikon-ikon dari barat, entah itu dari nama tokoh atau judul lagu. Mungkin memang
itulah yang terjadi pada anak muda di Jepang pada kisaran tahun 1969 itu.

Di awal-awal mungkin perlu menyesuaikan diri dulu dengan pola berpikir Ken yang seringkali
melompat-lompat, kadang juga terlalu hiperbolis atau mendramatisasi yang terlalu berlebihan
saat menggambarkan suatu kejadian. Namun lama-lama pembaca akan bisa menikmati dan
mengikuti gaya sok dewasa Ken yang kadang konyol itu. Hanya saja buat mereka yang tidak
begitu memahami tentang tokoh2, artis, dan kejadian di sekitar tahun 1969 harus menelan
mentah-mentah semua celotehan Ken tentang itu.
Seru, Segar dan Menghibur

TransMedia penerbit edisi terjemahan ini memberikan label "Fiksi-Novel Komedi" untuk buku
ini. Meskipun aku tidak terlalu setuju dengan label "komedi" pada novel ini, karena kesannya
adalah cerita konyol2an yang kemana-mana pokoknya asal lucu. Sementara novel ini sebenarnya
ceritanya terarah dan cukup cerdas sampai batasan tertentu, hanya saja disajikan dalam bahasa
yang ringan yang khas dan pas untuk penuturnya yang masih remaja tapi sok dewasa.

Sedikit muncul pertanyaan mengenai kalimat-kalimat tertentu yang dicetak tebal dan lebih besar
bertebaran di beberapa halaman buku ini. Kadang memang itu adalah kalimat yang perlu
penekanan untuk memberikan efek dramatis, tapi di beberapa tempat ada kalimat yang nggak
penting2 amat tapi ditebalkan font-nya.

Satu hal lain yang disesalkan adalah mengapa TransMedia harus mengutip salah satu kejadian
paling konyol di novel ini untuk ditulis lengkap di sampul belakang? Ketika sampai pada bagian
yang sama di dalam novelnya, hilanglah sama sekali kekonyolannya.

Bacaan yang sangat menghibur di waktu luang, anda akan bisa tersenyum, tertawa dan geleng-
geleng kepala mengikuti kegilaan Ken dan teman-temannya. Terjemahannya mengalir dengan
lancar enak dibaca. Bercerita tentang serunya masa lalu, tapi mungkin tidak membangkitkan
kenangan bagi semua orang, karena pengalaman Ken disini terlalu 'maju' untuk ukuran orang
Indonesia pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai