Anda di halaman 1dari 16

Makna Kreativitas di Era Pluralisme

dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Seni Rupa1

Oleh : Hariyanto
Jurusan Seni dan Desain, FS, UM

Abstrak:
Praktik penciptaan karya seni rupa kontemporer di Indonesia
Dipengaruhi oleh wacana pluralisme yang membawa slogan
Serba boleh. Kreativitas dalam penciptaan seni rupa tidak lagi
dipersyarati oleh kebaruan dan keaslian ciptaan. Para perupa
kontemporer kini bebas berkarya dengan idiom parodi, ironi,
alegori, eklektik, dengan strategi apropriasi.Lembaga pendidikan
seni belum menyesuaikan kurikulum dan struktur lembaga.
Makalah ini membahas, pluralisme dalam seni rupa kontemporer
Indonesia; makna kreativitas dalam seni rupa kontemporer; dan
pendidikan seni rupa menyikapi perubahan makna kreativitas.
Kata kunci: makna, kreativitas, pluralisme.

Praktik penciptaan karya seni rupa hingga saat ini masih dilihat oleh sebagian orang
sebagai kegiatan kreatif. Pada kegiatan kreatif itu akan menghasilkan produk kreatif yang di
dalamnya akan nampak nilai-nilai kebaruan (novelty) , keaslian(originality), dan keunikan yang
meliputi aspek bentuk, aspek teknik, dan aspek gagasan dari si pencipta karya seni. Paradigma
seni rupa modern yang menganut paham universalisme hanya mengakui kualitas karya seni rupa
berdasarkan pertimbangan kebaruan dan keaslian ciptaannya.
Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan globalisasi semua aspek
kehidupan serta masuknya wacana posmodernisme yang membawa paham pluralisme, maka
produksi karya seni rupa semakin beragam. Keberagaman bisa dilihat dari berbagai aspek,
seperti bentuk, teknik, media, gagasan, dan sebagainya. Tema atau persoalan yang diungkapkan
oleh pencipta(perupa) tidak terbatas pada persoalan pribadi mereka, tetapi mengungkap
persoalan sehari-hari di sekitar kehidupan perupa yang semakin kompleks. Karya seni rupa
dengan kehidupan sehari-hari semakin tidak berjarak. Penggunaan material sehari-hari dalam
karya seni rupa menjadikan para pengamat mengalami kesulitan dalam membedakan karya seni

1
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Creativity Culture Diversity and Character Education di Universitas
Negeri Malang 7 Nopember 2012

1
rupa dengan benda sehari-hari. Kondisi seperti ini merupakan gejala berakhirnya sejarah seni
rupa.
Berakhirnya sejarah seni rupa juga bisa dilihat dari semakin beragamnya karya seni rupa
yang dihasilkan oleh para perupa. Keberagaman karya seni rupa merupakan efek dari paham
serba boleh (anything goes) yang dianut oleh perupa kontemporer. Semua jenis karya seni rupa
layak tampil di depan publik dengan derajat yang sama. Paham anything goes telah mendorong
para perupa melakukan apa saja dalam berkarya seni rupa. Kebebasan tanpa batas ini memberi
peluang terjadinya “lintas batas” seperti lintas media, lintas gagasan, lintas disiplin, dan
sebagainya. Dalam wacana seni rupa kontemporer telah muncul suatu ungkapan Joseph Beuys,
“Setiap manusia adalah seniman” (Wikipedia,2012), dan Andy Warhol, “apapun dapat menjadi
sebuah karya seni rupa” (Danto,1999:63), serta dapat ditambahkan “penciptaan karya seni rupa
dapat dilakukan dengan cara apapun”.
Seni rupa kontemporer memberi ruang bagi demokratisasi seni rupa, para perupa bebas
untuk menampilkan perbedaan gagasan, perbedaan media, perbedaan teknik, perbedaan cara
kerja, dan sebagainya. Dianutnya paham anything goes oleh para perupa kontemporer telah
menyurutkan kepercayaan terhadap nilai kebaruan dan nilai keaslian yang dianut oleh paradigma
seni rupa modern. Dampak dari demokratisasi seni rupa ini kemudian memunculkan pertanyaan
yang mendasar yaitu, “apakah kreativitas masih diperlukan?” Kreativitas yang menjadi tolok
ukur kualitas sebuah karya seni rupa, kini dipertanyakan kebermaknaannya. Pada masa lalu
kreativitas mensyaratkan adanya kebaruan dan keaslian. Dalam era pascasejarah seni rupa,
kreativitas tidak lagi mempersoalkan kebaruan dan keaslian.
Keterbukaan seni rupa kontemporer terhadap keberagaman karya seni rupa, merupakan
wujud dari praktik posmodernisme yang identik dengan pluralisme. Pluralisme seni rupa,
dimaksudkan untuk menunjukkan adanya keragaman besar pada gerakan seni, mode, dan genre.
Makalah ini membahas : pluralisme dalam seni rupa kontemporer Indonesia; makna kreativitas
dalam seni rupa kontemporer; dan pendidikan seni rupa menyikapi perubahan makna kreativitas.
Pluralisme dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia
Awal dekade 1990-an, seni rupa Indonesia memasuki babak baru dimana wacana
posmodernisme mulai masuk Indonesia yang ditandai dengan banyaknya diskusi dan seminar
tentang wacana ini, serta diterbitkannya buku-buku tentang posmodernisme oleh penulis
Indonesia atau terjemahan dari penulis asing. Wacana posmodernisme juga mempengaruhi

2
perkembangan seni rupa Indonesia, hal ini bisa dilihat dengan berdirinya ruang-ruang alternatif,
berdirinya komunitas seni rupa, meningkatnya frequensi pameran seni rupa kontemporer,
biennale seni rupa (kontemporer), kelahiran profesi kurator, internasionalisasi seni rupa
kontemporer Indonesia, institusi pasar (galeri komersial, dealer, balai lelang, dan menejemen
seni ), meningkatnya praktik seni media baru, dan sebagainya.
Piliang (2003, 231-237) menyatakan bahwa posmodernisme adalah sebuah wacana yang
dibangun oleh pluralitas ideologi, yang di dalamnya berbagai keyakinan dan kepercayaan hidup
dalam ruang dan waktu yang sama. Pluralitas ini terfragmentasi menjadi dua yaitu pluralisme
dan relativisme. Pluralisme adalah pandangan yang menghargai kemajemukan, serta
penghormatan terhadap liyan (the others) yang berbeda-beda dan beraneka warna, yang
membuka diri terhadap keyakinan-keyakinan berbeda tersebut, serta yang melibatkan diri dalam
proses dialog, dalam rangka mencari persamaan. Relativisme adalah pandangan yang percaya
bahwa nilai dan kebenaran ditentukan oleh pandangan hidup dan kerangka berpikir setiap
individu atau masyarakat yang didalamnya semua hal mengandung kebenaran relatif.
Menurut Suzi Gablik istilah posmodernisme memiliki kesamaan arti dengan istilah pluralisme.
Kedua istilah itu menunjuk pada hilangnya keyakinan dalam sebuah arus-utama stilistik, seolah-
olah seluruh sejarah gaya tiba-tiba mengalami kemandekan. Pluralisme menghapuskan kontrol,
dan memberi kesan bahwa apapun diperbolehkan.(Gablik, 1988:73)
Pluralisme dalam sejarah seni rupa ditandai dengan diterimanya beragam jenis karya seni
rupa dengan derajat yang sama. Dalam situasi seperti itu sulit ditentukan kualitas sebuah karya
seni rupa karena tiadanya kriteria yang disepakati. Pluralitas seni rupa berakibat pada sulitnya
membedakan antara karya seni dengan benda sehari-hari seperti ditunjukkan pada karya seni Pop
dan benda siap pakai (readymade) dalam karya instalasi. Slogan serba boleh (anything goes)
dalam pluralisme seni rupa kontemporer didukung oleh pendapat Joseph Beuys yang
menyatakan “Semua orang dapat menjadi seniman”, dan pernyataan Andy Warhol, “Apapun bisa
menjadi karya seni”.
Arthur Danto (1997:21-39) menyatakan bahwa kondisi yang menunjukkan tiadanya
perbedaan antara karya seni rupa dengan benda sehari-hari merupakan tanda berakhirnya sejarah
seni rupa. Pernyataan Danto dikemukakan setelah menyaksikan karya Warhol Brillo Box sebuah
instalasi yang berupa tumpukan dos kemasan produk Brillo. Heinrich Wolfflin dalam bukunya
berjudul The Principles of Art History yang menyatakan bahwa “tidak setiap sesuatu

3
dimungkinkan pada setiap saat”. Membandingkan dengan pendapat Woflflin itu, Danto
(1998:115-128) menyatakan bahwa kondisi dimana “apapun dimungkinkan pada saat itu”
sebagai periode seni rupa pascakesejarahan (posthistorical). Seni rupa pascasejarah adalah seni
rupa yang diciptakan dalam kondisi “objective pluralism”, disana tidak terdapat arah kesejarahan
yang dimandatkan untuk seni rupa masuk ke dalamnya, setidaknya hingga sejarah seni rupa
ditentukan secara internal.
Donald Kuspit (2007:91), dalam bukunya berjudul The End of Art dengan istilah yang
berbeda menyatakan bahwa kondisi dimana perbedaan antara imajinasi kreatif dan realitas banal
yang digunakan sebagai material mentah telah menjadi kabur, disebut sebagai pascaseni
(postart). Model dalam reproduksi pasca artistik yang menggunakan akal ironis tertentu ini
adalah Marcel Duchamp. Barang temuan atau benda siap pakai (readymade) memiliki identitas
ganda, sebagai artefak sehari-hari dan juga sebagai karya seni rupa. Artefak fungsional secara
sosial telah diubah menjadi masterpieces artistik sublim oleh tindakan kreatif (creative act)
Duchamp. (Kuspit,2007:22).
Di dalam sejarah seni rupa kontemporer Indonesia, konsep pluralisme sudah dipraktikkan
oleh para perupa anggota Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia pada tahun 1975-1979 dan tahun
1987. Karya yang ditampilkan mereka cukup beragam dan mulai menampilkan karya-karya
instalasi dan karya-karya drawing yang pada saat itu belum lazim. Salah satu tuntutan dari
manifesto gerakan yang diberi judul “Lima jurus gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”
berisi tentang keberagaman gaya (pluralisme):
Mendambakan “kemungkinan berkarya” dalam arti keragaman gaya dalam
karya seni rupa Indonesia. Menghujani seni rupa Indonesia dengan
kemungkinan-kemungkinan baru, mengakui semua kemungkinan tanpa
batasan, sebagai pencerminan sikap “mencari”. Dari sini, menantang semua
penyusutan kemungkinan, antara lain sikap pengajaran “cantrikisme” di mana
gaya seorang guru diikuti murid-muridnya, yang sebenarnya bisa berbuat lain,
memperkaya kemungkinan “gaya” seni rupa Indonesia.(Supangkat,1979:xix)

Pada tahun 1987 para perupa dari Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia mengadakan
pameran lagi dengan judul Pasaraya Dunia Fantasi. Karya-karya dalam pameran ini sebagian
besar berupa instalasi gaya seni Pop, dan karya-karya yang diapropriasi dari produk-produk
budaya massa. Melalui pameran itu mereka hendak menarik perhatian publik kepada benda
sehari-hari (iklan, stiker, majalah, komik, kalender, dsb.) yang biasa dilecehkan oleh kalangan

4
seni rupa, kini diangkat sebagai “karya seni rupa” yang sah. Sanento Yuliman menegaskan
bahwa karya-karya itu layak mendapat perhatian dan pengamatan sama besar seperti yang biasa
diberikan kepada lukisan atau patung. (Hasan,2001:219-221)
Tahun 1992 di Yogyakarta diselenggarakan Pameran Biennale Seni Lukis Yogyakarta III.
Panitia pameran hanya membatasi jenis karya lukisan saja untuk dipamerkan, sedangkan
pesertanya juga dibatasi usia minimal 35 tahun. Kriteria pembatasan peserta dan jenis karya ini
kemudian menimbulkan reaksi keras di kalangan perupa muda dan perupa dari luar seni lukis.
Bersamaan dengan pelaksanaan pameran Biennale yang resmi, sekelompok perupa muda dan
mahasiswa yang terdiri dari Kelompok Bulak Sumur dan mahasiswa FSRD ISI Yogyakarta
membuat kegiatan tandingan dengan judul Binal Esperimental yang terdiri dari pameran seni
instalasi, performance art, pentas musik, dan lain sebagainya. Dadang Christanto dan
Krisbudiman, dengan mengutip pandangan Foucault menyatakan bahwa suatu “kebenaran”
tergantung siapa yang menguasai diskursus. Diskursus seni lukis “resmi” Biennale sebagai
bentuk kekuasaan untuk menentukan “kebenaran” nilai estetik tertentu secara hegemonik. Binal
tidak berupaya untuk membantuk “Barisan sakit hati”, tetapi lebih pada kesadaran pluralism seni
dan ingin merayakan keberagaman.(Bernas, 2 Agustus 1992).
Menurut Agus Burhan (2007), periode sejarah seni rupa Indonesia sejak 1974 hingga akhir abad
XX mengikuti ‘paradigma estetik kontekstualisme pluralistis’, sedangkan kecenderungan sejak
pergantian abad lalu disebut ‘paradigma Sintesis Baru’
Internasionalisasi karya seni rupa kontemporer Indonesia sejak tahun 1990-an ditandai
dengan keikutsertaan perupa Indonesia pada even seni rupa kontemporer Internasional seperti
biennale dan triennale di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika. Pada pameran-pameran
internasional itu para perupa Indonesia banyak menampilkan karya-karya alternatif seperti
instalasi, performance art, video, fotografi, mural dan sebagainya. Di dalam negeri sendiri mulai
terjadi perubahan nama Biennale Seni Lukis (Jakarta dan Yogyakarta) menjadi Biennale seni
Rupa dimana karya-karya alternatif diterima dengan status yang sama. CP Biennale dan ArtJog
(Artfair) pada awal abad XXI menambah peluang para perupa kontemporer merayakan
keberagaman seni rupa. Penghargaan seni seperti Phillip Morris dan Indonesian Art Award
semakin meningkatkan minat berkarya seni rupa kontemporer.
Keberagaman karya seni rupa Indonesia sejak tahun 1990-an bisa dilihat dari beberapa
aspek yaitu, media, teknik, gagasan, dan perupa. Aspek media dibagi menjadi dua yaitu media

5
konvensional seperti lukis, patung, dan grafis. Media baru meliputi, instalasi, objek, performance
art, fotografi, video, sound art, seni serat, dan sebagainya. Teknik untuk karya dua dimensi
meliputi, sketsa, arsir, sapuan, kolase/temple, cetak fotografi, dan sebagainya. Karya tiga
dimensi dapat dikerjakan dengan teknik cor, pahat, las, sambung, asambalase, jahit, dan
sebagainya. Gagasan yang diangkat oleh para perupa kontemporer sangat beragam meliputi,
sosial politik, ekonomi, budaya, urban, pribadi, domestik (jender), agama, hubungan
internasional, dan sebagainya. Identitas perupa menjadi aspek keragaman yang menonjol dalam
seni rupa kontemporer Indonesia, mereka berasal dari kalangan diaspora Tionghoa, perupa etnis
Minang (Sakato), perupa etnis Bali (Sanggar Dewata), ekspatriat, perupa perempuan, perupa
gay/lesbian, perupa otodidak (Kelompok Sepi), perupa desa (KUD), perupa kelompok-kelompok
komunitas, perupa individu yang tidak membentuk komunitas, dan lain sebagainya.
Makna Kreativitas dalam Seni Rupa Kontemporer
Pluralitas dalam seni rupa kontemporer yang memberi kebebasan tanpa batas terhadap
penciptaan karya seni rupa menimbulkan pertanyaan terutama yang berhubungan dengan
masalah kreativitas. Konsep kreativitas dalam penciptaan karya seni rupa modernis selalu terkait
dengan inovasi dan keaslian. Menurut Stenberg (2002:3), kreativitas adalah kemampuan untuk
menghasilkan karya yang baru (orisinal) dan yang sesuai (berguna). Harris (2006:73-74),
menyatakan bahwa kreativitas artistik adalah, kualitas yang inovatif, inspiratif, dan visioner.
Orisinalitas yang dituntut oleh seni rupa modernis sudah tidak sesuai dengan praktik seni rupa
kontemporer yang tidak mempedulikan lagi aspek itu. Fenomena meremehkan orisinalitas sudah
cukup lama terjadi pada seni rupa modern seperti terlihat pada karya-karya Pop dari Andy
Warhol yang mereproduksi karya seniman sebelumnya atau mereproduksi citra artis pop atau
tokoh tertentu. Peminjaman objek dari karya perupa sebelumnya juga dilakukan para perupa
Dada, dan para perupa feminis yang menggunakan media fotografi seperti Sherrie Levine dan
Barbara Kruger. Praktik peminjaman objek visual dari karya perupa lain yang menjadi ciri
menonjol dalam seni rupa kontemporer ini sering disebut apropriasi.
Strategi apropriasi dalam seni rupa kontemporer digunakan sebagai upaya para perupa
untuk menurunkan derajat kepengarangan dari perupa modernis. Dalam wacana Modernisme
terdapat pemahaman bahwa kedudukan seniman atau pengarang memiliki otoritas
kepengarangan (authorship) yang tinggi. Karya seni dianggap sebagai cerminan dari pribadi
sang seniman yang harus menunjukkan adanya unsur orisinalitas, keunikan dan kebaruan.

6
Seniman merupakan sumber atau asal-usul dari lahirnya sebuah karya seni. Menurut Foucault
(1993: 923-928), pengarang atau seniman adalah sumber utama dari ekspresi dan merupakan
pencipta (kreator) yang jenius dari sebuah karya dan juga sebagai produk ideologis.
Roland Barthes(1977:142-148) menyatakan bahwa pengarang (seniman) adalah figur
modern yang dihasilkan oleh masyarakatnya sejak akhir abad pertengahan dengan empirisme
Inggris, rasionalisme Perancis, dan keyakinan personal dari Reformasi yang menemukan prestise
pada individu. Karya-karya yang dihasilkan secara tiranis berpusat pada pengarangnya,
orangnya, sejarahnya, seleranya dan pada hasratnya. Krauss (1993:1060-1065), menambahkan
bahwa orisinalitas dan kebaruan yang diharapkan dari karya-karya seniman/pengarang modernis
menuntut mereka melakukan penemuan teknik dan gaya yang inovatif secara terus menerus.
Peniruan dan pengulangan terhadap bentuk alam dan seni yang sudah ada dianggap sebagai
tindakan yang tidak kreatif dan tidak orisinal. Modernisme dan avant-garde adalah fungsi dari
apa yang disebut sebagai wacana orisinalitas, dan wacana itu melayani banyak kepentingan yang
lebih luas seperti museum, sejarawan dan para pembuat seni.
Orisinalitas dan inovasi yang dituntut oleh kaum modernis pada akhirnya mendapat kritik
dari kaum strukturalis/poststrukturalis. Roland Barthes (1977: 142-148) melalui tulisannya
"Death of the Author" menyatakan bahwa secara linguistik pengarang/seniman (author)
hanyalah seorang yang menulis (scriptor). Penulis modern (scriptor) lahir bersama dengan
“teks”, di mana teks adalah jaringan dari kutipan-kutipan, yang dihasilkan dari ribuan sumber
budaya. Seseorang yang dapat memahami setiap kata-kata tertulis adalah “pembaca” (reader).
Tulisan-tulisan yang digambarkan berasal dari berbagai budaya dan kemudian menjadi hubungan
dialog serta parodi. Hanya terdapat satu tempat bagi multisiplitas tulisan, ia adalah pembaca,
bukan pengarang. “Kelahiran dari pembaca harus ditebus dengan kematian pengarang”.
Wacana kematian pengarang ini berpengaruh dalam sistem produksi maupun konsumsi
seni rupa kontemporer pada saat ini. Seniman atau pengarang tidak lagi menjadi pusat peciptaan
dan karya seni rupa tidak lagi dituntut untuk menghasilkan karya yang memiliki kriteria orisinal.
Para perupa kontemporer tidak lagi dianggap sebagai seniman jenius yang terpisah dari
lingkungan sosialnya. Pesan atau tema menjadi lebih penting dari pada bentuk maupun estetika.
Pesan atau tema menjadi lebih penting dari pada bentuk maupun estetika. Strategi visual yang
digunakan oleh para perupa kontemporer lebih dimudahkan dengan adanya teknologi.

7
Appropriasi menjadi salah satu strategi visual yang paling banyak digunakan oleh para
perupa kontemporer. Menurut Robert S. Nelson (2003: 160-173), kata “appropriation” berasal
dari kata Latin “appropriare” yang memiliki arti “menjadikan milik sendiri”. “To appropriate”
pada saat ini memiliki arti, mengambil sesuatu untuk kegunaan diri seseorang dan kata sifat dari
“appropriate” berarti menjadi milik diri seseorang, privat dan cocok. Kata “appropriate” juga
memiliki konotasi yang sinis yaitu penculikan atau pencurian. Penerapan kata appropriasi pada
seni rupa dan sejarah seni rupa pada masa sekarang ini berhubungan dengan adopsi karya seni
rupa dari unsur-unsur yang ada lebih dulu. Appropriasi juga bisa bermakna “peminjaman” atau
“pengaruh”, dari produksi dan resepsi sebuah karya seni rupa.
Appropriasi menjadi standar dalam produksi karya seni rupa kontemporer pada saat ini.
Terdapat berbagai macam teknik appropriasi dalam produksi karya seni rupa kontemporer seperti
misalnya: remix, copy-paste, collage, montage, dan kutipan. Strategi appropriasi dalam seni rupa
kontemporer merupakan bentuk kritik terhadap mitos orisinalitas, kepengarangan dan aura dalam
seni modernis. Mitos seni modernis tersebut biasanya dikaitkan dengan dominasi perupa laki-
laki, sehingga banyak perupa perempuan melakukan dekonstruksi terhadap mitos itu. Para
perupa perempuan seperti, Sherie Levine, Barbara Kruger dan Cindy Sherman banyak
menghasilkan karya kontemporer dengan strategi appropriasi melalui karya-karya fotografi
dengan tujuan untuk mengkritik mitos orisinalitas dan aura seni rupa modernis yang bersifat
patriarkhis.
Para perupa perempuan Indonesia, khususnya dari Yogyakarta sedikit sekali yang
memanfaatkan fotografi, mereka lebih senang menggunakan teknik kriya seperti keramik dan
tekstil (serat) yang bersifat feminin dan oleh kaum modernis dipandang sebagai bukan seni
murni. Penggunaan teknik kriya dalam seni rupa kontemporer oleh perupa perempuan bermakna
sebagai kritik terhadap hirarki dalam seni rupa modern di mana seni lukis lebih murni dibanding
dengan kriya. Strategi appropriasi banyak dilakukan oleh para perupa Indonesia baik perempuan
maupun laki-laki.
Perubahan dari kreativitas seni rupa modernis ke apropriasi seni rupa kontemporer
(posmodern) berakibat pada pemahaman para perupa dan masyarakat terhadap makna kreativitas
dalam penciptaan karya seni rupa. Kreativitas seni rupa tidak lagi dipahami sebagai refleksi dari
“kepengarangan” perupa yang didalamnya harus mengandung aspek orisinalitas, kebaruan, dan

8
keunikan dari pencipta karya seni rupa. Karya seni rupa dianalogikan sama dengan “teks” atau
tulisan yang merupakan jaringan dari kutipan-kutipan berasal dari berbagai sumber budaya.
Praktik seni rupa kontemporer di Indonesia yang cenderung memberi ruang pada
pluralisme dengan slogan anything goes, menyebabkan tidak adanya kepastian terhadap kriteria
estetik dari sebuah karya seni rupa. Batasan yang jelas tentang kriteria estetis sulit ditemukan
karena dalam seni rupa kontemporer tidak mengutamakan aspek estetis. Para perupa justru sering
bermain dengan istilah batasan, misalnya dengan memunculkan istilah “menembus batas”,
“melintas batas”, “melampaui batas”. Istilah “lintas-batas” di dalam wacana dan praktik seni
rupa kontemporer menunjukkan bahwa istilah “orisinalitas” dan gaya individual yang tunggal
sudah tidak dianggap penting. Karakter dari karya seni rupa kontemporer adalah hibrid atau
eklektik, berwajah ganda. Werbner (1997:15) menyatakan bahwa semua budaya selalu hibrid.
Sebagai diskripsi budaya, hibriditas adalah tanpa makna karena memusiumkan budaya sebagai
sebuah benda. Pernyataan Werbner ini sejalan dengan pendapat Lyotard (2004:173) yang
menyatakan bahwa eklektisisme adalah derajat nol dari budaya umum kontemporer. Karakter
hibrid dalam karya seni rupa kontemporer yang didukung oleh kedua pendapat itu bisa
ditambahkan dengan pendapat Bakhtin (1981:358) yaitu bahwa hibriditas adalah campuran dari
dua bahasa, sebuah pertemuan antara dua kesadaran linguistik.
Seni rupa kontemporer yang didukung oleh teori postmodern memiliki dorongan alegori.
Alegori yang murni adalah elemen struktural di dalam sastra, sebuah teks dibaca melalui teks
lainnya. Menurut Encyclopedia of Postmodernism (Taylor dan Winquist, 2001:6) “alegori”
berasal dari kata Yunani allos= lain dan agoreuei = bicara. Pengertian yang lebih luas, alegori
termasuk semua karya sastra, sejak semua teks dapat dibaca secara “lain”. Jonathan Harris
(2006:12) mendefinisikan alegori di dalam karya seni rupa, adalah karya seni rupa yang
dikomunikasikan melalui arti simbolis, menunjukkan pengkodean makna, meskipun tidak
memerlukan komunikasi yang koheren, atau pesan tunggal.
Craig Owens mengamati mode alegori ini banyak terdapat pada karya-karya seni rupa
kontemporer. Menurut Owens(1994:54), citra alegori adalah citra yang disesuaikan, pembuat
alegori tidak menciptakan citra tetapi menyitanya. Ia melakukan klaim kepada budaya yang
signifikan, bertindak sebagai penafsir. Di tangannya sebuah citra menjadi sesuatu yang lain. Ia
tidak mengembalikan makna aslinya yang mungkin telah hilang atau dikaburkan, alegori bukan
hermeneutika. Sebaliknya, ia menambahkan makna yang lain kepada citra itu. Pengertian alegori

9
secara umum sama dengan perumpamaan atau kiasan. Penggunaan kiasan ini sudah lama
dilakukan pada seni rupa Reneisans, terutama pada seni lukis. Para perupa kontemporer
Indonesia yang menggunakan strategi alegori diantaranya adalah para perupa dengan basis realis
seperti, Ronald Manullang, Sigit Santosa, Agus Suwage, Pramuhendra, dan lain-lain.
Karakteristik lain dari karya seni rupa kontemporer adalah digunakannya strategi parodi
atau ironi. Pengertian parodi menurut Hutcheon (2000:32) adalah satu bentuk imitasi tetapi ,
akan tetapi suatu imitasi yang berkecenderungan ironik. Parodi adalah pengulangan yang
dilengkapi dengan ruang kritik yang mengungkapkan perbedaan daripada persamaan.
Hutcheon(2004:148) menambahkan bahwa parodi menggugat asumsi humanis tentang
orisinalitas dan keunikan artistik serta konsep kepemilikan dan hak milik kapitalis. Melalui
parody dan reproduksi lain, konsep orisinalitas sebagai sesuatu yang langka, tunggal, dan
berharga(secara estetis dan bisnis) dipertanyakan kembali. Banyak perupa Indonesia yang
menggunakan pendekatan parodi pada karya mereka, beberapa perupa yang menggunakan parodi
misalnya Heri Dono, Agus Suwage, Ronald Manullang, S. Teddy dan lain-lain.
Para perupa Gerakan Seni Rupa Baru secara sadar menggunakan kata parodi untuk
menamai pameran mereka pada tahun 1987 yaitu dengan tajuk “Parodi Pasaraya Dunia Fantasi”.
Para perupa dari komunitas Apotik Komik dan Taring Padi seringkali menggunakan gambar
sebagai media mengungkapkan kritik sosial yang bernuansa parodi. Pada awalnya ketika para
perupa dari Taring Padi dan Apotik Komik masih penuh semangat menggunakan ruang publik
urban untuk mempresentasikan gagasan mereka melalui seni publik (mural, stensil, banner). Kini
para individu anggota kedua komunitas itu sibuk dengan karir pribadinya masing-masing, maka
media seni publik yang bertujuan menolak pasar, justru ditinggalkan demi kompromi dengan
pasar.
Para perupa perempuan Indonesia sebagian menggunakan media tubuh seperti
Arahmaiani dan Melati Suryodarmo. Arahmaiani menggunakan tubuhnya untuk dijadikan
semacam papan tulis dalam sebagian performancenya. Kebiasaan menulis atau menggambar di
bagian tubuh mirip dengan tato yang dilakukan oleh orang Mentawai atau Dayak. Pada
performance berjudul His-Story (2000), Arahmaiani menggunakan properti papan tulis dan
melakukan pertunjukkan menulis pada papan tulis dengan beberapa jenis huruf. Performance
yang mirip presentasi di ruang kuliah ini mirip dengan yang dilakukan oleh Joseph Beuys dalam
karya performancenya. Para perupa lainnya memilih menggunakan media kriya seperti keramik,

10
tekstil, sulam dan sebagainya untuk menunjukkan keragaman karya seni rupa kontemporer,
sambil menunjukkan identitas mereka sebagai perempuan.
Perupa perempuan juga menggunakan media kriya tekstil dan kriya keramik dalam
presentasi karya mereka. Media kriya tekstil digunakan oleh Caroline Rika Winata, Tiarma
Sirait, Kelompok Simponi dan lain-lain. Para perupa perempuan yang menggunakan media kriya
keramik antara lain adalah Titarubi, Koniherawati, Endang Lestari, Dona Prawita Arisuta, dan
lain-lain. Perupa perempuan seperti Mella Jaarsma menggunakan berbagai bahan seperti kain,
kulit, tulang, kepompong, dan sebagainya. Bahan-bahan sehari-hari itu dijahit, disambung,
ditempel sehingga menjadi karya instalasi wearable misalnya dalam seri karya kostum kerudung
dan shelter. Rennie Emonk, seorang perupa perempuan menggunakan media kayu, resin, akrilik,
dan sebagainya untuk menghasilkan karya bercitra mainan mirip boneka. Pada pameran Boys are
Toys, Rennie menciptakan boneka-boneka tokoh laki-laki dengan bentuk dasar phallus. Perupa
Astari lebih sering menggunakan media lukis dan kadang-kadang menggunakan seni objek untuk
mempresentasikan gagasan keperempuanannya. Meskipun para perupa perempuan menggunakan
media yang beragam, tetapi tema intinya sama yaitu relasi dirinya dengan laki-laki dan identitas
perempuan. Hal lain yang sama dari mereka adalah penggunaan strategi apropriasi dengan
pendekatan parodi, alegori, ironi, dan hibridasi (eklektik).
Para perupa kontemporer Indonesia merayakan pluralisme dengan menciptakan karya
seni rupa yang beragam baik dari gagasan, media, dan teknik. Slogan “Apapun Boleh” dalam
pluralisme postmodern disambut dengan produktivitas masing-masing perupa tanpa harus
terbebani oleh konsep orisinalitas seperti pada paradigma modernis. Donald Kuspit (2004:141)
menegaskan bahwa modernisme ditandai dengan kreativitas primal, sedangkan posmodernisme
ditandai dengan reproduksi skunder. Tidak percaya kepada orisinalitas, adalah tidak percaya
kepada orisinalitas.
Pendidikan Seni Rupa Menyikapi Perubahan Makna Kreativitas
Konsep Pendidikan seni di tingkat pendidikan dasar dan menengah pada saat ini sudah
menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Sebagai konsekuensi dari reformasi di bidang
politik, maka di bidang pendidikan juga mengalami perubahan. Salah satu wujud dari perubahan
itu adalah lahirnya Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2006)

11
merupakan hasil dari UU Sisdiknas dan UU Otonomi Daerah. Perkembangan pendidikan seni
pada saat ini oleh Soehardjo (2005:83) sudah menunjukkan tanda-tanda pencerahan.
Mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis
budaya. Pendidikan Seni Budaya memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan
multikultural. Mata pelajaran Seni Budaya bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut. : 1). Memahami konsep dan pentingnya seni budaya; 2). Menampilkan sikap
apresiasi terhadap seni budaya; 3). Menampilkan kreativitas melalui seni budaya; 4).
Menampilkan peran serta dalam seni budaya dalam tingkat lokal, regional, maupun global.
Ruang lingkup mata pelajaran Seni Budaya meliputi, seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni
teater. Mata pelajaran seni rupa, mencakup keterampilan dalam menghasilkan karya seni rupa
murni dan terapan.(BSNP, 2006:225-226)
Standart kompetensi untuk mata pelajaran seni rupa mencakup aspek “Mengapresiasi
karya seni rupa”, dan “Mengekspresikan diri melalui karya seni rupa”. Standart Kompetensi dan
Kompetensi Dasar yang diharapkan dari kurikulum seni budaya, khususnya mata pelajaran seni
rupa sudah diusahakan memenuhi prinsip multilingual, multidimensi, dan multikultural. Prinsip
multilingual dalam KD seni rupa bisa diartikan sebagai multimedia, yaitu bahwa materi yang
dipelajari meliputi, seni terapan(desain), kriya, dan seni rupa. Multidimensi dalam SK apresiasi,
KD seni rupa meliputi: mengidentifikasi gagasan, teknik, dan bahan; menampilkan sikap
apresiatif (kelas X dan XI). Untuk kelas XII, KD seni rupa meliputi : kemampuan
membandingkan, menjelaskan, dan menampilkan. Multidimensi dalam SK ekspresi, KD seni
rupa meliputi: merancang karya seni rupa terapan, membuat karya seni rupa terapan, menyiapkan
karya seni rupa buatan, dan menata karya seni rupa buatan sendiri.(kelas X). Untuk kelas XI IPS
dan Bahasa, KD meliputi: merancang karya seni kriya, membuat karya seni kriya, menyiapkan
karya seni kriya buatan sendiri, menata karya seni kriya buatan sendiri. KD kelas XI IPA
semester 1, meliputi: menggambar teknik/mistar, merancang karya seni kriya, dan membuat
karya seni kriya. Pada semester 2 KD meliputi: menggambar teknik/Proyeksi, merancang karya
seni, membuat karya seni, menyiapkan karya seni rupa hasil karya sendiri, menata karya seni
rupa hasil karya sendiri. KD (ekspresi) kelas XII IPS dan Bahasa, meliputi: merancang karya
seni rupa murni dan terapan, membuat karya seni rupa murni dan terapan, membuat karya seni
rupa murni dan terapan, menyiapkan karya seni rupa yang diciptakan, dan menata karya seni
rupa yang diciptakan. KD (ekspresi) kelas XII IPA, meliputi: menggambar teknik/ perspektif,

12
membuat karya seni rupa murni dan terapan, menyiapkan karya seni rupa yang telah diciptakan,
menata karya seni rupa yang diciptakan.
Prinsip multikultural dapat dilihat pada KD apresiasi terhadap beragam budaya Nusantara
dan mancanegara. KD apresiasi untuk seni tradisional ditunjukkan pada, mengidentifikasi karya
seni kriya di wilayah Nusantara, menampilkan sikap apresiatif terhadap karya seni kriya di
wilayah Nusantara. Pada kelas XII, KD apresiasi meliputi: menjelaskan keunikan karya seni rupa
modern/kontemporer, menjelaskan perkembangan seni rupa modern/kontemporer Mancanegara,
dan menampilkan sikap apresiatif terhadap karya seni rupa modern/kontemporer. Seni rupa
kontemporer pada kelas XII dijadikan materi apresiasi, sedangkan pada KD ekspresi di kelas
XII, tidak secara eksplisit mode kreasi yang diharapkan dengan paradigma seni rupa modern apa
paradigm seni rupa kontemporer. Jika membandingkan dengan praktik seni rupa kontemporer
yang sudah menjadi arus utama, maka praktik berekspresi seni rupa di sekolah belum bisa
diketahui dengan pasti. Slogan apapun boleh dalam pluralisme seni rupa kontemporer belum
tentu dipahami atau diminati oleh para guru seni rupa di sekolah. Paham itu merupakan wujud
dari demokrasi seni rupa yang menghilangkan hirarki media dan material seni rupa, menghapus
dominasi kulit putih terhadap kulit berwarna, menghapus dominasi seni maskulin terhadap seni
feminin, menghapus hirarki benda seni dengan benda non seni.
Kreativitas hanya efektif jika diwujudkan dalam bentuk ekspresi, oleh karena itu dengan
KD yang sudah ada tersebut para guru dapat memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
dapat berekspresi atau berkreasi dengan strategi apropriasi, parodi, alegori sesuai dengan
paradigm seni kontemporer.
Praktik seni rupa kontemporer dalam art world Indonesia mengarah pada “pasar”, baik di
tingkat lokal maupun Asia Tenggara dan Asia. Banyak pihak ikut terlibat dalam pergerakan
pasar seni rupa kontemporer. Para pelaku yang terlibat di dalamnya yaitu perupa, kurator,
kolektor, galeri, balai lelang, menejemen seni, media, dan sebagainya. Pendidikan tinggi seni
rupa secara langsung mungkin tidak terlibat, tetapi para mahasiswa dan dosen secara pribadi.
Para kurator Indonesia sebagian besar adalah tenaga pengajar di perguruan tinggi seni rupa. Para
kurator justru banyak mendapat pengalaman dari luar kampus, karena kegiatan pameran seni
rupa kontemporer di galeri-galeri komersial di kota-kota pusat seni sangat tinggi intensitasnya.
Peran kurator sangat diperlukan baik oleh perupa maupun pemilik galeri, untuk merancang
konsep pameran dan membuat tulisan kuratorial.

13
Perkembangan seni rupa kontemporer di ranah professional tidak berbanding lurus
dengan situasi di pendidikan tinggi. Struktur lembaga pendidikan tinggi seni rupa belum
menunjukkan perubahan yang berarti. Praktek seni rupa kontemporer di luar kampus memiliki
logikanya sendiri dan membuat acuan sendiri. Para perupa kontemporer sebagian besar bekerja
secara lintas disiplin, mereka memiliki multikeahlian yang secara teknis dibantu oleh artisan atau
tenaga ahli, Para perupa lebih cenderung berperan sebagai konseptor daripada eksekutor karya
seni. Keahlian ganda ini tidak dapat dipelajari di dalam kampus, karena sistim pendidikan tinggi
seni di Indonesia (S1) masih bersifat monodisiplin, dan masih mengikuti paradigma modernis
dimana seni murni dibedakan dengan seni kriya dan desain. Pendidikan untuk calon kurator dan
menejemen seni (S1) belum tersedia, sehingga para kurator yang ada saat ini sebagian besar hasil
belajar dari pengalaman. Program studi di Fakultas Seni Rupa semestinya disederhanakan hanya
Penciptaan Seni, Pengkajian Seni, Menejemen Seni, Pendidikan seni, dan Pengkoleksian &
Restorasi seni.
Simpulan
Wacana pluralisme postmodern telah berpengaruh kuat pada praktik seni rupa kontemporer di
Indonesia. Para perupa dengan sukacita merayakan kebebasan berkarya tanpa terikat oleh criteria
dan aturan yang ketat dalam berkarya seni rupa. Orisinalitas dan kebaruan menjadi yang syarat
kreativitas pada seni modernis yidak lagi memiliki kekuatan. Para perupa kontemporer
mengabaikan orisinalitas dan kebaruan, sebagai gantinya para perupa kontemporer kini beramai-
ramai menggunakan strategi apropriasi dengan bentuk parodi, ironi, alegori, eklektik, dan
sebagainya.
Pendidikan seni di tingkat menengah maupun perguruan tinggi belum menyesuaikan diri dengan
perkembangan seni rupa kontemporer di lapangan. Struktur lembaga dan kurikulum pendidikan
seni rupa belum disejajarkan dengan praktik di lapangan, sehingga perkembangan seni rupa
kontemporer di Indonesia kurang mendapat dukungan berupa pengkajian dan penelitian resmi
dari pihak lembaga pendidikan seni rupa. Kondisi ini dimanfaatkan pihak-pihak yang memiliki
kepentingan dan kekuatan modal untuk mempengaruhi perkembangan seni rupa kontemporer
Indonesia sesuai dengan keinginan mereka.
Daftar Pustaka:
Bakhtin, Mikhail, 1981, The Dialogic Imagination, terj. Caryl Emerson dan Michael Honquist,
Austin: University of Texas.

14
Barthes, Roland, 1977, ‘The Death of Author’, dalam , Image-Music-Text, Terjemahan,ed,
Stephen Healt ,New York: Hill and Wang.
Bernas, 2 Agustus 1992
BSNP, 2006, Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Standar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar SMA/MA, Jakarta.
Burhan , Agus 2007, ‘Indonesian Art Paradigm’ dalam katalog pameran seni rupa TITIAN MASA
: The Collection of The National Gallery of Indonesia, 13 November – 2 Desember
2007 di Balai Seni Lukis Negara (National Art Gallery Malaysia).
Danto, Arthur C., 1999, “Philosopher as Andy Warhol”, dalam Danto, Arthur C., Philosophizing
Art: Selected Essays, Berkeley dan Los angeles: University of California.
________., 1997, After The End of Art: Contemporary Art and The Pale History, Princeton:
University of Princeton Press.
________, 1998, The Wake of Art, Criticism, Philosophy, and The End of Taste, Amsterdam: G-
B Art International Imprint.
en.wikipedia.org/wiki/Joseph_Beuys, diakses 4 November 2012.
Foucault, Michel, 1993, ‘What is an Author’ dalam Charles Harrison dan Paul Wood,ed, Art
in Theory 1900-1990, An Anthology of Changing Ideas Cambridge, Massachussets:
Blacwell.
Hutcheon, Linda, 2000, A Theory of Parody: The Teaching of Twentieth Century Art Forms,
New York: Methuen.
_______, 2004, Politik Posmodernisme, alih bahasa Apri Danarto, Yogyakarta:Jendela.
Gablik, Suzi, 1988, Has Modernism Failed? London: Thames and Hudson.
Harris, Jonathan, 2006, Art History: The Key Concepts, New York: Routledge.
Hasan,Asikin, ed, 2001, Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman, Jakarta:Yayasan
Kalam.
Krauss, Rosalind, 1993, “The Orginality of the Avant-Garde” dalam Charles Harrison dan Paul
Wood,ed, Art in Theory 1900-1990, An Anthology of Changing Ideas (Cambridge,
Massachussets: Blacwell, 1993
Kuspit, Donald, 2007, The End of Art, New York: Cambridge University Press.
Lyotard, Jean-Francois, 2004, dan Posmodernisme: Krisis dan Masa Depan Pengetahuan,
Jakarta: Teraju.
Nelson, Robert S., 2003, ‘Appropriation’, dalam Robert S. Nelson dan Richard Shift,ed, :
Critical Terms for Art History ,Chicago dan London, University of Chicago Press, .
Owens, Craig, 1993, “The Allegorical Impulse Towards Theory of Posmodernism”, dalam
Harrison, Charles dan Wood Paul, Art in Theory, An Anthology of Changing Ideas,
Cambridge, Massacussets: Blackwell.
Piliang,Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna,
Yogyakarta:Jalasutra.
Soehardjo, AJ. ,2005, Pendidikan Seni Dari Konsep Sampai Program, Buku Satu, Malang:
Jurusan Seni dan Desain FS UM.
Supangkat,Jim, 1979, Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia: Kumpulan Karangan, Jakarta: PT.
Gramedia.
Taylor, Victor E. dan Winquist, Charles E., 2001, Encyclopedia of Posmodernism,
London:Routledge.

15
Werbner, Pnina, 1997, “Introduction: The Dialectic of Cultural Hibridity”, dalam Webner Pnina
dan Moddod, Toriq, Debating Cultural Hibridity: Multicultural Identities and the
Politic of Anti-Racism, London & New Zed Books.

16

Anda mungkin juga menyukai