akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi; MEA akan
dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata dengan
prioritas UKM; MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global.
(Baskoro, 2014: al. 2-5) Komunitas ASEAN dengan demikian menjadi bagian dari komunitas
global sehingga segala hal yang berkaitan kepentingan ASEAN tidak dapat dipisahkan dari
fenomena globalisasi.
Masyarakat Indonesia sebagai bagian dari komunitas ASEAN dengan sendirinya
menjadi bagian dari sistem globalisasi. Globalisasi yang memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi pola pikir dan tindakan masyarakat global dapat ditanggapi secara positif.
Efek globalisasi terhadap keberadaan budaya lokal atau budaya etnik ditanggapi secara
beragam. Yang pertama menganggap bahwa globalisasi akan menyebabkan homogenisasi dan
menghilangkan budaya lokal. Kedua, globalisasi memunculkan hibridisasi budaya antara
1
budaya lokal dan budaya global. Ketiga, globalisasi menimbulkan konflik budaya.
Kehilangan identitas atau konflik budaya demi mempertahankan identitas budaya dalam
menghadapi ekonomi dan budaya global bukanlah pilihan yang bijak. Dialog antar budaya
dalam mayarakat global merupakan sebuah keniscayan. Hibridisasi budaya merupakan
fenomena global yang terjadi di berbagai kawasan terutama negara-negara bekas jajahan
Barat.
Asia Tenggara adalah kawasan strategis yang memiliki kesamaan sejarah. Kawasan
ini menjadi perlintasan budaya-budaya besar seperti India, Cina, Arab, dan Eropa. Negaranegara di kawasan Asia Tenggara telah lama menjadi tempat pertemuan antara budaya lokal
dengan budaya-budaya besar tersebut. Persilangan budaya yang terjadi di kawasan Asia
Tenggara bisa menjadi modal dalam menghadapi MEA yang terintegrasi dengan ekonomi
global.
Hibridisasi budaya melalui akulturasi telah lama terjadi di kawasan Asia Tenggara.
Globalisasi lebih mempercepat dan memperluas kontak budaya antara pusat dan pinggiran.
Jika budaya-budaya besar dianggap sebagai pusat-pusat budaya, maka negara-negara di
kawasan Asia Tenggara bisa dianggap pinggiran. Abad ke-21 dipandang sebagai abad Asia
sehingga sejak akhir abad ke-20 telah muncul kekuatan baru di Asia yaitu Jepang dan Korea
Selatan. Jepang dan Korea tidak hanya maju di bidang teknologi otomotif dan elektronik,
mereka juga maju di bidang industri kreatif. Masyarakat di kawasn Asia Tenggara menjadi
konsumen budaya Jepang dan Korea Selatan.
Industri kreatif memiliki posisi strategis dalam menghadapi MEA 2015, karena
produk kreatif terutama yang berbasis elektronik paling mudah disebarluaskan melalui media
elektronik. Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar di kawasan Asia Tenggara menjadi
pasar yang potensial bagi pemasaran produk kreatif global. Masyarakat Indonesia juga
memiliki potensi yang besar untuk menjadi pelaku industri kreatif. Kaum intelektual bersama
dengan para pengusaha dan pemerintah merupakan Triple Helix yang secara bersama-sama
perlu membangun fondasi industri kreatif nasional yang kuat. Jika kebersamaan ketiga unsur
itu tidak segera dilakukan maka Indonesia hanya akan menjadi objek dari industri kreatif
global.
Makalah ini membahas tentang globalisasi dan hibridisasi, hibridisasi dalam, sejarah
kebudayaan Asia Tenggara, hibridisasi sebagai strategi kreatif hadapi MEA 2015, dan
hibridisasi dalam seni rupa kontemporer.
gagasan bahwa globalisasi melibatkan 'benturan peradaban'; dan ketiga adalah globalisasi
sebagai hibridisasi atau gagasan bahwa globalisasi menghasilkan kombinasi baru dan
campuran. Pandangan hibriditas menyatakan bahwa pengalaman budaya masa lalu dan
sekarang belum pernah bergerak ke arah sinkronisasi budaya.(Pieterse,2006, 2)
Bakhtin (1981: 358) menyatakan bahwa hibridisasi adalah percampuran dari dua
bahasa, pertemuan antara dua kesadaran linguistik yang berbeda. Hibriditas ketidaksadaran
organik adalah ciri dari evolusi historis dari semua bahasa. Penerapannya dalam budaya pada
umumnya dapat dikatakan bahwa meskipun terdapat keterbatasan ilusi, budaya berkembang
secara historis melalui peminjaman, peniruan, pertukaran, dan penemuan tanpa pikir. Tidak
ada budaya dalam dan dari dirinya sendiri (Webner, 1997: 4).
Hibridisasi adalah proses penciptaan atau replikasi bentuk-bentuk mutan melalui
perkawinan silang yang menghasilkan entitas campuran yang tidak lagi utuh, meskipun di
dalamnya masih tersisa sebagian identitas diri dari dua unsur yang dikawinsilangkan.
Hibridisasi adalah proses parasitisme di dalam sebuah sistem yang di dalamnya sebuah
entitas dijadikan tempat hidup oleh entitas-entitas lain, yang dapat menghancurkan identitas
dan keberbedaan keduanya, meskipun ia dapat membangun identitas dan perbedaanperbedaan baru. (Piliang, 2008: 368)
Konsep hibridisasi merupakan konsep kunci kritisisme budaya dalam kajian
poskolonial, dalam debat-debat kontestasi dan apropriasi budaya, dan dalam hubungannya
dengan konsep batas dan ideal dari kosmopolitan.(Coombes dan Brah, 2005: 1) Fungsi dari
hibridisasi antara lain adalah menaruh perhatian pada campuran dari fenomena yang berbeda,
dan terpisah; hibridisasi kemudian menunjuk pada proses lintas-kategori. Fungsi hibridisasi
berikutnya adalah sebagai bagian dari hubungan kuasa antara pusat dan pinggir, hegemoni
dan minoritas, dan mengindikasikan pada pengaburan, destabilisasi atau subversi dari
hubungan hirarkis tersebut.
Hibriditas kebudayaan Indonesia ditentukan oleh masa lalu bangsa ini yang berhasrat
mengikuti perkembangan masa kini, dan masa kini yang tak mau lepas dari kehangatan masa
lalu. Dengan kata lain, sebuah kebudayaan tak dapat mengklaim dirinya sebagai otentik
(asli), karena pada kenyataannya, benak seseorang dibentuk dalam sejarah dan seseorang itu
juga menentukan sebuah sejarah.( Sukristiono, 2011, al. 13) Retorika tentang hibriditas,
secara fundamental terkait dengan munculnya wacana pasca-kolonial dan kritiknya terhadap
imperialisme budaya. Ini adalah tahap kedua dalam sejarah hibriditas, ditandai dengan sastra
dan teori yang mempelajari efek dari campuran (hibriditas) pada identitas dan budaya.
adalah The
Location of Culture (1994), oleh Homi Bhabha, dimana liminalitas hibriditas disajikan
sebagai paradigma kecemasan kolonial (Bhabha, 1994). Pada mulanya perkembangan teori
hibriditas ditujukan pada narasi imperialisme budaya. Karya Bhabha juga memahami politik
budaya pada kondisi menjadi "seorang migran" di kota metropolitan kontemporer. Namun,
hibriditas tidak lagi semata-mata terkait dengan populasi migran dan dengan kota-kota
perbatasan, ini juga berlaku secara kontekstual pada aliran budaya dan interaksi mereka.
Kritik bahwa hibriditas budaya imperialis berarti bahwa retorika hibriditas
berkembang menjadi tantangan terhadap esensialisme, dan diterapkan untuk teori-teori
sosiologis identitas, multikulturalisme, dan rasisme. Salah satu wujud dari esensialisme
adalah rasisme biologis yang pada saat ini sudah tidak relevan lagi. Rasisme pada saat ini
masih terdapat dalam bentuk rasisme budaya. Rasisme budaya dapat dicirikan oleh keyakinan
bahwa satu ras secara inheren unggul dari yang lain, rasisme budaya dapat dicirikan oleh
keyakinan bahwa salah satu budaya inheren unggul dari yang lain.(Blaut, 1992: 289-299)
Untuk menghadapi rasisme budaya sebagai bentuk esensialisme, Bhabha menawarkan
konsep mimikri sebagai proses hibridisasi. Wacana mimikri dibangun sekitar ambivalensi;
agar efektif, mimikri secara berkesinambungan harus menghasilkan kelicinannya,
kelebihannya, perbedaannya. Mode wacana kolonial yang disebut mimikri oleh karena itu
dilanda oleh ketidakpastian: mimikri muncul sebagai representasi dari perbedaan yang
merupakan proses penyangkalan. Mimikri, dengan demikian adalah tanda artikulasi ganda;
strategi kompleks reformasi, peraturan dan disiplin, yang merampas kekuatan visualisasi
seperti yang Lain. Mimikri juga merupakan tanda yang tidak pantas, namun, perbedaan atau
kekeraskepalaan yang memadukan fungsi strategis yang dominan dari kekuasaan kolonial,
mengintensifkan pengawasan, dan merupakan ancaman imanen baik pengetahuan 'normal'
dan kekuatan disipliner.(Bhabha, 1994: 85-92)
Bhabha mengembangkan gagasan ini dengan menyatakan bahwa mimikri adalah
proses penulisan ulang identitas terjajah di ruang ketiga, yaitu dengan menjadi hibrida,
sebagai cara mendekonstruksi wacana penjajah. Penyesuaian diri dengan identitas penjajah
justru dimaksudkan untuk memalingkan wajah dari kuasa penjajahan itu. Ini adalah strategi
bertahan hidup yang sekaligus berupaya melawan penjajahan. Ambivalensi memastikan
keragaman ekspresi identitas dan budaya, selama masih selalu terdapat upaya dominasi
budaya dan penentuan mutlak atas suatu identitas maka mimikri, hibriditas dan sikap
ambivalensi akan selalu muncul, sebagai penolakan terhadap dominasi.
masyarakat Indonesia di bagian barat. Masyarakat Indonesia bagian timur yang dulu tidak
terkena pengaruh budaya Hindu kemudian menerima pengaruh Barat. Dalam budaya material
pengaruh Belanda lebih mudah diterima di kalangan masyarakat Indonesia barat terutama di
Jawa. Kebudayaan campuran antara masyarakat pribumi dengan masyarakat Belanda dan
Eropa disebut budaya Indis. Gaya hidup campuran Jawa dengan Belanda ini diawali dengan
perkawinan antara laki-laki Belanda dengan perempuan Jawa karena pada saat itu pegawai
kolonial tidak boleh membawa istri (Soekiman, 2000:8 ). Proses persebaran dan penerimaan
budaya Barat terhadap masyarakat pribumi oleh Lombard disebut sebagai proses Pembaratan.
Golongan-golongan yang terpengaruh Barat adalah komunitas Kristen, para priyayi, tentara,
dan akademisi (Lombard, 2005: 94-127).
Reaksi terhadap pengaruh-pengaruh asing yang masuk ke Indonesia disikapi secara
beragam. Lombard menyebut ada dua reaksi yang ditunjukkan oleh masyarakat pribumi
dalam menghadapi kuatnya pengaruh asing yaitu fanatisme dan toleransi. Fanatisme etnik,
agama, dan budaya dapat menimbulkan konflik yang menyakitkan, sedangkan toleransi
menjadikan masyarakat memperoleh pengalaman baru yang dapat memperkaya budaya yang
sudah ada.
Masyarakat Asia Tenggara yang memiliki pengalaman sejarah yang relatif sama yaitu
menerima pengaruh budaya Cina, India, dan Arab serta sama-sama mengalami kolonisasi
oleh Barat, saat ini sama-sama menjadi negara berkembang yang tidak bisa menghindar dari
pengaruh budaya global. Pengaruh budaya global yang diterima para anggota komunitas
ASEAN relatif homogen. Produk-produk budaya kreatif yang dihasilkan oleh masyarakat
ASEAN bukan berarti harus sama atau homogen. Para anggota komunitas ASEAN dapat
berlomba memacu kreativitas tanpa harus meninggalkan identitas lokalnya. Hibridisasi yang
berkarakter relasional, dialogis, dan toleran akan menjadi pilihan yang realistik daripada
secara fanatik mempertahankan identitas esensialnya.
Hibridisasi Sebagai Strategi Menghadapi MEA 2005
Pariwisata merupakan sektor yang sangat penting bagi negara-negara berkembang,
dan Asia Tenggara adalah salah satu yang terdaftar di antara tujuan utama pariwisata dunia.
"Pariwisata Kreatif" memfasilitasi wisatawan untuk mendapatkan pengalaman otentik
melalui keterlibatan dalam pembelajaran partisipatif dalam seni, budaya, warisan atau tempat
dengan karakter khusus (Chairatana, 2012, al.1). Pendapat ini sejalan dengan cetak biru
Masyarakat Ekonomi Asean yang telah membentuk Komunitas Asean yang terdiri dari tiga
pilar ASEAN Community yang meliputi ASEAN Economic Community, ASEAN Security
Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community (Yani, 2008).
7
Industri kreatif yang sudah dikampanyekan pemerintah sangat sesuai dengan konsep
pariwisata kreatif yang sedang menjadi trend di dunia pariwisata. Industri kreatif akan
menjadi salah satu andalan dalam menghadapi MEA 2015. Beberapa negara di kawasan
Asean bekerjasama dengn berbagai badan dunia telah mulai menyiapkan diri menghadapi era
pariwisata kreatif dengan membentuk jaringan kota kreatif, kota warisan, kota desain,
pusat sains dan sebagainya. The British Council (UK) melalui projek The British Council
Creative Cities Project sejak tahun 2008 telah meluncurkan kota-kota di Asean sebagai
Creative hub yaitu Bandung (Indonesia) untuk kriya, Cebu City (Philipina) untuk mebel,
dan Chiang Mai (Thailand) untuk perangkat lunak dan kriya (Chairatana, 2012, al.1).
Kota-kota kreatif yang memiliki warisan budaya tradisi yang kaya seperti Yogyakarta,
Bali, dan Surakarta tetap penting sebagai kota tujuan wisata yang dapat mengembangkan
pariwisata warisan budaya dan usaha dengan konsep nostalgia. Kota-kota yang selama ini
belum masuk daftar sebagai destinasi wisata utama tetap memiliki peran penting untuk
mendukung pariwisata kreatif dengan menggali, menemukan, dan atau merevitalisasi budaya
yang sudah ada dengan kreasi-kreasi baru yang memiliki nilai komersial dan nilai estetik.
Salah satu kota yang berhasil menjadi perhatian dunia adalah kota Jember dengan even
Jember Fashion Carnival.
Tiap-tiap daerah biasanya memiliki tradisi upacara ritual yang berciri agraris maupun
maritim yang dapat dihidupkan dengan interpretasi baru dan kemasan baru. Beberapa contoh
yang sudah dilakukan oleh masyarakat misalnya Festival Merapi, Festival Lima Gunung di
Jawa Tengah. Pada dua festival itu berkembang kesenian Topeng Ireng di beberapa kota
sekitarnya. Di Lembang dekat Bandung para petani tomat mengadakan Festival Perang
Tomat. Masyarakat kota Kutai Kartanegara menyelenggarakan Festival Lampion. Kota wisata
Batu menyelenggarakan Festival Bantengan, serta kota-kota lain yang menyelenggarakan
festival sejenis.
Para desainer dan pengusaha industri kriya dan desain dapat menciptakan desaindesain baru yang diminati pasar. Sumber gagasan untuk penciptaan atau pengembangan
desain baru dapat diambil dari sumber budaya lokal dan budaya global. Istilah-istilah yang
biasa digunakan oleh para praktisi desain misalnya dengan redesain, revitalisasi, diversifikasi,
diferensi, hibridisasi, creolisasi dan sebagainya. Kesimpulan dari berbagai istilah itu adalah
mengembangkan desain yang tidak perlu dibebani dengan pesan-pesan yang klasik seperti
pelestarian budaya, menjaga keaslian budaya, membendung pengaruh asing,
melindungi pengrajin tradisional dan sebagainya.
Jika sebelumnya terdapat sistem hirarki yang tercermin dalam oposisi biner misalnya seni
murni dengan seni terapan, kriya dengan desain, seni lukis dengan gambar, dan sebagainya,
maka sekarang hirarki tersebut sudah runtuh. Seni kriya dan desain yang dulu dianggap
bukan seni murni saat ini memiliki kedudukan yang setara dengan seni murni.
Seni rupa kontemporer yang menganut paham pluralisme juga memberi peluang
kepada para perupa untuk mengawinsilangkan berbagai kemungkinan seperti bentuk visual,
media visual, teknik visual, bahan, dan sebagainya. Contoh klasik penggunaan strategi
hibridisasi dalam sejarah seni rupa kontemporer Indonesia adalah karya Jim Supangkat Ken
Dedes yang menggabungkan seni patung dengan gambar. Hibrida antara binatang dengan
manusia bisa kita lihat pada karya Heri Dono. Heri Dono juga sering menggambarkan tokohtokoh superhero Amerika dengan gaya visual wayang. Sigit Santosa menerapkan hibridisasi
dengan menggabungkan tubuhnya dengan kulit sapi dan peta Indonesia. Agapetus
menggabungkan tubuh sapi dengan peta Indonesia. Rennie Emonk menggabungkan bentuk
alat vital laki-laki dengan berbagai figur tokoh seperti Michael Jackson, Loro Blonyo, dan
sebagainya.
Dalam tulisan kuratorial pada pameran Jakarta Contemporary Ceramic
Biennale 2009 In Between Space of Contemporary Art, Rifky Effendy
(2009, al.1) menyatakan sebagai berikut:
Perkembangan seni rupa kontemporer di wilayah Asia
terutama Asia Tenggara, akhir-akhir ini menunjukkan suatu
gestur yang dinamis. Beriringan dengan gejala ekonomi,
sosial-politik, dan budaya masyarakat di wilayah ini,
perwajahan seni rupa telah mengalami evolusi yang
signifikan, setidaknya sejak awal dekade 2000-an.
Globalisasi merupakan suatu kenyataan yang mendorong
perubahan-perubahan dalam perilaku artistik dan cara
pandang para seniman. Perubahan paradigma dalam
memandang sebuah praktik seni rupa tidak lagi berpijak
pada keyakinan keyakinan maupun pemahaman tunggal.
Seringkali perubahan-perubahan ini pun menyisihkan atau
melemahkan banyak kelompok kelompok yang tadinya
dianggap mapan dan teguh terhadap sebuah ideologi
estetik. Tapi disisi lainnya, muncul kesempatan bagi yang
tersisihkan atau termarjinalkan sebelumnya, untuk kembali
mengisi ruang-ruang kehidupan budaya. Mungkin inilah
berkah dari jaman pasca-modern, memecah sesuatu
dominasi
yang
telah
menjadi
menara
gading.
Mendesentralisasi pusat yang tunggal menjadi pusat-pusat
yang majemuk.
10
Piliang, Yasraf Amir, 2008. Multiplisitas dan Diferensi : Redefinisi Desain, Teknologi, dan
Humanitas , Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir, 2009. Retakan-retakan Kebudayaan: Antara Keterbatasan dan
Ketakberhinggaan, Melintas vol. 25 no. 01(April.2009)
Soekiman, Djoko, 2000. Kebudayaan Indis,dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di
Jawa, Yogyakarta: Bentang.
Suara Merdeka, 29 Des 2011
Sukristiono, 2011. Hibriditas Kebudayaan Indonesia Masa Kini: Silang Sengkarut KuasaKuasa di Indonesia online, http://pikirkritis.wordpress.com/2011/04/05/hibriditaskebudayaan-indonesia-masa-kini-silang-sengkarut-kuasa-kuasa-di-indonesia/
Tomlinson, John, 2006. Globalization and cultural analysis, dalam, Held, D. and McGrew,
A. eds, Globalization theory: Approaches and controversies. Cambridge: Polity.
Webner, Pnina, 1997. Introduction: The Dialectics of Cultural Hybridity, dalam Webner,
Pnina dan Modood, Tariq, Debating Cultural Hybridity, London and Books.
Yani, Yanyan Mochamad, 2008. PIAGAM ASEAN, ASEAN SOCIO-CULTURAL COMMUNITY
(ASCC) BLUEPRINT DAN INDONESIA1 artikel Seminar Nasional Sosialisasi
ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) Blueprint, Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia, Bandung, 20 Nopember 2008.
12
Abstract
Komunitas ASEAN terintegrasi dengan ekonomi global.
Globalisasi mengakibatkan terjadinya proses hibridisasi.
Pengembangan industri kreatif sebagai penunjang industri
wisata kreatif dapat dilakukan dengan strategi kreatif yaitu
hibridisasi budaya. Makalah ini membahas: Globalisasi dan
Hibridisasi, Hibridisasi dalam Sejarah Budaya Asia
Tenggara, Hibridisasi Sebagai Strategi Menghadapi MEA
2005, dan Hibridisasi dalam Seni Rupa Kontemporer.
Kata kunci : hibridisasi, budaya, kreatif.
13