Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

HIV/AIDS

Pengertian
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel
sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksiberlangsung,
sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tahap
yang lebih lanjut dari infeksi HIV adalah acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Hal
inidapat memakan waktu 10-15tahun untukorang yangterinfeksi HIVhingga berkembang
menjadiAIDS; obat antiretroviral dapat memperlambat proses lebih jauh.HIV ditularkan melalui
hubungan seksual(anal atau vaginal), transfusi darah yang terkontaminasi, berbagi jarum yang
terkontaminasi, dan antara ibu dan bayinyaselama kehamilan, melahirkan dan menyusui
Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau fetus didalam tubuh, setelah penyatuan sel
telur dan spermatozoon. Kehamilan ditandai dengan berhentinya haid; mual yang timbul pada
pagi hari (morning sickness); pembesaran payudara dan pigmentasi puting; pembesaran abdomen
yang progresif. Tanda-tanda absolut kehamilan adalah gerakan janin, bunyi jantung janin, dan
terlihatnya janin melalui pemerikasaan sinar-X, atau USG.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom gejala penyakit infeksi
oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV
(Human Immunodeficiency Virus) (Fogel, 1996)
Menurut laporan CDR (Center for Disease Control) Amerika mengemukakan bahwa jumlah
wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia reproduksi. Sekitar 80%
penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi prenatal dari ibunya. Seroprevalensi HIV pada ibu
prenatal adalah 0,0-1,7%, saat persalinan 0,4-0,3% dan 9,4-29,6% pada ibu hamil yang biasa
menggunakan narkotika intravena.
Wanita usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi HIV. Dilihat dari profil
umur, ada kecendrungan bahwa infeksi HIV pada wanita mengarah ke umur yang lebih muda,
dalam arti bahwa usia muda lebih banyak terdapat wanita yang terinfeksi, sedangkan pada usia di
atas 45 tahun infeksi pada wanita lebih sedikit. Dilain pihak menurut para ahli kebidanan bahwa
usia reproduktif merupakan usia wanita yang lebih tepat untuk hamil dan melahirkan. Hasil
survey di Uganda pada tahun 2003 mengemukakan bahwa prevalensi HIV di klinik bersalin
adalah 6,2%, dan satu dari sepuluh orang Uganda usia antara 30-39 tahun positif HIV-AIDS
perlu diwaspadai karena cenderung terjadi pada usia reproduksi.
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS pada
wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV.
Pada negara berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual suaminya di luar rumah.
Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan isteri sangat
percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih dianggap tabu untuk
dibicarakan.
Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus (HIV) dibandingkan dengan
wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil lebih sering dapat menularkan HIV
kepada mereka yang tidak terinfeksi daripada wanita yang tidak hamil International Microbicides
Conference 2010, abstract
#8). Peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan adalah mereka yang
berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis yang tidak diketahui
Sebagaimana diketahui penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia, terutama di Afrika
dan Asia. Diperkirakan dewasa ini terdapat puluhan juta penderita HIV/AIDS. Sekitar 80%
penularan terjadi melalui hubungan seksual, 10% melalui suntikan obat (terutama
penyalahgunaan narkotika), 5% melalui transfusi darah dan 5% dari ibu melalui plasenta kepada
janin (transmisi vertikal). Angka terjadinya transmisi vertikal berkisar antara 13-48%.
Pada pemeriksaan antenalal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil memiliki otonomi untuk
menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV, setelah diberikan penjelasan yang
memuaskan mereka dan dokter harus menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu hamil yang
diperiksa dan ternyata HIV sero-positif, perlu diberi kesempatan untuk konseling mengenai
pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko penularan dari ibu ke anak, tentang pemeriksaan dan
terapi selama hamil, rencana persalinan, masa nifas dan masa menyusui.
Kerahasiaan perlu dijaga dalam melaporkan kasus-kasus HIV sero-positif. Dalam hal ini
diserahkan kepada ibu bersangkutan untuk menyampaikan hasilnya kepada pasangannya, perlu
dipertimbangkan untuk ruginya membuka rahasia pekerjaan dokter. Tentulah dalam memabuka
rahasia ini akan berpengaruh terhadap hubungannya dengan keluarga, teman-teman, dan
kesempatan kerja, juga berkurangnya kepercayaan pasien terhadap dokternya.
Untuk pasangan infertil yang menginginkan teknologi reproduksi yang dibantu dan salah satu
atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis, jika kepada mereka diberikan pelayanan tersebut.
Dengan kemanjuan pengobatan masa kini, penderita HIV dapat hidup lebih panjang dan risiko
penularan dari ibu ke anak berkurang. Dokter dengan HIV positif tidak perlu memberitahukan
pasiennya tentang dirinya, tetapi harus berhati-hati melakukan tindakan-tindakan medik yang
mengandung risiko, seperti pembedahan obstetrik dan ginekologi, serta berhati-hati dengan alat-
alat yang digunakan
Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh transmisi heteroseksual. Kehamilan pada ibu
dengan AIDS menimbulkan dilema, yaitu perkembangan penyakit, pilihan penatalaksanaan, dan
kemungkinan transmisi vertikal pada saat persalinan. Transmisi infeksi lewat plasenta ke janin
lebih dari 80%. Antibodi ibu melewati plasenta, dan dapat diteliti melalui uji bayi mereka. Uji
antiboti bayi dapat menentukan status HIV ibu. Uji terbaru untuk bayi adalah reaksi rantai
polimer (polymerase chain reaction, PCR) yang mengidentifikasi virus HIV neonatus.
Diperlukan pemeriksaan virus HIV yang terintegrasi pada pemeriksaan rutin ibu hamil untuk
melindunginya.

Epidemiologi
Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia (pandemi),
termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan telah terdapat sebanyak
8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta orang dewasa dan 1,7 juta anak-anak. Di
Indonesia berdasarkan data-data yang bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan PLP
Departemen Kesehatan RI sampai dengan 1 Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 685
orang yang dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia. Data jumlah penderita HIV/AIDS di
Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya.
Pada penyakit ini berlaku teori “Gunung Es“ dimana penderita yang kelihatan hanya sebagian
kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita yang
terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui.
Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah
penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif dalam upaya menanggulangi
problematik jumlah penderita yang terus meningkat adalah upaya pencegahan yang dilakukan
semua pihak yang mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi yang
memungkinkan dapat terserang HIV.
Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung 20 tahun. Sejak tahun 2000 epidemi tersebut
sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan
prevalens > 5%), yaitu pengguna Napza suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria.
Situasi demikian menunjukkan bahwa pada umumnya Indonesia berada pada tahap concentrated
epidemic. Situasi penularan ini disebabkan kombinasi transmisi HIV melalui penggunaan jarum
suntik tidak steril dan transmisi seksual di antara populasi berisiko tinggi. Di Tanah Papua
(Provinsi Papua dan Papua Barat), keadaan yang meningkat ini ternyata telah menular lebih jauh,
yaitu telah terjadi penyebaran HIV melalui hubungan seksual berisiko pada masyarakat umum
(dengan prevalens > 1%). Situasi di Tanah Papua menunjukkan tahapan telah mencapai
generalized epidemic
Epidemi HIV yang terkonsentrasi ini tergambar dari laporan Departemen Kesehatan (Depkes)
tahun 2006. Sejak tahun 2000 prevalens HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapa sub-
populasi berisiko tinggi tertentu. Dari beberapa tempat sentinel, pada tahun 2006 prevalens HIV
berkisar 21% – 52% pada penasun, 1%-22% pada WPS, dan 3%-17% pada waria.
Situasi epidemi HIV juga tercermin dari hasil Estimasi Populasi Dewasa Rawan Tertular HIV
pada tahun 2006. Diperkirakan ada 4 juta sampai dengan 8 juta orang paling berisiko terinfeksi
HIV dengan jumlah terbesar pada sub-populasi pelanggan penjaja seks (PPS), yang jumlahnya
lebih dari 3,1 juta orang dan pasangannya sebanyak 1,8 juta. Sekalipun jumlah sub-populasinya
paling besar namun kontribusi pelanggan belum sebanyak penasun dalam infeksi HIV.
Gambaran tersebut dapat dilihat dari hasil estimasi orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di
Indonesia tahun 2006, yang jumlahnya berkisar 169.000-217.000, dimana 46% diantaranya
adalah penasun sedangkan PPS (Peria Penjajah Seks)14%.
Prevalensi HIV-AIDS menurun dikalangan wanita hamil pendapat ini berdasarkan hasil survey
di daerah perkotaan Kenya terutama di Busnia, Meru, Nakura, Thika, dimana rata-rata prevalensi
HIV menurun tajam dari kira-kira 28% pada tahun 1999 menjadi 9% pada tahun 2003. Di
wilayah India prevalensi secara nasional dikalangan wanita hamil masih rendah di daerah miskin
padat penduduk yaitu Negara bagian utara Uttar Pradesh dan Bihar. Tetapi peningkatan angka
penularan relatif kecil dapat berarti sejumlah besar orang terinfeksi karena wilayah tersebut
dihuni oleh seperempat dari seluruh populasi India. Prevalensi HIV lebih dari 1% ditemukan
dikalangan wanita hamil, di wilayah industri di bagian barat dan selatan India.
Namun data terbaru dari Afrika Selatan memperlihatkan bahwa prevalensi HIV dikalangan
wanita hamil saat ini telah mencapai angka tertinggi, yaitu 29,5% dari seluruh wanita yang
mengunjungi klinik bersalin yang positif terinfeksi HIV ditahun 2004. Prevalensi tertinggi
adalah dikalangan wanita usia 25-34 tahun atau lebih yaitu satu dari tiga wanita yang
diperkirakan akan terinfeksi HIV. Tingkat prevalensi yang tertinggi melebihi 30% dikalangan
wanita hamil masih terjadi juga pada empat Negara lain di wilayah Botswana, Lesotho, Nambia
dan Swaziland.

Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-
kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),
sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Muman Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli
merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus
yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut.
`Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung
(envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid).
Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan
glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang
rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk
virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah
dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.
Faktor Predisposisi :
1. Seks bebas
2. Jarum suntik
3. Jarum tato yg pernah dipakai orang HIV
4. Ibu yg menyusui anaknya
5. Tranfusi darah

Pemeriksaan Penunjang :
1. Pemeriksaan Laboratorium untuk mengontrol Viral Load dan memantau CD4
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV
dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel ganglia jaringan otak.

Pathogenesis
HIV merupakan retrovirus yang ditransmisikan dalam darah, sperma, cairan vagina, dan
ASI. Cara penularan telah dikenal sejak 1980-an dan tidak berubah yaitu secara; seksual
hubungan seksual, kontak dengan darah atau produk darah, eksposur perinatal, dan menyusui.
HIV muncul sebagai epidemic global pada akhir tahun 1970. Pada tahun 2007 diperkirakan 33
juta orang diseluruh dunia hidup dengan HIV, 2 juta orang meninggal dari komplikasi AIDS, dan
15 juta anak-anak menjadi yatim piatu akibat kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka
karena AIDS
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber
infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat
masuk kuman (port’d entrée).
Transmisi human immunodefiency virus (HIV) terjadi terutama melalui pertukaran cairan
tubuh (misalnya darah, semen, peristiwa perinatal). Depresi berat pada sistem imun selular
menandai sindrom immunodefiensi didapat (AIDS). Walaupu populasi berisiko tinggi telah
didokumentasi dengan baik,semua wanita harus dikaji untuk mengetahui. Begitu,HIV
memasuki tubuh, serum HIV menjadi positif dalam 10 minggu pertama pemaparan. Walaupun
perubahan serum secara total asimptomatik, perubahan ini disertai viremia, respons tipe-
influenza terhadap infeksi HIV awal. Gejala meliputi demam, malaise, mialgia, mual, diare,
nyeri tenggorok, dan ruam dan dapat menetap selama dua sampai tiga minggu. Virus HIV
sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya.
Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa
virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan
tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah
penderita. Resiko dengan pasangan (suami) 25% dan dari (istri) 10%.
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan
HIV yang diketahui adalah melalui:
1. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan
penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan
cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada
pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah
pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko
seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan
pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan
merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
a. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita
AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi
penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari
seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan
mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.
b. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
2. Transmisi Non Seksua
a. Transmisi Parenral
- Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik
yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang
dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi
parental ini kurang dari 1%.
- Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985.
Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor
telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah
lebih dari 90%.
b. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%.
Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air
susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

PENULARAN HIV DARI WANITA KEPADA BAYINYA


Penularan HIV ke ibu bisa akibat hubungan seksual yang tidak aman (biseksual atau
hommoseksual), pemakaian narkoba injeksi dengan jarum bergantian bersama penggidap HIV,
tertular melalui darah dan produk darah, penggunaan alat kesehatan yang tidak steril, serta alat
untuk menorah kulit. Menurut CDC penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita secara
berurutan dari yang terbesar adalah pemakaian obat terlarang melalui injeksi 51%, wanita
heteroseksual 34%, dtransfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%
Cara penularan virus HIV-AIDS pada wanita hamil dapat melalui hubungan seksual.
Salah seorang peneliti mengemukakan bahwa penularan dari suami yang terinfeksi HIV ke
isterinya sejumlah 22% dan isteri yang terinfeksi HIV ke suaminya sejumlah 8%. Namun
penelitian ain mendapatkan serokonversi (dari pemeriksaan laboratorium negatif menjadi positif)
dalam 1-3 tahun dimana didapatkan 42% dari suami dan 38% dari isteri ke suami dianggap sama.
Penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak bisa melalui darah, penularan melalui hubungan seks.
Penularan dari ibu ke anak karena wanita yang menderita HIV atau AIDS sebagian besar (85%)
berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang bisa terjadi saat
kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika prevalensi penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah 0,01 % sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIv dan belum ada gejala AIDS
kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada
ibu kemungkinannya mencapai 50%.
Penularan juga terjadi pada proses persalinan melalui transfuse fetomaternal atau kontak
antara kulit atau membrane mukosa bayi dan darah atau sekresi maternal saat melahirkan.
Semakin lama proses persalinan semakin besar resiko, sehingga lama persalinan bisa dicegah
dengan operasi section caesarea. Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui ASI,
resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%.
Kasus HIV-AIDS disebabkan oleh heteroseksual. Virus ini hanya dapat ditularkanmelalui kontak
langsung dengandarah, semen, dan sekret vagina. Dan sebagian besar (75%) penularan terjadi
melalui hubungan seksual. HIV tergolong netrovirus yang memiliki materi genetik RNA.
Bilamana virus masuk kedalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA diubah menjadi DNA
oleh enzim reverse transcriptase. DNA provirus tersebut diintegrasikan kedalam sel hospes dan
selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus
Penularan secara vertikal dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan atau pada periode
intrapartum atau postpartum. HIV ditemukan pada jaringan fetal yang berusia 12 dan 24 minggu
dan terinfeksi intrauterin sejumlah 30-50% yang penularan secara vertikal terjadi sebelum
persalinan, serta 65% penularan terjadi saat intrapartum. Pembukaan serviks, vagina, sekresi
serviks dan darah ibu meningkatkan risiko penularan selama persalinan. Lingkungan biologis,
dan adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks, dan SST (Serum Test for Syphilis) yang
positif meningkatkan prevalensi infeksi HIV karena adanya luka-luka merupakan tempat
masuknya HIV. Sel-sel limfosit T4/CD4 yang mempunyai reseptor untuk menangkap HIV akan
aktif mencari luka-luka tersebut dan selanjutnya memasukkan HIV tersebut ke dalam peredaran
darah
Perubahan anatomi dan fisiologi maternal berdampak pula pada perubahan uterus, serviks dan
vagina, dimana terjadi hepertropi sel otot oleh karena meningkatnya elastisitas dan penumpukan
jaringan fibrous, yang menghasilkan vaskularisasi, kongesti, udem pada trimester pertama,
keadaan ini mempermudah erosi ataupun lecet pada saat hubungan seksual. Keadaan ini juga
merupakan media untuk masuknya HIV. Penularan HIV yang paling sering terjadi antara
pasangan yang salah satunya sudah terinfeksi HIV mendekati 20% setelah melakukan hubungan
seksual dengan tidak menggunakan kondom.
Peneliti lain mengemukakan faktor yang dapat meningkatkan penularan HIV
heteroseksual dengan tidak menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seksual
dengan pasangan yang memiliki lesi pada organ vital, yang disebabkan oleh infeksi sifilis atau
herpes simpleks, meningkatkan transfer virus melalui lesi sehingga terjadi kerusakan membran
mukosa dan merangsang limfosit CD4 untuk bergabung dengan jaringan yang mengalami
inflamasi
PERIODE PRENATAL
Insiden HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (ACOG, 1992a). Riwayat
kesehatan, pemeriksaan fisik, dan pemeeriksaan laboratorium harus meregleksikan perkiraan ini
jika wanita dan bayi baru lahir akan menerima perawatan yang tepat. Individu yang berada pada
kategori infeksi HIV meliputi[16]:
1. wanita dan pasangan dari daerah geografi tempat HIV umum terjadi;
2. wanita dan pasangan yang menggunakan obat-obatan intravena;
3. wanita dengan PMS persisten dan PMS rekuren;
4. wanita yang menerima transfuse darah antara tahun 1987 dan 1985;
5. setiap wanita yang yakin bahwa ia mungkin terpapar HIV.
Informasi tentang HIV dan ketersediaan pemeriksaan HIV harus ditawarkan kepada
wanita berisiko tinggi pada saat pertama kali mereka dating ke perawatan prenatal. Hasil
negative pada pemeriksaan HIV prenatal pertama bukan suatu garansi bahwa titer selanjutnya
akan negative
Pemeriksaan prenatal juga dapat menunjukkan adanya gonrorea, C. trachomatis, hepatitis
B, Micobacterium tuberculosis, kandidiasis (infeksi orofaring atau infeksi vaginal kronis),
sitomegalovirus (CMV), dan toksoplasmosis. Sekitar setengah jumlah penderita AIDS
mengalami peningkatan titer.
Beberapa ketidaknyamanan prenatal (mis., keletihan, anoreksia, dan penurunan berat
badan. Menyerupai tanda dan gejala infeksi HIV. Diagnosis banding semua keluhan akibat
kehamilan dan gejala infeksi dibenarkan. Tanda-tanda utama perburukan infeksi HIV meliputi
penurunan berat badan, lebih dari 10% berat badan sebelum hamil, diare kronis selama lebih dari
satu bulan, dan demam (intermiten atau konstan) selama lebih dari satu bulan.
Untuk menyokong sistem imun wanita hamil, konseling diberikan, mencakup nutrisi optimum,
tidur, istirahat, latihan fisik, dan reduksi stress.Karena Virus menembus plasenta pada awal
kehamilan. Apabila infeksi HIV didiagnosis, wanita diberi penjelasan tentang teknik
berhubungan seksual yang lebih aman. Penggunaan kondom dan spermisida 9 non-oksinol
dianjurkan untuk meminimalkan pemaparan HIV lebih jauh jika pasangan wanita tersebut
merupakan sumber infeksi. Hubungan seksual orogenital tidak dianjurkan. Hal yang sama
penting ialah merujuk wanita tersebut menjalani rehabilitasi untuk menghentikan
penyalahgunaan substansi. Penyalahgunaan alcohol atau obat-obatan lain mengganggu sistem
imun tubuh dan meningkatkan risiko AIDS dan kondisi terkait:
1. sistem imun tubuh harus rusak dulu sebelum HIV dapat menimbulkan penyakit
2. alcohol dan obat-obatan mengganggu banyak terapi medis dan terapi alternatif untuk AIDS
3. dan obat-obatan mempengaruhi pertimbangan pengguna yang menjadi lebih cenderung
terlibat dalam aktivitas yang membuatnya berisiko mengidap AIDS aatau meningkatkan
pemaparan terhadap HIV
4. alcohol dan penyalahgunaan obat menyebabkan stress, termasuk masalah tidur, yang
membahayakan fungsi sistem imun.
Terapi farmakologi untuk infeksi HIV berkembang dengan pesat sejak virus tersebut
ditemukan. Obat primer yang disetujui untuk terapi infeksi HIV adalah 3’azido-3’-deoksitimidin
(zidovudin, AZT [Retrivirl]). Walaupun obat ini menjanjikan hasil yang baik bagi terapi infeksi
HIV, penggunaannya dalam kehamilan dibatasi karena adanya potensi efek mutagenic atau
toksik potensial pada janin. Azitomidin saat ini dipelajari pada beberapa penelitian terkendali
pada wanita hamil, yang memiliki hitung sel T-helper kurang dari 400 sel/mm3 dan terbukti
secara signifikan mengurangi risiko transmisi HIV dari wanita terinfeksi ke janinnya.

PERIODE INTRAPARTUM
Perawatan wanita bersalin tidak secara sustansial berubah karena infeksi asimptomatik
HIV. Model kelahiran yang akan dilakukan didasarkan hanya pada pertimbangan obstetric.
Karena akan beresiko jika ibu melahirkan lewat jalan vagina. Focus utama adalah
mencegah persebaran nosokomial HIV dan melindungi tenaga keperawatan kesehatan. Risiko
tranmisi HIV dianggap rendah selama proses kelahiran per vaginam terlepas dari kenyataan
bahwa bayi terpapar pada darah, cairan amniotic, dan sekresi vagina ibunya.
Pemantauan janin secara elektronik dan eksternal lebih dipilih jika pemantauan diperlukan. Ada
kemungkinan inokulasi virus ke neonates jika pengambilan sampel darah dilakukan pada kulit
kepala janin atau elektroda dipasang pada kulit kepala janin. Selain itu, individu yang melakukan
salah satu prosedur ini berisiko tertusuk jarum pada jarinya.

PERIODE PASCAPARTUM
Hanya sedikit diketahui tentang kondisi klinis wanita yang terinfeksi HIV selama periode
pascapartum. Walaupun periode pascapartum awal tidak signifikan, follow-up yang lebih lama
menunjukkan frekuensi penyakit klinis yang tinggi pada ibu yang anaknya menderita penyakit.
Konseling tentang pengalihan pengasuhan anak dibutuhkan jika orang tua tidak lagi mampu
merawat diri mereka. Terlepas dari apakah infeksi terdiagnosis, proses keperawatan diterapkan
dengan cara yang peka terhadap latar belakang budaya individu dan dengan menjunjung nilai
kemanusiaan. Infeksi HIV merupakan suatu peristiwa biologi, bukan suatu komentarmoral.
Sangat penting untuk diingat, ditiru, dan diajarkan bahwa reaksi (pribadi) terhadap gaya hidup,
praktik, atau perilaku tidak boleh mempengaruhi kemampuan perawat dalam member perawatan
kesehatan yang efektif, penuh kasih sayang, dan obyektif kepada semua individu.
Bayi baru lahir dapat bersama ibunya, tetapi tidak boleh disusui. Tindakan kewaspadaan
universal harus diterapkan, baaik untuk ibu maupun bayinya, sebagaimana yang dilakukan pada
semua pasien. Wanita dan bayinya dirujuk ke tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam
terapi AIDS dan kondisi terkait.

Manifestasi Klinis
Gejala dari infeksi akut HIV terjadi sekitar 50% kepada seseorang yang baru terinfeksi.
Gejala yang ditimbulkan adalah[6]:
 Demam
 Malaise
 Ruam Data Mayor
 Sakit Kepala
 Kehilangan Nafsu Makan
 Berkeringat Dingin
 Myalgia Data Minor
 Meningitis
Adapun gejala infeksi HIV kronis sebagai berikut[6]:
 Infeksi bakteri berulang
 Candidiasis di saluran bronkus, trachea, paru dan esophagus
 Herpes simpleks kronis
 Kaposi sarcoma (proliferasi vaskuler neoplastik ganas yang multi sentrik dan ditandai
dengan nodul-nodul kutan berwarna merah kebiruan, biasanya pada pada ekstremitas bawah
yang ukuran dan jumlahnya membesar dan menyebar ke daerah yang lebih proksimal)
 Pneumoncystis
 Wasting syndrome
Gejala infeksi HIV pada wanita hamil, uumnya sma dengan wanita tidak hamil atau
orang dewasa. infeksi HIV memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik dengan spectrum
yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-
gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala
AIDS rata-rata baru timbl 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala apapun. mereka merasa
sehat dan juga dari luar Nampak sehat-sehat saja. Namun orang yang terinfeksi HIV akan
menjadi pembawa dan penular HIV kepada orang lain.
Kelompok orang-orang HIV tanpa gejala dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tetapi tanpa gejala dan tes darahnya negatif. pada
tahap dini ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Waktu antara masuknya HIV disebut
window period yang memerlukan waktu antara 15 hari sampai 3 bulan setelah terinfeksi HIV.
2. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tanpa gejala tetapi tes darah positif. Keadaan tanpa
gejala ini dapat berlangsung lama sampai 5 tahun atau lebih.
CDC (Center for Disease Control, USA, 1986) menetapkan klasifikasi infeksi HIV pada
orang dewasa sebagai berikut:
 Kelompok I: infeksi akut
 Kelompok II: infeksi asimptomatik
 Kelompk III: Infeksi Limpadenopati Generalisata Persisten (LGP)
 Kelompok IV: penyakit-penyakit lain.

Pemeriksaan Diagnostik
`Tes-tes saat ini tidak membedakan antara antibody ibu/bayi, dan bayi dapat
menunjukkan tes negative pada usia 9 sampai 15 bulan. Penelitian mencoba mengembangkan
prosedur siap pakai yang tidak mahal untuk membedakan respons antibody bayi vs.ibu:
 Hitung darah lengkap (HDL) dan jumlah limfosit total: Bukan diagnostic pada bayi baru
lahir tetapi memberikan data dasar imunologis.
 EIA atau ELISA dan tes Western Blot: Mungkin positif, tetapi invalid
 Kultur HIV (dengan sel mononuclear darah perifer dan, bila tersedia, plasma).
 Tes reaksi rantai polymerase dengan leukosit darah perifer: Mendeteksi DNA viral pada
adanya kuantitas kecil dari sel mononuclear perifer terinfeksi.
 Antigen p24 serum atau plasma: peningkatan nilai kuantitatif dapat menjadi indikatif dari
kemajuan infeksi (mungkin tidak dapat dideteksi pada tahap sanagt awal infeksi HIV)
 Penentuan immunoglobulin G, M, dan A serum kualitatif (IgG, IgN, dan IgA): Bukan
diagnostic pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar imunoogis.
Diagnosis pada Bayi dan Anak
Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama periode
neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah pneumonia yang
disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan ifeksi HIV
adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral, diare kronis, atau hepatosplenomegali
(pembesaran hapar dan lien).
Karena antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan, maka tes ELISA dan
Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes ini berdasarkan ada
atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes paling spesifik untuk mengidentifikasi HIV
adalah PCR pada dua saat yang berlainan. DNA PCR pertama diambil saat bayi berusia 1 bulan
karena tes ini kurang sensitive selama periode satu bulan setelah lahir. CDC merekomendasikan
pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat bayi berusia empat bulan. Jika tes ini
negative, maka bayi terinfeksi HIV. Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan ASI, maka bayi
resiko tertular HIV sehingga tes PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan,
pemeiksaan ELISA bisa dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lain.
CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung
limfosit CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan berdasarkan derajat
imunosupresi (1, 2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C, E). Klasifikasi ini memungkinkan
adanya surveilans serta perawatan pasien yang lebih baik. Klasifikasi klinis dan imunologis ini
bersifat eksklusif,
sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu kategori, maka diklasifikasi ini tidak berubah
walaupun terjadi perbaikanstatus karena pemberian terapi atau factor lain
Menurut Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah
penularan HIV dari ibu ke anak dan anak, yaitu dengan mencegah jangan sampai wanita
terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS dicegah supaya tidak hamil, apabila
sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular pada bayi dan anaknya, namun bila ibu
dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan
keluarga.
Uji HIV pada Wanita Hamil
CDC telah merekomendasikan skrining rutin HIV secara suka rela pada ibu hamil sejak
tahun 2001. Banyak dokter telah mengadopsi kebijakan universal opt-out skrining HIV (yang
berarti bahwa pengujian adalah otomatis kecuali jika wanita secara khusus memilih untuk tidak
di uji) pada wanita hamil selama tes kehamilan rutin dan telah dieliminasi persyaratan untuk
konseling sebelum uji dilakukan dan persetujuan tertulis untuk tes HIV. Penelitian dianalisis oleh
Angkatan US Preventive Services Task mengungkapkan bahwa pada tahun 1995 tingkat tes HIV
di antara wanita hamil di Amerika Serikat adalah 41% 9 (dianjurkan dilakukan tes universal pada
tahun pertama kehamilan) dan meningkat menjadi 60% pada 1998. Pada tahun 2005, di negara
bagian dan provinsi Kanada yang telah menerapkan pengujian "opt-out", angka tes HIV di antara
perempuan hamil berkisar antara 71% sampai 98%, dibandingkan dengan 15% menjadi 83%
dalam keadaan dan provinsi yang memiliki Kebijakan “opt-in” yang membutuhkan seorang
wanita untuk secara khusus meminta tes HIV.
Identifikasi dini pada wanita hamil memungkinkan untuk pemberian pengobatan terapi
antiretroviral untuk mendukung kesehatan dan mengurangi risiko penularan bayinya. Tes HIV
direkomendasikan Tes HIV direkomendasikan untuk semua wanita hamil pada kunjungan
prenatal pertama. Tes HIV kedua, selama trimester ketiga sebelum 36 minggu kehamilan, juga
dianjurkan bagi wanita yang berisiko, tinggal di daerah prevalensi HIV tinggi, atau memiliki
tanda-tanda atau gejala yang konsisten dengan infeksi HIV akut
Jika seorang wanita yang berstatus HIV belum didokumentasikan ketika dia tiba saat persalinan
dan melahirkan, tes cepat HIV harus ditawarkan. Jika hasil tes awal positif, segera inisiasi ARV
profilaksis yang tepat intravena harus direkomendasikan tanpa menunggu konfirmasi hasil. Jika
wanita menolak pengujian, bayi baru lahir harus menerima pengujian cepat sesegera mungkin
setelah lahir sehingga profilaksis antiretroviral dapat ditawarkan jika terdapat indikasi[6].

Penatalaksanaan
A : Abstainel
B : Befailful
C : Condom
D : Drug
E : Education
Meskipun rekomendasi 2010 umumnya konsisten dengan panduan sebelumnya, mereka
mengakui dampak penting dariARV selama masa menyusui, dan merekomendasikan bahwa
otoritas nasional di setiap negarauntuk memutuskan praktik pemberian makan bayi, seperti
menyusui yaitu dengan intervensi ARVuntuk mengurangi transmisi atau menghindari menyusui,
harus dipromosikan dan didukung oleh layanan Kesehatan Ibu dan Anak mereka. Hal ini berbeda
dengan rekomendasi sebelumnya di mana petugas kesehatan diharapkan untuk memberikan
nasihat secara individual kepada semua ibu yang terinfeksi HIV tentang berbagai macam pilihan
pemberian makanan bayi, dan kemudian ibu-ibu dapat memilih cara untuk pemberian makanan
bayinya.
Dimana otoritas nasional mempromosikan pemberian ASI dan ARV, ibu yang diketahui
terinfeksi HIV sekarang direkomendasikan untuk menyusui bayi mereka setidaknya sampai usia
12 bulan. Rekomendasi bahwa makanan pengganti tidak boleh digunakan kecuali jikadapat
diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan aman (AFASS) .
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus yang ada
dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat yang bisa dipilih
untuk negara berkembang adalah Nevirapine, pada saat ibu saat persalinan diberikan 200mg
dosis tunggal, sedangka bayi bisa diberikan 2mg/kgBB/72 jam pertama setelah lahir dosis
tunggal. Obat lain yang bisa dipilih adalah AZT yang diberikan mulai kehamilan 36
minggu 2x300mg/hari dan 300mg setiap jam selama persalinan berlangsung .

Intervensi Terapetik Antiretrovirus


Terapi yang sekarang berlaku menghadapi masalah membidik berbagai harapan dalam
proses masuknya virus ke dalam sel dan replikasi virus, memanipulasi gen virus untuk
mengendalikan produksi protein virus, membangun kembali sistem imun, mengkombinasikan
terapi, dan mencegah resistensi obat. Dua pemeriksaan laboratorium, hitung sel T CD4+ dan
kadar RNA HIV serum, digunakan sebagai alat untuk memantau risiko perkembangan penyakit
dan menentukan waktu yang tepat untuk memulai atau memodifikasi regimen obat. Hitung sel T
CD4+ memberikan informasi mengenai status imunologik pasien yang sekarang, sedangkan
kadar RNA HIV serum (viral load) memperkirakan prognosis klinis (status hitung sel T CD4+
dalam waktu dekat). Hitung RNA HIV sebesar 20.000 salinan/ml (2x104) dianggap oleh banyak
pakar sebagai indikasi untuk memberikan terapi antiretrovirus berapa pun hasil hitung sel T
CD4+. Pengukuran serial kadar RNA HIV dan sel T CD4+ serum sangat bermanfaat untuk
mengetahui laju perkembangan penyakit, angka pergantian virus, hubungan antara
pengaktivasian sistem imun dan replikasi virus, dan saat terjadinya resistensi obat antiretrovirus
disebabkan oleh penurunan kadar RNA HIV.
Tujuan utama terapi antivirus adalah penekanan secara maksimum dan berkelanjutan
jumlah virus, pemulihan atau pemeliharaan (atau keduanya) fungsi imunologik, perbaikan
kualitas hidup, dan pengurangan morbiditas an mortalitas HIV.
Prinsip pengobatan untuk infeksi HIV
1. replikasi HIV yang berlangsung terus menerus menyebabkan sistem imun rusak dan
berkembang menjadi AIDS. Infeksi HIV selalu merugikan dan kesintasan jangka-panjang sejati
yang bebas dan disfungsi sistem imun sagat jarang terjadi.
2. Kadar RNA HIV dalam plasma menunjukkan besarnya replikasi HIV dan berkaitan dengan
laju destruksi limfosit T CD4+ untuk yang terinfeksi oleh HIV, perlu dilakukan pengukuran
periodik berkala kadar RNA HIV plasma dan hitung sel T CD4+ untuk menentukan factor risiko
perkembangan penyakit serta mengetahui saat yang tepat untuk memulali atau memodifikasi
regimen terapi antiretrovirus
3. Karena laju perkembangan penyakit berbeda diantara orang-orang yang terinfeksi HIV,
maka keputusan tentang pengobatan harus disesuaikan orang per orang berdasarkan tingkat
risiko yang ditunjukkan oleh kadar RNA HIV plasma dan hitung sel T CD4+.
4. Pemakaian terapi antiretrovirus kombinasi yang poten untuk menekan replikasi HIV
dibawah kadar yang dapat dideteksi oleh pemeriksaan-pemeriksaan RNA HIV plasma yang
sensitive akan membatasi kemungkinan munculnya varian-varian HIV resisten-penyakit. Karena
itu, tujuan terapi seyogyanya adalah penekanan replikasi HIV semaksimal yang dapat dicapai.
5. Cara paling efektif untuk menekan replikasi virus dalam jangka panjang lama dalah
pemberian secara simultan kombinasi obat-obat anti-HIV yang efektif yang belum pernah
diterima oleh pasien dan tidak memperlihatkan resistensi silang dengan obat antiretrovirus yang
pernag diterima oleh pasien.
6. Setiap obat antiretrovirus yang digunakan dalam regimen terapi kombinasi harus selalu
dipakai sesuai jadwal dan dosis yang optimal.
7. Jumlah dan mekanisme kerja obat-obat antiretrovirus efektif yang tersedia masih terbatas,
karena telah terbukti adanya resistensi-silang di antara obat-obat spesifik. Karena itu, setiap
perubahan dalam terapi antiretrovirus meningkatkan pembatasan-pembatasan terapetik di masa
mendatang.
8. Perempuan harus mendapat terapi antiretrovirus yang oprimal, tanpa memandang status
kehamilan.
9. Prinsip terapi antiretrovirus yang sama juga berlaku pada anak, remaja dan dewasa yang
terinfeksi HIV, walaupun terapi pada anak yang terinfeksi oleh HIV memerlukan pertimbangan
farmakologik, virologik, dan imunologik tersendiri.
10. Individu yang terdeteksi pada infeksi HIV akut harus diterapi dengan terapi antiretrovirus
kombinasi untuk menekan replikasi virus sampai ke kadar batas deteksi pemeriksaan –
pemeriksaan RNA HIV plasma sensitive.
11. Individu yang terinfeksi oleh HIV, walaupun dengan kadar virus yang dibawah batas yang
dapat dideteksi, harus terap dianggap menular. Dengan demikian, para pasien harus diberi
penyuluhan untuk menghindari perilaku seksual dan penyalahgunaan obat yang berkaitan dengan
penularan atau akuisisi HIV dan pathogen menular lainnya.
Catatan. NNRTI, nonnukleoside reverse-transcriptase inhibitor; NRTI, nukleoside reserve-
transcriptase inhibitor.
a
.Sebaiknya hanya digunakan pada wanita dengan jumlah sel CD4 > 250sel/mm3 jika
manfaatnya lebih banyak dari pada risiko yang berhubungan dengan hepatotoxicity.
b
.Didanosine dan stavudine sebaiknya tidak digunakan dalam kombinasi lainnya
Regimen Pengobatan yang Direkomendasikan dan Regimen yang Dihindari
Obat yang direkomendasikan yaitu zidovudine (ZDV) yang menjadi bagian dari beberapa
regimen untuk pengobatan wanita hamil, kecuali terdapat dokumentasi riwayat keparahan ZDV-
berhubungan dengan toksisitas atau resisten. Untuk wanita yang memiliki riwayat keracunan
ZDV atau resisten, regimen sebaiknya termasuk sedikitnya 1 obat antiretroviral yang melewati
plasenta untuk memberikan fetus preexposure prophylaxis. Obat antiretroviral lainnya yang
melewati plasenta manusia termasuk didanosine, lamivudine (3TC), tenofovir, nevirapine
(NVP), dan lopinavir. Beberapa dari inhibitor protease juga memiliki variabel yang sedikit ke
bagian plasenta.
Ketika memilih regimen yang sesuai untuk wanita hamil, kombinasi regimen antiretroviral terdiri
dari 3 obat yang direkomendasikan. Pada umumnya, prinsip pedoman pengobatan untuk wanita
yang tidak hamil sebaiknya benar-benar dipertimbangkan. Harus terdapat dua kekuatan inhibitor
nukleosida reverse-transkriptase dengan inhibitor nonnukleosida reverse-transkriptase atau
inhibitor pratease yang cocok (tabel 1). Efavirenz pada umumnya dihindari selamas trimester
pertama kehamilan karena menyangkut teratogenitas. NVP tidak direkomendasikan untuk wanita
dengan jumlah sel CD4 >250 sel/mm3 karena meningkatkan risiko terjadinya ruam dan
hepatotoksik. Tetapi jika si wanita telah toleransi terhadap NVP- terdiri dari regimen sebelumnya
saat kehamilan, regimen ini sebaiknya dilanjutkan selama kehamilan.
Kombinasi dari stavudine dan didanosine sebaiknya dihindari selama kehamilan karena
berpotensi menyebabkan toksisitas mitokondrial dan asidosis laktat. Pada umumnya, monoterapi
sebaiknya dihindari selama kehamilan karena berpotensi dalam menyebabkan perkembanagan
resistensi antiretroviral. Pengobatan ZDV intravena intrapartum direkomendasikan untuk semua
wanita yang terinfeksi HIV kecuali terdapat riwayat hipersensitif terhadap ZDV.
Yang paling utama, dan mungkin sangat penting, langkah dalam mencegah MTCT
merupakan uji umum HIV dari seemua wanita yang hamil untuk diidentifikasi mana yang
berisiko menularkan virus untuk janinnya. Di negara berkembang, terapi kombinasi antiretroviral
direkomendasikan selama masa kehamilan tanpa memperhatikan jumlah sel CD4 atau jumlah
virus untuk menurunkan risiko penularan HIV kepada fetus. Jadwal operasi caesar
direkomendasikan untuk wanita hamil dengan muatan plasma RNA HIV > 1000 kopi/ mL. Di
United States dan negara berkembang lainnya, hindarkan pemberian air susu direkomendasikan
untuk menurunkan lebih lanjut risiko penularan perinatal. Dari sumber- negara terbatas,
penelitian yang sederhana dan singkat dari regimen antiretroviral juga berperan dalam
mengurangi transmisi MTCT. Terapi yang optimal untuk infeksi maternal dalam kehamilan, dan
perawatan untuk janin akan sukses dengan pendekatan multidisiplin untuk merawat wanita hamil
yang terinfeksi HIV.
Keterangan untuk obat yang digunakan pada pasien HIV/AIDS:
3TC (nama dagang)
Lamivudine 150 mg
Indikasi: pengobatan HIV pada dewasa dengan progresive immunodefeciency dengan atau tanpa
pengobatan sebelumnya dengan antiretroviral, infeksi HIV pada anak-anak (umur 3 bulan)
dengan progresif immunodefeciency dengan atau tanpa pengobatan sebelumnya dengan retrovir
Norvir (nama dagang)
Ritonavir
Indikasi: monoterapi untuk infeksi HIV.
Kontra indikasi: Hipersensitifitas
Efek samping: astenia, gangguan GI dan neurologi, termasuk mual, muntah, diare, anoreksia,
nyeri abdomen, gangguan pengecapan, prestesis perifer dan sirkum oral
Dosis: kapsul/solid sehari 2 x 600mg
Reyataz (nama dagang)
Atazanavir sulfat
Indikasi: terapi untuk infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan obat antiretroviral lain.
Kontra indikasi: hipersensitifitas terhadapa atazanavir, kombinasi dengan midazolam,
dihiroergotamin, ergotamin, ergonovin, metilergonovin, cisapride, dan pimozid.
Efek samping: skit kepala, mual, ikterus, muntah, diare, nyeri abdomen, pusing, insomnia,
gangguan saraf perifer, ruam kulit.
Dosis: dewasa (pasien yang belum pernah mendapat terapi) sehari 1 x 400mg, dewasa (pasien
yang sudah pernah mendapat terapi) sehari 1 x 300mg, pasien ditambah dengan ritnovir sehari 1
x 100mg + efavirenz.
Pengobatan untuk ibu hamil dengan HIV salah satunya dapat menggunakan obat anti-
HIV dimana menurut penelitian dapat mencegah terjadinya transmisi virus HIV kepada janin
dengan cara penggunaan sebagai berikut:
 selama kehamilan setelah trimester pertama: dengan memberikan anti-HIV sedikitnya tiga
anti-HIV yang berbeda yang dikombinasikan (atripla).
 selama labor dan persalinan: diberikan AZT (zidovudine) IV, kemudaian diberikan anti-
HIV yang lain melalui mulut.
 setelah melahirkan: diberikan cairan AZT selama 6 minggu.

Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai saat hamil, saat
melahirkan, dan setelah lahir yaitu:
- Penggunaan antiretroviral selama kehamilan
- Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru dilahirkan
- Penatalaksanan selama menyusui
Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap virus tersebut
hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV ibu menembus
plasenta. Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya antibodi IgG ,erupakan
hal yang sia-sia, karena uji ini tidak dapat membedakan antibody bayi dari antibody ibu.
Sebagian besar dari bayi ini, seiring dengan waktu, akan berhenti memperlihatkan antibody ibu
dan juga tidak membentuk sendiri antibody terhadap virus, yang menunjukkan status seronegatif.
Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan
virus, antigen p24, atau analisis PCR untuk RNA atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji
virologik yang dianjurkan karena sensitive untuk mendiagnosis infeksi HIV selama masa
neonatus.
Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum diketahui pasti.
Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang tidak menyusui dan tidak
diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40% pada populasi serupa di negara-negara yang
sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi HIV pada bayi terjadi in utero
dan 80% terjadi selama persalinan dan pelahiran. Penularan pascapartus dapat terjadi melalui
kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan tambahan risiko 15% penularan perinatal.
Factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan mencakup penyakit ibu
yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+ yang rendah. Pada
tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) membuktikan
bahwa pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang terinfeksi HIV mengurangi
penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika Serikat, insiden
AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun 1992 sampai 1997 akibat uji
HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi zidovudin. Perempuan merupakan sekitar
20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat. Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika
dan keturunan Spanyol) lebih banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain
pemberian zidovudin oral kepada ibu positif HIV selama masa hamil, tindakan-tindakan lain
yang dianjurkan untuk mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak antaea lain:
1. seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka
penularan sebesar 50%);
2. pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;
3. pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;
4. tidak memberi ASI
Data menunjukkan bahwa perkembangan penyakit mengalami percapatan pada anak. Fase
asimptomatik lebih singkat pada anak yang terjangkit virus melalui penularan vertical. Waktu
median sampai awitan gejala lebih kecil pada anak, dan setelah gejala muncul.
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

a. Aktivitas/gejala
Gejala : mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola tidur
Tanda : kelemahan otot,menurunnya massa otot,respon fisiologi aktivitas ( perubahan
TD,frekuensi jantung dan pernafasan.
b. Sirkulasi
Gejala: penyembuhan yang lambat ( anemia),perdarahan lama pada cidera
Tanda : perubahan TD postural,menurunnya volume nadi
perifer,pucat/sianosis,[erpanjangan pengisian kapiler
c. Integritas/ego
Gejala : stress berhubungan dengan kehilangan, mengkuatirkan penampilan,mengingkari
diagnosa,putus asa dan sebagainya
Tanda : mengingkari cemas,depresi,takut ,menarik diri,marah
d. Eliminasi
Gejala :diare intermitten,terus menerus,sering dengan atau tanpa kram abdominal,nyeri
panggul ,rasa terbakar saat miksi
Tanda : feces encer,dengan atau tanpa mucus darah,diare pekat dan sering ,nyeri tekan
abdominal,nyeri atau abses rectal,parianal,perubahan jumlah,warna dan karakteristik
urine
e. Makanan/cairan
Gejala : anoreksia,mual,muntah,disfagia
Tanda : turgor kulit buruk,lesi rongga mulut,kesehatan gigi dan gusi yang buruk edema
f. Hygiene
Gejala : tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda : penampilan kurang rapi,kurang perawatan diri
g. Neurosensoro
Gejala :pusing,sakit kepala,perubahan status mental,kerusakan status mental,kerusakan
status indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan
Tanda : perubahan status mental,ide paranoid,ansietas,reflex tidak
normal,tremor,kejang,himeparesis,kejang
h. Nyeri/kenyamanan
Gejala :nyeri umum/local,rsa terbakar,sakit kepala,nyeri dada pleuritis.
Tanda : bengkak sendi,nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan gerak,pincang
i. Pernafasan
Gejala : ISK sering atau menetap,nafas pendek progresif,batuk,sesak pada dada
Tanda : takipnea ,distress pernafasan,perubahan bunyi naas,adanya sputum
j. Keamanan
Gejala : riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse darah,penyakit defisiensi
imun,demam berulang,berkeringat malam
Tanda : perubahan integritas kulit,luka parianal / abses,timbulnya nodul,pelebaran
kelenjar limfe,menurunnya kekuatan umum,tekanan umum.
k. Seksualitas
Gejala : riwayat berperilaku seks dengan resiko tinggi,menurunnya libidio,penggunaan
pil pencegah kehamilan
Tanda : kehamilan,herpesgenetalia
l. Ineraksi social
Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis ,isolasi, kesepian,adanya trauma AIDS
Tanda : perubahan interaksi

Anda mungkin juga menyukai