Anda di halaman 1dari 24

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Vitamin D

a. Definisi Vitamin D

Vitamin D merupakan vitamin larut lipid, bertindak sebagai hormon

pleiotropik pada sebagian besar jaringan manusia dengan mengatur homeostasis

mineral dan berbagai fungsi biologis lainnya, termaksud efek pada imunitas.

Status vitamin D tubuh ditentukan berdasarkan kadar 25(OH)D. Hal ini

disebabkan karena masa paruh 25(OH)D cukup panjang yaitu 2-3 minggu.

Disamping itu 25(OH)D mudah diperiksa dan memiliki kadar paling tinggi

diantara metabolit vitamin D lainnya serta memiliki korelasi yang kuat antara

keadaan defisiensi 25(OH)D dengan gejala klinis. Dengan kadar normal 25(OH)D

dalam tubuh 30-100 ng/mL, Kadar insufisiensi 25(OH)D 20-29,9 ng/mL, Kadar

defisiensi 25(OH)D <20 ng/mL.1

b. Sumber Vitamin D

Beberapa sumber vitamin D adalah paparan UVB sinar matahari, makanan

mengandung vitamin D, makanan difortifikasi vitamin D dan suplementasi

vitamin D. Sebagian besar vitamin D tubuh berasal dari paparan UVB sinar

matahari. Beberapa faktor yang menghambat paparan UVB sinar matahari adalah

kulit hitam (melanin tinggi), memakai pakaian yang menutup seluruh tubuh,

menggunakan pelindung matahari (sunscreen), dan tinggal di daerah geografis >

35’ Lintang Utara atau Lintang Selatan.2

Universitas Lambung Mangkurat


3

Makanan yang mengandung vitamin D tidak banyak, beberapa diantaranya adalah

kuning telur, ikan salmon atau tuna, dan susu sapi. Cara memasak makanan

mempengaruhi kandungan vitamin D. Ikan yang digoreng menurunkan kadar

vitamin D hingga 50%, sedangkan ikan yang dibakar tidak mengurangi

kandungan vitamin D.4,5

Tabel 1. Sumber makanan dengan kadar vitamin D yang tinggi

c Metabolisme Vitamin D

Vitamin D memiliki 2 bentuk yaitu vitamin D2 (elgocalciferol) dan vitamin

D3 (cholecalciferol). Vitamin D2 bersumber dari bahan nabati (tumbuh-

tumbuhan), sedangkan vitamin D3 bersumber dari bahan hewani seperti ikan,

kuning telur, dan sebagainya. Selain bersumber dari bahan hewani, vitamin D3

Universitas Lambung Mangkurat


4

diproduksi oleh tubuh sendiri melalui paparan sinar ultraviolet B (UVB) yang

memiliki panjang gelombang 290-320 nm, yang berasal dari sinar matahari dan 7-

dehydrocholesterol di kulit. Paparan sinar matahari yang berlebihan tidak akan

menyebabkan produksi vitamin D juga berlebihan. Hal ini disebabkan karena

vitamin D3 yang terbentuk dengan cepat akan diubah menjadi tachysterol dan

lumisterol yang tidak aktif. Mekanisme inilah yang mencegah intoksikasi vitamin

D akibat paparan sinar matahari berlebihan.3

Gambar 1. Metabolisme Vitamin D

Vitamin D yang diproduksi dikulit (vitamin D3) maupun vitamin D yang

berasal dari makanan atau suplementasi (vitamin D2 dan D3) berikatan dengan

vitamin D binding protein (DBP) dan dibawa ke hepar untuk dihidroksilasi

menjadi 25-hydroxivitamin-D [25(OH)-D], lalu beredar dalam sirkulasi darah.

Masa paruh 25 (OH)-D yang disebut juga calcidiol cukup panjang yaitu 2-3

Universitas Lambung Mangkurat


5

minggu sehingga sering digunakan sebagai indikator status vitamin D dalam

tubuh. Di ginjal, 25 (OH)-D dihidroksilasi oleh enzim l-a-hydroxylase menjadi

1,25-dihydroxyvitamin-D [1,25(OH)2-D] yang merupakan bentuk aktif vitamin D

yang disebut calcitriol. Bentuk aktif vitamin D ini bekerja pada intestinal

meningkatkan penyerapan kalsium, pada tulang meningatkan proses mobilisasi

tulang, dan pada kelenjar paratiroid menekan produksi hormon paratiroid.1,2

d. Defisiensi Vitamin D

Penyebab defisiensi vitamin D dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu

defisiensi yang berhubungan dengan paparan UVB dan defisiensi yang

berhubungan dengan kondisi medis/fisik.

1. Defisiensi Vitamin D Berhubungan dengan Paparan UVB 1

- Usia tua. Pada usia tua, kadar 7-dehydrocholesterol di kulit menurun,

morbilitas menurun sehingga paparan UVB menurun.

- Kulit gelap. Pada populasi berkulit gelap kadar melanin kulit sangat

tinggi sehingga akan menghambat paparan UVB untuk mensintesis

vitamin D3. Populasi berkulit gelap membutuhkan paparan UVB 10-

50 kali lebih lama dibandingkan populasi berkulit putih untuk

menghasilkan vitamin D3 yang sama.

- Musim dan letak gegrafis. Pada musim dingin dan pada daerah yang

terletak pada lintang utara dan lintang selatan lapisan ozone relatif

lebih tebal sehingga paparan UVB tidak cukup untuk memproduksi

vitamin D.

Universitas Lambung Mangkurat


6

- Penggunaan pelindung matahari (sunscreen). Pelindung matahari

(sunscreen) sangat efektif menyerap UVB sehingga dapat menurunkan

sintesis vitamin D3 hingga 99%. Selain itu penggunaan pakaian yang

menutupi seluruh bagian tubuh juga menghambat sintesis vitamin D.

2. Defisiensi Vitamin D Berhubungan dengan kondisi medis/fisik 1

- Malabsorbsi lemak. Penyerapan vitamin D memerlukan lemak.

Apabila terjadi gangguan penyerapan lemak, maka penyerapan vitamin

D juga terganggu.

- Penggunaan obat-obatan. Penggunaan obat anti konvulsi jangka

panjang seperti fenobarbital, fenitoin dan karbamazepin, obat

antimikroba seperti rifampisin dan obat anti retroviral dapat

menyebabkan osteomalacia akibat defisiensi vitamin D.

- Asupan vitamin D rendah. Pada keadaan tertentu asuan makanan

sumber vitamin D atau susu yang difortifikasi vitamin D tidak adekuat

dan menyebabkan defisiensi vitamin D.

B. Kejang Demam

a. Definisi Kejang Demam

Universitas Lambung Mangkurat


7

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh

(suhu rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium 7.

Kejang demam ini terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6 bulan – 5 tahun 8. Anak

yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali

tidak termasuk dalam kejang demam10. Kejang demam harus dibedakan dengan

epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam9. Anak yang

pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak

termasuk dalam kejang demam7. Kejang disertai demam pada bayi berumur

kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam 10. Bila anak berumur

kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahuluidemam,

kemungkinan lain harus dipertimbangkan misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang

kebetulan terjadi bersama demam10. Definisi ini menyingkirkan kejang yang

disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang

pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena

keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat9.

b. Etiologi

Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi

saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi

saluran kemih.8

c. Faktor Resiko

Universitas Lambung Mangkurat


8

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam 8. Ada

riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua,
7,9
menunjukkan kecenderungan genetik . Selain itu terdapat faktor perkembangan

terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar

natrium rendah, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul,

temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat

keluarga epilepsi7,9.

Faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari yaitu adanya gangguan

neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam keluarga,

lamanya demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang demam kompleks7.

d. Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan

suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak

yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen

disediakan dengan perantaraan fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak melalui

kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses

oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air . Sel dikelilingi oleh suatu membran yang

terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik.

Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion

kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na +) dan elektrolit lainnya,

kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan

konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.

Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat

Universitas Lambung Mangkurat


9

perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk

menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan

enzim Na – K – ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan

potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya: 9

a) Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.

b) b.Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau

aliran listrik dari sekitarnya.

c) Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau

keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan

metabolisme basal 10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %.

Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh

tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan

suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel

neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium

melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas

muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel

maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut

neurotransmitter dan terjadilah kejang 9.

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi

rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang

telah terjadi pada suhu 38o C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang

tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah

Universitas Lambung Mangkurat


10

disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang

kejang yang rendah, sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada

tingkat suhu berapa penderita kejang(6). Penelitian binatang menunjukkan bahwa

vasopresin arginin dapat merupakan mediator penting pada patogenesis kejang

akibat hipertermia.11

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa

pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian

reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat

habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP

terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan

menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf

meningkat.11
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung,

otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan

kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang

yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia

sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan

mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak. 11


Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut 11:
- Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum

matang/immatur.
- Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan

gangguan permiabilitas membran sel.


- Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2

yang akan merusak neuron.

Universitas Lambung Mangkurat


11

- Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan

kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan aliran ion-ion

keluar masuk sel.


-

Gambar 2. Mekanisme terjadinya kejang demam

e. Klasifikasi

1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya

akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa

Universitas Lambung Mangkurat


12

gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam7. Kejang demam

sederhana merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam. Suhu yang tinggi

merupakan keharusan pada kejang demam sederhana, kejang timbul bukan oleh

infeksi sendiri, akan tetapi oleh kenaikan suhu yang tinggi akibat infeksi di tempat

lain, misalnya pada radang telinga tengah yang akut, dan sebagainya. Bila dalam

riwayat penderita pada umur – umur sebelumnya terdapat periode - periode

dimana anak menderita suhu yangsangat tinggi akan tetapi tidak mengalami

kejang; maka pada kejang yang terjadi kemudian harus berhati – hati, mungkin

kejang yang ini ada penyebabnya(8). Pada kejang demam yang sederhana kejang

biasanya timbul ketika suhu sedang meningkat dengan mendadak, sehingga

seringkali orang tua tidak mengetahui sebelumnya bahwa anak menderita demam.

Agaknya kenaikan suhu yang tiba – tiba merupakan faktor yang penting untuk

menimbulkan kejang(8). Kejang pada kejang demam sederhana selalu berbentuk

umum, biasanya bersifat tonik – klonik seperti kejang grand mal; kadang –

kadang hanya kaku umum atau mata mendelik seketika. Kejang dapat juga

berulang, tapi sebentar saja, dan masih dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu,

umumnya pada kenaikan suhu yang mendadak, dalam hal ini juga kejang

demamsederhana masih mungkin.8

2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)

Kejang dengan salah satu ciri berikut :

 Kejang lama lebih dari 15 menit.

Universitas Lambung Mangkurat


13

 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang

parsial.

 Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam(7).

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang

berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang

lama terjadi pada 8 % kejangn demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu

sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah

kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar.

Kejang berulang terjadi pada 16 % diantara anak yang mengalami kejang demam.8

f. Manifestasi Klinik

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan

dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dengan cepat yang disebabkan oleh

infeksi susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media kut, bronkitis,

furunkulosis. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu

demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik,

fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti

anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik

atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf 12.

Livingston (1954, 1963) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2

golongan, yaitu:

1. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)

2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever).

Modifikasi kriteria Livingston 12:

Universitas Lambung Mangkurat


14

1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.

2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.

3. Kejang bersifat umum.

4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.

5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.

6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal

tidak menunjukkan kelainan.

7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.

Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria

modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh

demam.12

Gambar 3. Fase kejang

g. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,

tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau

keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan

Universitas Lambung Mangkurat


15

laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula

darah. 10

2. Pungsi lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis

adalah 0,6 % - 6,7 %.Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau

menyingkirkan diagnosis meningitiskarena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh

karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada :10

 Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.

 Bayi antara 12 – 18 bulan dianjurkan.

 Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara

klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

3. Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya

kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang

demam. Oleh karenanya,tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat

dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam

kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.10

4. Pencitraan

Foto X – ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT –

scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin

dan hanya atas indikasi seperti :10

 Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)

Universitas Lambung Mangkurat


16

 Paresis nervus VI

 Papiledema

h. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Saat Kejang 9

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang

kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling

cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara

intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3 – 0,5 mg/kgBB perlahan – lahan

dengan kecepatan 1 – 2 mg/menit atau dalam waktu 3 – 5 menit,dengan dosis

maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di

rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5 – 0,75 mg/kgBB

atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan

10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5

mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3

tahun. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat

diulang lagi dengan caradan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.Bila

setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah

sakit. Dirumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 – 0,5

mg/kgBB. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena

dengan dosis awal 10 – 20mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau

kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 – 8

mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.Bila dengan fenitoin kejang

belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.Bila kejang

Universitas Lambung Mangkurat


17

telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang

demamapakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.

2. Pemberian Obat Pada Saat Demam 9



Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko

terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik

tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15

mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5

– 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat

menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga

penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan.



Antikonvulsan

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam

menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus, begitu pula

dengan diazepam rektal dosis 0,5mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5 o C.

Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkanataksia, iritabel dan sedasi yang

cukup berat pada 25 % - 39 % kasus. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin

pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejangdemam.



Pemberian Obat Rumat 9

a. Indikasi pemberian obat rumat

Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri

sebagai berikut (salahsatu) :

1. Kejang lama > 15 menit.

Universitas Lambung Mangkurat


18

2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,

misalnya hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retardasi mental,

hidrosefalus.

3. Kejang fokal.

4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :

 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.

 Kejang demam > 4 kali per tahun.

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan

indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya

keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakanindikasi pengobatan rumat.

Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai

fokus organik.

b. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam

menurunkan resiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang

demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping,

maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dandalam jangka

pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku

dan kesulitan belajar pada 40 % - 50 % kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam

valproat. Pada sebagian kecil kasus,terutama yang berumur kurang dari 2 tahun

asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsihati. Dosis asam valproat 15 –

Universitas Lambung Mangkurat


19

40 mg/kgBB/hari dalam 2 – 3 dosis, dan fenobarbital 3 – 4mg/kgBB/hari dalam 1

– 2 dosis. 9

C. Peran Vitamin D pada Kejang Demam

a. Defisiensi Vitamin D pada Penggunaan obat Antikonvulsan/Antiepilepsi

Penatalaksanaan kejang demam menggunakan obat-obatan antikonvulsan yang

sama dengan pengobatan epilepsi. Contohnya obat golongan karbamazepine dan

phenobarbital. Sedangkan obat-obatan ini memberikan efek samping salah

satunya terhadap kadar vitamin D serum.13

Pengobatan epilepsi dengan obat antiepilepsi (OAE) merupakan pengobatan

jangka panjang dan seringkali melibatkan beberapa obat sehingga kita harus

memperhatikan efek samping dari masing-masing OAE. Salah satu efek samping

yang menjadi perhatian para klinisi akhir-akhir ini adalah defisiensi vitamin D.

Banyak sekali peran vitamin D bagi kesehatan manusia, terutama dalam

pengaturan metabolisme kalsium dan tulang. Defisiensi vitamin D selain berkaitan

dengan permasalahan tulang, juga meningkatkan risiko berbagai penyakit seperti

kanker, penyakit autoimun, hipertensi, dan penyakit infeksi.13

Prevalensi defisiensi vitamin D pada anak semakin meningkat setiap tahunnya,

jumlah ini semakin meningkat pada penderita epilepsi. Data dari Korea, sekitar

61,5 % anak dengan epilepsi akan mengalami defisiensi vitamin D, serupa dengan

penelitian dari Swiss dengan prevalensi defisiensi vitamin D 55% pada anak

epilepsi yang mengonsumsi obat antiepilepsi. Di Indonesia, penelitian mengenai

efek defisiensi vitamin D akibat penggunaan obat antiepilepsi pada anak masih

jarang dilakukan.13

Universitas Lambung Mangkurat


20

Penggunaan obat antiepilepsi menyebabkan defisiensi vitamin D, salah

satunya melalui induksi sitokrom P450 yang menyebabkan katabolisme vitamin

D. Banyak OAE adalah induser metabolisme CYP450 hati. Telah dipostulasikan

bahwa OAE ini menghasilkan peningkatan metabolisme hepatik vitamin D, yang

menyebabkan pengrusakan mineral tulang secara abnormall. Namun, OAE non-

enzim (misalnya asam valproik) juga dikaitkan dengan kesehatan tulang yang

buruk. Oleh karena itu, walaupun OAE yang lebih baru (misalnya lamotrigin,

levetiracetam, oxcarbazepine) adalah induser enzim yang kurang kuat daripada

karbamazepin atau fenitoin, mereka tidak harus inert dalam metabolisme tulang.14

Kejadian defisiensi vitamin D pada pasien epilepsi anak bervariasi antara 4%

sampai 75%. Penelitian yang dilakukan Fong dan Riney pada pasien epilepsi anak

yang mengonsumsi obat antiepilepsi selama >2 tahun didapatkan angka kejadian

defisiensi vitamin D 22%. Penelitian Karaoglu dkk pada 40 pasien anak

denganepilepsi refrakter mempunyai angka kejadian defisiensi vitamin D yang

tinggi, yaitu 62,5%. Angka kejadian defisiensi vitamin D yang bervariasi ini

disebabkan oleh beberapa faktor, seperti nilai cut-off defisiensi yang berbeda-

beda, kondisi geografis negara yang berhubungan dengan paparan sinar matahari,

maupun kriteria inklusi yang berbeda.14

Beberapa penelitian melaporkan bahwa penggunaan obat antiepilepsi yang

lama akan berpengaruh terhadap penurunan kadar vitamin D pada pasien epilepsi.

Penelitian di India oleh Patil dan Rai merupakan salah satu penelitian yang

mendukung pernyataan tersebut. Pada penelitian mereka disebutkan bahwa pada

Universitas Lambung Mangkurat


21

anak penderita epilepsi usia 2-16 tahun, semakin lama mengonsumsi obat

antiepilepsi akan semakin meningkat pula angka kejadian defisiensi vitamin D.

Pada penelitian di poliklinik anak RSUD Dr.Moewardi, kadar 25(OH)D berbeda

secara bermakna antara kelompok yang mengonsumsi obat selama <2 tahun

dengan kelompok yang mengonsumsi obat selama ≥2 tahun.13

b. Kejang yang Disebabkan Defisiensi Vitamin D

Selain menjadi gejala utama epilepsi, kejang bisa menjadi akibat dari banyak

kondisi sementara yang menyebabkan eksitasi neuronal, seperti demam, gangguan

elektrolit, infeksi pada sistem saraf pusat, pendarahan, iskemia, dan trauma

kepala. Hipokalsemia adalah salah satu gangguan elektrolit yang bisa

menyebabkan kejang.15

Memiliki konsentrasi kalsium terionisasi ekstraseluler yang stabil sangat

penting untuk fungsi sel otak normal, dan vitamin D dan hormon paratiroid (PTH)

memainkan peran sentral dalam mempertahankan konsentrasi kalsium terionisasi

ekstraselular yang stabil.15

Kekurangan vitamin D terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang

lazim di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Memiliki kekurangan

vitamin D menurunkan penyerapan kalsium dari usus dan bisa menyebabkan

hypocalcemia. Hipokalsemia akibat defisiensi vitamin D paling banyak terjadi

pada periode pertumbuhan yang cepat, seperti pada masa bayi dan remaja.

Defisiensi vitamin D nutrisi dapat menyebabkan kejang pada anak-anak yang

tidak dalam periode pertumbuhan bayi dan remaja yang cepat.15

Universitas Lambung Mangkurat


22

Kekurangan vitamin D menurunkan penyerapan kalsium di usus. Dalam

kondisi kekurangan vitamin D, kadar kalsium terionisasi rendah merangsang

sekresi PTH, yang meningkatkan pelepasan kalsium dan fosfor dari tulang untuk

mempertahankan kadar normal kalsium serum. Tingkat PTH yang lebih tinggi

meningkatkan reabsorpsi kalsium pada tubulus ginjal dan juga menyebabkan

hilangnya fosfor dalam urin. Oleh karena itu, penurunan kadar fosfor dan kalsium

mengakibatkan mineralisasi tulang berkurang.15

Kejang hipokalsemik, tetani, dan laringospasme adalah komplikasi rakhitis

gizi yang paling parah. Schnadower dkk. melaporkan bahwa fraktur femoral

bilateral sekunder terjadi setelah kejang hipokalsemik pada remaja dengan

defisiensi vitamin D. Hoecker dkk. juga melaporkan bahwa hipokalsemia parah

pada bayi dengan defisiensi vitamin D mungkin mengakibatkan ambang kejang

yang berkurang dan membuatnya mengalami banyak kekambuhan selama

penyakit demam.15

Kelainan elektrolit, seperti hipokalsemia, harus dipertimbangkan saat

menyelidiki kejang pertama pada anak-anak non-epilepsi, terutama pada pasien

dengan iritabilitas berkepanjangan dan peningkatan tonus otot. Diagnosis banding

hipokalsemia meliputi defisiensi vitamin D, hipomagnesemia, rakhitis

hipofosfatemik, rakhitis berbasis vitamin D, malabsorpsi, dan gagal ginjal dan

hati. Diagnosis defisiensi vitamin D nutrisi dibuat bila kadar kalsium rendah

disertai dengan peningkatan alkalin fosfatase, peningkatan PTH, dan penurunan

kadar vitamin D.15

c. Pemberian Vitamin D pada Kejang

Universitas Lambung Mangkurat


23

Derajat kecil hipokalsemia dan hipomagnesemia diketahui terjadi pada

penderita epilepsi pada terapi antikonvulsan. Sebagai penurun konsentrasi ion-ion

ini dalam cairan ekstraselular cenderung meningkatkan iritabilitas neuromuskular.

Perubahan biokimia ini adalah bagian dari keadaan osteomalasia pada pasien

tersebut, dan karena dosis kecil vitamin D dapat meningkatkan kandungan mineral

tulang.16

Pada penelitian yang dilakukan Clauss et al frekuensi kejang epilepsi diamati

pada percobaan terapeutik terkontrol pada 23 pasien rawat inap epilepsi sebelum

dan sesudah pengobatan dengan vitamin D, atau plasebo, selain obat

antikonvulsan. Jumlah kejang berkurang selama pengobatan dengan vitamin D,

namun tidak dengan plasebo. Efeknya tidak terkait dengan perubahan kalsium

serum atau magnesium. Hasilnya dapat mendukung konsep bahwa penderita

epilepsi harus diobati secara profilaksis dengan vitamin D.16

Selain itu, sebuah studi percontohan kecil yang menyelidiki kekurangan

vitamin D dan kontrol kejang pada epilepsi menemukan bahwa pemberian vitamin

D3 pada pasien dengan epilepsi farmakoresisten, dan dengan kadar 25 (OH) D

rendah (<30 ng / ml), menghasilkan pengurangan kejadian kejang sejumlah 40%.

Penelitian pada hewan juga mendukung efek antikonvulsan untuk vitamin D,

karena pemberian kolekalsiferol meningkatkan efek antikonvulsan obat

antiepilepsi konvensional, dan peningkatan tingkat kejadian kejang terjadi pada

tikus yang lumpuhkan reseptor vitamin D-nya.16

d. Peran Vitamin D terhadap Sistem Saraf Pusat

Universitas Lambung Mangkurat


24

Vitamin D terbentuk di sel epitel manusia melalui sintesis fotokimia dan juga

didapat dari sumber makanan. Efek klasik yang disebut vitamin ini melibatkan

regulasi homeostasis kalsium dan metabolisme tulang. Terlepas dari ini, efek

vitamin D non-klasik baru-baru ini mendapat perhatian baru. Satu hal yang

penting namun sedikit diketahui dari banyak fungsi vitamin D adalah regulasi

pengembangan dan fungsi sistem saraf. Efek neuroprotektif vitamin D dikaitkan

dengan pengaruhnya terhadap produksi dan pelepasan neurotropin, sintesis

neuromediator, homeostasis kalsium intraselular, dan pencegahan kerusakan

oksidatif pada jaringan saraf. Studi klinis menunjukkan bahwa defisiensi vitamin

D dapat menyebabkan peningkatan risiko penyakit pada sistem saraf pusat

(SSP).17

Ada bukti yang menunjukkan peran vitamin D dalam mengatur perkembangan

dan fungsi sel saraf dan potensi konsekuensi kekurangan vitamin D dalam hal

ini.Keterlibatan vitamin D dalam fungsi sistem saraf pusat didukung oleh adanya

enzim 25 (OH) D3-1a-hydroxylase, bertanggung jawab atas pembentukan bentuk

aktif vitamin D, serta adanya reseptor vitamin D di otak, terutama di hipotalamus

dan neuron dopaminergik dari substantia nigra. Vitamin D diyakini memainkan

peran serupa dengan neurosteroid. Karena interaksinya dengan reseptor MARRS,

bentuk hormonal vitamin D mempengaruhi berbagai jalur metabolisme

intraselular. Selain itu, enzim 1a-hidroksilase dan VDR nukleus juga terdapat di

mikroglia, yaitu sel-sel nonneuronal dari sistem saraf pusat (SSP). Ini

menunjukkan efek autokrin dan parakrin untuk calcitriol pada sel saraf. Peran

neuroprotektif vitamin D3 melibatkan sintesis protein yang mengikat ion kalsium

Universitas Lambung Mangkurat


25

(Ca2 +) (misalnya parvoalbumin) dan dengan demikian mempertahankan

homeostasis kalsium seluler, yang sangat penting untuk fungsi sel otak.17

Universitas Lambung Mangkurat

Anda mungkin juga menyukai