Anda di halaman 1dari 17

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung

Gambar 1. Anatomi Jantung

Gambar 2. (a) dan (b) Sistem Sirkulasi

10
11

3.2 Definisi
Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan oleh suatu
kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh pada tekanan pengisian yang normal, meskipun aliran balik
vena (venous return) ke jantung dalam keadaan normal (Sonnenblik 1989;
Prabowo & Priyatini, 2010). Sindrom klinis ini bisa disebabkan oleh karena
perubahan struktur dan atau fungsi dari jantung oleh karena penyakit jantung
bawaan maupun didapat. (Fauci, et al., 2008)

3.3 Etiologi
Secara umum penyebab reversible dari gagal jantung antara lain: aritmia
(misalnya: atrial fibrillation), emboli paru-paru (pulmonary embolism), hipertensi
maligna atau accelerated, penyakit tiroid (hipotiroidisme atau hipertiroidisme),
valvular heart disease, unstable angina, high output failure, gagal ginjal,
permasalahan yang ditimbulkan oleh pengobatan (medication-induced problems),
intake (asupan) garam yang tinggi, dan anemia berat. Secara epidemiologi, di
Negara maju penyebab terbanyak yaitu penyakit arteri koroner 60-75% dan
hipertensi 75%, sedangkan di Negara berkembang adalah penyakit katup jantung
10% dan penyakit jantung akibat malnutrisi.
Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat
diklasifikasikan dalam enam kategori utama:
1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan
oleh hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left
bundle branch block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).
2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).
3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.
4. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).
5. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard
(tamponade).
6. Kelainan kongenital jantung.
• Faktor Predisposisi
Hipertensi, penyakit arteri koroner, kardiomiopati, penyakit pembuluh darah,
penyakit jantung kongenital, stenosis mitral, dan penyakit perikardial.
12

• Faktor Pencetus
Faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan (intake)
garam, ketidak patuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak
miokard akut, hipertensi, aritmia akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia,
tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif (Prasetyanto H, 2010).

3.4 Patogenesis
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinik yang kompleks akibat kelainan
struktural dan fungsional jantung yang mengganggu kemampuan pengisian atau
pengeluaran darah pada ventrikel.
Pada kebanyakan pasien dengan gagal jantung, disfungsi sistolik dan
disfungsi diastolik ditemukan bersama. Pada disfungsi sistolik, kekuatan kontraksi
ventrikel kiri terganggu sehingga ejeksi darah berkurang, menyebabkan curah
jantung berkurang. Pada disfungsi diastolik, relaksasi dinding ventrikel terganggu
sehingga pengisian darah berkurang, menyebabkan curah jantung berkurang.
Berkurangnya curah jantung inilah yang menimbulkan gejala-gejala gagal
jantung, sebagai akibat langsung dan/atau kompensasinya. Disfungsi sistolik
biasanya terjadi akibat infrak miokard yang menyebabkan kematian sebagian sel
otot jantung, sedangkan disfungsi diastolik biasanya terjadi akibat hipertensi yang
menyebabkan kompensasi miokard berupa hipertrofi dan kekakuan dinding
ventrikel. Sel miokard yang mati pada infrak miokard diganti dengan jaringan
ikat, dan pada sel miokard yang tinggal (jumlahnya telah berkurang) terjadi
hipertrofi sebagai mekanisme kompensasi.
Kompensasi pada gagal jantung sistolik terjadi melalui 2 mekanisme utama,
yaitu sistem simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA). Aktivitas
sistem simpatis terjadi sebagai reaksi terhadap penurunan curah jantung yang
dipersepsi oleh baroreseptor. Peningkatan aktivitas simpatis menyebabkan
peningkatan kontraksi otot jantung dan frekuensi denyut jantung melalui stimulasi
reseptor adrenergik ß1 di jantung. Akibatnya terjadi peningkatan curah jantung
sebagai kompensasi terhadap penurunan curah jantung pada gagal jantung sistolik.
Aktivitas sistem RAA di mulai dengan sekresi renin oleh sel jukstaglomerular di
ginjal melalui stimulus reseptor adrenergik ß1 dan sebagai reaksi terhadap
berkurangya perfusi ke ginjal. Sekresi renin akan menghasilkan angiotensin 2
13

yang memiliki dua efek utama yaitu sebagai vasokonstriktor kuat dan sebagai
perangsang produksi aldosteron di korteks adrenal. Efek vasokonstriksi dan
aktivitas simpatis dan Ang II akan meningkatkan preload dan afterload jantung,
dan aldostreon menyebabkan retensi air dan natrium yang akan menambah
penigkatan preload jantung. Tekanan pengisian ventrikel (preload) yang
meningkat akan meningkatkan curah jantung (menurut hubungan Frank-Starling)
sebagai mekanisme kompensasi.
Akan tetapi mekanisme kompensasi ini tidak berjalan lama, karena dengan
berjalannya waktu, mekanisme kompensasi tersebut justru memperburuk
disfungsi miokard. Dengan tujuan untuk tetap meningkatkan curah jantung yang
kurang, terjadilah perubahan maladaptasi berupa hipertrofi dinding ventrikel
untuk meningkatkan kontraktilitas miokard dan ekspansi volume ventrikel untuk
meningkatkan tekanan dinding ventrikel sehingga meningkatkan kontraktilitas
miokard. Akan tetapi perubahan maladaptasi tersebut, terutama peningkatan
dinding ventrikel yang berlebih akan menyebabkan apoptosis sel jantung dan
proliferasi jaringan ikat sehingga kontraktilitas miokard akan menurun. Proses
yang menghasilkan perubahan maladaptaasi dalam struktur dan fungsi jantung ini
disebut proses remodeling jantung. Selain itu melalui peningkatan stres
hemodinamik pada ventrikel, aktivasi sitem neurohormonal endogen sendiri
maupun bersama-sama memiliki, juga memiliki efek toksik langsung pada sel
jantung untuk terjadinya remodeling jantung dengan menstimulasi terjadinya
apoptosis dan fibrosis miokard.
Proses remodeling jantung merupakan proses yang progresif, sehingga akan
berjalan terus tanpa perlu adanya kerusakan berulang pada jantung. Proses
remodeling jantung yang progresif ini menyebabkan kontraktilitas miokard akan
makin menurun, sehingga curah jantung akan makin menurun. Disamping itu
peningakatan after load juga akan menurunkan curah jantung akibatnya terjadi
gagal jantung (Setiawati A dan Nafrialdi, 2007).
Gagal jantung kiri lebih sering disebabkan oleh penyakit jantung iskemik,
hipertensi, penyakit katup mitral dan aorta, serta penyakit miokardial non-
iskemik. Efek morfologis dan klinis gagal jantung kiri merupakan akibat dari
14

aliran balik darah ke sirkulasi paru yang progresif dan akibat dari berkurangnya
aliran dan tekanan darah perifer.
Gagal jantung kanan yang terjadi tanpa didahului gagal jantung kiri muncul
pada beberapa penyakit. Biasanya gagal jantung kanan merupakan konsekuensi
sekunder gagal jantung kiri akibat peningkatan tekanan sirkulasi paru pada gagal
jantung kiri. Gagal jantung kanan murni, paling sering muncul bersama hipertensi
pulmoner berat kronik. Pada keadaan ini ventrikel kanan terbebani oleh beban
kerja tekanan akibat peningkatan resistensi sirkulasi paru. Hipertrofi dan dilatasi
secara umum terbatas pada ventrikel dan atrium kanan, walaupun penonjolan
septum ventrikel kiri dapat menyebabkan disfungsi ventrikel kiri. (Manurung,
2006)

3.5 Diagnosa
3.5.1 Gejala dan Tanda Klinik
Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA)
atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya (NYHA)
(Mann DL, 2008)
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan Beratnya gagal jantung berdasarkan gejala dan
struktural dan kerusakan otot jantung. aktivitas fisik.
Memiliki risiko tinggi gagal Aktivitas fisik umum tidak terganggu,
Stage jantung. Tidak ditemukan kelainan Kelas aktivitas tidak menyebabkan kelelahan,
A struktural atau fungsional, tidak I palpitasi, atau sesak nafas.
terdapat tanda/gejala.
Secara struktural terdapat kelainan Aktivitas fisik sedikit terbatasi, aktivitas
jantung yang dihubungkan dengan fisik yang umum dilakukan
Stage Kelas
gagal jantung, tapi tanpa mengakibatkan kelelahan, palpitasi atau
B II
tanda/gejala gagal jantung. sesak nafas. Tapi Saat istirahat tidak ada
keluhan.
Gagal jantung bergejala dengan Aktivitas fisik sangat terbatasi, aktivitas
Stage kelainan struktural jantung. Kelas ringan menimbulkan rasa lelah, palpitasi,
C III atau sesak nafas. Tapi saat istirahat tidak
ada keluhan.
Secara struktural jantung Tidak dapat beraktivitas tanpa
Stage mengalami kelainan berat, gejala Kelas menimbulkan keluhan. aktivitas fisik,
gagal jantung terasa saat istirahat keluhan bertambah berat. Saat istirahat
D IV
walau telah mendapatkan
bergejala.
pengobatan.
15

Tabel 3. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung (Mann DL, 2008)


Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan gagal
jantung
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi ≥ 120x/menit
Diagnosa gagal jantung ditegakkan minimal ada 2 mayor/1 kriteria major dan 2 kriteria
minor.

3.5.2 Pemeriksaan Penunjang


 Rontgen Thorax
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran jantung
(cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di
zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg
dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada
sudut kostofrenikus. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi
bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan (Davies MK,
2000; Nieminen MS, 2005).
16

Kardiomegali Kongesti Vena Pulmonalis

Odem Pulmo Efusi Pleura

Gambar 3. Gambaran Foto Thorax

Tabel 4. Temuan pada Foto Toraks , Penyebab dan Implikasi Klinis (Mann DL, 2008)
Kelainan Penyebab Implikasi Klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekhokardiografi,
ventrikel kanan, atria, efusi doppler
perikard
Hipertropi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, Ekhokardiografi,
kardiomiopati hipertropi doppler
Kongesti vena paru Peningkatan tekanan pengisian Gagal jantung kiri
ventrikel kiri
Edema interstisial Peningkatan tekanan pengisian Gagal jantung kiri
ventrikel kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan Pikirkan diagnosis
peningkatan pengisian tekanan non kardiak
jika ditemukan bilateral,
infeksi paru, keganasan
17

Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik Mitral stenosis atau


gagal jantung kronis

 EKG
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir
seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat
dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain
gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch
block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya
menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai
penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya (Davies MK,
2000).
 Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada
gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif
mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan
ekokardiografi adalah: semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah
bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan
fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark
miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat
mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya
gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli (Davies MK, et al., 2000).

Tabel 5. Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung (Mann DL, 2008)

TEMUAN UMUM DISFUNGSI SISTOLIK DISFUNGSI DIASTOLIK

 Ukuran dan bentuk ventrikel  Ejeksi fraksi ventrikel kiri  Ejeksi fraksi ventrikel kiri
 Ejeksi fraksi ventikel kiri berkurang <45% normal > 45-50%
(LVEF)  Ventrikel kiri membesar  Ukuran ventrikel kiri
 Gerakan regional dinding  Dinding ventrikel kiri tipis normal
jantung, synchronisitas  Remodelling eksentrik  Dinding ventrikel kiri tebal,
kontraksi ventrikular ventrikel kiri atrium kiri berdilatasi
 Remodelling LV (konsentrik  Regurgitasi ringan-sedang  Remodelling eksentrik
vs eksentrik) katup mitral* ventrikel kiri.
 Hipertrofi ventrikel kiri atau  Hipertensi pulmonal*  Tidak ada mitral
18

kanan (Disfunfsi Diastolik :  Pengisian mitral berkurang* regurgitasi, jika ada


hipertensi, COPD, kelainan  Tanda-tanda meningkatnya minimal.
katup) tekanan pengisian ventrikel*  Hipertensi pulmonal*
 Morfolofi dan beratnya  Pola pengisian mitral
kelainan katup abnormal.*
 Mitral inflow dan aortic  Terdapat tanda-tanda
outflow; gradien tekanan tekanan pengisian
ventrikel kanan meningkat.
 Status cardiac output
(rendah/tinggi)
Keterangan : * Temuan pada echo-doppler.

 Darah lengkap
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai
penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta
komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu
adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat.
Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya
gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi
peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme
inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi
proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretic tanpa
suplementasi kalium dan obat potassiumsparring. Hiperkalemia timbul pada
gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-
inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi
hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati.
Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai
kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal
jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah
300 pg/ml (Santoso A, 2007; Davies MK, et al., 2003).
3.6 Penatalaksanaan
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditunjukkan pada 5 aspek
(Ganiswarna, 2000).
19

1. Mengurangi beban kerja jantung


2. Memperkuat kontraktilitas miokard
3. Mengurangi kelebihan garam dan cairan
4. Melakukan tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyebab
5. Faktor-faktor pencetus kelainan yang mendasari.
3.7.1 Terapi
Pendekatan terapi pada gagal jantung dapat berupa terapi tanpa obat-
obatan, pemakaian obat-obatan, pemakaian alat dan tindakan bedah.
 Terapi non farmakologi
• Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal serta
upaya bila timbul keluhan dan dasar pengobatan
• Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari
• Edukasi pola diet, control asupan garam, air dan kebiasaan alcohol
• Monitoring berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan secara tiba-
tiba
• Mengurangi berat badan pada obesitas
• Hentikan kebiasaan merokok
 Terapi Farmakologi
Terdapat beberapa golongan obat yang menunjukkan efektifitas klinik
dalam mengurangi gejala gagal jantung, diantaranya (Ganiswarna, 1995):
a. Vasodilator
Vasodilator dapat menurunkan secara selektif beban jantung sebelum
kontraksi, sesudah kontraksi atau keduanya (vasodilator yang seimbang).
 Vasodilator Parental hendaknya diberikan kepada pasien dengan
kegagalan jantung berat atau tidak dapat diminum obat-obatan oral
misalnya pada pasien setelah operasi.
 Nitrogliserin adalah vasodilator kuat dengan pengaruh pada vena dan
pengaruh yang kuat pada jaringan pembuluh darah arteri.
Penumpukan vena paru dan sistemik dipulihkan melalui efek tersebut.
Obat ini juga merupakan vasodilator koroner yang efektif sehingga
merupakan vasodilator yang lebih disukai untuk terapi kegagalan
jantung pada keadaan infark miokard akut atau angina tak stabil.
20

 Natrium nitropusida adalah vasodilator kuat dengan sifat-sifat


venodilator kurang kuat. Efeknya yang menonjol adalah mengurangi
beban jantung setelah kontraksi dan ini terutama efektif untuk pasien
kegagalan jantung yang menderita hipertensi atau reguitasi katub berat
(Kelly dan Fry, 1995).
Vasodilator Oral
 Penghambat ACE
Mengeblok sistem renin angiotensin aldosteron dengan menghambat
perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, memproduksi
vasodilator dengan membatasi angiotensin II, menginduksi
vasokonstriksi dan menurunkan retensi sodium dengan mengurangi
sekresi aldosteron (Massie dan Amidon, 2002). Obat yang serba guna
tersebut menurunkan tahanan perifer sehingga menurunkan afterload,
menurunkan resistensi air dan garam (dengan menurunkan sekresi
aldosteron) dan dengan jalan menurunkan preload (Katzung, 2004).
 Angiotensin reseptor bloker (ARB)
Merupakan pendekatan lain untuk menghambat system RAA adalah
yang akan mengeblok atau menurunkan sebagian besar efek sistem.
Namun demikian agen ini tidak menunjukkan efek penghambat ACE
pada jalur potensial lain yang memproduksi peningkatan bradikinin,
prostaglandin dan nitrit oksida dalam jantung pembuluh darah dan
jaringan lain. Karena itu, ARB dapat dipertimbangkan sebagai
alternatif pendapat ACE pada pasien yang tidak dapat menerima
pendapat ACE (Massie dan Amidon, 2002). Contoh obat pada
golongan ARB yang digunakan dalam terapi gagal adalah losartan,
valsartan, dan kondensartan. Ketiga obat tersebut tidak memiliki
interaksi yang berarti dengan obat-obat lain (Stokley, 2008).
b. Beta-Bloker
Untuk terapi kegagalan jantung bersifat kontroversial namun dapat efek-
efek yang merugikan dari katekolamin pada jantung yang mengalami
kegagalan termasuk menekan reseptor beta pada otot jantung situasi
kegagalan jantung (Kelly dan Fry, 1995). Beta bloker digunakan pada
21

pasien gagal jantung stabil ringan, sedang atuau berat (Massie dan
Amidon, 2002). Obat ini digunakan untuk terapi gagal jantung adalah
karvedilol, bisoprolol dan metoprolol succinate (Hunt et al., 2005).
c. Antagonis kanal kalsium
Secara langsung menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah dan
penghambat pemasukan kalsium kedalam sel otot jantung. Kegunaan
pokok obat ini dalam terapi gagal jantung adalah berasal dari
pengurangan iskemia pada pasien dengan penyakit jantung koroner yang
mendasari. Semua antagonis kalsium mempunyai sifat inotropik negatif
sehingga digunakan secara berhati-hati pada pasien dengan difungsi
ventrikal kiri (Kelly dan Fry, 1995). Obat-obat golongan tersebut
sebaiknya dihindari kecuali untuk dipakai dalam terapi hipertensi dan
anginadan untuk indikasi tersebut hanya amlodipin yang boleh digunakan
pada pasien gagal jantung (Hunt et al., 2005)
d. Nitrat
Terutama berkhasiat venodilator dan oleh karena ini bermanfaat untuk
menyembuhkan gejala-gejala penumpukan vena dan paru-paru. Obat-
obat golongan ini mengurangi iskemia otot dengan menetralkan tekanan
pengisian ventrikel dan dengan melebarkan arteri koroner secara
langsung (Kelly dan Fry, 1995). Contoh obat golongan ini adalah
Isosorbit mono nitrat (ISMN) dan dinitrat (ISND).
e. Hidralazin
Hidralazin adalah obat yang murni mengurangi beban jantung setelah
konstraksi yang bekerja langsung pada otot polos arteri untuk
menimbulkan vasodilatasi. Hidralazin terutama berguna dalam
pengobatan reguitasi mitral kronis dan insufisiensi aorta (Kelly dan Fry,
1995). Hidralazin oral merupakan dilator arterioral poten dan
meningkatkan output kardiak pada pasien gagal jantung kongestif
(Massie dan Amidon, 2002).
f. Diuretik
Tujuan dari pemberian diuretik adalah mengurangi gejala retensi cairan
yaitu meningkatkan tekanan vena jugularis atau edema ataupun
22

keduanya. Diuretik menghilangkan retensi natrium pada CHF dengan


menghambat reabsorbsi natrium atau klorida pada sisi spesifik di tubulus
ginjal. Bumetamid, furosemid, dan torsemid bekerja pada tubulusdistal
ginjal (Hunt et al., 2005).Pasien dengan gagal jantung yang lebih berat
sebaiknya diterapi dengan salah satu loop diuretik, obat-obat ini memiliki
onset cepat dan durasi aksinya yang cukup singkat. Manfaat dari terapi
diuretik yaitu dapat mengurang edema pulmo dan perifer dalam beberapa
hari bahkan jam. (Hunt et al., 2005).
g. Obat-obat Inotropik
Obat-obat inotropik positif meningkatkan kontraksi otot jantung dan
meningkatkan curah jantung. Meskipun obat-obat ini bekerja melalui
mekanisme yang berbeda, dalam tiap kasus kerja inotropik adalah akibat
penigkatan konsentrasi kalsium sitoplasma yang memicu kontraksi otot
jantung (Mycek et al., 2001).
 Digitalis
Obat golongan digitalis ini memiliki berbagi mekanisme kerja sebagi
berikut
(a) Pengaturan konsentrasi kalsium sitosol
Terjadi hambatan pada aktivitas pompa proton. Hal ini
menimbulkan peningkatan konsentrasi natrium intra sel, yang
menyebabkan kadar kalsium intra sel yang meningkat
menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi sistolik.
(b) Peningkatan kontraktilitas otot jantung
Pemberian glikosida digitalis meningkatkan kekuatan kontraksi
otot jantung menyebabkan penurunan volume distribusi aksi, jadi
meningkatkan efisiensi kontraksi. Efek-efek ini menyebabkan
reduksi kecepatan jantung dan kebutuhan oksigen otot jantung
berhenti (berkurang) (Mycek et al., 2001).
Terapi digoksin merupakan indikasi pada pasien dengan disfungsi
sistolik ventrikel kiri yang hebat setelah terapi diuretic dan
vasodilator. Digoksin tidak diindikasikan pad pasien dengan gagal
jantung sebelah kanan atau diastolik. Obatyang termasuk dengan
23

golongan ini adalah digoksin dan digitoksin. Glikosida jantung


mempengaruhi semua jaringan yang dapat dirangsang, termasuk otot
polos dan susunan saraf pusat. Mekanisme efek ini belum diselidiki
secara menyeluruh tetapi mungkin melibatkan hambatan Na+ K+ -
ATPase di dalam jaringan ini (Katzung, 1992).
 Agonis β- adrenergic
Stimuli β- adrenergic memperbaiki kemampuan jantung dengan efek
inotropik spesifik dalam fase dilatasi. Hal ini menyebabkan masuknya
ion kalsium ke dalam sel miokard meningkat, sehingga dapat
meningkatkan kontraksi. Contoh obat ini adalah dopamine dan
dobutamin (Mycek et al., 2001).
h. Inhibitor fosfodiesterase
Inhibitor fosfodiesterase memacu konsentrasi intrasel siklik –AMP. Ini
menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung.
Obat yang termasuk dalam golongan inhibitor fosfodiesterase adalah
amrinon dan mirinon (Mycek et al., 2001).
i. Antagonis aldosteron
Antagonis aldosteron termasuk spironolakton dan inhibitor konduktan
natrium diktus kolektifus (triamteren dan amilorid). Obat-obat ini sangat
kurang efektif bila digunakan sendiri tanpa kombinasi dengan obat lain
untuk penatalaksanaan pada gagal jantung. Meskipun demikian, bila
digunakan kombinasi dengan Tiazid atau diuretika Ansa Henle, obat-obat
golongan ini efektif dalam mempertahankan kadar kalium yang normal
dalam serum (Kelly dan Fry, 1995). Spironolakton merupakan inhibitor
spesifik aldosteron yang sering meningkat pada gagal jantung kongestif
dan mempunyai efek penting pada retensi potassium. Triamteren dan
Amilorid bereaksi pada tubulus distal dalam mengurangi sekresi
potassium (Massie dan Amidon, 2000).
3.7 Algoritma Terapi
Algoritma penatalaksanaan gagal jatung menurut ACC/AHA pratice
Guidelines 2005 berdasarkan stage dapat dilihat pada gambar 1. Pasien stage A
belum mengalami gagal jantung dan tidak memiliki penyakit jantung struktural,
24

namun beresiko tinggi mengalami gagal jantung. Pasien stage B memiliki


penyakit jantung struktural yang mendasari namun belum mengalami gagal
jantung serta belum ada tanda dan gejala gagal jantung. Pasien stage C sudah
mengalami gagal jantung dilihat dari adanya penyakit jantung struktural serta
tanda dan gejala gagal jantung. Pasien stage D merupakan perkembangan dari
stage C yang bertambah parah karena pasien mengalami refraktosi gagal jantung
pada saat istirahat.
Dilihat dari kategori pasien berdasarkan stage tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa pasien didiagnosa gagal jantung jika telah mengalami stage C
dan D. Algoritma penatalaksanaan gagal jantung menurut ACC/AHA practice
Guidelines, 2005 terdiri dari 4 stage yaitu stage A, B, C, dan D (Hunt, et al.,
2005). Sedangkan menurut NYHA (New York Heart Assosiation), gagal jantung
dibagi dalam 4 kelas yaitu 1, 2, 3, dan 4 (Walker and Edwards, 2003)
25

3.8. Hipertensi Menyebabkan Gagal Jantung


Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi
dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti
ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan tersebut agar
ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua jaringan tercapai sesuai
kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan tersebut dengan
hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle hyperthropy,
LVH) memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat dan mempertahankan
volume sekuncup walaupun terjadi tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama
kelamaan mekanisme kompensasi tersebut tidak lagi mampu mengimbangi
tekanan perifer yang tetap tinggi. Kegagalan mekanisme kompensasi
menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri akan diikuti oleh penurunan curah jantung yang selanjutnya
menyebabkan penurunan tekanan darah. Semua hal tersebut akan merangsang
mekanisme kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis
dan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron).
Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas
jantung hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis
mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan
permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan
memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu, stimulasi
simpatis juga menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan mencegah
penurunan tekanan darah lebih lanjut. Di sisi lain, penurunan curah jantung
menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ tubuh lainnya. Salah satunya
adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal merangsang ginjal untuk
menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi. Kedua hal di atas menunjukkan
adanya penurunan fungsi ginjal. Penurunan perfusi ginjal juga merangsang sel-sel
juxtaglomerulus untuk mensekresi renin. Kemudian renin menghidrolisis
angiotensinogen menjadi angiotensin I yang selanjutnya oleh angiotensin
converting enzyme (ACE) akan diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
kemudian ditangkap oleh reseptornya di pembuluh darah (vascular ATR1) dan
terjadi vasokontriksi. Bila angiotensin II diterima oleh reseptor sel korteks adrenal
26

(adrenal ATR1) maka korteks adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron


kemudian diikat oleh reseptornya di ginjal. Proses tersebut membuka ENaC
(epithelial Na Channel) yang menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+
bersifat retensi osmotik, peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan H2O. Hasil
akhir semua proses tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke jantung
akibat adanya peningkatan volume intravaskuler.
Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi
neurohormonal tersebut memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut,
mekanisme tersebut justru semakin memperparah gagal jantung yang terjadi dan
dapat menyebabkan gagal jantung tak terkompensasi.

Anda mungkin juga menyukai