Anda di halaman 1dari 57

R.L.

Stine
Berburu Monster
(Goosebumps # 46)

Ebook PDF: eomer eadig


Http://ebukulawas.blogspot.com

Convert & Re edited by: Farid ZE


blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Chapter 1

"KENAPA sih kita harus ke sana?" aku meratap di bangku belakang mobil.
"Kenapa?"
"Gretchen, Dad sudah berulang kali menjelaskan kenapa," ujar Dad sambil
menghela napas. "Mom dan Dad harus ke Atlanta. Ada urusan dinas!"
"Kalau itu sih aku sudah tahu," aku menyahut sambil mencondongkan badan
melewati sandaran bangku depan. "Tapi kenapa kami tidak boleh ikut? Kenapa
kami harus tinggal dengan Kakek dan Nenek?"
"Karena kami bilang begitu," Mom dan Dad menjawab bersamaan.
Karena kami bilang begitu. Begitu kata-kata keramat itu sudah keluar, tak ada
gunanya berdebat. Aku merosot di bangku belakang.
Mom dan Dad mendadak harus berangkat ke Atlanta. Kabarnya ada urusan kantor
yang sangat mendesak. Baru tadi pagi mereka ditelepon.
Ini tidak adil, pikirku. Mereka bisa berkunjung ke kota besar yang ramai seperti
Atlanta. Sedangkan Clark — saudara tiriku — dan aku terpaksa meringkuk di Mud
Town.
Mud Town, alias Kota Lumpur.
Ehm, nama sebenarnya sih bukan Mud Town. Tapi seharusnya begitu. Tempat itu
tak ada bedanya dengan rawa-rawa. Nenek Rose dan Kakek Eddie tinggal di
Georgia bagian selatan — di tengah rawa.
Percaya tidak?
Di tengah rawa.
Aku memandang ke luar. Sepanjang hari kami meluncur di jalan bebas hambatan.
Dan sekarang kami menyusuri jalan sempit yang membelah rawa.
Hari sudah sore. Pohon-pohon cypress menimbulkan bayangan-bayangan panjang
di alang-alang.
Aku menyembulkan kepala lewat jendela yang terbuka.
Seketika wajahku diterpa angin panas dan lembap. Cepat-cepat aku duduk lagi dan
berpaling ke Clark. Ia sedang asyik membaca komik.
Umur Clark dua belas talum sama seperti aku. Tapi dia lebih pendek. Jauh lebih
pendek. Rambutnya cokelat berombak. Matanya juga cokelat, dan wajahnya penuh
bintik. Tampangnya persis seperti Mom.
Aku termasuk tinggi untuk umurku. Rambutku panjang, lurus, dan pirang; mataku
hijau. Aku mirip Dad.
Orangtuaku bercerai ketika aku baru berumur dua tahun. Hal yang sama juga
terjadi pada Clark. Ayahku dan ibu Clark menikah tepat setelah kami berulang
tahun ketiga, dan kami bersama-sama pindah ke rumah baru.
Aku suka ibu tiriku. Clark dan aku lumayan akur. Kadang-kadang sih tingkahnya
cukup menyebalkan. Teman-temanku juga bilang begitu. Tapi kurasa saudara-
saudara mereka juga sering brengsek.
Aku menatap Clark. Memperhatikannya membaca. Kacamatanya merosot di
hidungnya. Ia segera mendorongnya ke atas lagi.
"Clark...," ujarku.
"Ssst!" Ia mengangkat sebelah tangan supaya aku diam. "Lagi seru nih."
Clark penggemar komik. Terutama komik horor. Tapi jangan disangka ia
pemberani — ia selalu ngeri sendiri sesudah selesai membacanya.
Aku kembali memandang ke luar jendela.
Aku menatap pohon-pohon. Memperhatikan dahan-dahan yang terselubung
semacam jaring-jaring kelabu. Ke mana pun aku memandang, aku melihat jaring-
jaring kelabu bergelantungan bagaikan tirai. Suasana rawa jadi semakin suram.
Mom sempat bercerita soal jaring-jaring itu waktu kami berkemas tadi pagi. Ia tahu
banyak soal rawa. Mom bilang daerah rawa adalah tempat yang menyeramkan tapi
sekaligus indah. Katanya jaring-jaring itu sebenarnya sejenis tumbuhan yang hidup
di pohon-pohon.
Tumbuhan yang hidup di tumbuhan lain. Ajaib, kataku dalam hati. Benar-benar
ajaib.
Hampir seajaib Kakek dan Nenek.
"Dad, kenapa Kakek dan Nenek tidak pernah berkunjung ke rumah kita?" tanyaku.
"Clark dan aku tidak pernah ketemu mereka sejak kami masih empat tahun."
"Hmm, mereka memang agak aneh." Dad menatapku lewat kaca spion. "Mereka
tidak suka bepergian. Mereka hampir tidak pernah keluar rumah. Dan rumah
mereka begitu terpencil di tengah rawa, sehingga orang lain juga sulit mengunjungi
mereka."
"Oh, wow!" ujarku. "Kita bakal menginap di rumah sepasang pertapa ajaib."
"Pertapa ajaib yang bau," gumam Clark sambil berpaling dari komiknya.
"Clark! Gretchen!" Mom menegur kami. "Jangan bicara begitu tentang kakek dan
nenek kalian."
"Mereka bukan kakek dan nenekku. Mereka kakek dan nenek dia," Clark
membalas sambil menggerakkan dagu ke arahku. "Dan mereka memang bau. Aku
masih ingat kok."
Aku menonjok lengan saudara tiriku. Tapi ia benar. Kakek dan Nenek memang
bau. Bau apak bercampur bau kamper.
Aku kembali merosot di bangku belakang dan menguap lebar. Rasanya kami sudah
berminggu-minggu duduk di dalam mobil.
Dan bangku belakang terasa sempit karena ada aku, Clark dan Charley yang
berdesak-desakan. Charley anjing kami — seekor golden retriever.
Aku mendorong Charley ke samping dan meluruskan kaki.
"Hei, jangan dorong-dorong dia ke sini terus dong!" omel Clark. Komiknya
terjatuh ke lantai.
"Coba duduk tenang, Gretchen," gumam Mom. "Hmm, seharusnya Charley kita
masukkan ke tempat penitipan saja."
"Aku sudah berusaha mencari tempat untuknya," kata Dad. "Tapi tak ada yang bisa
melayani permintaan mendadak."
Clark menyingkirkan Charley dari pangkuannya, lalu meraih ke bawah untuk
memungut komiknya. Tapi aku lebih cepat.
"Ya ampun," gumamku ketika membaca judulnya. "Makhluk dari Lumpur? Mau-
maunya sih kau baca sampah seperti ini?"
"Ini bukan sampah," balas Clark. "Komik ini asyik sekali. Jauh lebih seru daripada
majalah-majalah konyol tentang alam yang selalu kaubaca."
"Ceritanya tentang apa sih?" tanyaku sambil membalik-balik halaman.
"Tentang monster-monster yang mengerikan. Setengah manusia. Setengah
binatang. Mereka memasang perangkap untuk menjebak orang. Lalu mereka
bersembunyi di genangan lumpur. Di dekat permukaan," jelas Clark. Ia merebut
komik yang masih kupegang.
"Lalu bagaimana?" tanyaku.
"Habis itu mereka menunggu. Menunggu dengan sabar — sampai ada orang yang
masuk ke jebakan mereka." Suara Clark mulai bergetar. "Lalu korban itu mereka
bawa ke rawa. Dan dijadikan budak!"
Clark bergidik. Ia memandang ke luar jendela. Menatap pepohonan cypress yang
menyeramkan dan seolah-olah berjanggut panjang kelabu.
Hari sudah mulai gelap. Bayangan pepohonan semakin panjang. Clark merosot di
bangku belakang. Daya khayalnya memang luar biasa. Ia percaya segala sesuatu
yang dibacanya. Dan setelah itu ia jadi ketakutan sendiri — seperti sekarang.
"Apa lagi yang mereka lakukan?" tanyaku. Aku berusaha memancing Clark untuk
bercerita lebih banyak lagi. Biar ia semakin ngeri.
"Ehm, setelah gelap, monster-monster itu keluar dari lumpur," ia kembali angkat
bicara. Duduknya semakin merosot. "Dan mereka menculik anak-anak kecil dari
tempat tidur masing-masing. Untuk dibawa ke rawa. Lantas ditarik ke dalam
lumpur. Anak-anak itu tidak pernah kelihatan lagi."
Sekarang Clark betul-betul ketakutan.
"Sebenarnya memang ada makhluk seperti itu yang hidup di rawa. Aku belajar di
sekolah," aku berbohong. "Monster-monster mengerikan. Setengah buaya,
setengah manusia. Berselubung lumpur. Dengan sisik-sisik runcing yang
tersembunyi di balik lumpur. Kalau sampai kena, sisik-sisik itu bisa membuat
dagingmu terlepas dari tulang."
"Gretchen, sudah," Mom memperingatkanku.
Clark mendekap Charley erat-erat.
"Hei! Clark!" Aku menunjuk ke luar jendela. Di depan ada jembatan tua yang
sempit. Papan-papannya sudah melengkung semua. Sepertinya jembatan itu sudah
mau ambruk. "Pasti ada monster rawa yang menunggu kita di bawah jembatan."
Clark mengamati jembatan itu. Charley dipeluknya lebih erat lagi.
Kami mulai melewati papan-papan kayu yang berderak-derak ketika dilindas ban
mobil.
Aku menahan napas. Jembatan ini pasti tidak kuat, kataku dalam hati.
Dad menjalankan mobil pelan-pelan. Pelan-pelan sekali.
Rasanya kami tidak maju-maju.
Clark masih berpegangan pada Charley. Ia terus menoleh ke luar jendela.
Pandangannya seolah-olah terpaku pada jembatan tua itu.
Aku menarik napas lega ketika kami akhirnya mendekati sisi seberang.
Dan kemudian aku memekik kaget — ketika ledakan dahsyat mengguncangkan
mobil kami.
"Aduuuh!" Clark dan aku menjerit waktu mobil kami mulai oleng tak terkendali.
Kami menabrak pinggir jembatan. Menerobos pagar kayu yang sudah lapuk.
"K-kita bakal tercebur!" seru Dad.
Aku memejamkan mata ketika mobil kami mulai menukik ke rawa.
Chapter 2

MONCONG mobil kami membentur tanah. Clark dan Charley terlempar kian
kemari di bangku belakang. Ketika mobil kami akhirnya berhenti meluncur,
keduanya duduk menindihku.
"Kalian tidak apa-apa?" Mom bertanya dengan suara bergetar. Ia menoleh ke
belakang.
"Ehm, kelihatannya sih begitu," sahutku.
Kami semua terdiam sejenak.
Charley memecahkan keheningan dengan perlahan.
"A-apa yang terjadi?" Clark tergagap-gagap.
"Ban kita pecah." Dad menghela napas. "Moga-moga ban serepnya tidak kempis
juga. Malam-malam tidak ada yang bisa membantu kita di tengah rawa ini."
Aku menyembulkan kepala lewat jendela untuk memeriksa ban.
Ternyata Dad benar. Bannya kempis sama sekali.
Wah, kita beruntung sekali, pikirku. Kita beruntung karena jembatannya rendah.
Kalau tidak...
"Oke, semuanya turun," Mom membuyarkan lamunanku. "Biar Dad bisa ganti ban
serep."
Sebelum membuka pintu, Clark memeriksa keadaan sekeliling dulu lewat jendela.
Aku tahu ia agak ngeri.
"Awas, Clark," kataku ketika ia hendak mengeluarkan kakinya yang pendek.
"Monster rawa selalu mengincar korban pendek."
"Lucu sekali, Gretchen. Lucu sekali. Kapan-kapan aku akan ketawa."
Dad menuju ke bagasi untuk mengambil dongkrak. Mom mengikutinya. Clark dan
aku berjalan ke rawa.
"Oh, aduh!" Sepatu basketku yang putih dan masih baru terbenam dalam lumpur
hitam.
Aku menghela napas.
Kok ada sih orang yang betah tinggal di tengah rawa? aku bertanya-tanya heran.
Udara pengap sekali. Pengap dan panas. Aku sampai susah bernapas.
Aku mengucir rambutku dan memandang berkeliling. Tapi tidak banyak yang bisa
dilihat. Langit sudah gelap gulita. Clark dan aku berjalan menjauhi mobil.
"Ayo, kita periksa tempat ini. Mumpung Dad lagi ganti ban," aku mengusulkan
padanya.
"Kukira itu bukan ide baik," gumam Clark.
"Tenang saja," desakku. "Apa lagi yang bisa kita kerjakan di sini? Begitu kan lebih
baik daripada bengong."
"Ehm... benar juga sih," sahut Clark ragu-ragu.
Kami maju beberapa langkah. Wajahku mulai gatal.
Nyamuk! Ratusan nyamuk.
Kami membungkuk dan mengelak sambil menepis serangga-serangga pengisap
darah dari wajah dan lengan masing-masing.
"Aduh! Tempat ini benar-benar parah!" teriak Clark. "Aku tidak mau tinggal di
sini. Aku ikut ke Atlanta saja!"
"Di rumah Nenek keadaannya tidak separah di sini," seru Mom.
"Yeah, pasti," kata Clark seakan-akan tidak percaya. "Aku balik ke mobil saja."
"Ayo dong," aku berkeras. "Coba kita lihat apa yang ada di sebelah sana."
Aku menunjuk rumpun alang-alang yang tampak di depan.
Aku langsung mulai melintasi genangan lumpur. Sambil berjalan aku menoleh ke
belakang — untuk memastikan Clark mengikutiku. Ternyata ia ikut.
Ketika kami sampai di rumpun alang-alang, kami mendengar bunyi berdesir di
tengah-tengahnya. Clark dan aku memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas.
"Jangan terlalu jauh, ya," Dad mewanti-wanti. Ia dan Mom sedang mengeluarkan
barang-barang bawaan kami dari bagasi untuk mencari senter. "Di tempat seperti
ini masih banyak ular."
"Ular? Whoa!" Clark langsung melompat mundur. Kalang kabut ia berbalik dan
mulai berlari ke mobil.
"Dasar penakut!" seruku. "Katanya kau mau ikut periksa tempat ini!"
"Tidak jadi!" balasnya. "Dan jangan sebut aku penakut."
"Sori deh," aku minta maaf.
"Ayo, kita jalan lagi. Ke pohon itu. Yang paling tinggi tuh. Setelah itu kita
langsung balik ke mobil," aku berjanji. "Ayo dong!"
Clark dan aku mulai berjalan ke pohon itu.
Kami berjalan pelan-pelan. Menembus kegelapan. Menerobos hutan pohon-pohon
cypress.
Tirai-tirai kelabu berayun-ayun dari dahan-dahan. Tirai-tirai itu tumbuh begitu
rapat, sehingga orang yang bersembunyi di baliknya takkan kelihatan.
Kami bisa tersesat di sini, aku menyadari. Tersesat selama-lamanya
Aku merinding ketika tirai-tirai kelabu itu mengenai kulitku. Rasanya seperti
sarang labah-labah. Sarang labah-labah raksasa yang lengket.
"Kita balik saja deh, Gretchen," Clark memohon. "Tempat ini terlalu mengerikan."
"Sedikit lagi," aku berkeras.
Dengan hati-hati kami menerobos di antara pepohonan. Pada setiap langkah sepatu
kami terbenam dalam genangan air lumpur yang keruh.
Serangga-serangga kecil berdengung-dengung di telingaku. Serangga-serangga
yang lebih besar menggigit tengkukku. Aku sibuk menepuk-nepuk.
Aku melangkah maju — ke sebidang tanah kering yang ditumbuhi rumput. "Hei!"
Bidang tanah yang kuinjak mulai bergerak. Mulai membelah air yang hitam.
Aku cepat-cepat melompat turun — dan tersandung akar pohon.
Bukan—bukan akar pohon.
"Hei, Clark! Coba lihat ini!" Aku membungkuk agar dapat melihat lebih jelas.
"Apa itu?" Clark berlutut di sampingku dan menatap benda di hadapan kami.
"Ini cypress knee," jelasku. "Mom yang memberitahuku. Tumbuhnya di dekat
pohon cypress."
"Kenapa Mom tidak pernah menceritakan hal-hal seperti itu padaku?" tanya Clark
kesal.
"Mungkin dia kuatir kau bakal takut," sahutku.
"Huh, brengsek," gerutunya sambil membetulkan letak kacamatanya. "Bagaimana?
Kita balik sekarang?"
"Kita sudah hampir sampai. Lihat tuh!" kataku sambil menunjuk pohon tertinggi.
Pohon itu tumbuh di tengah lapangan di hadapan kami.
Clark mengikutiku ke situ.
Udara berbau kecut.
Berbagai suara bergema dalam kegelapan. Kami mendengar erangan-erangan
tertahan. Teriakan-teriakan melengking. Suara makhluk-makhluk rawa, aku
menyadari. Makhluk-makhluk rawa yang tersembunyi.
Aku merinding. Tapi aku tetap maju ke pohon tertinggi.
Clark tersandung pohon tumbang. Ia terhuyung-huyung dan nyaris jatuh ke
genangan air lumpur.
"Cukup," gerutunya. "Aku mau balik ke mobil." Meskipun gelap, aku bisa melihat
romannya yang ketakutan.
Rawa ini memang menakutkan. Tapi Clark kelihatan begitu ngeri, sehingga aku
mulai cekikikan. Tapi kemudian aku mendengar langkah.
Clark juga mendengarnya.
Langkah berat dari tengah rawa yang hitam dan berkabut.
Bunyi itu semakin dekat.
Tepat menuju ke arah kami.
"Ayo!" teriak Clark sambil menarik tanganku. "Kita harus pergi dari sini!"
Tapi aku tidak beranjak. Aku tidak bisa bergerak. Kini aku bisa mendengar napas
makhluk itu. Ia mendengus-dengus. Semakin dekat.
Semakin dekat. Makhluk itu muncul tiba-tiba. Dari balik tirai-tirai kelabu.
Aku melihat sosok hitam yang seperti terbang. Makhluk penghuni rawa yang besar
sekali.
Ia menerjang ke arah kami. Warnanya lebih gelap daripada lumpur rawa yang
hitam — dan matanya menyala-nyala.
Chapter 3

"CHARLEY...! Kenapa kau ada di bawah sana?" seru Mom sambil menghampiri
kami. "Mom pikir kalian mengawasi dia."
Charley?
Aku lupa sama sekali pada Charley. Dialah monster rawa yang kulihat.
"Mom sudah mencari kalian ke mana-mana," kata Mom gusar. "Bukankah Mom
dan Dad sudah melarang kalian pergi jauh-jauh?"
"Sori, Mom," aku minta maaf. Aku tidak bisa bilang apa-apa lagi. Charley
menubrukku hingga aku terjatuh — ke genangan lumpur.
"Awas, Charley! Awas!" teriakku.
Tapi ia malah menaruh kakinya yang besar di pundakku dan menjilat-jilat
wajahku.
Aku bermandikan lumpur. Betul-betul bermandikan lumpur.
"Ayo, sini." Clark menarik pengikat leher Charley.
"Kau ketakutan tadi, Gretchen. Kaupikir Charley monster rawa." Clark tertawa.
"Kau benar-benar ketakutan."
"Enak saja," balasku sengit. Aku berusaha membersihkan lumpur yang menempel
pada celana jeans-ku. "Aku cuma pura-pura, supaya kau ngeri."
"Kau benar-benar ketakutan tadi. Ayo, jangan bohong," Clark berkeras. "Mengaku
sajalah."
"Aku TIDAK takut." Aku mulai naik pitam. "Siapa yang memohon-mohon balik
ke mobil?" aku mengingatkannya. "Kau! Kau! Kau!"
"Ada apa sih?" tanya Dad. "Dan kenapa kalian ada di tengah rawa sini? Dad kan
sudah bilang kalian tidak boleh jauh-jauh dari mobil!"
"Ehm, sori, Dad," aku kembali minta maaf. "Tapi Clark dan aku bosan harus
menunggu Dad ganti ban."
"Hei! Kau memaksaku kemari!" protes Clark. "Dia yang punya ide untuk
menjelajahi rawa."
"Cukup!" kata Dad tegas. "Ayo, kembali ke mobil!"
Sepanjang perjalanan Clark dan aku terus berdebat. Ban yang pecah memang
sudah diganti, tapi sekarang Dad harus berusaha agar mobil kami bisa kembali ke
jalan. Dan itu tidak mudah. Setiap kali Dad menginjak pedal gas, roda belakang
cuma berputar di lumpur tebal.
Akhirnya kami semua turun dan mendorong mobil. Akibatnya, Mom dan Clark
juga berlepotan lumpur.
Aku memandang rawa yang gelap dan menyeramkan ketika kami kembali melaju
di jalan.
Memandang rawa sambil memperhatikan suara-suara yang terdengar. Bunyi
mengerik yang tajam.
Erangan-erangan tertahan.
Teriakan-teriakan melengking.
Aku sudah sering mendengar cerita mengenai monster rawa. Dan aku juga pernah
membaca sejumlah legenda kuno.
Mungkinkah monster rawa memang ada? tanyaku dalam hati.
Tak sedikit pun terlintas dalam benakku bahwa aku akan segera menemukan
jawabannya.

Chapter 4

"YA. Ya. Betul kok."


"Tidak mungkin!" bantahku. "Tidak mungkin mereka tinggal di situ, Dad!"
"Itu rumah mereka," Dad berkeras sementara kami terguncang-guncang di jalan
tanah yang sempit dan tidak rata. "Itu rumah Kakek dan Nenek."
"Tidak mungkin itu rumah mereka." Clark menggosok mata. "Itu pasti cuma
bayangan semu. Aku sudah baca buku Makhluk dari Lumpur. Di situ dikatakan
lumpur rawa bisa mengelabui mata kita. Sehingga kita melihat hal-hal yang
sebenarnya tidak ada."
Nah, apa kubilang? Clark benar-benar percaya segala sesuatu yang dibacanya.
Tapi kali ini aku terpaksa sependapat dengannya. Habis, kalau bukan begitu,
bagaimana mungkin aku menjelaskan rumah Kakek dan Nenek?
Mereka tinggal di puri.
Puri di tengah rawa. Setengah tersembunyi di balik pepohonan gelap yang
menjulang tinggi
Dad menghentikan mobil di depan pintu masuk. Aku menatap rumah yang terang
karena tersorot lampu mobil.
Rumah itu berlantai tiga. Terbuat dari batu-batu kelabu tua. Di sisi kanannya
berdiri menara. Di sebelah kiri, asap putih tampak mengepul-ngepul dari cerobong
asap yang hitam tertutup jelaga.
"Kupikir rumah di rawa lebih kecil dari ini," gumamku, "dan dibangun di atas
tiang-tiang."
"Yeah, gambar di komikku juga begitu," Clark membenarkan.
"Dan coba lihat jendela-jendelanya!" Suaranya bergetar. "Jangan-jangan mereka
vampir yang takut kena sinar matahari."
Aku mengamati jendela-jendela rumah itu. Semuanya kecil. Dan jumlahnya hanya
tiga. Rumah besar itu hanya punya tiga jendela mungil! Satu jendela si masing-
masing lantai.
"Ayo, anak-anak," kata Mom. "Ambil barang-barang kalian."
Mom, Dad, dan Clark turun dari mobil dan menuju bagasi di belakang. Aku berdiri
di depan pintu mobil bersama Charley.
Udara malam terasa dingin dan lembap di kulitku. Aku menengadah.
Menatap rumah tua yang gelap di hadapanku. Rumah tua yang setengah
tersembunyi di balik pepohonan. Di tempat jin buang anak.
Dan kemudian aku mendengar lolongan. Lolongan sedih yang membuat bulu
kuduk berdiri. Dari suatu tempat di tengah-tengah rawa.
Aku merinding.
Charley merapat ke kakiku. Aku membungkuk membelainya.
"Suara apa itu?" bisikku padanya. "Makhluk apa yang bersuara seperti itu?"
"Gretchen. Gretchen," Mom memanggilku dari pintu rumah.
Yang lain ternyata sudah masuk.
"Astaga," kata Nenek ketika aku menyusul mereka. "Terakhir kali Nenek
melihatmu, kau masih kecil sekali, Gretchen." Ia merangkulku dan mendekapku
erat-erat.
Baunya persis seperti yang kuingat — apak, seperti benda yang sudah lapuk. Aku
melirik ke arah Clark. Ia memutar-mutar,bola mata.
Aku mundur selangkah dan memaksakan senyum.
"Minggirlah, Rose!" seru Kakek. "Aku juga ingin melihat cucuku."
"Pendengaran Kakek sudah kurang baik," bisik Dad padaku.
Kakek menggenggam tanganku dengan jarinya yang berkerut-kerut. Ia dan Nenek
kelihatan begitu rapuh.
"Kami senang sekali kalian datang kemari!" kata Nenek gembira. Mata birunya
tampak berbinar-binar. "Kami jarang menerima tamu di sini!"
"Kami sempat kuatir kalian tidak jadi datang," seru Kakek.
"Kami tidak menyangka kalian datang malam-malam begini."
"Ban mobil saya pecah di jalan," jelas Dad.
"Apa? Kau lelah?" Kakek merangkul Dad. "Wah, kalau begitu duduklah, Nak."
Clark cekikikan. Mom segera menyikutnya. Kakek dan Nenek mengajak kami ke
ruang duduk.
Ruangan itu luas sekali. Kurasa ukurannya cukup besar untuk menampung seluruh
isi rumah kami. Dinding-dindingnya dicat hijau. Hijau suram.
Aku memandang ke atas, ke langit-langit. Menatap lampu kristal dengan dua belas
lilin yang disusun melingkar.
Di salah satu dinding ada perapian yang besar sekali. Dinding-dinding lainnya
dipenuhi foto hitam-putih. Semuanya sudah menguning karena tua.
Di mana-mana aku melihat foto. Foto orang-orang yang tidak kukenal.
Mungkin para kerabat yang sudah meninggal, kataku dalam hati.
Aku menoleh ke pintu yang terbuka, dan mengintip ke ruang sebelah. Rupanya
ruang makan. Sepintas lalu kelihatannya sama besar dengan ruang duduk. Juga
sama gelapnya. Dan sama suramnya.
Clark dan aku mengambil tempat di sofa tua berjok hijau. Pegas-pegasnya yang
sudah tua berderit-derit ketika aku duduk.
Charley mengerang pelan dan berbaring di lantai di depan kaki kami.
Aku memandang berkeliling. Menatap foto-foto yang tergantung di dinding.
Memperhatikan permadani yang sudah menipis. Mengamati meja-meja dan kursi-
kursi yang telah dimakan usia. Cahaya lilin dari atas membuat bayangan kami
menari-nari di dinding yang gelap.
"Rumah ini seram,", bisik Clark. "Dan baunya minta ampun — lebih parah dari
bau Kakek dan Nenek."
Aku berusaha menahan tawa. Tapi Clark benar. Ruangan itu memang berbau aneh.
Apak dan kecut.
Bagaimana mungkin dua orang tua betah tinggal di tempat seperti ini? aku
bertanya-tanya. Bagaimana mungkin mereka betah tinggal di rumah gelap dan
suram ini? Di tengah-tengah rawa lagi.
"Ada yang mau minum?" Nenek membuyarkan lamunanku. "Bagaimana kalau
kubuatkan teh untuk semuanya?"
Clark dan aku menggelengkan kepala.
Dad dan Mom juga menolak. Mereka duduk berseberangan dengan kami. Sandaran
kursi yang mereka duduki sudah bolong-bolong, dan karet busanya menyembul di
sana-sini.
"Hmm, akhirnya kalian datang juga!" seru Kakek pada Clark dan aku. "Kakek
senang sekali. Tapi tolong jelaskan — kenapa kalian baru datang malam-malam
begini?"
"Kakek," seru Nenek padanya, "jangan tanya terus!" Kemudian ia berpaling pada
kami. "Kalian pasti kelaparan setelah menempuh perjalanan panjang. Mari ikut ke
dapur. Nenek telah membuatkan pastel ayam — khusus untuk kalian."
Kami mengikuti Kakek dan Nenek ke dapur. Suasananya serupa dengan ruangan-
ruangan lain. Gelap dan kumuh.
Tapi baunya tidak seapak ruangan-ruangan lain. Aroma pastel ayam merangsang
selera.
Nenek mengeluarkan delapan potong pastel dari oven. Satu potong untuk setiap
orang — selebihnya untuk mereka yang mau tambah.
Nenek menaruh sepotong ke piringku, dan aku langsung mulai makan. Aku
memang kelaparan.
Ketika aku mengangkat garpu ke mulut, Charley mendadak berdiri dan mulai
mengendus-endus.
Ia mengendus kursi-kursi yang kami duduki.
Ia mengendus lemari, lalu mengendus lantai.
Ia naik ke meja dan kembali mengendus.
"Charley, jangan!" perintah Dad. "Turun!"
Charley melompat turun. Kemudian ia menghadap kami dan memperlihatkan gigi.
Ia mulai menggeram.
Lalu menggonggong.
Menggonggong sejadi-jadinya.
"Ada apa dengan dia?" Nenek bertanya dengan kening berkerut.
"Entahlah," jawab Dad. "Dia belum pernah ber tingkah seperti ini."
"Ada apa, Charley?" tanyaku. Aku menggeser kursiku menjauhi meja dan
menghampiri anjing kami.
Charley mengendus-endus.
Lalu menggonggong.
Lalu mengendus-endus lagi.
Aku merinding.
"Ada apa, Charley? Apa yang kaucium?"

Chapter 5

AKU meraih pengikat leher Charley. Kemudian aku mengelus-elusnya. Berusaha


menenangkannya. Tapi ia berhasil meloloskan diri dari peganganku. Ia
menggonggong lebih keras lagi.
Kembali kuraih pengikat lehernya dan kutarik tubuhnya ke arahku. Kukunya
menggores-gores lantai ketika ia memberontak.
Semakin keras aku menarik, semakin keras pula Charley melawan. Kepalanya
bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Dan ia mulai menggeram lagi.
"Tenang," kataku lembut. "Tenang."
Sia-sia.
Akhirnya Clark membantuku menyeret Charley ke ruang duduk — dan baru di
situlah ia mulai tenang.
"Ada apa sih dengan dia?" tanya Clark sementara kami membelai-belai kepala
anjing itu.
"Entahlah." Aku menatap Charley. Ia tampak gelisah dan terus berputar-putar. Ia
duduk sebentar. Lalu kembali berputar-putar. Begitu seterusnya.
"Aku benar-benar bingung. Dia belum pernah bertingkah begini. Belum pernah."
Clark dan aku memutuskan untuk menunggu di ruang duduk bersama Charley
sementara Dad dan Mom makan malam. Kami telah kehilangan selera.
"Bagaimana anjing kalian?" Kakek menyusul kami dan ikut duduk di sofa.
"Dia sudah tenang sekarang," jawab Clark sambil membetulkan letak
kacamatanya.
"Senang?" seru Kakek. "Ah, syukurlah kalau begitu."

***

Sehabis makan malam, Mom, Dad, Kakek, dan Nenek mengobrol dan mengobrol
dan terus mengobrol — tentang segala sesuatu yang terjadi sejak mereka terakhir
kali bertemu, Sembilan tahun lalu.
Clark dan aku bosan. Betul-betul bosan.
"Apakah kami boleh... ehm, nonton TV?" tanya Clark akhirnya.
"Oh, maaf, Sayang," ujar Nenek, "tapi kami tidak punya pesawat TV."
Clark memelototiku — seakan-akan aku yang salah.
"Kenapa kau tidak menelepon Arnold saja?" usulku. Arnold anak paling norak di
sekitar rumah kami. Dan sekaligus sahabat karib Clark. "Ingatkan dia untuk
mengambil komik barumu."
"Oke," gumam Clark. "Ehm, di mana teleponnya?"
"Di kota." Nenek tersenyum kecut. "Kenalan kami — yang masih hidup—hanya
sedikit. Jadi percuma pasang telepon di sini. Mr. Donner — pemilik warung serba
ada — biasa menerima pesan-pesan untuk kami."
"Tapi sudah seminggu ini kami tidak bertemu dia," Kakek menambahkan. "Mobil
Kakek rusak. Tapi mestinya sebentar lagi sudah selesai diperbaiki. Dalam minggu
ini."
Tak ada TV.
Tak ada telepon.
Tak ada mobil.
Di tengah-tengah rawa.
Kali ini giliran aku yang melolot — pada Dad dan Mom. Aku pasang tampang
kesal. Aku yakin mereka akan mengajak kami ke Atlanta. Aku yakin seratus
persen.
Dad melirik Mom. Ia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Kemudian ia
berpaling padaku. Dan angkat bahu seakan-akan hendak menunjukkan bahwa ia
tak dapat berbuat apa-apa.
"Wah, sudah waktunya tidur!" Kakek menatap jam tangannya.
"Kalian berdua harus berangkat pagi-pagi besok," katanya kepada Dad dan Mom.
"Dan kalian akan bersenang-senang di sini," kata Nenek kepada Clark dan aku.
"Ya, itu pasti," Kakek mendukungnya. "Rumah tua seperti ini paling asyik untuk
dijelajahi. Kalian bisa bertualang di sini!"
"Dan Nenek akan membuat pie talas yang lezat sekali!" Nenek menimpali. "Kalian
boleh ikut membantu. Kalian pasti suka. Saking manisnya, gigi kalian bisa tanggal
setelah gigitan pertama!"
Clark menelan ludah.
Aku mengerang — keras-keras.
Dad dan Mom tidak peduli. Mereka mengucapkan selamat tidur. Dan sekaligus
selamat berlibur. Mereka akan berangkat pagi-pagi sekali besok. Kemungkinan
besar sebelum kami bangun.
Clark dan aku mengikuti Nenek. Kami menaiki tangga tua yang gelap dan berderit-
derit, lalu menyusuri lorong panjang ke kamar kami masing-masing di lantai dua.
Kamar Clark bersebelahan dengan kamarku. Aku tidak sempat melihat seperti apa
kamarnya. Begitu Clark masuk, Nenek segera menggiringku ke kamar berikut.
Kamarku. Kamarku yang suram.
Kutaruh koperku di samping tempat tidur, lalu memandang berkeliling. Kamar itu
hampir sebesar ruang olahraga! Dan tidak ada satu jendela pun.
Satu-satunya sumber cahaya adalah lampu redup di samping tempat tidur. Lantai
kamar tertutup karpet buatan sendiri yang sudah tipis dan kusam.
Di dinding di seberang tempat tidur ada lemari pakaian. Lemarinya miring. Dan
laci-lacinya tidak bisa ditutup rapat.
Satu tempat tidur. Satu lampu. Satu lemari. Hanya ada tiga potong perabot di
ruangan luas tanpa jendela itu.
Dinding-dindingnya juga kosong. Tak ada lukisan atau foto yang menghiasi
dinding kelabu itu.
Aku duduk di tempat tidur, dan menyandarkan punggung ke kisi-kisi besi di bagian
kepala. Lalu aku meraba-raba selimut yang menutupi tempat tidur. Ternyata
selimut wol. Selimut wol yang kasar dan berbau kamper.
"Selimut ini takkan kupakai," ujarku keras-keras. Tapi aku tahu aku harus
memakainya. Kamarku dingin dan lembap. Sekarang saja aku sudah mulai
menggigil.
Aku segera mengenakan baju tidur dan menyelinap ke balik selimut tua yang bau.
Tapi aku tidak bisa tidur. Aku gulang-guling terus sambil berusaha mencari posisi
nyaman di kasur keras.
Aku menatap langit-langit dan pasang telinga. Aku mendengarkan suara-suara
aneh yang terdengar di rumah tua yang seram ini. Bunyi berderak dan berderit
yang merambat melalui dinding-dinding.
Kemudian aku mendengar suara melolong.
Lolongan mengerikan dari balik dinding.
Lolongan seperti yang terdengar di rawa tadi. Aku langsung duduk tegak.
Kedengarannya suara itu berasal dari kamar Clark.

Chapter 6

AKU terus pasang telinga tanpa berani bergerak.


Sekali lagi terdengar lolongan panjang yang sedih. Tapi ternyata dari luar. Bukan
dari kamar Clark.
"Jangan konyol!" aku memarahi diriku sendiri. "Clark yang suka berkhayal
macam-macam. Bukan kau!"
Suara melolong dari rawa itu membuatku merinding.
Suara binatangkah itu? Atau suara monster rawa?
Mukaku kututup bantal. Tapi aku tetap terjaga selama berjam-jam sebelum
akhirnya tertidur.
Ketika bangun aku tidak tahu apakah sudah pagi — atau masih tengah malam buta.
Habis di kamarku tidak ada jendela sama sekali.
Aku melirik arlojiku — 08.30. Ternyata sudah pagi.
Aku menggeledah koper untuk mencari T-shirt baruku, yang berwarna pink. Aku
butuh sesuatu untuk membuatku bersemangat — dan pink adalah warna
kesukaanku. Kemudian aku mengenakan celana jeans. Dan memakai sepatu kets
yang penuh lumpur.
Aku berpakaian dengan cepat. Kamarku mengingatkanku pada sel penjara, dan aku
ingin segera keluar dari sini.
Aku membuka pintu kamar dan mengintip ke lorong.
Sepi.
Tapi di seberang pintu kamarku ada jendela kecil. Rupanya semalam aku tidak
memperhatikannya.
Seberkas sinar matahari yang cerah masuk melalui kaca yang penuh debu. Aku
memandang ke luar — ke arah rawa.
Pohon-pohon cypress tampak terselubung kabut tebal. Kabut itu membuat rawa-
rawa berkesan misterius, seakan-akan berasal dari dunia khayalan.
Sesuatu berkepak-kepak di dahan pohon. Ternyata seekor burung berbulu ungu.
Seekor burung berbulu ungu dengan paruh jingga menyala. Aku belum pernah
melihat burung seperti itu.
Kemudian suara tadi terdengar lagi.
Lolongan-lolongan mengerikan. Teriakan-teriakan melengking. Suara binatang-
binatang yang bersembunyi di tengah rawa — segala macam makhluk yang
kemungkinan besar belum pernah kulihat.
Makhluk-makhluk rawa.
Monster-monster rawa.
Aku merinding. Aku cepat berpaling dari jendela dan menuju kamar Clark.
Aku mengetuk pintu. "Clark!"
Tak ada jawaban.
"Clark?"
Hening.
Aku membuka pintu dan memekik tertahan.
Seprai di tempat tidur Clark tampak acak-acakan seakan-akan telah terjadi
pergumulan.
Dan Clark lenyap tanpa bekas — tak ada yang tersisa selain piama yang tergeletak
di atas tempat tidur.

Chapter 7

"WAAAA!" jeritku.
"Ada apa sih, Gretchen?"
Clark muncul dari balik lemari. Ia memakai T-shirt, topi baseball, sepatu kets, dan
celana piama.
"Ehm... t-tidak ada apa-apa," aku tergagap-gagap. Jantungku masih berdegup
kencang.
"Kalau begitu, kenapa kau menjerit?" tanya Clark. "Dan kenapa tampangmu begitu
aneh?"
"Aku? Aneh? Kau yang kelihatan aneh," balasku ketus. Aku menunjuk celana
piamanya. "Mana celanamu?"
"Entahlah." Ia menggelengkan kepala. "Mungkin Mom keliru memasukkannya ke
kopermu."
Aduh, kenapa aku jadi gugup begini? tanyaku dalam hati. Clark yang daya
khayalnya terlalu hebat, bukan aku, aku kembali mengingatkan diriku.
"Ayo," kataku pada saudara tiriku. "Kita ke kamarku dan cari celana jeans-mu."
Ketika kami mau turun untuk sarapan, Clark berhenti sejenak dan mengintip
melalui jendela di lorong. Kabut tadi telah lenyap.
Tumbuh-tumbuhan yang berselubung embun tampak berkilauan dalam cahaya
matahari.
"Pemandangan yang lumayan indah, ya?" gumamku.
"Ya," sahut Clark. "Lumayan. Lumayan seram."
Suasana di dapur juga lumayan menyeramkan. Di pagi hari pun keadaannya
hampir segelap tadi malam. Tapi pintu belakang terbuka, dan ada sedikit cahaya
matahari yang menerangi lantai dan dinding-dinding.
Suara-suara dari rawa terdengar melalui pintu yang terbuka. Tapi aku berusaha
tidak menghiraukan bunyi-bunyian itu.
Nenek berdiri di depan oven. Tangan kanannya memegang sendok kayu,
sedangkan di tangan kirinya ada piring yang penuh panekuk blueberry. Begitu
melihat kami, ia meletakkan sendok dan piring, lalu Menyekakan tangan pada
celemeknya yang sudah lusuh. Kemudian ia memberikan pelukan selamat pagi
kepada kami berdua.
Clark jadi berlepotan adonan panekuk.
Aku menunjuk bercak-bercak di T-shirt-nya, dan cekikikan. Kemudian aku
mengamati T-shirt-ku sendiri. T-shirt-ku yang masih baru — dan penuh noda
blueberry.
Aku memandang berkeliling. Aku butuh sesuatu untuk membersihkan bajuku. Tapi
dapur Nenek ternyata mirip kapal pecah.
Adonan panekuk menetes-netes dari oven, menempel di meja, dan mengotori
lantai.
Kemudian aku berpaling ke Nenek. Ia juga tampak berantakan sekali. Wajahnya
coreng-moreng — biru dan putih. Kerut-kerut di pipinya penuh sisa tepung dan
buah blueberry. Hidung dan dagunya juga berlepotan tepung.
"Bagaimana? Kalian bisa tidur nyenyak?" Daerah di sekitar matanya yang biru ikut
berkerut ketika ia tersenyum. Dengan punggung tangan ia menyingkirkan sejumput
rambut kelabu yang jatuh ke matanya. Tapi akibatnya malah ada adonan panekuk
yang melekat di rambutnya.
"Kakek tidur nyenyak," Kakek menyahut, ketika pekik nyaring terdengar dari arah
rawa. "Kakek selalu tidur nyenyak. Habis suasana di sini begitu tenang dan
tenteram."
Mau tidak mau aku tersenyum. Mungkin Kakek justru beruntung pendengarannya
kurang baik.
Kakek keluar lewat pintu belakang; Clark dan aku segera membersihkan diri.
Kemudian kami mengambil tempat di meja.
Di tengah meja ada piring lain berisi panekuk blueberry. Yang ini bahkan lebih
besar lagi daripada piring yang dipegang Nenek. Dan tumpukan panekuknya juga
lebih tinggi.
"Sepertinya Nenek menganggap kita rakus," Clark berbisik sambil
mencondongkan badan ke arahku. "Tumpukan panekuk itu cukup untuk lima puluh
orang."
"Yeah," aku membenarkan. "Dan kita terpaksa menghabiskan semuanya. Kalau
tidak, Nenek bisa sakit hati."
"Masa sih?" tanya Clark sambil membelalakkan mata.
Itulah salah satu hal yang paling kusukai pada saudara tiriku. Ia nyaris percaya apa
saja yang kukatakan padanya.
"Ayo, makanlah," kata Nenek sambil membawa dua piring lagi ke meja. "Jangan
malu-malu."
Untuk apa Nenek membuat panekuk sebanyak ini? aku bertanya-tanya. Kami tidak
mungkin menghabiskan semuanya. Tidak mungkin.
Aku mengambil beberapa potong panekuk. Nenek menaruh kira-kira sepuluh
potong di piring Clark. Clark langsung pucat.
Nenek menemani kami di meja makan. Tapi piringnya sendiri tetap kosong. Ia
tidak mengambil satu potong pun.
Ada begini banyak panekuk dan dia tidak ambil satu pun. Aku tidak mengerti,
pikirku. Aku benar-benar tidak mengerti.
"Apa yang sedang kaubaca, Sayang?" Nenek menunjuk komik Clark.
Clark telah menggulung komik itu dan menyelipkannya ke kantong belakang
celana jeans-nya.
"Makhluk dari Lumpur," Clark menjawab sambil mengunyah.
"Oh, menarik sekali," ujar Nenek. "Nenek juga senang membaca. Kakek Eddie
juga. Kami selalu membaca. Kami paling suka kisah misteri. 'Tak ada yang lebih
menarik dari kisah misteri yang bagus,' Kakek Eddie selalu bilang."
Aku langsung berdiri. Aku baru ingat — hadiah-hadiah untuk Kakek dan Nenek
masih ada di koperku.
Buku! Cerita misteri! Dad sudah memberitahu kami bahwa mereka suka membaca.
"Aku akan segera kembali!" Aku permisi sebentar dan bergegas ke atas.
Aku menyusuri lorong panjang ke kamarku. Tapi kemudian aku berhenti karena
mendengar langkah. Siapa itu?
Aku memandang ke ujung lorong. Dan aku hampir memekik kaget ketika melihat
bayangan gelap di dinding.
Rupanya ada orang.
Orang yang sedang mengendap-endap ke arahku.
Chapter 8

AKU merapatkan punggung ke dinding. Aku menahan napas dan pasang telinga.
Bayangan itu menghilang dari pandangan.
Bunyi langkah tadi pun semakin tak jelas.
Masih sambil menahan napas, aku menyusuri lorong yang gelap dan berliku-liku.
Perlahan-lahan aku mengintip dari balik dinding yang menyudut. Dan melihatnya.
Bayangan itu. Bentuknya tidak kelihatan jelas dalam cahaya remang-remang.
Bayangan itu tampak bergerak di dinding hijau tua, dan semakin lama semakin
mengecil.
Aku maju dengan sigap namun tanpa bersuara, mengikuti bayangan tersebut.
Bayangan siapa itu? aku bertanya-tanya. Siapa yang ada di sini selain aku?
Aku mendekat.
Bayangan di dinding kembali membesar. Jantungku berdegup-degup ketika aku
mengejar sosok misterius itu.
Bayangan di depanku kembali membelok. Aku segera bergegas maju. Lalu
berhenti.
Siapa pun yang tadi berjalan di depanku — sekarang berdiri di situ. Persis di balik
belokan.
Aku menarik napas dalam-dalam — dan mengintip dengan hati-hati.
Dan aku melihat Kakek Eddie.
Ia membawa setumpuk panekuk di piring yang besar sekali.
Kok Kakek bisa ada di sini? aku bertanya-tanya. Rasanya aku melihat dia keluar
rumah tadi.
Barangkali Kakek masuk lagi lewat pintu lain, aku akhirnya menyimpulkan. Ya,
pasti begitu. Rumah ini besar sekali. Pasti ada banyak pintu, lorong, dan tangga
yang belum kuketahui.
Tapi kenapa Kakek ada di atas sini sambil membawa setumpuk panekuk? Mau
dibawa ke mana tumpukan panekuk itu?
Wah, ini benar-benar misterius!
Kakek Eddie memegang piring besar itu dengan kedua tangan sambil berjalan
menyusuri lorong.
Aku harus mengikutinya, pikirku. Aku harus tahu dia mau ke mana.
Aku pun menyusuri lorong. Aku tak lagi perlu berhati-hati untuk tidak bersuara.
Kan pendengaran Kakek kurang baik.
Aku berjalan beberapa langkah di belakangnya. Tiba-tiba ada suara aneh, dan aku
langsung berhenti. Suara mengendus-endus. Di belakangku.
Aduh, gawat! Charley!
Charley berlari dari ujung lorong. Ia mengendus-endus. Kemudian ia melihatku —
dan berhenti.
"Anjing pintar," bisikku sambil berusaha mengusirnya. "Sana. Balik sana."
Tapi ia malah berlari menghampiriku. Dan menggonggong keras-keras.
Aku menyambar pengikat lehernya ketika ia berusaha mengecohku — dan berlari
mengejar Kakek.
Pengikat lehernya kupegang erat-erat. Gonggongannya semakin kencang.
"Rose?" panggil Kakek Eddie. "Kaukah itu, Rose?"
"Ayo, Charley," bisikku. "Kita harus pergi dari sini."
Aku menyeret Charley melewati belokan — sebelum Kakek sempat memergokiku.
Kemudian aku cepat-cepat masuk ke kamarku.
Charley kutarik sekalian.
Sejenak aku duduk di atas selimut wol yang kasar untuk mengatur napas. Lalu aku
cepat-cepat membongkar koper serta mengambil buku-buku misteri untuk Kakek
dan Nenek.
Mau ke mana Kakek dengan membawa tumpukan panekuk itu? tanyaku dalam hati
ketika aku bergegas menuruni tangga sambil membawa hadiah-hadiah.
Dan kenapa dia mengendap-endap?
Misteri ini harus kupecahkan, aku membulatkan tekad.
Kalau saja aku tahu masalah apa yang bakal kuhadapi, aku takkan sok tahu seperti
itu.

Chapter 9

"KENAPA kalian tidak main di luar saja, sementara Nenek membereskan piring-
piring ini?" Nenek mengusulkan sehabis sarapan. "Setelah itu kalian bisa
membantu Nenek membuat pie talas yang semanis madu!"
"Main?" gumam Clark. "Memangnya kita anak dua tahun?"
"Ayo, kita keluar saja, Clark." Aku menariknya lewat pintu belakang. Sebenarnya
aku sendiri juga tidak berminat menghabiskan waktu di rawa-rawa. Tapi itu masih
mendingan dibandingkan duduk-duduk di rumah tua yang menyeramkan.
Kami disambut sinar matahari yang terang benderang — dan aku nyaris memekik
kaget. Udara yang panas dan pengap seakan-akan menekan kulitku. Aku berusaha
menarik napas dalam-dalam — untuk mengusir perasaan yang tidak
menyenangkan itu.
"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?" gerutu Clark. Ia juga menarik napas
dalam-dalam.
Aku memandang berkeliling dan melihat jalan setapak. Jalan setapak itu mulai dari
belakang rumah dan menuju rawa.
"Kita bisa menjelajahi tempat ini," aku mengusulkan.
"Aku tidak mau jalan-jalan di rawa," sahut Clark.
"Takut apa sih? Monster dari komik?" ejekku. "Makhluk dari lumpur?"
Aku tertawa.
"Lucu sekali," omel Clark sambil cemberut.
Kami berjalan beberapa langkah. Sinar matahari menerobos dedaunan, yang
seolah-olah membentuk atap di atas kepala kami, dan menimbulkan bayangan-
bayangan pada jalan setapak.
"Ular," Clark mengakui. "Aku takut ular."
"Tenang saja," ujarku. "Aku akan berjaga-jaga terhadap ular. Kau berjaga-jaga
terhadap buaya."
"Buaya?" Clark langsung membelalakkan mata.
"Ya, tentu," sahutku. "Daerah rawa seperti ini penuh buaya pemakan manusia."
Ada suara menyela. "Gretchen. Clark. Jangan jauh-jauh dari rumah."
Aku menoleh dan melihat Kakek. Ia berdiri beberapa meter di belakang kami.
Apa itu yang dipegangnya?
Gergaji besar. Giginya yang tajam tampak berkilau-kilau dalam sorot sinar
matahari.
Kakek menuju gubuk kecil yang baru setengah selesai. Gubuk itu terletak beberapa
meter dari tepi jalan setapak, di antara dua pohon cypress tinggi.
"Oke!" seruku pada Kakek. "Kami takkan jauh-jauh."
"Kalian mau membantu Kakek menyelesaikan gubuk ini?" balasnya sambil
mengangkat gergaji. "Bertukang bisa membangun rasa percaya diri lho!"
"Ehm, mungkin nanti," jawabku.
"Kalian mau membantu?" tanya Kakek sekali lagi.
Clark menangkupkan telapak tangan di sekitar mulutnya dan berseru, "NAN-TI!"
Kemudian ia kembali berpaling ke jalan setapak. Dan ia tersandung.
Kakinya tersandung sosok gelap yang mendadak muncul dari balik rumput.
Chapter 10

"BUAYA! Ada buaya!" jerit Clark.


Kakek melambai-lambaikan gergajinya. "Nanti saja? Oke!"
"Tolong! Tolong! Kakiku disambar!" ratap Clark.
Aku memandang ke bawah. Menatap sosok gelap di rumput. Dan tertawa.
"Cypress knee," kataku dengan tenang.
Clark membalik. Mulutnya masih terbuka lebar karena ngeri. Ia mengamati sosok
yang tampak di antara batang-batang rumput.
"Cuma batang cypress yang menyembul dari rumput kok," aku menjelaskan.
"Namanya cypress knee. Kan sudah kuberitahu kemarin. Masa sudah lupa sih?"
"Aku ingat!" ia mencoba berkelit. "Aku cuma mau menakut-nakutimu."
Tadinya aku ingin mengejeknya, tapi kemudian aku berubah pikiran karena
melihat seluruh tubuh Clark gemetaran. Kasihan juga sih.
"Ayo, kita kembali ke rumah saja," aku mengusulkan. "Nenek pasti sudah
menunggu kita. Dia kan mau membuat pie talasnya yang semanis madu."
Sambil jalan, aku bercerita bahwa aku sempat melihat Kakek di atas tadi. Dan aku
juga menyinggung sepiring besar panekuk yang dibawanya.
"Mungkin dia suka makan di tempat tidur," Clark berkomentar. "Dad dan Mom
kan juga suka sarapan di tempat tidur."
"Yah, bisa jadi," ujarku. Tapi sebenarnya aku kurang yakin. Atau bahkan sama
sekali tidak yakin.
"Hmm, kelihatannya kalian cukup senang tinggal di sini," kata Nenek ketika kami
masuk ke dapur.
Clark dan aku bertukar pandang dan angkat bahu.
"Sudah siap membuat pie?" tanya Nenek sambil tersenyum. "Semuanya sudah
Nenek siapkan."
Dia menunjuk bahan-bahan membuat pie di atas meja.
"Siapa yang mau menggiling adonan," tanyanya sambil menatapku, "sementara
Nenek memotong talas?"
"Aku saja deh," jawabku.
Clark menghela napas. "Ehm, kalau begitu aku ke ruang duduk saja. Komikku
belum selesai kubaca," katanya agar terbebas dari tugas. "Mom selalu bilang aku
cuma mengganggu di dapur."
"Omong kosong!" balas Nenek. "Kau yang menakar gulanya. Kita harus pakai gula
banyak."
Aku mulai menggiling adonan. Rasanya Nenek terlalu banyak membuat adonan.
Tapi mungkin juga itu cuma perasaanku. Aku tidak pernah membantu Mom
membuat pie. Menurut Mom, aku juga cuma mengganggu.
Setelah adonan selesai digiling, urusan selanjutnya diambil alih oleh Nenek. "Oke,
anak-anak. Kalian duduk saja di meja dan minum segelas susu. Selebihnya biar
Nenek yang tangani."
Sebenarnya Clark dan aku tidak haus. Tapi kami merasa tidak enak kalau menolak.
Kami menghabiskan susu yang diberikan Nenek, lalu menontonnya membuat pie.
Bukan satu pie, tapi tiga.
"Nenek, kenapa Nenek membuat tiga pie?" tanyaku.
"Untuk persediaan," jelasnya. "Siapa tahu kita mendadak didatangi tamu."
Tamu? pikirku. Tamu?
Aku menatap Nenek sambil mengerutkan kening. Siapa yang mau berkunjung ke
sini? Kakek dan Nenek kan tinggal di ujung dunia.
Ada apa ini? aku bertanya-tanya.
Apakah Nenek memang menunggu tamu?
Kenapa dia selalu memasak terlalu banyak?

Chapter 11

"KERJA bikin haus!" seru Kakek begitu membuka pintu dapur.


Ia langsung menuju lemari es. "Nah! Betul, kan!" Kakek menunjuk kedua gelas
susu yang sudah kosong. "Bagaimana, kalian sudah siap membantu Kakek
membuat gubuk?"
"Eddie, anak-anak kemari bukan untuk bekerja!" Nenek menegurnya. "Kenapa
kalian tidak bertualang di rumah ini saja? Kamarnya banyak sekali lho. Siapa tahu
kalian akan menemukan harta karun."
"Ide bagus!" Kakek mengembangkan senyum berseri-seri. Tapi hampir seketika
senyumnya meredup lagi. "Ada satu hal yang perlu kalian ingat. Kalian akan
menemukan kamar yang terkunci. Di ujung lorong di lantai tiga. Dengarkan baik-
baik, anak-anak. Jangan masuk ke kamar itu."
"Kenapa? Memangnya ada apa di dalamnya?" tanya Clark.
Kakek dan Nenek berpandangan dengan cemas. Wajah Nenek tampak bersemu
merah.
"Itu gudang," jawab Kakek. "Kami menyimpan bermacam-macam barang di situ.
Barang-barang tua. Barang-barang yang mudah rusak. Pokoknya, jangan masuk ke
situ."
Clark dan aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kami bersyukur bisa kabur.
Kakek Eddie dan Nenek Rose memang ramah — tapi agak aneh.
Sebagian besar lantai dasar terpakai untuk dapur, ruang duduk, dan ruang makan.
Ruangan-ruangan itu telah kami lihat.
Selain itu masih ada perpustakaan. Tapi buku-buku di situ sudah tua dan berdebu.
Membuatku bersin terus. Jadi Clark dan aku menaiki tangga. Ke lantai dua.
Kami melewati kamar-kamar kami.
Melewati jendela kecil di lorong.
Kami terus menyusuri lorong yang berkelok-kelok — sampai ke ruangan
berikutnya.
Kamar tidur Kakek dan Nenek.
"Sebaiknya kita jangan masuk," kataku kepada Clark. "Kakek dan Nenek pasti
tidak senang kalau kita melihat-lihat barang-barang mereka."
"Ayo, masuk saja!" desak Clark. "Kau tidak ingin tahu apakah ada remah-remah
panekuk di sini?" Ia tertawa.
Aku langsung mendorongnya.
"Hei!" gerutunya. Kacamatanya merosot ke hidungnya. "Aku kan cuma bercanda."
Aku membiarkannya berdiri di lorong, dan membuka pintu sebelah. Pintu itu berat
sekali, dan terbuat dari kayu berwarna gelap.
Aku harus mengerahkan seluruh tenaga waktu membukanya. Aku meraba-raba
dinding untuk mencari sakelar lampu. Klik.
Ruangan diterangi cahaya redup kekuningan — dari satu bohlam berdebu yang
tergantung di langit-langit.
Dalam cahaya remang-remang aku melihat kardus-kardus. Seluruh ruangan
dipenuhi kardus. Tumpukan demi tumpukan.
"Hei! Siapa tahu ada sesuatu yang seru di dalam kardus-kardus itu," ujar Clark
sambil mendesak melewatiku.
Ia mulai membongkar kardus terdekat. "Isinya pasti sesuatu yang besar," katanya
sambil menunjuk sisi kardus yang menggembung.
Aku mengintip dari belakang Clark. Udara di ruangan itu berbau apak dan kecut.
Sambil menutup hidung dan memicingkan mata, aku menunggu sampai Clark
selesai membongkar kardus.
"Ya ampun!" serunya.
"Ada apa sih?" tanyaku sambil menjulur-julurkan leher.
"Isinya cuma koran. Koran bekas," lapor Clark.
Kami mengeluarkan koran-koran paling atas — dan menemukan lebih banyak
koran bekas lagi. Koran-koran lama yang sudah menguning.
Kami membuka lima kardus lain.
Lagi-lagi koran bekas.
Semua kardus berisi koran bekas. Satu ruangan penuh kardus berisi koran bekas.
Dari zaman sebelum Dad lahir. Kumpulan koran bekas selama lima puluh tahun.
Untuk apa semua koran lama ini disimpan? aku bertanya-tanya.
"Hei!" Clark sedang memeriksa salah satu kardus di seberang ruangan. "Kau
takkan percaya apa isi yang satu ini!"
"Apa? Apa isinya?"
"Majalah." Ia nyengir lebar.
Kelakuannya mulai menyebalkan. Tapi aku menghampirinya.
Aku suka majalah. Baru maupun lama.
Aku menyelipkan tangan ke dalam kardus dan mengangkat setumpuk majalah.
Tiba-tiba telapak tanganku seperti digelitik.
Aku segera mengintip ke bawah majalah-majalah itu.
Dan menjerit keras-keras.

Chapter 12

RATUSAN kecoa berseliweran di sela-sela jariku.


Langsung kulempar semua majalah ke lantai.
Aku mengibas-ngibaskan tangan, agar serangga-serangga menjijikkan itu terlepas
dari tanganku.
"Tolong!" pekikku. "Tolong aku!"
Beberapa kecoa mulai merambat di lenganku. Aku berusaha menepis semuanya —
tapi jumlahnya terlalu banyak!
Clark memungut majalah dari lantai dan menggunakannya untuk memukul-mukul.
Tapi ketika majalah itu mengenai lenganku, semakin banyak kecoa keluar dari sela
halaman-halaman.
Dan mendarat di T-shirt-ku. Di tengkukku. Di wajahku!
Aku merasakan seekor kecoa merayap di daguku. Aku menepisnya — lalu
menjentikkan seekor lagi dari pipiku.
Sambil kalang kabut aku menarik komik Clark dari saku celananya — lalu mulai
menepis-nepis dan menyabet-nyabet. Menepis dan menyabet. Menepis dan
menyabet.
"Gretchen! Berhenti!" aku mendengar Clark berteriak. "Mereka sudah kabur.
Berhenti!"
Napasku terengah-engah. Aku memandang ke bawah.
Ia benar. Makhluk-makhluk menjijikkan itu ternyata sudah kabur semua.
Tapi seluruh badanku masih terasa gatal. Dan jangan-jangan bakal gatal terus
untuk selama-lamanya.
Aku keluar ke lorong dan duduk di lantai. Aku harus menunggu sampai jantungku
berhenti berdebar-debar sebelum bisa bicara. "Oh, menjijikkan sekali," erangku
akhirnya. "Betul-betul menjijikkan."
"Ya." Clark menghela napas. "Tapi kenapa kau pakai komikku untuk mengusir
kecoa-kecoa itu?" Ia memegang salah satu sudut komiknya, seakan-akan belum
yakin bahwa sudah aman untuk menyelipkannya kembali ke kantong celana.
Kulitku tetap terasa seperti kesemutan, seolah-olah masih ada kecoa yang
merambat. Aku merinding. Sekali lagi aku mengusap-usap lengan.
"Oke." Aku bangkit dan memandang ke ujung lorong suram. "Coba kita lihat apa
yang ada di kamar sebelah!"
"Benar nih?" tanya Clark. "Belum kapok?"
"Kenapa mesti kapok?" sahutku. "Masa cuma karena serangga-serangga kecil kau
jadi ngeri?"
Clark benci serangga. Aku tahu persis. Serangga besar dan kecil. Tapi dia tidak
mau mengakuinya. Karena itu dia malah lebih dulu menuju ruangan berikut.
Kami mendorong pintu yang berat — dan mengintip ke dalam.

Chapter 13

"WOW! Coba lihat barang-barang ini!" Clark berdiri di tengah ruangan. Ia sedang
berputar perlahan agar bisa mengamati semuanya.
Satu ruangan penuh mainan. Mainan-mainan lama. Bergunung-gunung.
Di salah satu sudut ada sepeda roda tiga yang sudah berkarat. Roda depannya
sudah tidak ada.
"Ini pasti bekas sepeda Dad," ujarku. Rasanya sulit membayangkan Dad sebagai
anak kecil yang naik sepeda roda tiga.
Aku menekan klaksonnya. Ternyata masih berbunyi.
Clark mengeluarkan papan catur yang penuh debu dari peti kayu. Ia memasang
buah catur sementara aku memeriksa barang apa lagi yang ada di situ.
Aku menemukan beruang teddy berkepala penyok karena tertindih. Lalu ada
boneka monyet yang tangannya telah hilang sebelah.
Aku membongkar sejumlah tas berisi serdadu-serdadu mainan. Seragam mereka
tampak lusuh, dan wajah mereka pun sudah tidak kelihatan jelas.
Kemudian aku melihat peti mainan antik. Di bagian depannya ada gambar komidi
putar yang dulu pernah berkilau keemasan, tapi sekarang sudah memudar.
Aku mengangkat tutupnya yang berdebu, dan melihat boneka porselen yang
tengkurap di dalam peti.
Aku mengangkatnya dengan hati-hati. Lalu membaliknya agar menghadap ke
arahku.
Pada pipinya ada retakan-retakan halus. Dan ujung hidungnya telah sempal.
Kemudian aku menatap matanya — dan memekik tertahan.
Boneka itu tak bermata.
Tak bermata sama sekali.
Aku hanya melihat dua lubang hitam di bawah keningnya yang kecil.
"Jadi ini harta karun Nenek?" gumamku. "Ini sih cuma rongsokan!"
Boneka itu segera kukembalikan ke dalam peti. Tiba-tiba terdengar bunyi berderit.
Dari seberang ruangan. Dari dekat pintu.
Aku menoleh dan melihat kuda-kudaan kayu yang berayun maju-mundur.
"Clark, kau yang mendorong kuda itu, ya?" tanyaku.
"Bukan," sahut Clark pelan-pelan. Ia memperhatikan kuda-kudaan itu berayun-
ayun. Maju-mundur. Berderit-derit.
"Ayo, kita keluar saja," kataku. "Aku jadi merinding di sini."
"Aku juga," kata Clark. "Kepala ratu caturnya dipenggal. Dikunyah-kunyah sampai
putus."
Clark melompati sejumlah kardus dan bergegas ke lorong.
Aku menengok sekali lagi sebelum mematikan lampu. Hih, seram.
"Clark?"
Ke mana dia?
Aku menoleh ke kiri-kanan.
Clark tidak kelihatan. Padahal baru saja dia masih di sini. Berdiri di ambang pintu.
"Clark? Di mana kau?"
Aku menyusuri lorong yang berkelok-kelok. Perasaanku mulai tidak enak.
Jantungku berdegup kencang.
"Clark? Ini tidak lucu."
Tak ada jawaban.
"Clark? Di mana kau?"
Chapter 14

"BOOOO!"
Aku langsung menjerit.
Clark muncul di belakangku. Dia tertawa sampai terbungkuk-bungkuk. "Kena
kau!" serunya.
"Tidak lucu, Clark," omelku. "Kau cuma konyol. Aku sama sekali tidak takut."
Ia memutar-mutar bola matanya. "Hah, jangan bohong, Gretchen. Mengaku sajalah
— sekali ini saja. Kau benar-benar ketakutan, ya kan?"
"Enak saja!" bantahku. "Aku cuma sedikit kaget. Itu saja."
Kuselipkan kedua tanganku ke kantong celana, agar Clark tidak melihat tanganku
gemetaran. "Kau benar-benar konyol, tahu!"
"Hmm, Nenek kan berpesan agar kita bersenang-senang di sini. Dan ini benar-
benar asyik!" ia menggodaku. "Ke mana kita sekarang?"
"Aku tidak mau ke mana-mana," balasku gusar. "Aku mau mengurung diri di
kamar dan membaca."
"Hei! Ide bagus!" seru Clark. "Kita main petak umpet saja!"
"Main? Apa aku tidak salah dengar?" ujarku. "Tadi kau bilang yang suka main
cuma anak dua tahun."
"Ini lain," jelas Clark. "Main petak umpet di rumah ini bukan permainan untuk
bayi."
"Clark, aku bukan..."
Ia tidak memberi kesempatan padaku untuk menyelesaikan kalimat itu. "KAU
YANG JAGA!" serunya. Seketika ia berbalik dan lari ke ujung lorong untuk
bersembunyi.
"Aku tidak mau main petak umpet," gerutuku.
Oke, kataku dalam hati. Kita selesaikan secepatnya saja. Cari Clark sampai
ketemu. Habis itu kau bisa ke kamar dan membaca.
Aku mulai berhitung lima-lima.
"Lima, sepuluh, lima belas, dua puluh...," kataku keras-keras, sampai seratus.
Kemudian aku mulai menyusuri lorong gelap. Ketika aku sampai di ujung,
lorongnya berbelok — dan menyambung ke tangga yang menuju lantai tiga.
Aku mulai menaiki tangga kayu yang penuh debu. Tangganya berputar dan
berputar. Aku memandang ke depan, tapi yang terlihat hanya beberapa anak tangga
saja.
Kakiku sendiri pun tidak kelihatan. Keadaan di sini benar-benar gelap gulita.
Tangga itu berderak dan berderit setiap kali aku melangkah. Langkannya tertutup
lapisan debu tebal-tapi aku tetap berpegangan.
Aku naik perlahan-lahan — mendaki tangga putar yang gelap. Semakin lama
semakin tinggi.
Aku mulai terengah-engah. Hidungku gatal karena mengisap debu yang melayang-
layang di udara pengap.
Akhirnya aku sampai di puncak tangga, dan memandang ke lorong lantai tiga.
Lorong itu juga berkelok-kelok, sama seperti lorong lantai dua. Dindingnya juga
dicat hijau tua. Dan satu-satunya sumber cahaya berasal dari jendela kecil.
Perlahan-lahan aku melangkah maju dan membuka pintu pertama yang kutemui.
Ruangan itu ternyata besar sekali. Hampir seluas ruang duduk. Tapi kosong sama
sekali.Ruangan berikut tak kalah besarnya. Dan tak kalah kosongnya.
Dengan hati-hati aku kembali menyusuri lorong gelap.
Udara di atas sini benar-benar panas. Butir-butir keringat mengalir dari pelipis ke
pipiku. Aku menyeka semuanya dengan lengan baju.
Ruangan berikut yang kumasuki ternyata kecil. Ehm, sebenarnya tidak kecil juga,
tapi lebih kecil dari ruangan-ruangan lain yang sudah kulihat. Di salah satu sisi ada
piano tua.
Kalau saja tidak begitu pengap di sini, aku pasti balik ke ruangan ini, aku berkata
dalam hati. Aku akan kembali untuk melihat apakah piano itu masih bisa
dimainkan.
Tapi sekarang aku cuma ingin menemukan Clark di tempat persembunyiannya.
Lalu segera pergi.
Aku maju lagi.
Melewati belokan.
Dan memekik kaget — ketika aku mulai jatuh. Lantainya mendadak lenyap.
Tak ada lantai di bawah kakiku!
Cepat-cepat aku mengulurkan tangan dalam gelap. Tanganku menggapai-gapai,
mencari tempat berpegangan.
Aku berhasil meraih sesuatu yang keras — langkan tangga tua.
Aku terus berpegangan. Dan bergelantungan.
Aku mencengkeramnya erat-erat dengan kedua tangan, lalu mengayunkan badanku
ke atas. Kembali ke lantai lorong.
Jantungku berdegup-degup ketika aku menatap ke lubang menganga tempat aku
terjatuh tadi. Lubang gelap yang dulu pernah ada tangganya. Tapi tangga itu sudah
hancur termakan usia.
Aku menghela napas.
"Awas, Clark, kau akan merasakan pembalasanku!" seruku keras-keras. "Aku kan
sudah bilang aku tidak mau ikut main."
Aku bergegas menyusuri lorong sambil mencari saudara tiriku itu. Aku ingin
mengakhiri permainan konyol ini secepat mungkin. Dan kemudian aku berhenti.
Tanpa berkedip aku menatap pintu di ujung lorong. Pintu dengan kunci besar
mengilap. Perlahan-lahan aku menghampirinya.
Anak kunci berwarna perak dibiarkan menancap.
Apa yang ada di dalam situ? aku bertanya-tanya. Kenapa pintu ini digembok?
Aku maju lagi.
Kenapa Kakek dan Nenek melarang kami masuk ke ruangan itu?
Mereka bilang ruangan itu cuma gudang.
Hampir setiap ruangan di rumah aneh ini bisa dibilang gudang, pikirku. Jadi
kenapa pintu yang satu ini tidak boleh dibuka?
Aku berdiri di depan pintu.
Kuulurkan tanganku.
Dan kuraih anak kunci berwarna perak itu.

Chapter 15

JANGAN.
Segera kutarik tanganku.
Aku harus mencari Clark, kataku dalam hati. Aku sudah bosan dengan permainan
konyol ini. Aku sudah capek mondar-mandir di sini.
Tiba-tiba aku mendapat ide gemilang.
Aku sembunyi saja! Biar Clark yang mencari aku. Aku akan bersembunyi sampai
Clark bosan menunggu. Dan setelah itu dia yang akan mencari aku! Ide bagus!
pikirku. Hmm... di mana aku bisa bersembunyi?
Aku memeriksa semua ruangan di lantai tiga untuk mencari tempat persembunyian
yang baik. Tapi semua ruangan di sini ternyata kosong. Tak ada tempat untuk
bersembunyi.
Aku kembali ke ruangan kecil yang berisi piano. Barangkali aku bisa menyelinap
ke balik piano, pikirku.
Aku berusaha mendorongnya menjauhi dinding. Sedikit saja, asal cukup untuk
menyelinap. Tapi piano itu terlalu berat, dan tidak bergeser sedikit pun.
Aku kembali ke pintu berkunci besar — satu-satunya ruangan yang terkunci.
Lalu aku berbalik dan mengamati lorong remang-remang.
Betulkah semua ruangan sudah kuperiksa? Jangan-jangan ada yang terlewat.
Dan ketika itulah aku melihatnya.
Sebuah pintu kecil. Pintu di dinding.
Pintu yang sebelumnya luput dari perhatianku. Pintu ke cerobong kerekan.
Aku pernah melihat kerekan seperti itu dalam film. Di rumah tua yang besar
seperti rumah ini. Kerekan itu berfungsi untuk membawa makanan dan piring dari
satu lantai ke lantai lain. Praktis sekali.
Hei, ada kerekan makanan! pikirku. Tempat yang cocok untuk sembunyi! Aku
berbalik dan menghampirinya — tapi tiba-tiba terdengar bunyi praaang. Seperti
bunyi piring jatuh ke lantai.
Bunyi itu berasal dari balik pintu yang terkunci rapat.
Aku menempelkan telinga ke daun pintu. Dan mendengar bunyi langkah.
Oh, rupanya Clark bersembunyi di situ! aku menyadari. Dasar curang! Dia tahu
persis aku takkan mencarinya di situ!
Dia bersembunyi di ruangan yang tidak boleh kami masuki.
Hah, Clark, pikirku. Kali ini kau sedang apes!
Aku memegang anak kunci yang menancap di pintu dan segera memutarnya. Klik.
Tanpa pikir panjang aku membuka pintu.
Dan berhadapan dengan monster yang mengerikan.

Chapter 16

AKU nyaris terjerembap.


Aku tidak bisa bergerak. Tidak bisa mundur. Tidak sanggup mengalihkan mata.
Aku berhadapan dengan monster sungguhan yang hidup dan bernapas seperti aku.
Tingginya paling tidak tiga meter.
Ia berdiri di kamar yang terkunci.
Aku menatap tubuhnya yang besar dan berbulu lebat. Tubuhnya bagaikan gorila —
dengan dedaunan, akar-akar pohon, dan butir-butir pasir yang tersangkut di bulu-
bulunya. Kepalanya bersisik, dan moncongnya bagaikan moncong buaya —
panjang dan penuh gigi runcing.
Bau busuk segera menyebar. Baunya menyengat sekali. Bau rawa.
Makhluk itu menoleh ke arahku, dan aku melihat matanya menonjol di sisi
kepalanya yang besar.
Dia menatapku sepintas lalu saja. Kemudian perhatiannya kembali ke tangannya
yang berbulu — yang sedang memegang setumpuk panekuk.
Monster itu mulai melahap panekuk. Bukan satu per satu, tapi setumpuk demi
setumpuk. Sepertinya dia lapar sekali.
Aku memperhatikannya sambil tetap menggenggam gagang pintu. Tanpa berkedip
aku menyaksikannya menelan setumpuk panekuk lagi. Semuanya ditelan bulat-
bulat!
Monster itu menggeram-geram puas. Mata buayanya yang mengerikan tampak
melotot. Urat nadi di lehernya berdenyut-denyut.
Monster itu terus melahap panekuk — setumpuk demi setumpuk. Tangannya yang
satu lagi menggaruk-garuk kakinya yang berbulu lebat.
Ia menggaruk dan menggaruk. Sampai berhasil menemukan kumbang hitam yang
menyusup di antara bulu-bulunya.
Kumbang itu diambil dan diamatinya dengan matanya yang besar.
Kaki serangga itu bergerak-gerak.
Si monster mengamatinya. Mengamati kakinya yang berayun-ayun.
Dan kemudian si monster memasukkan kumbang itu ke mulutnya — dan langsung
mulai mengunyah. Kres.
Cairan campuran antara blueberry dan kumbang menetes dari mulutnya.
Lari! seruku dalam hati. Lari!
Tapi saking ngerinya, aku tidak sanggup bergerak.
Makhluk itu kembali meraih tumpukan panekuk.
Aku memaksakan diri untuk mundur selangkah — keluar ke lorong.
Si monster langsung menoleh. Ia melotot ke arahku. Lalu menggeram. Tumpukan
panekuk di tangannya dibiarkan jatuh ke lantai. Dia menghampiriku.
Aku langsung ambil langkah seribu sambil menjerit-jerit minta tolong.
"Gretchen! Gretchen! Ada apa?" Clark muncul di ujung lorong.
"Ada monster! Di kamar yang terkunci! Cepat!" pekikku. "Cepat! Panggil
bantuan!"
Aku bergegas menuruni tangga. "Kakek! Kakek!" seruku. "Ada monster!"
Aku menoleh untuk melihat apakah monster itu mengejarku — dan menyadari
bahwa Clark belum beranjak.
"Ada monster di sana!" teriakku. "Awas, Clark! Pergi dari situ!"
Ia malah tertawa. "Memangnya aku bodoh? Kau pasti cuma mau menipuku."
Clark menuju pintu ruangan yang ada monsternya. Ia nyengir lebar.
"Jangan! Jangan ke situ!" bujukku. "Aku tidak bohong!"
"Kau cuma mau menakut-nakutiku. Untuk balas dendam."
"Aku tidak bercanda, Clark! Jangan ke situ!" jeritku. "JANGAN!"
Clark sampai di pintu. "Awas, aku datang, monster rawa!" serunya sambil
melangkah masuk. "Ayo, hadapi aku kalau kau memang berani!"
Chapter 17

SEDETIK kemudian aku mendengar Clark menjerit ketakutan. Tapi jeritannya


nyaris hilang tertelan raungan makhluk itu. Charley berlari menaiki tangga sambil
menggonggong sejadi-jadinya.
"Lari! Lari!" Clark menghambur keluar sambil melambai-lambaikan tangan. "Ada
monster! Monster rawa!"
Kami berlari menuruni tangga. Charley kami seret-seret, tapi dia melawan terus.
Dia malah mau berbalik dan naik lagi.
"Charley, ayo!" kataku. "Ayo!"
Tapi Charley justru duduk dan melolong-lolong. Dia tidak mau menurut.
Terdengar raungan menggelegar.
Ya ampun! Dia datang! Dia mengejar kami!
"AYO, CHARLEY!" aku memohon sambil menarik pengikat lehernya. "AYO
DONG!"
Clark berdiri di tangga. Saking ngerinya ia tidak bisa bergerak.
"Bantu aku, Clark!" ujarku. "Jangan bengong saja. Bantu aku!"
Si monster rawa menyusuri lorong. Seluruh tangga bergetar karena langkahnya
yang berat.
"Monster itu mau menangkap kita," bisik Clark. Ia belum juga beranjak dari
tempatnya berdiri.
Aku meraih T-shirt Clark dan menariknya keras-keras. "Bantu aku, Clark!"
teriakku. "Dorong Charley!"
Kami harus berjuang keras untuk menuruni tangga. Aku menarik-narik Charley,
sementara Clark mendorong-dorongnya dari belakang.
"Nenek! Nenek!" panggilku.
Tak ada jawaban.
Raungan si monster semakin keras. Semakin dekat.
"Kunci Charley di kamar mandi!" aku menyuruh Clark ketika kami sampai di
lantai dua. "Dia akan aman di situ. Aku mau mencari Kakek dan Nenek."
Aku berlari ke dapur. "Nenek! Kakek!" teriakku. "Ada monster!"
Tak ada siapa-siapa di dapur.
Aku berlari ke ruang duduk. "Di mana Kakek dan Nenek? Tolong!"
Mereka tidak ada di ruang duduk.
Aku bergegas ke perpustakaan. Kosong.
Aku kembali menaiki tangga. Kuperiksa kamar mereka dan semua ruangan lain di
lantai dua. Tapi aku tidak berhasil menemukan mereka.
Di mana mereka? Di mana mereka? aku bertanya-tanya.
Clark keluar dari kamar mandi. Langkah si monster terdengar berdebam-debam di
atas.
"Mana Kakek dan Nenek?" ia tergagap-gagap.
"A-aku tidak tahu. Aku sudah mencari ke mana-mana."
"Kau sudah periksa di luar?" Suaranya melengking tinggi.
Benar juga! pikirku. Jangan panik, Gretchen. Mereka pasti di luar. Kemungkinan
besar di pekarangan belakang. Aku yakin Kakek sedang bertukang di luar.
Terburu-buru kami menuruni tangga, 1alu berlari ke dapur.
Kami berhenti di pintu belakang. Memandang ke arah rawa. Ke arah pondok.
Tak ada siapa-siapa di luar.
"Di mana...?" Clark mulai berkata.
"Coba dengar, tuh!" selaku. "Kaudengar itu."
Bunyi mobil. Bunyi mesin sedang dinyalakan.
"Mobil Kakek dan Nenek! Mobil mereka selesai diperbaiki!" seruku.
Kami mengikuti bunyi mesin mobil. Bunyi itu berasal dari depan rumah.
Kami berlari ke pintu depan dan memandang ke luar.
Itu mereka!
"Hah?" pekikku kaget.
Mobil Kakek dan Nenek sedang mundur dari pekarangan.
Mereka mau pergi!
"Jangan... tunggu.! Tunggu!" teriakku sambil memutar gagang pintu.
"Mereka tidak mendengarmu!" seru Clark. "Buka pintunya! Buka!"
Aku menarik-narik pintu. Aku menarik dengan sekuat tenaga. Sekali lagi aku
memutar gagang pintu.
"Cepat!" jerit Clark. "Mereka mau meninggalkan kita di sini!"
Aku menarik dan menarik. Memutar-mutar gagang pintu.
Kemudian aku sadar.
"Mereka mengunci pintu dari luar!" kataku kepada Clark. "Kita terkunci di sini!"
Chapter 18

"KENAPA kita ditinggal?" ratapku. "Kenapa kita ditinggal di sini? Kenapa kita
dikurung?"
Langit-langit di atas kami bergetar. Bergetar keras. Cukup keras untuk membuat
foto-foto di dinding ruang duduk berjatuhan ke lantai.
"Apa itu?" tanya Clark sambil mengerutkan kening.
"Si monster! Dia mengejar kita!" sahutku dengan suara parau. "Kita harus keluar
dari sini! Kita harus mencari bantuan!"
Clark dan aku kembali ke dapur. Ke pintu belakang.
Aku memutar-mutar gagang pintu. Dan menarik dengan sekuat tenaga. Tapi
ternyata pintu ini juga tidak bergerak sedikit pun, karena dikunci dari luar.
Kami berlari kian kemari.
Memeriksa semua pintu samping.
Tapi semuanya terkunci. Semua pintu — terkunci rapat dari luar.
Langkah si monster berdebam-debam di atas. Tega-teganya Kakek dan Nenek
berbuat begini. Tega-teganya mereka. Tega-teganya mereka. Kalimat itu terus
terulang dalam benakku ketika aku berlari ke perpustakaan. Menghampiri jendela.
Satu-satunya jendela di seluruh lantai dasar. Satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan diri. Aku berjuang keras untuk membuka jendela. Tapi jendela itu
tidak bergerak sedikit pun. Aku mengepalkan tangan dan menggedor-gedor rangka
kayunya.
"Lihat tuh!" kata Clark dengan suara seperti tercekik. Ia menunjuk kaca jendela
yang berdebu. "Lihat itu!"
Dua paku berkarat. Dua paku yang menyembul dari rangka jendela. Jendelanya
dipaku — dari luar! Clark dan aku benar-benar terkurung.
Tega-teganya mereka berbuat begini, ratapku dalam hati. Tega-teganya.
"Kacanya harus kita pecahkan!" Aku berpaling kepada Clark. "Itu satu-satunya
cara untuk keluar dari sini!"
"Oke!" seru Clark. Ia mencondongkan badan dan mulai memukul-mukul kaca
jendela dengan tangan terkepal.
"Kau sudah gila?" bentakku. "Cari sesuatu yang lebih kuat buat..."
Tapi sisa kalimatku terpotong — terpotong bunyi gaduh dari atas. Bunyi itu disusul
denting dawai piano yang memekakkan telinga.
"S-sedang apa dia?" Clark tergagap-gagap.
"Di atas ada piano tua. Sepertinya si monster melemparnya ke dinding!"
Lantai, dinding-dinding, langit-langit ruang perpustakaan — semuanya bergetar
ketika si monster melempar-lempar piano.
Berulang-ulang.
Vas porselen, piring kristal, dan sejumlah hiasan kaca di atas meja kecil berjatuhan
ke lantai dan pecah berantakan di depan kaki kami.
Aku memekik tertahan ketika buku-buku berhamburan dari rak dan berserakan di
lantai.
Clark dan aku saling merapat. Kami langsung tiarap. Menunggu hujan buku itu
berhenti.
Menunggu sampai si monster berhenti mengamuk. Kami tiarap di lantai sampai
suasana kembali hening.
Satu buku lagi jatuh dari rak, dan menimpa meja kecil di sampingku.
"Berikan itu padaku!" kataku kepada Clark sambil menunjuk tempat lilin dari
kuningan di sebelah buku yang baru jatuh. "Awas, mundur."
Aku berpaling ke jendela. Aku mengambil ancang-ancang untuk mengayunkan
tempat lilin yang berat itu — tapi tiba-tiba aku mendengar suara merintih-rintih.
Rintihan Charley. Dari atas.
"Oh, ya ampun!" pekikku tertahan. "Si monster — dia berhasil menangkap
Charley!"

Chapter 19

AKU berlari ke tangga. Sebelah tanganku menggenggam tempat lilin, satunya lagi
menyeret Clark. Aku harus menyelamatkan Charley! Harus!
Tanpa pikir panjang aku berlari menaiki tangga. Aku berhenti ketika sampai di
lantai dua.
Jantungku berdegup kencang ketika aku mengintip ke lorong.
Si monster tidak kelihatan.
Aku mengendap-endap menuju kamar mandi. Tak ada bunyi apa pun selain bunyi
napas Clark yang terengah-engah dan detak jantungku sendiri.
Aku maju dengan hati-hati sampai bisa melihat pintu kamar mandi.
Pintunya tertutup.
Aku meraih gagang pintu. Tapi tanganku licin karena telapaknya berkeringat.
Pintu itu kubuka sedikit. Aku mengintip melalui celah pintu, tapi tidak melihat
apa-apa.
Napas Clark terasa di tengkukku ketika aku membuka pintu lebih lebar.
Sedikit demi sedikit.
"Charley!" seruku lega.
Charley duduk di bak mandi untuk berendam. Ia meringkuk di salah satu sudut.
Ketakutan — tapi selamat.
Ia menatap kami dengan mata besarnya yang berwarna cokelat. Ekornya
bergoyang pelan. Kemudian ia mulai menggonggong.
"Ssst!" bisikku sambil membelai-belai kepalanya. "Jangan ribut, Charley. Nanti si
monster tahu kita di sini."
Charley malahan menggonggong lebih keras. Saking kerasnya, kami nyaris tidak
mendengar bunyi mobil yang baru berhenti di luar.
"Ssst!" kataku kepada Charley. Aku berpaling pada Clark. "Kaudengar itu?"
Ia membelalakkan mata. "Pintu mobil!"
"Yes!" seruku.
"Kakek dan Nenek kembali!" seru Clark. "Mereka pasti membawa bantuan!"
"Tunggu di sini!" aku memberi perintah kepada Charley ketika Clark dan aku
menyelinap keluar dari kamar mandi. "Anjing pintar. Tunggu."
Clark membanting pintu, dan kami langsung berlari menuruni tangga.
"Aku tahu mereka pasti kembali! Aku tahu mereka tidak mungkin meninggalkan
kita di sini!" Aku menghambur turun, setiap langkah melewati dua anak tangga.
Lalu aku mendengar mesin mobil dinyalakan kembali.
Mendengar mobil itu menjauh.
Mendengar bunyi ban melindas batu-batu kerikil di pekarangan.
"Tungguuuu!" seruku ketika mencapai pintu depan. "Jangan pergi! Jangan pergi!"
Aku menggedor-gedor pintu dengan tangan terkepal. Aku menendang-nendangnya
dengan keras. Dan kemudian aku melihat secarik kertas berwarna pink di lantai.
Kelihatannya kertas itu diselipkan melalui celah di bawah pintu.
Pesan. Tanganku gemetaran ketika aku memungutnya. Aku mulai membaca:
Kami baru kembali minggu depan. Maaf, anak-anak. Tapi rupanya urusan dinas
ini makan waktu lebih lama dari yang kami kira.
Pesan telepon — dari Dad dan Mom.
Ternyata bukan Kakek dan Nenek yang datang, aku menyadari.
Mr. Donner, dari warung serba ada di kota, mampir ke sini untuk mengantarkan
pesan telepon ini.
Raungan si monster membuyarkan lamunanku. Aku langsung berbalik.
Clark telah lenyap.
"Clark!" seruku. "Di mana kau?"
Suara si monster semakin nyaring. Dan semakin garang.
"Clark!" panggilku sekali lagi. "Clark!"
"Gretchen... cepat kemari!"aku mendengar teriakannya dari arah dapur.
Chapter 20

"GRETCHEN! Gretchen!"
Berulang kali aku mendengar Clark memanggil namaku ketika aku berlari
melintasi ruang duduk. Setiap kali nadanya bertambah melengking dan ngeri.
"Aku datang!" seruku. "Tunggu, Clark! Aku sudah datang."
Aku bergegas melewati sofa — dan tersandung kursi kecil penyangga kaki.
Kepalaku membentur lantai.
Clark masih terus memanggil-manggil, tapi sekarang suaranya terdengar jauh.
Begitu jauh.
Kepalaku berdenyut-denyut.
Aku memaksakan diri bangkit, tapi seluruh ruangan seolah-olah berputar
mengelilingiku.
"Gret-chen! Gret-chen!"
"Tunggu sebentar!" ujarku sambil memejamkan mata.
Kemudian aku mendengar raungan si monster. Suara menggelegar itu terdengar di
semua sudut rumah.
Aku harus menolong Clark. Dia dalam kesulitan! Dia ditangkap si monster! aku
menyadari.
Terhuyung-huyung aku melewati ruang duduk. Menuju dapur. Raungan si monster
membuat dinding-dinding bergetar.
"Tahan, Clark!" aku hendak berseru, tapi suaraku tidak mau keluar dari mulut.
"Aku datang!"
Aku masuk ke dapur.
"Gretchen!" Clark berdiri di depan lemari es. Ia sendirian.
"Mana dia?" seruku. Aku memandang berkeliling, mencari-cari si monster.
"S-siapa?" Clark tergagap-gagap.
"Si monster!" sahutku.
"Di atas," balas Clark heran. "Kok lama betul sih kau kemari?"
Ia tidak menunggu jawabanku. "Coba lihat ini." Ia menunjuk lemari es. Aku
membalik dan melihat dua surat yang ditempelkan dengan magnet.
"Gara-gara ini kau teriak-teriak seperti orang gila?" pekikku.
"Aku kaget setengah mati tadi! Kupikir kau ditangkap si monster!"
Tangan Clark gemetaran ketika melepaskan kedua surat itu dari pintu lemari es.
"Dua surat untuk kita. Dari Kakek dan Nenek."
Aku menatap kedua amplop di tangan Clark. Keduanya memang ditujukan pada
kami. Dan diberi nomor, satu dan dua.
"Mereka meninggalkan surat untuk kita?" Aku benar-benar heran.
Clark membuka amplop pertama. Kertas suratnya bergetar di tangannya ketika ia
mulai membaca dalam hati.
Matanya beralih dari baris ke baris. Mulutnya komat-kamit, tapi aku tidak
mendengar apa yang dikatakannya.
"Coba sini!" Aku berusaha mengambil surat itu, tapi Clark segera merebutnya
kembali. Ia memegangnya erat-erat dan meneruskan membaca.
"Apa katanya, Clark?" tanyaku.
Ia tidak menghiraukanku. Ia membetulkan letak kacamatanya yang merosot
sedikit, lalu kembali membaca. Kembali bergumam tak jelas.
Aku memperhatikan Clark membaca.
Aku memperhatikan matanya menelusuri baris demi baris.
Dan aku memperhatikannya membelalakkan mata karena ngeri.

Chapter 21

"CLARK!" seruku tidak sabar. "Apa isinya?"


Clark mulai membacakan surat itu keras-keras. "'Gretchen dan Clark yang
tersayang," katanya. Kertas surat itu bergoyang-goyang di tangannya yang
gemetaran.
"'Kami sangat menyesal karena berbuat begini terhadap kalian, tapi kami terpaksa
pergi. Beberapa minggu lalu, kami disatroni monster rawa. Kami berhasil
menyekapnya di salah satu kamar di atas. Tapi setelah itu kami tidak tahu harus
berbuat apa. Mobil kami sedang di bengkel, jadi kami tidak bisa mencari telepon
untuk minta bantuan.
"'Selama beberapa minggu terakhir kami hidup dalam ketakutan. Kami takut
melepaskan monster itu. Dia selalu ribut dan marah. Kami yakin dia akan
membunuh kami.'"
Lututku mulai bergetar ketika Clark melanjutkan membaca surat itu.
"'Kami sengaja tidak memberitahu orangtua kalian mengenai si monster.
Seandainya diberitahu, mereka takkan mengizinkan kalian kemari. Kami jarang
menerima tamu di sini. Dan kami begitu ingin bertemu kalian. Tapi sepertinya
kami telah membuat kesalahan. Seharusnya kalian ikut ke Atlanta bersama
orangtua kalian. Rasanya kami telah membuat kesalahan dengan membiarkan
kalian tinggal di sini.'"
"Rasanya mereka telah membuat kesalahan? Rasanya?" jeritku.
Clark menoleh ke arahku. Wajahnya pucat pasi. Bintik-bintik di mukanya pun
seakan-akan memudar. Ia menggeleng-gelengkan kepala karena heran.
Kemudian ia kembali membaca surat dari Kakek dan Nenek.
"'Selama ini makhluk itu kami beri makan melalui celah yang digergaji Kakek di
bagian bawah pintu. Monster itu rakus sekali. Tapi kami terpaksa memberinya
makan. Kami tidak berani membiarkannya kelaparan.
"'Kami tahu kami tidak seharusnya meninggalkan kalian. Tapi kami hanya mau
mencari bantuan. Kami akan kembali—begitu kami berhasil menemukan orang
yang bisa membantu. Seseorang yang tahu cara menangani makhluk mengerikan
itu.
"Maaf, anak-anak. Kami sungguh menyesal — tapi kami terpaksa mengurung
kalian di dalam rumah. Kami takut kalian akan pergi ke daerah rawa. Tempat itu
tidak aman untuk kalian.'"
Astaga, apa-apaan ini?
"Tempat itu tidak aman!" seruku. "Kita ditinggal di sini bersama monster
pembunuh — dan mereka bilang tempat itu tidak aman! Mereka sudah gila, Clark!
Betul-betul gila!"
Clark mengangguk dan kembali membaca. "'Maaf, anak-anak. Kami sungguh-
sungguh menyesal. Tapi ada satu hal yang perlu kalian ingat: Kalian tidak
terancam bahaya, asal...'"
Monster di atas meraung keras. Saking kagetnya, surat yang sedang dipegang
Clark terlepas dari tangannya.
Dengan mata terbelalak aku memperhatikan kertas itu melayang-layang.
Jatuh ke lantai.
Dan menyelinap ke bawah lemari es.
"Ambil suratnya, Clark!" seruku. "Cepat!"
Clark menelungkup di lantai dan menyelipkan jari ke bawah lemari es. Tapi ujung
jarinya hanya menyentuh pinggiran kertas, sehingga surat itu malah terdorong
semakin jauh ke belakang.
"Tunggu!" teriakku. "Kau malah mendorongnya ke belakang!"
Tapi Clark tidak mendengarkanku.
Ia memaksakan tangannya meraih lebih dalam lagi, dan berusaha menarik
lembaran kertas itu.
Akibatnya mudah ditebak. Surat itu justru semakin tak terjangkau.
Dan akhirnya sama sekali tidak kelihatan lagi.
"Tuh, apa kubilang!" kataku gusar. "Kau yang baca surat itu tadi! Kita tidak
terancam bahaya, asal... asal apa?"
"A-aku belum sampai bagian itu," Clark mengakui sambil tergagap-gagap.
Rasanya aku ingin mencekik dia.
Aku berbalik. Dan mencari sesuatu yang bisa diselipkan ke bawah lemari es —
untuk menarik surat itu.
Tapi tidak ada yang cukup pipih atau cukup panjang. Semua yang kulihat terlalu
besar.
Clark membuka lemari-lemari dan laci-laci untuk mencari sesuatu yang bisa kami
pakai.
Si monster berdebam-debam di lantai dua.
Seluruh langit-langit bergetar.
Sebuah piring jatuh dari meja dan langsung pecah menjadi seribu serpihan.
"Aduh, gawat," gumamku sambil menatap langit-langit. Catnya sudah mulai retak-
retak. "Dia sudah turun ke lantai dua. Dia semakin dekat."
"Kita bakal celaka," ujar Clark. "Dia akan menangkap kita dan..."
"Clark, lemari esnya harus kita pindahkan. Kita harus tahu bagaimana bunyi bagian
surat yang belum kita baca!"
Clark dan aku menarik-narik lemari es. Kami mendorong dan menarik dengan
sekuat tenaga.
Sementara itu, si monster meraung-raung di atas. Kami menarik lebih keras lagi.
Lemari es mulai bergeser.
Clark berlutut dan mengintip ke bawahnya. "Dorong!" katanya. "Dorong!
Pinggirannya sudah kelihatan! Ayo... dorong sedikit lagi!"
Sekali lagi aku mengerahkan seluruh tenaga — dan kemudian Clark berhasil
meraih surat itu! Ia menjepit salah satu sudut dengan jempol dan telunjuk. Dan
menariknya keluar.
Dikibas-kibaskannya kertas itu untuk menyingkirkan debu yang menempel.
"Baca saja!" bentakku. "Baca saja!"
Clark mulai membaca lagi, "'Kalian tidak terancam bahaya, asal...'"

Chapter 22

AKU menahan napas sambil menunggu Clark menyelesaikan kalimat itu.


Menunggu untuk mengetahui bagaimana caranya agar kami tetap aman.
"'Kalian tidak terancam bahaya," kata Clark, "'asal kalian tidak membuka pintu dan
membiarkan si monster keluar.'"
"Hah? Cuma itu?" Aku terbengong-bengong. "Sekarang sudah terlambat! Sudah
terlambat! Tidak ada pesan lain? Masa cuma itu?"
"Ada sedikit lagi." Clark kembali membaca. "'Tolong ingat baik-baik: jangan
dekati kamar itu. Dan jangan buka pintunya.'"
"Sekarang sudah terlambat!" ratapku. "Sudah terlambat!"
"'Kalau monster itu sampai lolos, kalian tidak punya pilihan. Kalian harus mencari
cara untuk membunuhnya.'" Clark menoleh ke arahku. "Cuma itu, Gretchen. Tidak
ada pesan lain. Kalian harus mencari cara untuk membunuhnya."
"Cepat!" kataku kepada Clark. "Buka surat yang satu lagi. Barangkali ada petunjuk
lain!"
Clark mulai membuka amplop kedua ketika kami mendengar bunyi langkah.
Bunyi langkah berdebam-debam di bawah.
Di ruang sebelah—ruang duduk.
"Cepat, Clark! Buka!"
Terburu-buru Clark mencoba membuka amplop kedua. Tapi ia langsung berhenti
ketika kami mendengar dengus napas si monster rawa.
Bunyi napasnya semakin dekat.
Jantungku berdegup kencang ketika bunyi itu bertambah keras.
"D-dia menuju ke sini!" jerit Clark sambil menyelipkan surat yang belum dibuka
ke dalam sakunya.
"Ke ruang makan!" teriakku. "Kita harus ke ruang makan!"
"Apa yang harus kita lakukan? Bagaimana kita bisa membunuhnya?" seru Clark
ketika kami menghambur keluar dari dapur.
"Kita... aduuuh!" Rasa nyeri menjalar ke seluruh kakiku ketika aku menabrak meja
makan.
Aku memegang lutut. Berusaha menekuknya. Tapi sakitnya tak tertahankan.
Aku membalik.
Dan itu dia.
Si monster rawa.
Dia sudah ada di dapur — dan menuju ruang makan sambil menatap kami dengan
garang.
Chapter 23

MONSTER itu memelototiku dengan matanya yang terbelalak lebar. Aku melihat
urat nadi di kepalanya berdenyut-denyut ketika ia menggeram panjang.
Aku tidak sanggup mengalihkan mata dari urat nadi yang berdenyut-denyut itu.
"Lari, Gretchen!" Clark menarikku dari belakang. Ia menyeretku keluar dari ruang
makan. Terburu-buru kami lari ke tangga.
"Kita harus cari tempat sembunyi." Napas Clark terengah-engah ketika kami naik
ke lantai dua. "Kita harus sembunyi sampai Kakek dan Nenek kembali dengan
bantuan."
"Mereka takkan kembali!" seruku. "Mereka takkan kembali ke sini!"
"Mereka bilang begitu," Clark berkeras. "Mereka bilang begitu di surat tadi."
"Clark, kau memang bodoh sekali."
Kami sampai di puncak tangga. Aku berhenti sejenak untuk mengatur napas.
"Siapa yang bakal percaya pada mereka?" tanyaku sambil megap-megap. "Siapa
yang mau percaya mereka menyekap monster rawa di rumah mereka?"
Clark diam saja.
Aku sendiri yang menjawab pertanyaanku. "Takkan ada! Takkan ada yang
percaya. Semua orang yang mendengar cerita itu pasti menyangka mereka sudah
gila."
"Pasti ada yang percaya," sahut Clark dengan parau. "Pasti ada yang mau
menolong."
"Mana mungkin?! 'Kami perlu bantuan untuk membunuh monster rawa,' itu yang
akan mereka katakan. Kujamin pasti banyak yang menawarkan diri!" Aku
menggeleng-gelengkan kepala.
Aku berhenti membentak-bentak Clark ketika bunyi napas si monster terdengar
lagi. Aku segera berbalik — dan melihat makhluk itu.
Ia berdiri di kaki tangga. Dan menatap kami dengan tajam. Air liurnya menetes-
netes. Perlahan-lahan Clark dan aku melangkah mundur. Pandangan si monster
terus mengikuti kami.
"Kita harus membunuhnya," bisik Clark. "Itu yang dikatakan Kakek dan Nenek
dalam surat mereka. Kita harus membunuhnya. Tapi bagaimana?"
"Aku punya ide," ujarku kepada Clark. "Ayo, ikut aku!"
Kami berbalik dan segera lari. Ketika melewati kamar mandi, kami mendengar
Charley merintih-rintih.
"Charley harus kita bawa!" Clark langsung berhenti. "Terlalu bahaya dia dibiarkan
terkurung di sini. Dia harus dibawa."
"Tidak bisa, Clark," sahutku. "Dia cukup aman di sini. Kau tak perlu kuatir."
Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu yakin. Tapi aku tahu kami tidak punya waktu
untuk mengambil Charley — sebab si monster telah menyusul kami ke lantai dua.
Ia berdiri di ujung lorong.
Dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ternyata ia memegang kursi penyangga
kaki yang sempat membuatku tersandung di ruang duduk tadi.
Matanya tampak menyala-nyala.
Ia memelototiku, lalu menggeram keras-keras. Air liurnya kembali menetes-netes.
Lidahnya menjulur keluar untuk menjilat ludahnya sendiri.
Aku merinding ketika melihat lidahnya yang bercabang dua, bagaikan lidah ular.
Kemudian ia menghantamkan kursi di tangannya ke kakinya. Kursi itu langsung
terbelah. Dengan gusar si monster melemparkan bagian-bagiannya ke arah kami.
"Ayo!" teriak Clark ketika potongan-potongan kayu itu membentur dinding.
Kami berlari menaiki tangga. Menuju lantai tiga. Si monster mengejar kami. Setiap
kali ia melangkah, seluruh rumah terasa bergetar.
"Dia datang!" teriak Clark. "Apa yang harus kita lakukan? Tadi kau bilang kau
punya ide. Ide apa?"
"Di atas ada tangga ambruk," aku memberitahu Clark sambil berlari sekencang
mungkin di lorong yang gelap dan berkelok-kelok.
"Tangga itu ambruk seluruhnya. Yang tersisa cuma lubang besar. Setelah
membelok di ujung, kau harus langsung berpegangan pada langkan tangga. Si
monster akan mengejar kita — dan dia akan jatuh ke lubang itu."
Raungan s i monster membuat telingaku berdengung-dengung.
Aku melihatnya bergegas menyusuri lorong, mengikuti kami.
"Ayo, Clark! Cepat!"
"Tapi bagaimana kalau ini tidak berhasil?" tanya Clark dengan nada melengking
karena ngeri. "Bagaimana kalau dia cuma cedera? Bisa-bisa dia malah bertambah
ganas!"
"Jangan banyak tanya, Clark," balasku kesal. "Ini pasti berhasil! Pasti!"
Kami mulai berlari lagi.
Si monster melolong-lolong. Melolong karena marah.
"Itu belokannya, Clark. Di depan."
Monster itu meraung-raung. Ia hanya beberapa langkah di belakang kami.
Jantungku berdegup kencang. Dadaku serasa mau meledak.
"Pegang pagarnya, Clark. Kalau tidak, kau bakal jatuh. Ayo!"
Kami berbelok.
Kami mengangkat tangan. Dan berpegangan pada langkan tangga.
Tubuh kami membentur dinding — lalu menggantung di atas lubang hitam yang
menganga.
Si monster ikut berbelok.
Apakah rencanaku akan berhasil? Apakah dia bakal jatuh dan mati?
Apakah memang begini cara membunuh monster?
Chapter 24

MAKHLUK itu berbelok tanpa memperlambat langkahnya.


Ia berusaha berhenti di tepi lubang. Wajahnya menoleh ke arah kami. Matanya
merah manyala.
Ia membuka mulut dan menggeram. Tangannya menggapai-gapai untuk menjaga
keseimbangan. Tapi tidak berhasil. Ia jatuh ke lubang yang gelap gulita.
Aku mendengarnya terempas di bawah. Bunyinya keras sekali. Clark dan aku
bergelantungan di langkan tangga yang sudahlapuk. Langkan itu berderak-derak
karena menahan berat badan kami.
Tanganku mulai pegal. Jemariku mulai kaku. Aku sadar aku takkan sanggup
berpegangan lama-lama. Kami pasang telinga.
Hening.
Makhluk itu tidak bergerak.
Aku menoleh ke bawah, tapi keadaan terlalu gelap untuk melihat apa pun.
"Jariku sudah licin," erang Clark. Kemudian ia mengayunkan kaki dan berusaha
menjangkau lantai lorong dengan sepatunya. Dengan susah payah ia berhasil
mencapai lorong yang aman.
Aku menyusulnya.
Kami kembali memandang ke lubang yang menganga. Tapi dasarnya diselubungi
kegelapan yang pekat, sehingga kami tidak bisa melihat apa-apa.
Kami pasang telinga. Tak ada suara sama sekali.
"Kita berhasil! Kita selamat!" sorakku. "Monster itu berhasil kita bunuh!"
Clark dan aku melompat-lompat kegirangan. "Kita berhasil! Kita berhasil!"
Kami berlari ke bawah, dan mengeluarkan Charley dari kamar mandi.
"Semuanya sudah beres, Charley." Aku langsung merangkul anjingku.
"Kita berhasil," kataku padanya. "Kita berhasil membunuh monster rawa itu."
"Ayo, kita pergi dari sini," desak Clark. "Kita bisa jalan kaki ke kota. Lalu telepon
Dad dan Mom dari warung serbaada. Supaya mereka datang dan menjemput kita
— sekarang juga!"
Saking senangnya, kami seperti menari-nari waktu menuruni tangga. Kami bertiga
menuju perpustakaan.
"Awas," kataku kepada Clark. "Tolong pegang Charley. Aku akan memecahkan
jendela supaya kita bisa keluar."
Aku memandang berkeliling, mencari-cari tempat lilin dari kuningan untuk
memecahkan kaca. Tapi ternyata tidak ada.
"Tunggu di sini," ujarku. "Tempat lilinnya ketinggalan di kamar mandi. Aku akan
segera kembali."
Serta-merta aku berlari keluar dari perpustakaan.
Aku sudah tidak sabar untuk meninggalkan tempat seram ini.
Aku sudah tidak sabar untuk pergi dari rawa-rawa yang mengerikan. Dan
memberitahu Dad dan Mom betapa bodohnya mereka, karena menyuruh kami
tinggal di rumah berisi monster.
Aku berlari melintasi ruang duduk — menuju tangga.
Aku melompati tiga anak tangga — lalu berhenti. Aku berhenti karena mendengar
erangan.
Tidak mungkin, pikirku. Ini pasti suara Charley. Barangkali Charley sedang
menggeram.
Aku pasang telinga.
Dan kembali mendengarnya.
Bukan geraman anjing. Jelas-jelas bukan geraman anjing. Kemudian terdengar
langkah, langkah yang berdebam-debam, langkah si monster rawa.
Bunyi itu semakin dekat.
Semakin dekat.

Chapter 25

"CLARK!" Aku langsung kembali ke perpustakaan. Kakiku gemetaran. Seluruh


tubuhku gemetaran.
"Dia belum mati!" seruku. "Si monster belum mati!"
Tapi perpustakaan sudah kosong.
"Clark? Di mana kau?" panggilku.
"Di dapur," sahutnya. "Aku sedang memberi makan Charley."
Aku berlari ke dapur. Clark dan Charley duduk di lantai. Charley sedang minum
air dari mangkuk.
"Dia belum mati! Si monster belum mati!" jeritku.
Clark membelalakkan mata. "Dia pasti semakin kesal sekarang. Dia pasti marah
besar. Apa yang harus kita lakukan?"
Aku memandang berkeliling. "Masukkan Charley ke situ," aku menyuruh Clark.
"Ke lemari itu. Aku punya ide."
"Moga-moga yang ini lebih baik dari yang pertama," gumam Clark.
"Memangnya kau punya ide yang lebih bagus?" bentakku. "Heh?"
Clark diam saja.
Ia menyeret Charley melintasi dapur. "Gretchen, ini bukan lemari. Ini semacam
ruangan."
"Sama saja," sahutku. "Masukkan saja dia ke situ!"
Di meja layan ada pie talas buatan Nenek. "Si monster belum makan dari tadi
pagi," kataku kepada Clark. "Pie ini harus kita taruh di tempat yang bakal terlihat
dia."
"Tapi apa artinya pie ini bagi si monster?" sahut Clark sambil mengurung Charley.
"Sekali telan juga sudah habis. Dan setelah itu kita bakal dikejar-kejar lagi."
"Tak mungkin," aku berkeras. "Soalnya pie ini akan kita beri racun."
"Nanti dulu, Gretchen," kata Clark. "Aku rasa ini takkan berhasil."
Charley merintih-rintih di balik pintu — seakan-akan sependapat dengan Clark.
"Kita tak punya pilihan," balasku ketus. "Kita harus berbuat sesuatu!"
Aku menemukan garpu, lalu mencungkil bagian atas pie yang keras. Kemudian
aku memeriksa lemari di bawah tempat cuci piring. Lemari itu lembap dan kotor
sekali. Pipa airnya ditumbuhi semacam jamur berwarna hijau.
Aku menemukan sekaleng terpentin di rak paling depan. Tutupnya terpasang rapat-
rapat. Aku harus memutarnya keras-keras untuk membukanya.
Perlahan-lahan kutuangkan seluruh isi kaleng ke pie talas.
"Idih! Baunya minta ampun," ujar Clark sambil menutup hidungnya.
Aku mengamati pie Nenek. Pie itu jadi becek dan agak cair, seperti lumpur.
"Kelihatannya kita butuh sesuatu untuk mengeringkan terpentin ini," aku
berkomentar. "Kurasa ini bisa dipakai."
Aku meraih sebotol serbuk pembersih untuk pipa air yang tersumbat.Serbuk biru
itu kutaburkan ke atas pie. Serbuk itu langsung mendesis-desis begitu mengenai
terpentin tadi.
Clark melompat mundur. "Mestinya sudah cukup," komentarnya.
Aku tidak menggubrisnya.
Aku memasukkan kepala ke bawah tempat cuci piring dan menemukan dua
stoples.
"Racun tikus!" seruku sambil membaca label yang menempel pada salah satu
stoples. "Bagus." Yang satu lagi berisi amonia.
"Cepat!" desak Clark. "Suaranya sudah terdengar. Dia menuju kemari."
Aku menaburkan racun tikus dan menuangkan amonia ke atas pie talas buatan
Nenek.
Suara si monster semakin dekat. Aku tersentak kaget setiap kali ia meraung atau
menggeram.
Aku menemukan kaleng berisi cat jingga, dan menuangkan isinya sekalian.
"Cukup! Sudah cukup!" seru Clark panik.
"Oke. Oke. Aku cuma mau memastikan rencanaku berhasil."
Aku memasukkan segenggam bola kamper.
"Cepat!" Clark mendesak. "Sudahlah. Dia datang!"
Bunyi langkah si monster berdebam-debam di ruang duduk.
"Cepat dong!" Clark memohon. Bagian atas pie talas kusemprot dengan obat
nyamuk.
"Gretchen!" Clark mengiba.
Aku menaruh pie talas itu di atas meja.
Aku teringat ucapan Nenek. Saking manisnya, gigi kalian bisa tanggal setelah
gigitan pertama!
Pie ini harus lebih mujarab lagi sekarang! kataku dalam hati. Pie ini harus bisa
membunuh monster!
"Awas, dia datang!" jerit Clark.
Kami bersembunyi di bawah meja makan.
Si monster memasuki dapur. Aku mengintip dari bawah meja, dan melihatnya
mengayun-ayunkan tangan. Ia menyambar piring, panci, gelas. Pokoknya segala
sesuatu yang terjangkau.
Kemudian jantungku serasa mau copot ketika makhluk raksasa itu berbalik.
Ia tampak ragu-ragu. Kemudian ia maju selangkah ke arah meja dapur. Lalu
selangkah lagi. Dan selangkah lagi.
Clark dan aku meringkuk di bawah meja. Kami berdua gemetaran begitu hebat,
sehingga meja ikut bergoyang.
Dia bisa melihat kami di bawah sini! aku menyadari.
Kami terperangkap.
Apa yang akan dilakukannya?

Chapter 26

CLARK dan aku berpegangan tangan. Si monster rawa menghampiri meja. Ia


begitu dekat, sehingga bau apak yang tersebar dari bulu-bulu lebatnya tercium
jelas.
Clark merintih perlahan.
Aku cepat-cepat membekap mulutnya. Aku sendiri memejamkan mata.
Pergilah, aku berdoa. Pergilah, monster, jangan lihat kami.
Makhluk itu terdengar mengendus-endus. Seperti anjing yang sedang mencium-
cium sepotong tulang.
Ketika aku membuka mata, ia sudah menjauhi meja.
"Uih!" Aku mengembuskan napas dengan lega.
Si monster mondar-mandir di dapur. Sambil mengendus-endus. Ia mengendus-
endus lemari es. Lalu ia menghampiri oven dan mengendus-endus lagi. Ia kembali
mondar-mandir. Masih sambil mengendus-endus.
Dia mencium kami. Dia mencium Clark dan aku, pikirku Moga-moga dia melihat
pie itu. Moga-moga dia melihatnya.
Si monster kembali ke oven. Ia mengendus-endus. Lalu ia membungkuk dan
mengintip ke dalam oven. Dengan satu sentakan ia menarik pintu oven sampai
terlepas dari engsel, dan melemparkannya ke seberang ruangan.
Pintu itu menghantam dinding. Clark tersentak kaget, dan kepalanya membentur
meja. Ia mengerang tertahan. Aku juga mengerang.
"Lihat tuh," bisikku padanya.
Si monster sedang makan — tapi yang dimakannya bukan pie kami. Rupanya
masih ada dua pie di dalam oven. Dan pie-pie itulah yang dilahapnya.
Aduh, dia bakal kenyang setelah makan pie-pie itu, kataku dalam hati. Kalau
begitu, pie kami takkan disentuhnya! Tamatlah riwayat kami.
Si monster makan dengan rakus. Kedua pie itu ditelannya nyaris tanpa dikunyah.
Kemudian ia berjalan ke tengah ruangan.
Ia mengendus-endus.
Yes! Dia masih lapar! pikirku. Ayo, makan pie kami. Makan pie kami, ujarku
dalam hati.
Aku mengintip dari bawah meja — dan melihat makhluk itu menghampiri pie
kami.
Yes!
Ia berhenti. Dan mengendus-endus. Mengendus-endus pie kami.
Ia menatapnya sejenak. Kemudian mengangkatnya dan memasukkannya ke mulut.
Yes! sorakku tanpa bersuara. Pie itu dimakan! Pie kami dimakan!
Ia mengunyah-ngunyah dengan lahap. Mengunyah dan menggigit sepotong lagi.
Mengunyah dan menggigit. Mengunyah dan menggigit.
Sambil makan, ia menjilat-jilat bibir.
Menjilat-jilat cakar.
Mengusap-usap perut.
"Aduh!" erangku. "Kelihatannya dia malah suka."
Chapter 27

AKU memperhatikan bagaimana monster itu melahap pie itu sampai ludes.
Kemudian ia menjulur-julurkan lidahnya yang bercabang, dan menjilat-jilat remah-
remah yang masih tersisa di piring.
"Tidak berhasil," bisikku kepada Clark. "Dia malah suka."
"Sekarang bagaimana?" tanya Clark, juga sambil berbisik. Ia menekuk lutut dan
merangkulnya erat-erat di depan dada agar tidak gemetaran.
Si monster mengerang panjang.
Aku mengintip dari bawah meja. Aku melihat kedua matanya melotot. Matanya
nyaris copot dari kepala!
Napasnya tersendat-sendat, seakan-akan ada yang mencekiknya. Kedua tangannya
yang berbulu memegangi lehernya.
Ia kembali mengerang.
Perutnya bergemuruh — mirip bunyi guntur di kejauhan. Ia membungkuk sambil
memegangi perutnya.
Kemudian ia memekik kesakitan — kesakitan bercampur kaget. Dan akhirnya ia
roboh di lantai dapur. Mati.
"Kita berhasil! Kita berhasil!" sorakku. "Monster itu berhasil kita bunuh!"
Aku menarik Clark dari bawah meja.
Lalu aku mengamati si monster dari jauh. Sebenarnya aku yakin dia sudah mati —
tapi aku tetap saja tidak mau terlalu mendekatinya.
Kedua mata si monster terpejam rapat.
Aku menatap dadanya — untuk melihat apakah dadanya bergerak naik-turun.
Untuk melihat apakah dia masih bernapas.
Tapi dadanya tidak bergerak sedikit pun.
Aku mengamatinya beberapa saat lagi.
Ia tetap bergeming.
Clark mengintip dari belakangku. "D-dia sudah benar-benar mati?" tanyanya
tergagap-gagap.
"Ya!" Sekarang aku betul-betul yakin. Seratus persen yakin.
"Kita berhasil!" seruku. Aku melompat-lompat girang. "Kita berhasil membunuh si
monster! Kita berhasil membunuhnya!"
Clark merogoh kantong belakang celananya untuk mengambil komiknya —
Makhluk dari Lumpur. Ia melemparkannya ke seberang ruangan. Komik itu
membentur kepala si monster, lalu jatuh ke lantai.
"Aku sudah muak dengan monster rawa. Benar-benar muak!" seru Clark. "Ayo,
kita pergi dari sini."
Charley menggaruk-garuk pintu. Begitu pintunya kami buka, ia langsung
melompat keluar dan berputar-putar mengelilingi kami.
"Semuanya sudah beres, Charley," kataku menenangkannya. "Semuanya sudah
beres."
Aku mengintip ke ruangan tempat Charley disekap tadi.
"Hei, Clark, sepertinya ada pintu di sini," kataku. "Pintu untuk keluar dari sini!"
Langsung saja aku masuk ke ruangan kecil yang gelap itu — dan tersandung sapu
yang tergeletak di lantai.
Aku memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas.
Dua sekop yang telah berkarat tampak tersandar ke dinding di sebelah kananku. Di
sebelah kiri ada gulungan slang air.
Pintu yang kulihat tadi berada di depanku. Pintu dengan jendela besar.
Aku memandang ke luar — ke pekarangan belakang. Ke jalan setapak yang
melintasi rawa-rawa.
Barangkali jalan setapak itu menuju kota, kataku dalam hati.
Hmm, tak ada salahnya dicoba.
"Sebentar lagi kita bakal bebas!" ujarku.
Aku memutar gagang pintu, tapi pintu itu terkunci. Digerendel dari luar, seperti
semua pintu lainnya.
"Pintunya tak bisa dibuka," aku memberitahu Clark. "Tapi aku akan memecahkan
jendela, biar kita bisa memanjat keluar. Tenang saja."
Sekop-sekop yang tersandar ke dinding tampak berat dan kokoh. Aku memegang
gagang salah satu sekop dengan dua tangan, lalu mengambil ancang-ancang.
Aku mengayunkannya ke belakang — dan merasakan lantai bergetar.
Aku berbalik — dan mendengar raungan mengerikan.
Raungan si monster rawa. Dia belum mati.

Chapter 28

SI monster muncul di ambang pintu.


Clark dan aku sama-sama memekik ketika makhluk raksasa itu memasuki ruangan.
Kepalanya yang mengerikan menyenggol bagian atas kusen pintu. Tapi sepertinya
dia tidak menyadarinya.
Clark dan aku merapat ke dinding.
Charley mundur ke sudut ruangan. Ia merintih-rintih ketakutan.
Kami terperangkap.
Kami tidak bisa lolos.
Tak ada jalan untuk melarikan diri.
Si monster menatap Charley, lalu aku, lalu Clark. Clark diperhatikan sedikit lebih
lama. Kemudian makhluk itu mendongak dan kembali meraung.
"A-aku yang bakal dimakan paling dulu," seru Clark. "S-seharusnya aku tidak
menimpuknya dengan komik. Seharusnya aku tidak menimpuk kepalanya."
"Kita semua bakal dimakan, bodoh!" aku menghardiknya. "Soalnya kita mencoba
membunuh dia!"
Clark langsung terdiam.
Aku harus melakukan sesuatu, pikirku. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa?
Apa?
Si monster rawa melangkah maju.
Tiba-tiba ia membuka mulut — dan memperlihatkan giginya yang runcing dan
kuning. Air liurnya menetes-netes. Matanya merah membara ketika ia
menghampiri kami.
Semakin dekat. Semakin dekat.
Aku menoleh ke bawah dan menyadari aku masih memegang sekop. Aku
mengangkatnya dengan dua tangan — dan menyodokkannya ke depan. Aku terus
menyodok-nyodok untuk mencegah makhluk itu mendekati kami.
"Mundur!" teriakku. "Mundur! Jangan ganggu kami!"
Si monster menggerung.
"Mundur! Mundur!" seruku sambil mengayunkan sekop. "Pergi dari sini!"
Aku mengayunkan sekop ke arah makhluk itu. Sekop itu menghantam perut si
monster rawa. Suasana langsung hening.
Kemudian monster itu mendongakkan kepala lagi. Raungannya memekakkan
telinga.
Ia melangkah maju. Merebut sekop dari tanganku. Dan melemparkannya ke luar
pintu. Ia mencampakkannya seperti tusuk gigi.
Aku melirik sekop yang satu lagi. Si monster mengikuti pandanganku.
Sekop itu segera disambar, dipatahkan, dan dibuangnya ke dapur.
Apa yang bisa kulakukan? Aku harus melakukan sesuatu!
Dan tiba-tiba aku mendapat ide!
Surat tadi.
Surat kedua dari Kakek dan Nenek — surat yang belum sempat kami buka.
"Clark! Cepat! Surat yang kedua!" seruku. "Barangkali ada petunjuk! Cepat, baca
suratnya!"
Clark menatapku. Ia tidak beranjak dari tempatnya. Pandangannya seolah-olah
terpaku pada monster itu.
"Clark!" teriakku sambil mengertakkan gigi.
"Buka... surat... itu. CEPAT!"
Dengan tangan gemetaran ia merogoh saku jeansnya. Lalu meraba-raba amplop
untuk membukanya.
"Cepat, Clark!" desakku.
Akhirnya ia berhasil merobek sudut amplop.
Dan kemudian aku menjerit.
Si monster menerjang maju.
Ia menyambar lenganku. Dan menariknya keras-keras.
Aku ditarik mendekatinya.

Chapter 29

MONSTER itu menarikku mendekat.


Aku menatap wajahnya yang mengerikan — dan memekik tertahan.
Matanya tampak bagaikan telaga yang dalam dan gelap — dengan cacing-cacing
kecil yang berenang-renang!
Aku langsung membuang muka — supaya tidak perlu melihat mata yang
bercacing.
Cengkeraman makhluk itu semakin erat.
Napasnya yang panas dan bau menyengat pipiku. Mulutnya menganga lebar-lebar.
Mulutnya penuh kutu! Aku melihat puluhan kutu merayap-rayap di sepanjang
lidahnya.
Aku menjerit. Dan meronta-ronta untuk membebaskan diri.
Tapi monster itu terlalu kuat.
"Lepaskan aku!" pekikku. "Kumohon...!"
Si monster meraung keras-keras, dan aku kembali merasakan napasnya yang
berbau busuk.
Baunya seperti rawa, aku menyadari sambil memberontak.
Dialah rawa itu. Dia rawa yang hidup.
Dengan tanganku yang bebas aku memukul-mukul lengan makhluk itu. Tapi
ternyata lengannya terselubung lumut. Seluruh tubuhnya terselubung lapisan lumut
yang lembap!
"Lepaskan aku!" aku memohon. "Tolong lepaskan aku!"
Clark melompat maju. Ia meraih tanganku dan berusaha menarikku menjauh.
"Lepaskan dia!" Clark ikut memekik.
Charley mendadak maju dari sudut ruangan. Dia menyeringai dan menggeram-
geram. Kemudian dia menggigit kaki si monster yang berbulu lebat.
Monster rawa itu sempat kaget. Ia melangkah mundur sambil menyeretku.
Tapi Charley tidak melepaskannya. Aku menoleh ke bawah dan melihat anjing itu
justru menggigit semakin keras.
Si monster menggerung dan mengangkat kaki. Dan dengan satu ayunan kaki dia
membuat Charley terpental ke seberang ruangan.
"Charley!" seruku. "Charley!"
Aku mendengarnya merintih-rintih.
"Dia tidak apa-apa," ujar Clark sambil terengah-engah. Dia tetap menarik-narik
tanganku, dan berusaha membebaskanku dari cengkeraman si monster rawa.
Makhluk itu kembali menggerung. Serta-merta ia mendorong Clark sampai
menabrak dinding. Kemudian ia membungkuk — dan mengangkatku ke depan
wajahnya.
Dia membuka mulut.
Lidahnya yang penuh kutu menjulur keluar. Dan dia MENJILAT aku.
Dia menjilat-jilat lenganku dengan lidahnya yang panas dan berbentol-bentol.
Dan setelah itu dia bersiap-siap menggigit tanganku.

Chapter 30

"JANGAAAN!" jeritku ngeri.


Mulut si monster menganga lebar. Aku melihat kutu-kutu yang merayap di giginya
yang kuning.
Si monster mendekatkan mulutnya ke tanganku.
Tapi tiba-tiba ia berhenti.
Dan melepaskanku.
Dia mundur sambil menatap lenganku dengan matanya yang besar.
Aku juga menatap lenganku. Lenganku penuh ludah monster yang menjijikkan.
Si monster mengangkat tangan dan memegangi lehernya. Dia terbatuk-batuk.
Entah kenapa.
Kedua matanya yang basah menatapku.
"Kau... kau manusia?" tanyanya dengan susah payah.
"Dia bisa bicara!" seru Clark.
"Kau manusia? Kau manusia?" monster itu kembali bertanya.
"Y-ya, aku manusia," aku tergagap-gagap.
Si monster mendongak dan mengerang. "Oh, gawat. Aku alergi manusia."
Bola matanya berputar-putar.
Ia maju terhuyung-huyung dan roboh. Tubuh besarnya menabrak pintu yang
menuju pekarangan belakang. Pintu itu langsung jebol. Cahaya bulan masuk.
Ia tergeletak dalam posisi tengkurap. Tanpa bergerak.
Aku mengusap-usap lengan sambil menatap si monster rawa.
Apakah dia betul-betul mati kali ini?

Chapter 31

"AYO, Gretchen!" Clark menyeretku ke pintu yang terbuka.


Kami melangkahi si monster. Sekali lagi aku mengamati makhluk yang
mengerikan itu.
Matanya terpejam rapat. Dia tidak bernapas. Dia tak bergerak sedikit pun.
"Ayo dong!" desak Clark.
Betulkah dia sudah mati? Aku memperhatikannya dengan saksama. Terus terang,
aku belum yakin. Tapi ada satu hal yang sudah jelas — aku tidak mau menunggu
di sini untuk mendapatkan kepastian.
Clark dan aku keluar melalui pintu yang hancur berantakan.
Charley ternyata sudah menunggu di luar. Terpontang-panting kami berlari
menyusuri jalan setapak — menjauhi rumah Kakek dan Nenek.
Memasuki daerah rawa.
Di luar dugaanku, hari sudah berganti malam. Rupanya sehari penuh kami
bertempur melawan si monster rawa.
Bulan tampak pucat di atas pohon-pohon cypress. Suasana cukup menyeramkan.
Kakiku terbenam lumpur ketika kami melintasi rawa. Menerobos alang-alang.
Menembus gumpalan kabut tebal.
Berulang kali kakiku terperosok ke genangan air yang dalam. Tersandung akar-
akar pohon yang menyembul dari tanah.
Aku berusaha menyingkirkan janggut-janggut kelabu yang bergelantungan dari
pepohonan. Semakin lama kami semakin jauh memasuki daerah rawa.
Kami baru berhenti berlari ketika rumah Kakek dan Nenek tidak kelihatan lagi.
Clark dan aku terengah-engah.
Aku pasang telinga. Mencoba mendengar bunyi langkah dalam kegelapan.
Langkah si monster rawa.
Tapi aku tidak mendengar apa-apa.
"Kita berhasil! Kita berhasil membunuhnya!" suaraku memecahkan keheningan
malam.
"Dan kita berhasil lolos!" sorak Clark. "Kita bebas! Kita selamat!"
"Yes!" seruku. "Kali ini kita benar-benar berhasil!"
Kini kami berjalan dengan hati-hati, karena yakin tak ada yang mengejar-ngejar.
Kami menghindari genangan-genangan air dan akar-akar pohon.
Sekeliling kami dipenuhi hunyi-bunyi janggal.
Ada bunyi berdeguk-deguk. Bunyi langkah perlahan. Jeritan-jeritan yang
melengking tinggi.
Tapi aku tidak peduli.
Aku telah mengalami mimpi buruk paling parah yang bisa dibayangkan — si
monster rawa. Aku telah bertempur melawan dia, dan aku telah menang.
"Hei! Clark!" Tiba-tiba saja aku teringat surat yang satu lagi. "Kita belum sempat
membaca surat Kakek dan Nenek. Surat yang kedua!"
"Untuk apa?" tanya Clark. "Monster itu kan sudah mati. Kita sudah berhasil
membunuhnya. Sesuai pesan mereka dalam surat pertama."
"Mana? Mana suratnya?" tanyaku. "Coba ambil, Clark."
Aku berhenti. "Aku ingin tahu apa isinya."
Clark mengeluarkan amplop yang telah terlipat-lipat dari saku celana jeans-nya.
Ketika ia berusaha melicinkannya, terdengar teriakan nyaring.
"M-mungkin lebih baik kalau kita jalan terus," ujar Clark. "Surat ini kita baca nanti
saja. Setelah sampai di kota. Setelah menelepon Dad dan Mom."
"Sekarang saja," aku berkeras. "Ayo dong. Memangnya kau tidak ingin tahu apa
isinya?"
"Tidak," jawab Clark.
"Tapi aku ingin tahu," ujarku.
"Oke. Oke." Clark membuka amplop dan mengeluarkan surat yang ada di
dalamnya.
Angin mulai berembus. Pepohonan berdesir di atas kepala kami.
Clark mulai membaca pelan-pelan. Ia terpaksa memicingkan mata agar dapat
melihat dalam cahaya bulan yang redup. "'Gretchen dan Clark yang tersayang.
Kami berharap kalian baik-baik saja. Ada satu hal yang lupa kami beritahukan
dalam surat yang pertama.
"Kalau monster itu sampai lolos... dan kalian berhasil membunuhnya... dan
berhasil keluar dari rumah — kalian harus tetap di jalan mobil. JANGAN masuk
ke daerah rawa.'"
Clark menggeleng-geleng.
"Terus dong!" seruku. "Baca sampai selesai!"
Ia kembali memicingkan mata. "Monster itu punya kakak dan adik — lusinan.
Mereka tinggal di rawa. Kami rasa mereka sedang menunggu dia.'"
Jantungku mulai berdegup kencang ketika Clark melanjutkan surat itu.
"Kami sempat melihat mereka di rawa. Dan kami juga mendengar mereka bersiul-
siul pada malam hari. Mereka tidak senang saudara mereka tertangkap. Mereka
menunggu dia kembali. Jadi apa pun yang kalian lakukan, jangan pergi ke rawa.
Tempat itu tidak aman. Jangan pergi ke situ! Semoga kalian beruntung! Kami
menyayangi kalian!"
Clark menurunkan tangan. Surat itu jatuh ke tanah becek.
Aku berbalik pelan-pelan sambil mengamati bayangan-bayangan di sekeliling
kami.
"Gretchen," kata Clark dengan parau. "Kaudengar itu? Suara apa itu? Apa?"
"Ehm... kedengarannya seperti siulan."
"A-aku juga pikir begitu," bisiknya. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Ada
ide?"
"Sori, Clark," sahutku. "Aku sudah kehabisan ide. Kau sendiri bagaimana?"

END

Ebook PDF: eomer eadig


Http://ebukulawas.blogspot.com

Convert & Re edited by: Farid ZE


blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Anda mungkin juga menyukai