Anda di halaman 1dari 11

A.

Belajar Konsep
Macam – macam konsep yang kita pelajari tidak terbatas. Konsep panas
sangat berbeda dari konsep relativitas dalam beberapa dimensi. Flavell (1970) menyarankan,
bahwa konsep – konsep dapat berbeda dalam tujuh dimensi yakni sebagai berikut :
1. Atribut. Setiap konsep harus mempunyai seumlah atribut yang berbeda.
Contoh – contoh konsep harus mempunyai atribut yang relevan; termasuk juga atribut
yang tidak relevan. Contoh – contoh konsep meja harus mempunyai suatu permukaan
yang datar dan sambungan – sambungan yang mengarah ke bawah yang mengangkat
permukaan itu dari lantai. Atribut juga dapat berupa fisik, seperti warna, tinggi,
bentuk, atau dapat juga berupa fungsional.
2. Struktur. Struktur menyangkut cara terkaitnya atau tergabungnya atribut –
atribut itu. Berikut tiga macam struktur yang dikenal.
a. Konsep konjungtif, yaitu konsep yang didalamnya terdapat dua atau lebih sifat sehingga
dapat memenuhi syarat sebagai contoh konsep. Misalnya : seorang aktris adalh seorang
wanita yang bermain dalam film. Dua atribut, yaitu wanita dan bermain dalam film harus ada
agar dapat mewakili konsep aktris.
b. Konsep disjungtif adalah konsep yang didalamnya satu dari dua atau lebih sifat harus ada.
Konsep paman merupakan konsep disjungtif. Paman dapat merupakan kakak ibu atau ayah
atau seorang pria yang menikah dengan kakak wanita ayah atau ibu.
c. Konsep relasional menyatakan hubungan tertentu antara atribut konsep. Kelas sosial
merupakan suatu contoh konsep relasional. Kelas sosial ditentukan oleh hubungan antara
pendapatan, pendidikan, jabatan atau pekerjaan, dan faktor – faktor lainnya.
3. Keabstrakan. Konsep – konsep dapat dilihat dan konkret atau konsep itu terdiri
atas konsep – konsep lain. Suatu segi tiga dapat dilihat; keinginan lebih abstrak.
4. Keinklusifan. Ini ditunjukkan pada jumlah contoh yang terlibat dalam konsep
itu. Bagi seorang anak kecil, konsep kucing ditunjukkan pada seekor hewan tertentu,
yaitu kucing keluarga. Bila anak itu telah mengenal beberapa kucing lainnya, konsep
kucing akan menjadi lebih luas, termasuk lebih banyak contoh.
5. Generalitas atau keumuman. Bila diklasifikan, konsep dapat berbeda dalam
konsep itu. Bagi seorang anak kecil, konsep kucing ditujukan pada seekor hewan
tertentu, yaitu kucing keluarga. Bila anak itu telah mengenal beberapa kucing lainnya,
konsep kucing akan menjadi lebih luas, termasuk lebih banyak contoh.
6. Ketepatan. Ketepatan suatu konsep menyangkut apakah ada sekumpulan
aturan untuk membedakan contoh dengan noncontoh suatu konsep. Klausmeier
(1977) mengemukakan empat tingkat pencapaian konsep, mulai dari tingkat konkret
ke tingkat formal. Konsep pada tingkat formal merupakan konsep yang paling tepat
sebab pada tingkat ini atribut – atribut yang dibutuhkan konsep dapat didefinisikan.
7. Kekuatan. Kekuatan suatu konsep ditentukan oleh sejauh mana orang setuju
bahwa konsep itu penting.
Karena ada berbagai konsep seperti yang telah dikemukakan di atas, sulit rasanya untuk
sampai pada satu definisi konsep. Menurut Rosser (1984), konsep adalah suatu abstraksi yang
mewakili satu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut yang
sama. Karena orang mengalami stimulus yang berbeda-beda, orang membentuk konsep
sesuai dengan pengelompokan stimulus dengan cara tertentu. Karena konsep itu adalah
abstraksi – abstraksi yang berdasarkan pengalaman dan tidak ada dua orang
yang mempunyai pengalaman yang persis sama, konsep yang dibentuk orang mungkin
berbeda juga. Walaupun konsep kita berbeda, konsep itu cukup serupa bagi kita berikan pada
konsep – konsep itu yang telah kita terima bersama. Nama – nama atau kata – kata ini adalah
simbol arbitrar yang digunakan untuk menyatakan konsep – konsep yang merupakan
abstraksi internal itu. Nama – nama itu sendiri bukanlah konsepnya. Konsep kita tentang
siswa tidak akan berubah, walaupun nama atau labelnya berbeda.
Secara singkat dapat kita katakan bahwa suatu konsep merupakan suatu abstraksi yang
mewakili satu kelas stimulus. Maka dapat kita simpulkan bahwa suatu konsep telah
dipelajarai bila yang diajar dapat menampilkan perilaku – perilaku tertentu.
B. Perolehan konsep
Menurut Ausubel (1968) konsep diperoleh dengan menggunaka dua cara, taitu
pembentukan konsep dan asimilasi konsep. Pembentukan konsep terutama merupakan bentuk
perolehan konsep sebelum anak – anak masuk seolah. Pembentukan konsep dapat disamakan
dengan belajar konsep konkret menurut Gagne (1977). Asimilasi konsep merupakan cara
utama untuk memperoleh konsep selama dan sesudah sekolah.
1. Pembentukan Konsep
Banyak konsep yang sudah kita peroleh berkembang semasa kita kecil. Akan tetapi konsep
itu telah mengalami modifikasi atau perubahan karena pengalaman – pengalaman kita semasa
kecil.
Pembentukan konsep merupakan proses induktif. Bila anak dihadapkan pada stimulus
lingkungan, ia mengabstraksi sifat atau atribut tertentu yang sama dari berbagai stimulus.
Pembentukan konsep merupakan suatu bentuk belajar penemuan, paling sedikit dalam bentuk
primitif. Pembentukan konsep juga ditunjukkan oleh orang – orang yang lebih tua dalam
situasi kehidupan nyata dan laboratorium, tetapi dengan tingkat kerumitan yang lebih tinggi.
2. Asimilasi Konsep
Untuk memperoleh konsep melalui proses asimilasi, oran yang belajar harus sudah
memperoleh definisi formal konsep itu. Suatu definisi formal suatu kata harus menunjukkan
kesamaan konsep tertentu dan membedakan kata itu dari konsep – konsep lain (Rosser, 1984:
437). Sedangkan asimilasi konsep menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat
mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada.
Asimilasi konsep terjadi setelah anak mulai memasuki bangku sekolah. Asimilasi konsep ini
terjadi secara deduktif. Biasanya anak diberi atribut sehingga mereka belajar konseptual,
misalnya atribut dari gajah adalah hewan dan belalai. Dengan demikian anak dapat
membedakan antara konsep gajah dengan hewan-hewan lain.
Definisi formal gajah, hewan terbelalai, memberi kata itu atribut – atribut yang dimiliki oleh
hewan, tetapi membedakannya dengan hewan – hewan lain melalui konsep terbelalai.
Sesudah definisi konsep itu disajikan, konsep itu dapat diilustrasikan dengan memberikan
contoh atau deskripsi verbal contoh. Ini biasanya disebut belajar konsep sebagai
aturan/contoh atau “rule-eg”. Ausubel (1968) menyarankan penggunaan belajar rule-eg ini
dalam mengajar expository. Selanjutnya Ausubel berpendapat, karena definisi – definisi yang
diperlukan serta konteks yang sesuai disajikan dan bukan ditemukan, asimilasi konsep dapat
menjadi satu contoh belajar penerimaan bermakna.
Walaupun kedua bentuk belajar konsep ini efektif, pembentukan konsep lebih memakan
waktu daripada asimilasi konsep. Dengan mempertimbangkan bahwa begitu banyak konsep
yang harus dipelajari siswa selama sekolah, penggunaan berlebihan metode penemuan
hendaknya dibatasi. Mereka penganjur belajar penemuan yakin bahwa konsep yang dipelajari
secara eg-rule lebih bermakna bagi para siswa daripada konsep yang dipelajari dengan cara
rule-eg, tetapi ada pula ahli teori belajar yang tidak sependapat dengan ini, antara lain
Ausubel.
C. Penjelasan Teoritis tentang Belajar Konsep
Pada penjelasan ini ada dua pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan perilaku dan
pendekatan kognitif. Dalam bagian ini pembahasan dilakukan dengan penekanan pada
pendekatan kognitif.
1. Pendekatan Perilaku
Perbedaan utama antara belajar konsep dan belajar-belajar yang lain ialah, dalam
belajar konsep anak yang belajar memberikan sutau respons terhadap sejumlah stimulus yang
berbeda, jadi bukan memberikan respons terhadap satu stimulus. Stimulus-stimulus itu
berbeda dalam beberapa atribut, tetapi stimulus-stimulus itu mempunyai stau atau lebih
atribut yang sama. Tugas anak atau siswa ialah untuk mengasosiasikan satu respons dengan
atribut-atribut yang sama di antara stimulus-stimulus itu.
Bagi para pengikut teori-teori perilaku, belajar konsep melibatkan perubahan-
perubahan kuantitatif. Perubahan-perubahan itu terdiri atas: (1.) Penambahan lebih banyak
stimulus pada suatu respons yang sudah dipelajari, atau (2.) peningkatan jumlah berbagai
hubungan S-R.
Para perilakuwan menekankan aspek-aspek yang dapat diamati dari situasi sebagai
faktor-faktor penting dalam belajar konsep. Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa belajar
konsep dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
1. Polareinforsemen dan umpan balik. Dengan hanya menghadapkan subjek-subjek pada
contoh-contoh suatu konsep tanpa memberikan umpan balik, mempunyai sedikit efek pada
penampilan mereka.
2. Jumlah contoh-contoh positif dan negatif. Beberapa studi telah memperingatkan, bahwa
konsep-konsep lebih cepat dipelajari dari misal-misal positif yaitu berarti menyediakan
contoh-contoh yang tidak memiliki atribut-atribut yang relevan akan mempertajam konsep-
konsep.
3. Jumlah atribut-atribut. Makin banyak atribut-atribut relevan dimiliki konsep, makin sulit
konsep itu dipelajari.

2. Pendekatan kognitif
Pendekatan kognitif tentang belajar memusatkan pada proses pemerolehan konsep dalam sifat
konsep dan bagaimana konsep itu disajikan dalam struktur kognitif. Walaupun para teoretikus
kognitif memikirkan kondisi yang memperlancar pembentukan konsep, penekanan mereka
ialah pada proses internal yang digunakan dalam belajar konsep.
Studi kogitif tentang perolehan konsep telah memperlihatkan beberapa penemuan
sebagai yang dikemukakan di bawah ini.
1. Konsep konjungtif lebih mudah dipelajari dari pada konsep disjungtif atau konsep relasional.
Banyak studi yang memperlihatkan bahwa suatu konsep yang menghendaki adanya dua atau
lebih atribut lebih mudah dipelajari dari pada suatu konsep yang menghendaki salah satu
atribut dari dua atau lebih atribut.
2. Belajar konsep lebih mudah dengan menggunakan paradigma selektifndari pada paradigma
reseptif. Penyajian bersamaan contoh dan non contoh mengurangi tuntutan pada memori. Bila
paradigma resepif digunakan, pada subjek diperlihatkan suatu contoh konsep, contoh
dihilangkan, lalu stimulus yang lain disajikan. Subjek harus mengingat atribut-atribut contoh
untuk dapat memberikan respons pada stimulus yang baru. Akan tetapi, jika berbagai
noncontoh timbul, subjek mungkin lupa akan atribut-atribut contoh.
3. Beberapa Pendekatan Dewasa Ini
Semenjak tahun 1960-an tampak ada suatu pergeseran dalam pendekatan-pendekatan dalam
studi belajar konsep, terutama ahli psikologi pendidikan. Perubahan ini disebabkan tulisan
Caroll (1964) yang menekankan perbedaan antara belajar konsep dalam laboratorium dan
belajar konsep disekolah. Caroll mengemukakan perbedaan dalam kedua proses itu sebagai
berikut.
a. Kedua bentuk konsep berbeda dalam sifat. Konsep yang biasanya dipelajari di sekolah
biasanya merupakan benar-benar suatu konsep baru, bukan suatu kombinasi buatan dari
atribut-atribut yang dikenal.
b. Konsep yang dipelajari di sekolah bergantung pada atribut yang berupa konsep-konsep sulit.
Lagi pula konsep-konsep sekolah biasanyabersifat verbal dan tidak dapat disajikan oleh
benda-benda konkret.
c. Studi di laboratorium memberi penekanan pada belajar konsep konjungtif yang sudah di
buktikan mudah untuk dipelajari dari pada konsep disjungtif atau konsep relasional.
d. Studi di laboratorium pada umumnya menekankan pada pendekatan induktif tentang belajar
konsep, sedangkan sebagian besar konsep di sekolah secara deduktif.

Dalam artikelnya Caroll memberikan prosedur bagaimana mengajarkan beberapa konsep,


seperti longituda, turis, dan beberapa lainnya. Pendekatan yang digunakannya didasarkan
pada kombinasi teknik induktif dandeduktif. Ia menyarankan bahwa pendekatan kombinasi
mungkin lebih baik dari pada penggunaan salah satu teknik saja.
Saat artikel caroll keluar, Gagne (1965) menerbitkan edisi pertama bukunya yang
berjudul The Conditions of learningyang menekankan belajar konsep di sekolah. Menurut
Gagne, belajar konsep merupakan satu bagian dari suatu hierarki dari delapan bentuk belajar.
Dalam hierarki ini, setiap tingkat belajar tergantung pada tingkat-tingkat sebelumnya.
Hierarki Gagne disjikan dalam Tabel 6.1 (Rosser, 1984:445). Bentuk belajar 6, belajar
konsep, ekuivalen dengan pembentukan konsep. Asimilasi konsep dapat berupa bentuk
khusus dari belajar aturan (rule learning), yaitu bentuk 7.

Tabel 6.1 Hierarki Belajar Gagne


Bentuk Belajar Prosedur Contoh
1. Belajar tanda (sinyal) Conditioning klasik Mata dikejapkan terhadap suatu
suara setelah suara dipasangkan
dengan hembusan udara pada mata.
2. Belajar stimulus- Conditioning Operant Belajar yang terjadi pada bayi untuk
respons memegang botol susu
3. Chaining Seri koneksi-koneksi Membuka pintu, terdiri atas :
S-R 1. Menempatkan kuci
2. Memasukkan kunci
3. Memutar kunci
4. Membuka kunci
4. Asosiasi verbal Rantai verbal, tentang Belajar “Sumpah Pemuda”.
memberi nama objek
dan koneksi kata
menjadi urutan verbal
5. Belajar diskriminasi Menghasilkan respons Membedakan lingkaran dari elips.
yang berbeda pada
stimulus-stimulus
yang mirip
6. Belajar konsep Membuat respon yang Respons yang sama tentang rumah
konkret sama pada stimulus- terhadap berbagai ukuran dan
stimulus dengan bentuk gedung.
atribut yang mirip
7. a. Konsep terdefinisi Menggunakan konsep Saudara sepupu ialah anak laki-laki
yang telah dipelajari atau anak perempuan dari paman
sebelumnya untuk atau bibi
memperoleh suatu
konsep baru
b. Aturan Memberikan respons Jarak sama dengan kecepatan kali
pada satu kelas waktu.
stimulus dengan satu
kelas penampilan
8. Pemecahan masalah Menggabungkan Menemukan langkah-langkah dalam
uturan untuk membuktikan suatu teori dalam
mencapai suatu geometri.
pemecahan yang
menghasilkan suatu
aturan dengan tingkat
lebih tingkat
Kondisi-kondisi untuk mempelajari konsep terdefinisi menurut Gagne (1988) akan
diberikan dibawah ini. Kondisi utama ialah bahwa siswa atau orang yang belajar harus sudah
memiliki konsep-konsep yang meliputi konsep terdefinisi yang akan dipelajari.
1. Kondisi internal : untuk memperoleh konsep terdefinisi, siswa harus mengeluarkan atau
memanggil semua komponen konsep itu yang terdapat dalam definisi, termasuk konsep yang
menyatakan hubungkan antara konsep-konsep.
2. Kondisi eksternal : suatu konsep terdefinisi dapat dipelajari dengan menyuruh para siswa
mengamati suatu demonstrasi. Latihan-latihan dilaboratorium dalam pelajaran fisika banyak
menunjukkan bagaimana para siswa memperoleh konsep terdefinisi, misalnya suatu
demonstrasi mengenai konsep massa. Akan tetapi, kerap kali konsep terdefinisi “
didemonstrasikan” melalui definisi yang dinyatakan secara verbal. Untuk onsep massa
misalnya, seorang guru memberikan definisi : “Massa ialah sifat yang menentukan jumlah
akselerasi (percepatan) yang diberikan pada suatu benda oleh gaya tertentu”. Secara ideal
sebenarnya, suatu perilaku yang menunjukkan dimilikinya konsep ini, yaitu menentukan
berbagai benda dengan massayang berbeda, ditunjukkan secara berbeda dalam akselerasi
yang dihasilkan oleh gaya yang sama. Tentunya, secara kuanitatif, hubungan proporsional
antara massa dan akselerasi seharusnya didemonstrasikan sesuai dengan hubungan :
a = f/m (a = akselerasi, f = gaya, m = massa).

D. Tingkat-Tingkat Pencapaian Konsep


Pengembangan konsep-konsep melalui satu seri tingkatan. Tingkat-tingkat itu mulai
dengan hanya mampu menunjukkan satu contoh dari suatu konsep hingga dapat sepenuhnya
menjelaskan atribut-atribut konsep. Kita tidak mencapai semua konsep kita pada tingkat yang
sama. Sebagian besar dari kita dapat menjelaskan secara sempurna atribut-atribut dari konsep
buku. Mungkin kita pernah mengalami, waktu seseorang menanyakan konsep kita tentang
suatu kata, kita dapat menghubungkan kata itu pada konsep-konsep yang lain, atau
menggunakannya dalam suatu kalimat, tetapi tidak dapat mendefinisikannya secara
formal. Kita mencapai konsep-konsep pada tingkat-tingkat yang berbeda.
Klausmeier (1997) menghipotesikan, bahwa ada empat tingkat pencapaian konsep.
Tingkat-tingkat ini muncul dalam urutan yang invarian. Orang sampai pada pencapaian
tingkat tertinggi dalam kecepatan yang berbeda-beda, dan ada konsep-konsep yang tidak
pernah tercapai pada tingkat yang paling tinggi. Konsep-konsep yang bebeda dipelajari pada
usia-usia yang berbeda. Dari teori perkembangan Piaget kita mengetahui, bahwa anak-anak
yang masih kecil baru dapat belajar konsep-konsep konkret, sedangkan konsep-konsep yang
lebih sulit atau lebih abstrak dipelajari setelah mereka besar.
Empat tingkat pencapaian konsep menurut Klausmeier adalah tingkat konkret, tingkat
identitas, tingkat klasifikatori (classificatory), dan tingkat formal. Ia menerapkan tingkatan-
tingkatan ini hanya pada konsep-konsep yang mempunyai lebih dari satu contoh, yang
mempunyai contoh-contoh yang dapat diamati, atau wakil-wakil (representations) dari
contoh-contoh, dan konsep-konsep ini didefinisikan dalam atribut-atribut. Konsep-konsep
relasional dan konsep-konsep lain mungkin mempunyai hanya sebagian dari kualitas-kualitas
ini, jadi mungkin konsep-konsep itu mengikuti pola pencapaian yang berbeda. Tetapi,
konsep-konsep yang diajarkan di sekolah pada umumnya memenuhi persyaratn yamg
dikemukakan oleh Klausmeier. Uraian tentang empat tingkat pencapaian konsep Klausmeier
diberikan dibawah ini.

1. Tingkat Konkret
Kita dapat menyimpulkan, bahwa seseorang telah mencapai konsep pada tingkat
konkret, apabila orang itu mengenal suatu benda yang telah dihadapinya sebelumnya.
Seorang anak kecil yang pernah memperoleh kesempatan bermain dengan mainan, dan ia
membuat respons yang sama waktu ia melihat maian itu kembali, telah mencapai konsep
tingkat konkret.
Untuk mencapai konsep tingkat konkret, siswa harus dapat memperhatikan benda itu,
dan dapt membedakna benda itu dari stimulus-stimulus yang ada di lingkungannya.
Selanjutnya ia harus menyajikan benda itu sebagai suatu gambaran mental, dan menyimpan
gambaran mental itu.
Pencapaian tingkat ini ditandai dengan adanya pengenalan anak terhadap suatu benda
yang pernah ia kenal. Misalnya pada suatu saat anak bermain kelereng dan pada waktu yang
lain dengan tempat yang berbeda ia menemukan lagi kelereng, lalu ia bisa mengidentifikasi
bahwa itu adalah kelereng maka anak tersebut sudah mencapai tingkat konkret. Dengan
demikian dapat dikatakan juga anak mampu membedakan stimulus yang ada di
lingkungannya terhadap kelereng tersebut. Pada saat ini anak sudah mampu menyimpan
gambaran mental dalam struktur kognitifnya.

2. Tingkat Identitas
Pada tingkat identitas, seorang akan mengenal suatu objek (a) sesudah selang suatu
waktu, (b) bila orang itu mempunyai orientasi ruang (spatial orientation) yang berbeda
terhadap objek itu, atau (c) bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indera (sense
madality) yang berbeda, misalnya, mengenal suatu bola dengan cara menyentuh bola itu
bukan dengan melihatnya.
Selain ketiga opersi yang dibutuhkan untuk pencapaian tingkat konkret, yaitu:
memperhatikan, mendiskriminasi dan mengingat, siswa harus dapat mengadakan
generalisasi, untuk mengenal bahwa dua bentuk atau lebih yang identik dari benda yanf sama
adalah anggota dari kelas yang sama. Ada ahli psikologi yang menggunakan istilah-istilah
yang berbeda untuk menunjukkan dua tingkat pencapaian konsep ini. Gagne (1976)
menggunakan istilah diskriminasi untuk tingkat konkret, dan generalisasi dari diskriminasi
untuk tingkat identitas.

3. Tingkat Klasifikatori (clssificatory)


Pada tingkat klasifikatori, siswa mengenal persamaan persamaan (equivalence) dari dua
contoh yang berbeda dari kelas yang sama. Walaupun siswa itu tidak dapat menentukan
kriteria atribut maupun menentukan kata yang dapat mewakili konsep itu, ia dapat
mengklasifikasikan contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh dari konsep, sekalipun contoh-
contoh dan noncontoh-noncontoh itu mempunyai banyak atribut-atribut yang mirip.
Operasi metal tambahan yang terlibat dalam pencapaian konsep pada tingkat
klasifikatori ialah mengadakan generalisasi bahwa dua contoh atau lebih sampai batas-batas
tertentu itu equivalen. Dalam operasi mental ini siswa berusaha untuk mengabstraksi kualitas-
kualitas yang sama yang dimiliki oleh objek-objek itu.
Tingkat klasifikatori dapat digambarkan anak sudah mampu mengenal persamaan dari
contoh yang berbeda tetapi dari kelas yang sama. Misalnya anak mampu membedakan antara
apel yang masak dengan apel yang mentah.

4. Tingkat Formal
Untuk pencapaian konsep pada tingkat formal, siswa harus dapat menentukan atribut-
atribut yang membatasi konsep. Kita dapat menyimpulkan bahwa siswa telah mencapai suatu
konsep pada tingkat formal, bila siswa itu dapat memberi nama konsep itu, mendefinisikan
konsep itu dalam atribut-atribut kriterianya, mendeskriminasi dan memberi nama atribut-
atribut yang membatasi, dan mengevaluasi atau memberikan secara verbal contoh-contoh dan
mencontoh dari konsep.
Pada tingkatan formal anak sudah mampu membatasi suatu konsep dengan konsep lain,
membedakannya, menentukan ciri-ciri, memberi nama atribut yang membatasinya, bahkan
sampai mengevaluasi atau memberikan contoh secara verbal.
Klausmeier (1977) menyarankan bahwa operasi-operasi yang terlibat dalm pencapaian
formal dapat induktif maupun deduktif. Ada dua bentuk operasi-operasi induktif. Bentuk
pertama ekuivalen dengan pembentukan konsep yang telah dibahas terdahulu: siswa
merumuskan aturn-aturan dari peristiwa-peristiwa dengan sejumlah contoh-contoh positif
ayng berbeda. Bentuk induktif yang kedua ialah suatu pendekatan pengujian-hipotesis. Dalam
pendekatan ini siswa merumuskan hipotesis tentang atribut-atribut mana yang relevan,
menguji hipotesis-hipotesis itu terhadap contoh-contoh positif dan negatif, dan memperbaiki
hipotesis itu bila perlu.
Operasi deduktif mirip dengan asimilasi konsep yang telah dibahas dalam bagian
terdahulu. Siswa diberi nama konsep, atribut-atribut kriteria, dan uaraian verbal tentang
contoh-contoh. Aturan-aturan untuk dapat dimasukkan ke dalam suatu kategori didefinisikan,
sehingga siswa dapat menggunakan aturan-aturan itu untuk menentukan apakah suatu
stimulus termasuk ke dalam kategori itu.
Dalam suatu studi longitidinal tentang pengembangan konsep, Klausmeier menemukan,
bahwa banyak anak mencapai konsep-konsep yang diteliti-equilateral triangle, noun, tree, and
cutting tool-pada akhir taman kanak-kanak. Ditemukan, bahwa pencapaian meningkat terus
selama tahun-tahun sekolah.
E. Menentukan Konsep-Konsep yang akan Diajarkan
Informasi tentang konsep-konsep yang harus diajarkan pada siswa dengan umur
tertentu atau kelas tertentu, dapat diturunkan dari sejumlah sumber, termasuk penulis-penulis
buku-buku pelajaran, pengetahuan, dan pengalaman guru itu sendiri, atau anak-anak dan
siswa itu sendiri.
Guru-guru tergantung pada penulis-penulis buku teksdan para ahli pengembang
kurikulum untuk bimbingan dalam memutuskan konsep-konsep yang harus diajarkan. Para
penulis buku teks telah memilih konsep-konsep yang sesuai bagi para siswa dalam bidang
studi tertentu pada tingkat sekolah tertentu. Kata-kata yang mewakili konsep baru biasanya
dicetak tebal atau miring. Ada beberapa penulis memulai bab bukunya dengan suatu daftar
dari konsep-konsep baru, atau memasukkan pertanyaan-pertanyaan di dalam atau pada akhir
bab yang meminta para siswa untuk memberikan definisi konsep-konsep penting.
Markle (dalam Rosser, 1984), mengemukakan bahwa kerap kali buku-buku itu
menyajikan konsep-konsep yang tidak lengka, atau menggunakan konsep-konsep yang
mungkin tidak di kenal para siswa, untuk menjelaskan atau mendefinisikan konep baru. Ada
sekolah-sekolah yang mengembangkan sendiri penuntun kurikulum dalam menentukan
konsep-konsep yang diharapkan dapat dipelajari para siswa dalam tiap bidang studi dan tiap
kelas. Penuntun itu dapat berupa tujuan-tujuan instruksional yang dinyatakan dalam perilaku,
atau hanya berupadaftar konsep-konsep esensial (key concepts).
Pengalaman-pengalaman serta pengetahuan itu sendiri merupakan sumber lain untuk
menentukan konsep-konsep yang mana yang harus diajarkan kepada para siswa. Kemampuan
konseptual harus diperhatikan dalam mengambil keputusan. Tingkat-tingkat perkembangan
piaget memberikan informasi tentang kemampuan-kemampuan kognitif yang dapt digunakan
untuk menentukan kemampuan-kemampuan konseptual itu. Misalnya anak-anak sekolah
dasar lebih mudah belajar konsep-konsep dengan contoh-contoh konkret, sedangkan para
siswa yang telah mencapai tingkat operasi-operasi formal dapat belajar konsep-konsep yang
lebih abstrak.
Perkembangan bahasa siswa itu sendiri juga mempengaruhi macam-macam konsep
yang dapat mereka pelajar, dan metode mengajar yang dapat digunakan. Penggunaan bahasa
guru yang sesuai dengan umur siswa merupakan pertimbangan yang penting dalam mengajar
konsep. Para siswa itu sendiri merupakan sumber lain untuk menentukan konsep-konsep yang
akan diajarkan. Andaikata kita dapat menyelami para siswa untuk melihat struktur kognitif
mereka, kita mungkin dapat menentukan kekosongan-kekosongan, ketidak-ajekan
(inconsistencies) yang membutuhkan bimbingan. Oleh karena itu, kita harus waspada
terhadap perilaku-perilaku siswa yang menunjukkan bahwa suatu konsep belum dicapai. Para
siswa kerap kali menunjukkan konsep-konsep yang ingin mereka pelajari dengan pertanyaan
yang mereka ajukan. Demikian pula, respons-respons siswa terhadap pertanyaan guru dapat
menunjukkan bahwa mereka telah gagal untuk mencapai suatu konsep atau mereka telah
mencapainya secara tidak benar. Guru-guru yang terampil mungkin dapat menemukan
sumber ketidaktepatan ini melalui pertanyaan-pertanyaan. Dengan membiarkan siswa maju
dengan konsep-konsep yang tidak tepat, dapat menimbulkan masalah-masalah belajar di
masa yang akan datang.
Penuntun-penuntun kurikulum dan buku-buku teks menyediakan suatu kerangka
untuk konsep-konsep yang akan diajarkan, dan perilaku para siswa akan menentukan konsep-
konsep lain. Pengetahuan guru tentang perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa itu
sendiri akan menyediakan informasi tambahan, bukan hanya sekedar menentukan konsep-
konsep yang akan diajarkan, melainkan juga untuk menentukan tingkat-tingkat yang dapat
kita harapkan dicapai oleh para siswa.
F. Merencanakan Pelajaran
Sesudah memilih konsep-konsep yang akan diajarkan, guru hendaknya merencanakan
strategi-strategi pengajaran untuk mengajarkan konsep-konsep itu. Dalam merencanakan,
guru harus memutuskan tingkat pencapaian konsep yang mana yang dapat diharapkan dari
para siswa. Analisis konsep akan dapat menolong guru dalam hal ini, dan memilih materi
pelajaran yang akan diberikan.
1. Menentukan Tingkat Pencapaian Konsep
Tingkat pencapaian konsep yang diharapkan dari siswa, tergantung pada kompleksitas
dari konsep, dan tingkat perkembangan kognitif siswa. Ada siswa yang belajar konsep pada
tingkat konkret rendah atau tingkat identitas, ada pula siswa yang mampu mencapai konsep
pada tingkat klasifikatori atau tigkat formal. Misalkan konsep keluarga. Anak yang belum
bersekolah mungkin belajar konsep keluarga sebagai “Orang-orang yang tinggal bersamaku –
ayah, ibu, addik, dan kakak.” Anak yang lebih tua dapat mengembangkan konsep itu lebih
lanjut: Orang-orang yang mempunyai keturunan sama, atau orang-orang yang bergabung
karena perkawinan.” Konsep ini masih dapat berkembang seterusnya dengan belajarnya anak
tentang keluarga tumbuhan dan keluarga hewan, dan seterusnya.
Telah diketahui, bahwa tingkat-tingkat perkembangan Piaget dapat membimbing guru
untuk menentukan tingkat-tingkat pencapaian konsep yang diharapkan. Sebagian besar dari
konsep-konsep yang dipelajari selama tingkat perkembangan pra-operasional merupakan
konsep-konsep pada tingkat konkret atau tingkat identitas. Selama tingkat operasinoal
konkret, dapat diharapkan tingkat pencapaian klasifikatori, paling sedikit untuk konsep-
konsep yang mempunyai contoh-contoh konkret. Tingkat pencapaian formal dapat
diharapkan, bila pengajaran yang tepat diberikan pada siswa-siswa pada periode operasional
formal.
Tingkat-tingkat pencapaian konsep yang diharapkan tercermin dari tujuan-tujuan
pengajaran yang dirumuskan bagi para siswa. Misalnya, untuk pencapaian konsep
bujursangkar pada berbagai tingkat dirumuskan tujuan-tujuan instruksional sebagai berikut:
1. Dengan diperlihatkan gambar bujursangkar, siswa dapat memberikan respon “bujursangkar”.
2. Dengan memperlihatkan gambar suatu bujursangkar, suatu segitiga, dan suatu lingkaran,
siswa dapat memilih bujursangkar dengan menunjuk gambarnya.
3. Dengan memperlihatkan Gambar 6-1 (Rosser, 1984:458), siswa akan melingkari setiap
bujursangkar.
4. Siswa dapat membuat daftar yang berisi atribut-atribut kriteria bujursangkar.
Tujuan-tujuan instruksional ini meminta berbagai bukti tentang perolehan
konsep bujursangkar. Setiap tujuan instruksional itu merupakan tujuan instruksional yang
sesuai bagi anak dengan tingkat perkembangan kognitif tertentu. Tujuan-tujuan instruksional
yang adekuat akan mengkhususkan perilaku-perilaku yang menyatakan berbagai tingkat
pencapaian konsep.
Gambar 6-1. Lembaran kerja diskriminasi bujursangkar

2. Analisis Konsep
Analisis konsep merupakan suatu prosedur yang dikembangkan untuk menolong guru
dalam merencanakan urutan-urutan pengajaran bagi pencapaian konsep. Teknik-teknik
semacam ini telah dikembangkan oleh Klausmeier, Ghatala, dan Frayer (1974), dan oleh
Markle dan Tiemann (1970), dan oleh beberapa orang lainnya. Walaupun prosedur-prosedur
itu mempunyai beberapa perbedaan, beberapa langkah dimiliki oleh semua prosedur itu.
Untuk melakukan analisis konsep, guru hendaknya memperhatikan hal-hal di bawah
ini :
1. Nama konsep.
2. Atribut-atribut kriteria dan atribut-atribut variabel dari konsep.
3. Definisi konsep.
4. Contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh dari konsep.
5. Hubungan konsep dengan konsep-konsep lain.
Analisis konsep dengan konsep bujursangkar, (Rosser, 1984:461), adalah sebagai
berikut :
1. Nama konsep. Orang dapat membentuk konsep-konsep tanpa memberi nama pada konsep-
konsep itu, terutama pada tingkat konkret dan tingkat identitas. Anak-anak yang masih kecil
menyusun kata-kata mereka sendiri untuk menyajikan konsep-konsep yang mereka bentuk.
Tetapi, sesudah mereka masuk sekolah, mereka diberi pelajaran tentang na,ma-nama konsep
yang telah diterima secara luas. Dengan meyetujui nama untuk suatu konsep orang dapat
berkomunikasi tentang konsep itu.
ut kriteria : Tertutup, datar, sederhana, empat sisi, sisi-sisi sama panjang, sudut-sudut sama.
Atribut-atribut variabe : Besar, letak pada halaman, warna.
nisi konsep : 1)Suatu bentuk tertutup, datar, sederhan dengan empat sisi sama dan empat sudut sama. 2)Suatu
poligon dengan empat sisi sama dan empat sudut sama.
2. Atribut-atribut kriteria dan variabel konsep. Atribut-atribut kriteria dari suatu konsep
adalah ciri-ciri konsep yang perlu untuk membedakan contoh-contoh dan noncontoh-
noncontoh, dan untuk menentukan apakah suatu objek baru merupakan suatu contoh dari
konsep. Walaupun semua atribut-atribut dari suatu konsep tidak diajarkan pada setiap tingkat
pencapaian, guru hendaknya menyadari hal ini untuk memastikan bahwa contoh-contoh dan
noncontoh-noncontoh selalu dibedakan. Dari analisis kosep bujursangkar kita belajar bahwa
konsep itu mempunyai atribut-atribut krtiteria : bentuk tertutup, datar, sederhana, yang
mempunyai empat sisi sama panjang dan empat sudut sama.
Atribut-atribut variabel konsep ialah ciri-ciri yang mungkin berbeda diantara contoh-contoh
tanpa mempengaruhi inklusi dalam kategori konsep itu. Guru dapat mengubah-ubah atribut-
atribut ini dalam contoh-contoh yang digunakan dalam mengajar. Bujursangkar misalnya,
dapat berbeda dalam besar, lokasi pada halaman, dan warna.

3. Definisi konsep. Walaupu para siswa tidak diharapkan untuk belajar definisi formal dari
suatu konsep, analisis konsep harus memasukkan definisi, sekalipun anak-anak pada tingkat
konkret dan tingkat identitas pada umumnya tidak diharapkan untuk dapat mendefinisikan
konsep. Pada tingkat klasifikatori siswa mungkin dapat menyebutkan sebagian dari atribut-
atribut, tetapi tidak semuanya, dan pada umunya hanya mencolok (predominant). Pada
tingkat formal siswa dapat belajar konsep melalui definisi yang diberikan. Kemampuan untuk
menyatakan suatu definisi dari suatu konsep dapat digunakan sebagai suatu kriteria bahwa
siswa telah belajar konsep itu.

Analisis konsep dapat menghasilkan dua definisi dari konsep bujursangkar. Definisi pertama
merupakan suatu pernyataan dari semua atribut-atribut kriteria dari bujursangkar. Definisi
kedua menggunakan konsep superordinat, poligon, untuk menyatakan bahwa bujurasangkar
mempunyai ciri-ciri dari suatu poligon, dan untuk menunjukkan atribut-atribut yang
membedakan bujursangkar dari poligon-poligon yang lain.

4. Contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh. Dengan membuat daftar dari atribut-atribut


suatu konsep, pengembangan konsep-konsep dan nonkonsep-nonkonsep dapat diperlancar.
Klausmeier, Rosmiller, dan Sally ( dalam Rosser, 1985) menyarankan agar paling sedikit
harus dikembangkan satu himpunan rasional tentang contoh-contoh. Suatu himpunan rasional
terdiri atas contoh-cotoh konsep dipasangkan dengan kekurangan satu atribut kriteria.
Himpunan kriteria yang dikembangkan untuk konsep bujursangkar memberika atribut kriteria
y;ang kurang dalam setiap noncontoh.

5. Hubungan konsep pada konsep-konsep lain : superordinat, koordinat, dan subordinat.


Untuk sebagian besar konsep-konsep, kita dapat mengembangkan suatu hirarki dari konsep-
konsep yang berhubungan yang memperlihatkan bagaimana suatu konsep terkait pada
konsep-konsep lain. Pembentukan suatu hirarki dapat menolong dalam mengajar.

Anda mungkin juga menyukai