Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka
2.1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
2.2. Epidemiologi
Prevalensi diabetes, yang terutama disebabkan oleh diabetes tipe 2 (T2D), adalah
ancaman kesehatan masyarakat global. Prevalensi orang dewasa berusia 20-70 tahun
diperkirakan meningkat dari 285 juta di tahun 2010 menjadi 438 juta pada tahun 2030 [1].
Sementara T2D menimbulkan beban ekonomi yang besar bagi semua negara, negara-negara
berkembang menanggung beban tertinggi sejak lebih dari 80% kasus terjadi di negara-negara
ini. Prevalensi perkiraan diabetes dan toleransi glukosa terganggu (IGT) tinggi untuk semua
negara Asia dan diperkirakan akan meningkat lebih lanjut dalam dua dekade ke depan [1].
Tren saat ini menunjukkan bahwa lebih dari 60% populasi diabetes dunia akan berada di
Asia. Editorial ini bertujuan untuk menyoroti kecenderungan meningkatnya prevalensi
diabetes di Asia, faktor penyebabnya dan kebutuhan mendesak untuk menerapkan strategi
nasional untuk pencegahan primer T2D.
Dalam dua dekade terakhir, prevalensi di daerah perkotaan meningkat pesat di
sebagian besar negara, peningkatannya menjadi fenomenal di Nepal dan Cina. Prevalensi
nasional meningkat dua kali lipat atau lebih dalam satu dekade di banyak negara. Prevalensi
pedesaan telah meningkat pesat di India, Nepal dan China. India dan China memiliki populasi
pedesaan yang besar dan karenanya peningkatan prevalensi diabetes di daerah pedesaan telah
berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi diabetes nasional secara keseluruhan di
negara-negara ini.
Sekitar 32 juta orang Indonesia diperkirakan akan pindah dari daerah pedesaan ke
daerah perkotaan pada tahun 2030. Bukan suatu kebetulan bahwa kenaikan prevalensi
diabetes di Indonesia disertai oleh dua efek urbanisasi yang paling umum: perubahan asupan
makanan dan kurang olahraga. Hampir setengah dari makanan Indonesia terdiri dari nasi
putih. Akibatnya, beban glikemik tinggi. Individu khas di Indonesia mengkonsumsi lebih dari
dua kali lipat karbohidrat yang diperlukan untuk fungsi tubuh - dan asupan serat rendah -
kurang dari setengah dari kebutuhan akan pencernaan yang baik. Diabetes berkembang di
seluruh dunia, namun lebih banyak terjadi di negara-negara berkembang. Lebih dari separuh
pertumbuhan pasien baru akan datang dari negara-negara di luar Uni Eropa, Amerika Utara
dan Timur Jauh industri.
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO
memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar
pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009,
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009
menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi,
laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak
2-3 kali lipat pada tahun 2030.
Gambar 1. Peta Epidemiologi Diabetes
Jumlah penderita diabetes berkembang di Indonesia menurut International Diabetes
Federation diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia berada pada rentang 10
hingga 20 juta orang yang terdiagnosa. Indonesia adalah negara terpadat keempat dengan 242
juta orang dan di antara 10 negara teratas dalam jumlah penderita diabetes di dunia. Saat ini,
7,6 juta orang di Indonesia hidup dengan diabetes, sementara 12,6 juta lainnya memiliki
pradiabetes. Pada tahun 2030, jumlah penderita diabetes di Indonesia akan mencapai 11,8
juta4 - pertumbuhan tahunan 6% yang jauh melampaui keseluruhan pertumbuhan populasi di
negara ini.
Website of the International Diabetes Federation: IDF Diabetes Atlas Update. 2017,
[http://www.idf.org/diabetesatlas/previouseditions], Accessed 28.12.2017
Oberman R., et al. The archipelago economy: Unleashing Indonesia’s potential. McKinsey
Global Institute. McKinsey & Company. September 2012.
2.3. Etiologi
Beberapa penyebab dari resisten insulin dapat dilihat pada tabel berikut ini
2.4. Patofisiologi
Diabetes tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang terkait dengan
penghancuran sel beta pankreas yang memproduksi insulin secara selektif. Permulaan
penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel β yang mengarah ke diabetes
melitus tipe 1. Beberapa ciri ciri diabetes melitus tipe 1 sebagai penyakit autoimun:
1. Kehadiran sel-sel imuno-kompeten dan aksesori di pulau pankreas yang disusupi;
2. Asosiasi kerentanan terhadap penyakit dengan gen kelas II (respon imun) kompleks
histokompatibilitas utama (MHC; antigen antigen leukosit manusia HLA);
3. Kehadiran autoantibodi sel islet tertentu;
4. Perubahan imunisasi pada sel T dimediasi, khususnya di kompartemen sel CD4 +;
5. Keterlibatan sel monokin dan TH1 yang memproduksi interleukin dalam proses
penyakit;
6. Respon terhadap imunoterapi dan;
7. Sering terjadi penyakit autoimun spesifik organ lain pada individu yang terkena atau
pada anggota keluarga mereka.
2.5. Tatalaksana
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan
khusus.
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan (lihat tabel 4). Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk
mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara
yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan
hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.
4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.
1) Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
o Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
o Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
o Penghambat glukoneogenesis (metformin)
o Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
o DPP-IV inhibitor
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon
peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi
oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran
pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan
sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara
cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi
metabolit GLP-1-(9,36)amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang
ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional
dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat
dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4
(penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya
(analog incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu
menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin
serta menghambat penglepasan glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis
optimal
Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum
makan.
Meningkatkan berat
badan, pemberian
Meningkatkan BB naik,
Glinid 0,5-1,5% Sangat efektif 3x/hari, harganya
sekresi insulin hipoglikemia
mahal dan
hipoglikemia
Menekan
produksi
glukosa hati Efek samping
Dispepsia, Tidak ada
& gastrointestinal,
Metformin diare, asidosis 1,0-2,0% kaitan dengan
menambah kontraindikasi pada
laktat berat badan
sensitifitas insufisiensi renal
terhadap
insulin
Meningkatkan
DPP-4 sekresi insulin, Tidak ada Penggunaan jangka
menghambat Sebah, muntah 0,5-0,8% kaitan dengan panjang tidak
Inhibitor sekresi berat badan disarankan, mahal
glukagon
Meningkatkan Injeksi 2x/hari,
Inkretin sekresi insulin, penggunaan jangka
Penurunan
menghambat Sebah, muntah 0,5-1,0% panjang tidak
analog/mimeti k berat badan
sekresi disarankan, dan
glukagon mahal
2) Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai
perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia
ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan
dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat
penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis.
Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta
pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa
sebah dan muntah.
3) Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan
diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan
pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination
dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan
kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan
klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi
dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.
Wright AK, Kontopantelis E, Emsley R, Buchan I, Sattar N, Rutter MK, Ashcroft DM. Life
Expectancy and Cause-Specific Mortality in Type 2 Diabetes: A Population-Based Cohort
Study Quantifying Relationships in Ethnic Subgroups. Diabetes care. 2016.
Morgan CL, Currie CJ, Peters JR. Relationship between diabetes and mortality: a population
study using record linkage. Diabetes care. 2000 Aug 1;23(8):1103-7.