Stine
Berburu Monster
(Goosebumps # 46)
Chapter 1
"KENAPA sih kita harus ke sana?" aku meratap di bangku belakang mobil.
"Kenapa?"
"Gretchen, Dad sudah berulang kali menjelaskan kenapa," ujar Dad sambil
menghela napas. "Mom dan Dad harus ke Atlanta. Ada urusan dinas!"
"Kalau itu sih aku sudah tahu," aku menyahut sambil mencondongkan badan
melewati sandaran bangku depan. "Tapi kenapa kami tidak boleh ikut? Kenapa
kami harus tinggal dengan Kakek dan Nenek?"
"Karena kami bilang begitu," Mom dan Dad menjawab bersamaan.
Karena kami bilang begitu. Begitu kata-kata keramat itu sudah keluar, tak ada
gunanya berdebat. Aku merosot di bangku belakang.
Mom dan Dad mendadak harus berangkat ke Atlanta. Kabarnya ada urusan kantor
yang sangat mendesak. Baru tadi pagi mereka ditelepon.
Ini tidak adil, pikirku. Mereka bisa berkunjung ke kota besar yang ramai seperti
Atlanta. Sedangkan Clark — saudara tiriku — dan aku terpaksa meringkuk di Mud
Town.
Mud Town, alias Kota Lumpur.
Ehm, nama sebenarnya sih bukan Mud Town. Tapi seharusnya begitu. Tempat itu
tak ada bedanya dengan rawa-rawa. Nenek Rose dan Kakek Eddie tinggal di
Georgia bagian selatan — di tengah rawa.
Percaya tidak?
Di tengah rawa.
Aku memandang ke luar. Sepanjang hari kami meluncur di jalan bebas hambatan.
Dan sekarang kami menyusuri jalan sempit yang membelah rawa.
Hari sudah sore. Pohon-pohon cypress menimbulkan bayangan-bayangan panjang
di alang-alang.
Aku menyembulkan kepala lewat jendela yang terbuka.
Seketika wajahku diterpa angin panas dan lembap. Cepat-cepat aku duduk lagi dan
berpaling ke Clark. Ia sedang asyik membaca komik.
Umur Clark dua belas talum sama seperti aku. Tapi dia lebih pendek. Jauh lebih
pendek. Rambutnya cokelat berombak. Matanya juga cokelat, dan wajahnya penuh
bintik. Tampangnya persis seperti Mom.
Aku termasuk tinggi untuk umurku. Rambutku panjang, lurus, dan pirang; mataku
hijau. Aku mirip Dad.
Orangtuaku bercerai ketika aku baru berumur dua tahun. Hal yang sama juga
terjadi pada Clark. Ayahku dan ibu Clark menikah tepat setelah kami berulang
tahun ketiga, dan kami bersama-sama pindah ke rumah baru.
Aku suka ibu tiriku. Clark dan aku lumayan akur. Kadang-kadang sih tingkahnya
cukup menyebalkan. Teman-temanku juga bilang begitu. Tapi kurasa saudara-
saudara mereka juga sering brengsek.
Aku menatap Clark. Memperhatikannya membaca. Kacamatanya merosot di
hidungnya. Ia segera mendorongnya ke atas lagi.
"Clark...," ujarku.
"Ssst!" Ia mengangkat sebelah tangan supaya aku diam. "Lagi seru nih."
Clark penggemar komik. Terutama komik horor. Tapi jangan disangka ia
pemberani — ia selalu ngeri sendiri sesudah selesai membacanya.
Aku kembali memandang ke luar jendela.
Aku menatap pohon-pohon. Memperhatikan dahan-dahan yang terselubung
semacam jaring-jaring kelabu. Ke mana pun aku memandang, aku melihat jaring-
jaring kelabu bergelantungan bagaikan tirai. Suasana rawa jadi semakin suram.
Mom sempat bercerita soal jaring-jaring itu waktu kami berkemas tadi pagi. Ia tahu
banyak soal rawa. Mom bilang daerah rawa adalah tempat yang menyeramkan tapi
sekaligus indah. Katanya jaring-jaring itu sebenarnya sejenis tumbuhan yang hidup
di pohon-pohon.
Tumbuhan yang hidup di tumbuhan lain. Ajaib, kataku dalam hati. Benar-benar
ajaib.
Hampir seajaib Kakek dan Nenek.
"Dad, kenapa Kakek dan Nenek tidak pernah berkunjung ke rumah kita?" tanyaku.
"Clark dan aku tidak pernah ketemu mereka sejak kami masih empat tahun."
"Hmm, mereka memang agak aneh." Dad menatapku lewat kaca spion. "Mereka
tidak suka bepergian. Mereka hampir tidak pernah keluar rumah. Dan rumah
mereka begitu terpencil di tengah rawa, sehingga orang lain juga sulit mengunjungi
mereka."
"Oh, wow!" ujarku. "Kita bakal menginap di rumah sepasang pertapa ajaib."
"Pertapa ajaib yang bau," gumam Clark sambil berpaling dari komiknya.
"Clark! Gretchen!" Mom menegur kami. "Jangan bicara begitu tentang kakek dan
nenek kalian."
"Mereka bukan kakek dan nenekku. Mereka kakek dan nenek dia," Clark
membalas sambil menggerakkan dagu ke arahku. "Dan mereka memang bau. Aku
masih ingat kok."
Aku menonjok lengan saudara tiriku. Tapi ia benar. Kakek dan Nenek memang
bau. Bau apak bercampur bau kamper.
Aku kembali merosot di bangku belakang dan menguap lebar. Rasanya kami sudah
berminggu-minggu duduk di dalam mobil.
Dan bangku belakang terasa sempit karena ada aku, Clark dan Charley yang
berdesak-desakan. Charley anjing kami — seekor golden retriever.
Aku mendorong Charley ke samping dan meluruskan kaki.
"Hei, jangan dorong-dorong dia ke sini terus dong!" omel Clark. Komiknya
terjatuh ke lantai.
"Coba duduk tenang, Gretchen," gumam Mom. "Hmm, seharusnya Charley kita
masukkan ke tempat penitipan saja."
"Aku sudah berusaha mencari tempat untuknya," kata Dad. "Tapi tak ada yang bisa
melayani permintaan mendadak."
Clark menyingkirkan Charley dari pangkuannya, lalu meraih ke bawah untuk
memungut komiknya. Tapi aku lebih cepat.
"Ya ampun," gumamku ketika membaca judulnya. "Makhluk dari Lumpur? Mau-
maunya sih kau baca sampah seperti ini?"
"Ini bukan sampah," balas Clark. "Komik ini asyik sekali. Jauh lebih seru daripada
majalah-majalah konyol tentang alam yang selalu kaubaca."
"Ceritanya tentang apa sih?" tanyaku sambil membalik-balik halaman.
"Tentang monster-monster yang mengerikan. Setengah manusia. Setengah
binatang. Mereka memasang perangkap untuk menjebak orang. Lalu mereka
bersembunyi di genangan lumpur. Di dekat permukaan," jelas Clark. Ia merebut
komik yang masih kupegang.
"Lalu bagaimana?" tanyaku.
"Habis itu mereka menunggu. Menunggu dengan sabar — sampai ada orang yang
masuk ke jebakan mereka." Suara Clark mulai bergetar. "Lalu korban itu mereka
bawa ke rawa. Dan dijadikan budak!"
Clark bergidik. Ia memandang ke luar jendela. Menatap pepohonan cypress yang
menyeramkan dan seolah-olah berjanggut panjang kelabu.
Hari sudah mulai gelap. Bayangan pepohonan semakin panjang. Clark merosot di
bangku belakang. Daya khayalnya memang luar biasa. Ia percaya segala sesuatu
yang dibacanya. Dan setelah itu ia jadi ketakutan sendiri — seperti sekarang.
"Apa lagi yang mereka lakukan?" tanyaku. Aku berusaha memancing Clark untuk
bercerita lebih banyak lagi. Biar ia semakin ngeri.
"Ehm, setelah gelap, monster-monster itu keluar dari lumpur," ia kembali angkat
bicara. Duduknya semakin merosot. "Dan mereka menculik anak-anak kecil dari
tempat tidur masing-masing. Untuk dibawa ke rawa. Lantas ditarik ke dalam
lumpur. Anak-anak itu tidak pernah kelihatan lagi."
Sekarang Clark betul-betul ketakutan.
"Sebenarnya memang ada makhluk seperti itu yang hidup di rawa. Aku belajar di
sekolah," aku berbohong. "Monster-monster mengerikan. Setengah buaya,
setengah manusia. Berselubung lumpur. Dengan sisik-sisik runcing yang
tersembunyi di balik lumpur. Kalau sampai kena, sisik-sisik itu bisa membuat
dagingmu terlepas dari tulang."
"Gretchen, sudah," Mom memperingatkanku.
Clark mendekap Charley erat-erat.
"Hei! Clark!" Aku menunjuk ke luar jendela. Di depan ada jembatan tua yang
sempit. Papan-papannya sudah melengkung semua. Sepertinya jembatan itu sudah
mau ambruk. "Pasti ada monster rawa yang menunggu kita di bawah jembatan."
Clark mengamati jembatan itu. Charley dipeluknya lebih erat lagi.
Kami mulai melewati papan-papan kayu yang berderak-derak ketika dilindas ban
mobil.
Aku menahan napas. Jembatan ini pasti tidak kuat, kataku dalam hati.
Dad menjalankan mobil pelan-pelan. Pelan-pelan sekali.
Rasanya kami tidak maju-maju.
Clark masih berpegangan pada Charley. Ia terus menoleh ke luar jendela.
Pandangannya seolah-olah terpaku pada jembatan tua itu.
Aku menarik napas lega ketika kami akhirnya mendekati sisi seberang.
Dan kemudian aku memekik kaget — ketika ledakan dahsyat mengguncangkan
mobil kami.
"Aduuuh!" Clark dan aku menjerit waktu mobil kami mulai oleng tak terkendali.
Kami menabrak pinggir jembatan. Menerobos pagar kayu yang sudah lapuk.
"K-kita bakal tercebur!" seru Dad.
Aku memejamkan mata ketika mobil kami mulai menukik ke rawa.
Chapter 2
MONCONG mobil kami membentur tanah. Clark dan Charley terlempar kian
kemari di bangku belakang. Ketika mobil kami akhirnya berhenti meluncur,
keduanya duduk menindihku.
"Kalian tidak apa-apa?" Mom bertanya dengan suara bergetar. Ia menoleh ke
belakang.
"Ehm, kelihatannya sih begitu," sahutku.
Kami semua terdiam sejenak.
Charley memecahkan keheningan dengan perlahan.
"A-apa yang terjadi?" Clark tergagap-gagap.
"Ban kita pecah." Dad menghela napas. "Moga-moga ban serepnya tidak kempis
juga. Malam-malam tidak ada yang bisa membantu kita di tengah rawa ini."
Aku menyembulkan kepala lewat jendela untuk memeriksa ban.
Ternyata Dad benar. Bannya kempis sama sekali.
Wah, kita beruntung sekali, pikirku. Kita beruntung karena jembatannya rendah.
Kalau tidak...
"Oke, semuanya turun," Mom membuyarkan lamunanku. "Biar Dad bisa ganti ban
serep."
Sebelum membuka pintu, Clark memeriksa keadaan sekeliling dulu lewat jendela.
Aku tahu ia agak ngeri.
"Awas, Clark," kataku ketika ia hendak mengeluarkan kakinya yang pendek.
"Monster rawa selalu mengincar korban pendek."
"Lucu sekali, Gretchen. Lucu sekali. Kapan-kapan aku akan ketawa."
Dad menuju ke bagasi untuk mengambil dongkrak. Mom mengikutinya. Clark dan
aku berjalan ke rawa.
"Oh, aduh!" Sepatu basketku yang putih dan masih baru terbenam dalam lumpur
hitam.
Aku menghela napas.
Kok ada sih orang yang betah tinggal di tengah rawa? aku bertanya-tanya heran.
Udara pengap sekali. Pengap dan panas. Aku sampai susah bernapas.
Aku mengucir rambutku dan memandang berkeliling. Tapi tidak banyak yang bisa
dilihat. Langit sudah gelap gulita. Clark dan aku berjalan menjauhi mobil.
"Ayo, kita periksa tempat ini. Mumpung Dad lagi ganti ban," aku mengusulkan
padanya.
"Kukira itu bukan ide baik," gumam Clark.
"Tenang saja," desakku. "Apa lagi yang bisa kita kerjakan di sini? Begitu kan lebih
baik daripada bengong."
"Ehm... benar juga sih," sahut Clark ragu-ragu.
Kami maju beberapa langkah. Wajahku mulai gatal.
Nyamuk! Ratusan nyamuk.
Kami membungkuk dan mengelak sambil menepis serangga-serangga pengisap
darah dari wajah dan lengan masing-masing.
"Aduh! Tempat ini benar-benar parah!" teriak Clark. "Aku tidak mau tinggal di
sini. Aku ikut ke Atlanta saja!"
"Di rumah Nenek keadaannya tidak separah di sini," seru Mom.
"Yeah, pasti," kata Clark seakan-akan tidak percaya. "Aku balik ke mobil saja."
"Ayo dong," aku berkeras. "Coba kita lihat apa yang ada di sebelah sana."
Aku menunjuk rumpun alang-alang yang tampak di depan.
Aku langsung mulai melintasi genangan lumpur. Sambil berjalan aku menoleh ke
belakang — untuk memastikan Clark mengikutiku. Ternyata ia ikut.
Ketika kami sampai di rumpun alang-alang, kami mendengar bunyi berdesir di
tengah-tengahnya. Clark dan aku memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas.
"Jangan terlalu jauh, ya," Dad mewanti-wanti. Ia dan Mom sedang mengeluarkan
barang-barang bawaan kami dari bagasi untuk mencari senter. "Di tempat seperti
ini masih banyak ular."
"Ular? Whoa!" Clark langsung melompat mundur. Kalang kabut ia berbalik dan
mulai berlari ke mobil.
"Dasar penakut!" seruku. "Katanya kau mau ikut periksa tempat ini!"
"Tidak jadi!" balasnya. "Dan jangan sebut aku penakut."
"Sori deh," aku minta maaf.
"Ayo, kita jalan lagi. Ke pohon itu. Yang paling tinggi tuh. Setelah itu kita
langsung balik ke mobil," aku berjanji. "Ayo dong!"
Clark dan aku mulai berjalan ke pohon itu.
Kami berjalan pelan-pelan. Menembus kegelapan. Menerobos hutan pohon-pohon
cypress.
Tirai-tirai kelabu berayun-ayun dari dahan-dahan. Tirai-tirai itu tumbuh begitu
rapat, sehingga orang yang bersembunyi di baliknya takkan kelihatan.
Kami bisa tersesat di sini, aku menyadari. Tersesat selama-lamanya
Aku merinding ketika tirai-tirai kelabu itu mengenai kulitku. Rasanya seperti
sarang labah-labah. Sarang labah-labah raksasa yang lengket.
"Kita balik saja deh, Gretchen," Clark memohon. "Tempat ini terlalu mengerikan."
"Sedikit lagi," aku berkeras.
Dengan hati-hati kami menerobos di antara pepohonan. Pada setiap langkah sepatu
kami terbenam dalam genangan air lumpur yang keruh.
Serangga-serangga kecil berdengung-dengung di telingaku. Serangga-serangga
yang lebih besar menggigit tengkukku. Aku sibuk menepuk-nepuk.
Aku melangkah maju — ke sebidang tanah kering yang ditumbuhi rumput. "Hei!"
Bidang tanah yang kuinjak mulai bergerak. Mulai membelah air yang hitam.
Aku cepat-cepat melompat turun — dan tersandung akar pohon.
Bukan—bukan akar pohon.
"Hei, Clark! Coba lihat ini!" Aku membungkuk agar dapat melihat lebih jelas.
"Apa itu?" Clark berlutut di sampingku dan menatap benda di hadapan kami.
"Ini cypress knee," jelasku. "Mom yang memberitahuku. Tumbuhnya di dekat
pohon cypress."
"Kenapa Mom tidak pernah menceritakan hal-hal seperti itu padaku?" tanya Clark
kesal.
"Mungkin dia kuatir kau bakal takut," sahutku.
"Huh, brengsek," gerutunya sambil membetulkan letak kacamatanya. "Bagaimana?
Kita balik sekarang?"
"Kita sudah hampir sampai. Lihat tuh!" kataku sambil menunjuk pohon tertinggi.
Pohon itu tumbuh di tengah lapangan di hadapan kami.
Clark mengikutiku ke situ.
Udara berbau kecut.
Berbagai suara bergema dalam kegelapan. Kami mendengar erangan-erangan
tertahan. Teriakan-teriakan melengking. Suara makhluk-makhluk rawa, aku
menyadari. Makhluk-makhluk rawa yang tersembunyi.
Aku merinding. Tapi aku tetap maju ke pohon tertinggi.
Clark tersandung pohon tumbang. Ia terhuyung-huyung dan nyaris jatuh ke
genangan air lumpur.
"Cukup," gerutunya. "Aku mau balik ke mobil." Meskipun gelap, aku bisa melihat
romannya yang ketakutan.
Rawa ini memang menakutkan. Tapi Clark kelihatan begitu ngeri, sehingga aku
mulai cekikikan. Tapi kemudian aku mendengar langkah.
Clark juga mendengarnya.
Langkah berat dari tengah rawa yang hitam dan berkabut.
Bunyi itu semakin dekat.
Tepat menuju ke arah kami.
"Ayo!" teriak Clark sambil menarik tanganku. "Kita harus pergi dari sini!"
Tapi aku tidak beranjak. Aku tidak bisa bergerak. Kini aku bisa mendengar napas
makhluk itu. Ia mendengus-dengus. Semakin dekat.
Semakin dekat. Makhluk itu muncul tiba-tiba. Dari balik tirai-tirai kelabu.
Aku melihat sosok hitam yang seperti terbang. Makhluk penghuni rawa yang besar
sekali.
Ia menerjang ke arah kami. Warnanya lebih gelap daripada lumpur rawa yang
hitam — dan matanya menyala-nyala.
Chapter 3
"CHARLEY...! Kenapa kau ada di bawah sana?" seru Mom sambil menghampiri
kami. "Mom pikir kalian mengawasi dia."
Charley?
Aku lupa sama sekali pada Charley. Dialah monster rawa yang kulihat.
"Mom sudah mencari kalian ke mana-mana," kata Mom gusar. "Bukankah Mom
dan Dad sudah melarang kalian pergi jauh-jauh?"
"Sori, Mom," aku minta maaf. Aku tidak bisa bilang apa-apa lagi. Charley
menubrukku hingga aku terjatuh — ke genangan lumpur.
"Awas, Charley! Awas!" teriakku.
Tapi ia malah menaruh kakinya yang besar di pundakku dan menjilat-jilat
wajahku.
Aku bermandikan lumpur. Betul-betul bermandikan lumpur.
"Ayo, sini." Clark menarik pengikat leher Charley.
"Kau ketakutan tadi, Gretchen. Kaupikir Charley monster rawa." Clark tertawa.
"Kau benar-benar ketakutan."
"Enak saja," balasku sengit. Aku berusaha membersihkan lumpur yang menempel
pada celana jeans-ku. "Aku cuma pura-pura, supaya kau ngeri."
"Kau benar-benar ketakutan tadi. Ayo, jangan bohong," Clark berkeras. "Mengaku
sajalah."
"Aku TIDAK takut." Aku mulai naik pitam. "Siapa yang memohon-mohon balik
ke mobil?" aku mengingatkannya. "Kau! Kau! Kau!"
"Ada apa sih?" tanya Dad. "Dan kenapa kalian ada di tengah rawa sini? Dad kan
sudah bilang kalian tidak boleh jauh-jauh dari mobil!"
"Ehm, sori, Dad," aku kembali minta maaf. "Tapi Clark dan aku bosan harus
menunggu Dad ganti ban."
"Hei! Kau memaksaku kemari!" protes Clark. "Dia yang punya ide untuk
menjelajahi rawa."
"Cukup!" kata Dad tegas. "Ayo, kembali ke mobil!"
Sepanjang perjalanan Clark dan aku terus berdebat. Ban yang pecah memang
sudah diganti, tapi sekarang Dad harus berusaha agar mobil kami bisa kembali ke
jalan. Dan itu tidak mudah. Setiap kali Dad menginjak pedal gas, roda belakang
cuma berputar di lumpur tebal.
Akhirnya kami semua turun dan mendorong mobil. Akibatnya, Mom dan Clark
juga berlepotan lumpur.
Aku memandang rawa yang gelap dan menyeramkan ketika kami kembali melaju
di jalan.
Memandang rawa sambil memperhatikan suara-suara yang terdengar. Bunyi
mengerik yang tajam.
Erangan-erangan tertahan.
Teriakan-teriakan melengking.
Aku sudah sering mendengar cerita mengenai monster rawa. Dan aku juga pernah
membaca sejumlah legenda kuno.
Mungkinkah monster rawa memang ada? tanyaku dalam hati.
Tak sedikit pun terlintas dalam benakku bahwa aku akan segera menemukan
jawabannya.
Chapter 4
Chapter 5
***
Sehabis makan malam, Mom, Dad, Kakek, dan Nenek mengobrol dan mengobrol
dan terus mengobrol — tentang segala sesuatu yang terjadi sejak mereka terakhir
kali bertemu, Sembilan tahun lalu.
Clark dan aku bosan. Betul-betul bosan.
"Apakah kami boleh... ehm, nonton TV?" tanya Clark akhirnya.
"Oh, maaf, Sayang," ujar Nenek, "tapi kami tidak punya pesawat TV."
Clark memelototiku — seakan-akan aku yang salah.
"Kenapa kau tidak menelepon Arnold saja?" usulku. Arnold anak paling norak di
sekitar rumah kami. Dan sekaligus sahabat karib Clark. "Ingatkan dia untuk
mengambil komik barumu."
"Oke," gumam Clark. "Ehm, di mana teleponnya?"
"Di kota." Nenek tersenyum kecut. "Kenalan kami — yang masih hidup—hanya
sedikit. Jadi percuma pasang telepon di sini. Mr. Donner — pemilik warung serba
ada — biasa menerima pesan-pesan untuk kami."
"Tapi sudah seminggu ini kami tidak bertemu dia," Kakek menambahkan. "Mobil
Kakek rusak. Tapi mestinya sebentar lagi sudah selesai diperbaiki. Dalam minggu
ini."
Tak ada TV.
Tak ada telepon.
Tak ada mobil.
Di tengah-tengah rawa.
Kali ini giliran aku yang melolot — pada Dad dan Mom. Aku pasang tampang
kesal. Aku yakin mereka akan mengajak kami ke Atlanta. Aku yakin seratus
persen.
Dad melirik Mom. Ia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Kemudian ia
berpaling padaku. Dan angkat bahu seakan-akan hendak menunjukkan bahwa ia
tak dapat berbuat apa-apa.
"Wah, sudah waktunya tidur!" Kakek menatap jam tangannya.
"Kalian berdua harus berangkat pagi-pagi besok," katanya kepada Dad dan Mom.
"Dan kalian akan bersenang-senang di sini," kata Nenek kepada Clark dan aku.
"Ya, itu pasti," Kakek mendukungnya. "Rumah tua seperti ini paling asyik untuk
dijelajahi. Kalian bisa bertualang di sini!"
"Dan Nenek akan membuat pie talas yang lezat sekali!" Nenek menimpali. "Kalian
boleh ikut membantu. Kalian pasti suka. Saking manisnya, gigi kalian bisa tanggal
setelah gigitan pertama!"
Clark menelan ludah.
Aku mengerang — keras-keras.
Dad dan Mom tidak peduli. Mereka mengucapkan selamat tidur. Dan sekaligus
selamat berlibur. Mereka akan berangkat pagi-pagi sekali besok. Kemungkinan
besar sebelum kami bangun.
Clark dan aku mengikuti Nenek. Kami menaiki tangga tua yang gelap dan berderit-
derit, lalu menyusuri lorong panjang ke kamar kami masing-masing di lantai dua.
Kamar Clark bersebelahan dengan kamarku. Aku tidak sempat melihat seperti apa
kamarnya. Begitu Clark masuk, Nenek segera menggiringku ke kamar berikut.
Kamarku. Kamarku yang suram.
Kutaruh koperku di samping tempat tidur, lalu memandang berkeliling. Kamar itu
hampir sebesar ruang olahraga! Dan tidak ada satu jendela pun.
Satu-satunya sumber cahaya adalah lampu redup di samping tempat tidur. Lantai
kamar tertutup karpet buatan sendiri yang sudah tipis dan kusam.
Di dinding di seberang tempat tidur ada lemari pakaian. Lemarinya miring. Dan
laci-lacinya tidak bisa ditutup rapat.
Satu tempat tidur. Satu lampu. Satu lemari. Hanya ada tiga potong perabot di
ruangan luas tanpa jendela itu.
Dinding-dindingnya juga kosong. Tak ada lukisan atau foto yang menghiasi
dinding kelabu itu.
Aku duduk di tempat tidur, dan menyandarkan punggung ke kisi-kisi besi di bagian
kepala. Lalu aku meraba-raba selimut yang menutupi tempat tidur. Ternyata
selimut wol. Selimut wol yang kasar dan berbau kamper.
"Selimut ini takkan kupakai," ujarku keras-keras. Tapi aku tahu aku harus
memakainya. Kamarku dingin dan lembap. Sekarang saja aku sudah mulai
menggigil.
Aku segera mengenakan baju tidur dan menyelinap ke balik selimut tua yang bau.
Tapi aku tidak bisa tidur. Aku gulang-guling terus sambil berusaha mencari posisi
nyaman di kasur keras.
Aku menatap langit-langit dan pasang telinga. Aku mendengarkan suara-suara
aneh yang terdengar di rumah tua yang seram ini. Bunyi berderak dan berderit
yang merambat melalui dinding-dinding.
Kemudian aku mendengar suara melolong.
Lolongan mengerikan dari balik dinding.
Lolongan seperti yang terdengar di rawa tadi. Aku langsung duduk tegak.
Kedengarannya suara itu berasal dari kamar Clark.
Chapter 6
Chapter 7
"WAAAA!" jeritku.
"Ada apa sih, Gretchen?"
Clark muncul dari balik lemari. Ia memakai T-shirt, topi baseball, sepatu kets, dan
celana piama.
"Ehm... t-tidak ada apa-apa," aku tergagap-gagap. Jantungku masih berdegup
kencang.
"Kalau begitu, kenapa kau menjerit?" tanya Clark. "Dan kenapa tampangmu begitu
aneh?"
"Aku? Aneh? Kau yang kelihatan aneh," balasku ketus. Aku menunjuk celana
piamanya. "Mana celanamu?"
"Entahlah." Ia menggelengkan kepala. "Mungkin Mom keliru memasukkannya ke
kopermu."
Aduh, kenapa aku jadi gugup begini? tanyaku dalam hati. Clark yang daya
khayalnya terlalu hebat, bukan aku, aku kembali mengingatkan diriku.
"Ayo," kataku pada saudara tiriku. "Kita ke kamarku dan cari celana jeans-mu."
Ketika kami mau turun untuk sarapan, Clark berhenti sejenak dan mengintip
melalui jendela di lorong. Kabut tadi telah lenyap.
Tumbuh-tumbuhan yang berselubung embun tampak berkilauan dalam cahaya
matahari.
"Pemandangan yang lumayan indah, ya?" gumamku.
"Ya," sahut Clark. "Lumayan. Lumayan seram."
Suasana di dapur juga lumayan menyeramkan. Di pagi hari pun keadaannya
hampir segelap tadi malam. Tapi pintu belakang terbuka, dan ada sedikit cahaya
matahari yang menerangi lantai dan dinding-dinding.
Suara-suara dari rawa terdengar melalui pintu yang terbuka. Tapi aku berusaha
tidak menghiraukan bunyi-bunyian itu.
Nenek berdiri di depan oven. Tangan kanannya memegang sendok kayu,
sedangkan di tangan kirinya ada piring yang penuh panekuk blueberry. Begitu
melihat kami, ia meletakkan sendok dan piring, lalu Menyekakan tangan pada
celemeknya yang sudah lusuh. Kemudian ia memberikan pelukan selamat pagi
kepada kami berdua.
Clark jadi berlepotan adonan panekuk.
Aku menunjuk bercak-bercak di T-shirt-nya, dan cekikikan. Kemudian aku
mengamati T-shirt-ku sendiri. T-shirt-ku yang masih baru — dan penuh noda
blueberry.
Aku memandang berkeliling. Aku butuh sesuatu untuk membersihkan bajuku. Tapi
dapur Nenek ternyata mirip kapal pecah.
Adonan panekuk menetes-netes dari oven, menempel di meja, dan mengotori
lantai.
Kemudian aku berpaling ke Nenek. Ia juga tampak berantakan sekali. Wajahnya
coreng-moreng — biru dan putih. Kerut-kerut di pipinya penuh sisa tepung dan
buah blueberry. Hidung dan dagunya juga berlepotan tepung.
"Bagaimana? Kalian bisa tidur nyenyak?" Daerah di sekitar matanya yang biru ikut
berkerut ketika ia tersenyum. Dengan punggung tangan ia menyingkirkan sejumput
rambut kelabu yang jatuh ke matanya. Tapi akibatnya malah ada adonan panekuk
yang melekat di rambutnya.
"Kakek tidur nyenyak," Kakek menyahut, ketika pekik nyaring terdengar dari arah
rawa. "Kakek selalu tidur nyenyak. Habis suasana di sini begitu tenang dan
tenteram."
Mau tidak mau aku tersenyum. Mungkin Kakek justru beruntung pendengarannya
kurang baik.
Kakek keluar lewat pintu belakang; Clark dan aku segera membersihkan diri.
Kemudian kami mengambil tempat di meja.
Di tengah meja ada piring lain berisi panekuk blueberry. Yang ini bahkan lebih
besar lagi daripada piring yang dipegang Nenek. Dan tumpukan panekuknya juga
lebih tinggi.
"Sepertinya Nenek menganggap kita rakus," Clark berbisik sambil
mencondongkan badan ke arahku. "Tumpukan panekuk itu cukup untuk lima puluh
orang."
"Yeah," aku membenarkan. "Dan kita terpaksa menghabiskan semuanya. Kalau
tidak, Nenek bisa sakit hati."
"Masa sih?" tanya Clark sambil membelalakkan mata.
Itulah salah satu hal yang paling kusukai pada saudara tiriku. Ia nyaris percaya apa
saja yang kukatakan padanya.
"Ayo, makanlah," kata Nenek sambil membawa dua piring lagi ke meja. "Jangan
malu-malu."
Untuk apa Nenek membuat panekuk sebanyak ini? aku bertanya-tanya. Kami tidak
mungkin menghabiskan semuanya. Tidak mungkin.
Aku mengambil beberapa potong panekuk. Nenek menaruh kira-kira sepuluh
potong di piring Clark. Clark langsung pucat.
Nenek menemani kami di meja makan. Tapi piringnya sendiri tetap kosong. Ia
tidak mengambil satu potong pun.
Ada begini banyak panekuk dan dia tidak ambil satu pun. Aku tidak mengerti,
pikirku. Aku benar-benar tidak mengerti.
"Apa yang sedang kaubaca, Sayang?" Nenek menunjuk komik Clark.
Clark telah menggulung komik itu dan menyelipkannya ke kantong belakang
celana jeans-nya.
"Makhluk dari Lumpur," Clark menjawab sambil mengunyah.
"Oh, menarik sekali," ujar Nenek. "Nenek juga senang membaca. Kakek Eddie
juga. Kami selalu membaca. Kami paling suka kisah misteri. 'Tak ada yang lebih
menarik dari kisah misteri yang bagus,' Kakek Eddie selalu bilang."
Aku langsung berdiri. Aku baru ingat — hadiah-hadiah untuk Kakek dan Nenek
masih ada di koperku.
Buku! Cerita misteri! Dad sudah memberitahu kami bahwa mereka suka membaca.
"Aku akan segera kembali!" Aku permisi sebentar dan bergegas ke atas.
Aku menyusuri lorong panjang ke kamarku. Tapi kemudian aku berhenti karena
mendengar langkah. Siapa itu?
Aku memandang ke ujung lorong. Dan aku hampir memekik kaget ketika melihat
bayangan gelap di dinding.
Rupanya ada orang.
Orang yang sedang mengendap-endap ke arahku.
Chapter 8
AKU merapatkan punggung ke dinding. Aku menahan napas dan pasang telinga.
Bayangan itu menghilang dari pandangan.
Bunyi langkah tadi pun semakin tak jelas.
Masih sambil menahan napas, aku menyusuri lorong yang gelap dan berliku-liku.
Perlahan-lahan aku mengintip dari balik dinding yang menyudut. Dan melihatnya.
Bayangan itu. Bentuknya tidak kelihatan jelas dalam cahaya remang-remang.
Bayangan itu tampak bergerak di dinding hijau tua, dan semakin lama semakin
mengecil.
Aku maju dengan sigap namun tanpa bersuara, mengikuti bayangan tersebut.
Bayangan siapa itu? aku bertanya-tanya. Siapa yang ada di sini selain aku?
Aku mendekat.
Bayangan di dinding kembali membesar. Jantungku berdegup-degup ketika aku
mengejar sosok misterius itu.
Bayangan di depanku kembali membelok. Aku segera bergegas maju. Lalu
berhenti.
Siapa pun yang tadi berjalan di depanku — sekarang berdiri di situ. Persis di balik
belokan.
Aku menarik napas dalam-dalam — dan mengintip dengan hati-hati.
Dan aku melihat Kakek Eddie.
Ia membawa setumpuk panekuk di piring yang besar sekali.
Kok Kakek bisa ada di sini? aku bertanya-tanya. Rasanya aku melihat dia keluar
rumah tadi.
Barangkali Kakek masuk lagi lewat pintu lain, aku akhirnya menyimpulkan. Ya,
pasti begitu. Rumah ini besar sekali. Pasti ada banyak pintu, lorong, dan tangga
yang belum kuketahui.
Tapi kenapa Kakek ada di atas sini sambil membawa setumpuk panekuk? Mau
dibawa ke mana tumpukan panekuk itu?
Wah, ini benar-benar misterius!
Kakek Eddie memegang piring besar itu dengan kedua tangan sambil berjalan
menyusuri lorong.
Aku harus mengikutinya, pikirku. Aku harus tahu dia mau ke mana.
Aku pun menyusuri lorong. Aku tak lagi perlu berhati-hati untuk tidak bersuara.
Kan pendengaran Kakek kurang baik.
Aku berjalan beberapa langkah di belakangnya. Tiba-tiba ada suara aneh, dan aku
langsung berhenti. Suara mengendus-endus. Di belakangku.
Aduh, gawat! Charley!
Charley berlari dari ujung lorong. Ia mengendus-endus. Kemudian ia melihatku —
dan berhenti.
"Anjing pintar," bisikku sambil berusaha mengusirnya. "Sana. Balik sana."
Tapi ia malah berlari menghampiriku. Dan menggonggong keras-keras.
Aku menyambar pengikat lehernya ketika ia berusaha mengecohku — dan berlari
mengejar Kakek.
Pengikat lehernya kupegang erat-erat. Gonggongannya semakin kencang.
"Rose?" panggil Kakek Eddie. "Kaukah itu, Rose?"
"Ayo, Charley," bisikku. "Kita harus pergi dari sini."
Aku menyeret Charley melewati belokan — sebelum Kakek sempat memergokiku.
Kemudian aku cepat-cepat masuk ke kamarku.
Charley kutarik sekalian.
Sejenak aku duduk di atas selimut wol yang kasar untuk mengatur napas. Lalu aku
cepat-cepat membongkar koper serta mengambil buku-buku misteri untuk Kakek
dan Nenek.
Mau ke mana Kakek dengan membawa tumpukan panekuk itu? tanyaku dalam hati
ketika aku bergegas menuruni tangga sambil membawa hadiah-hadiah.
Dan kenapa dia mengendap-endap?
Misteri ini harus kupecahkan, aku membulatkan tekad.
Kalau saja aku tahu masalah apa yang bakal kuhadapi, aku takkan sok tahu seperti
itu.
Chapter 9
"KENAPA kalian tidak main di luar saja, sementara Nenek membereskan piring-
piring ini?" Nenek mengusulkan sehabis sarapan. "Setelah itu kalian bisa
membantu Nenek membuat pie talas yang semanis madu!"
"Main?" gumam Clark. "Memangnya kita anak dua tahun?"
"Ayo, kita keluar saja, Clark." Aku menariknya lewat pintu belakang. Sebenarnya
aku sendiri juga tidak berminat menghabiskan waktu di rawa-rawa. Tapi itu masih
mendingan dibandingkan duduk-duduk di rumah tua yang menyeramkan.
Kami disambut sinar matahari yang terang benderang — dan aku nyaris memekik
kaget. Udara yang panas dan pengap seakan-akan menekan kulitku. Aku berusaha
menarik napas dalam-dalam — untuk mengusir perasaan yang tidak
menyenangkan itu.
"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?" gerutu Clark. Ia juga menarik napas
dalam-dalam.
Aku memandang berkeliling dan melihat jalan setapak. Jalan setapak itu mulai dari
belakang rumah dan menuju rawa.
"Kita bisa menjelajahi tempat ini," aku mengusulkan.
"Aku tidak mau jalan-jalan di rawa," sahut Clark.
"Takut apa sih? Monster dari komik?" ejekku. "Makhluk dari lumpur?"
Aku tertawa.
"Lucu sekali," omel Clark sambil cemberut.
Kami berjalan beberapa langkah. Sinar matahari menerobos dedaunan, yang
seolah-olah membentuk atap di atas kepala kami, dan menimbulkan bayangan-
bayangan pada jalan setapak.
"Ular," Clark mengakui. "Aku takut ular."
"Tenang saja," ujarku. "Aku akan berjaga-jaga terhadap ular. Kau berjaga-jaga
terhadap buaya."
"Buaya?" Clark langsung membelalakkan mata.
"Ya, tentu," sahutku. "Daerah rawa seperti ini penuh buaya pemakan manusia."
Ada suara menyela. "Gretchen. Clark. Jangan jauh-jauh dari rumah."
Aku menoleh dan melihat Kakek. Ia berdiri beberapa meter di belakang kami.
Apa itu yang dipegangnya?
Gergaji besar. Giginya yang tajam tampak berkilau-kilau dalam sorot sinar
matahari.
Kakek menuju gubuk kecil yang baru setengah selesai. Gubuk itu terletak beberapa
meter dari tepi jalan setapak, di antara dua pohon cypress tinggi.
"Oke!" seruku pada Kakek. "Kami takkan jauh-jauh."
"Kalian mau membantu Kakek menyelesaikan gubuk ini?" balasnya sambil
mengangkat gergaji. "Bertukang bisa membangun rasa percaya diri lho!"
"Ehm, mungkin nanti," jawabku.
"Kalian mau membantu?" tanya Kakek sekali lagi.
Clark menangkupkan telapak tangan di sekitar mulutnya dan berseru, "NAN-TI!"
Kemudian ia kembali berpaling ke jalan setapak. Dan ia tersandung.
Kakinya tersandung sosok gelap yang mendadak muncul dari balik rumput.
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
"WOW! Coba lihat barang-barang ini!" Clark berdiri di tengah ruangan. Ia sedang
berputar perlahan agar bisa mengamati semuanya.
Satu ruangan penuh mainan. Mainan-mainan lama. Bergunung-gunung.
Di salah satu sudut ada sepeda roda tiga yang sudah berkarat. Roda depannya
sudah tidak ada.
"Ini pasti bekas sepeda Dad," ujarku. Rasanya sulit membayangkan Dad sebagai
anak kecil yang naik sepeda roda tiga.
Aku menekan klaksonnya. Ternyata masih berbunyi.
Clark mengeluarkan papan catur yang penuh debu dari peti kayu. Ia memasang
buah catur sementara aku memeriksa barang apa lagi yang ada di situ.
Aku menemukan beruang teddy berkepala penyok karena tertindih. Lalu ada
boneka monyet yang tangannya telah hilang sebelah.
Aku membongkar sejumlah tas berisi serdadu-serdadu mainan. Seragam mereka
tampak lusuh, dan wajah mereka pun sudah tidak kelihatan jelas.
Kemudian aku melihat peti mainan antik. Di bagian depannya ada gambar komidi
putar yang dulu pernah berkilau keemasan, tapi sekarang sudah memudar.
Aku mengangkat tutupnya yang berdebu, dan melihat boneka porselen yang
tengkurap di dalam peti.
Aku mengangkatnya dengan hati-hati. Lalu membaliknya agar menghadap ke
arahku.
Pada pipinya ada retakan-retakan halus. Dan ujung hidungnya telah sempal.
Kemudian aku menatap matanya — dan memekik tertahan.
Boneka itu tak bermata.
Tak bermata sama sekali.
Aku hanya melihat dua lubang hitam di bawah keningnya yang kecil.
"Jadi ini harta karun Nenek?" gumamku. "Ini sih cuma rongsokan!"
Boneka itu segera kukembalikan ke dalam peti. Tiba-tiba terdengar bunyi berderit.
Dari seberang ruangan. Dari dekat pintu.
Aku menoleh dan melihat kuda-kudaan kayu yang berayun maju-mundur.
"Clark, kau yang mendorong kuda itu, ya?" tanyaku.
"Bukan," sahut Clark pelan-pelan. Ia memperhatikan kuda-kudaan itu berayun-
ayun. Maju-mundur. Berderit-derit.
"Ayo, kita keluar saja," kataku. "Aku jadi merinding di sini."
"Aku juga," kata Clark. "Kepala ratu caturnya dipenggal. Dikunyah-kunyah sampai
putus."
Clark melompati sejumlah kardus dan bergegas ke lorong.
Aku menengok sekali lagi sebelum mematikan lampu. Hih, seram.
"Clark?"
Ke mana dia?
Aku menoleh ke kiri-kanan.
Clark tidak kelihatan. Padahal baru saja dia masih di sini. Berdiri di ambang pintu.
"Clark? Di mana kau?"
Aku menyusuri lorong yang berkelok-kelok. Perasaanku mulai tidak enak.
Jantungku berdegup kencang.
"Clark? Ini tidak lucu."
Tak ada jawaban.
"Clark? Di mana kau?"
Chapter 14
"BOOOO!"
Aku langsung menjerit.
Clark muncul di belakangku. Dia tertawa sampai terbungkuk-bungkuk. "Kena
kau!" serunya.
"Tidak lucu, Clark," omelku. "Kau cuma konyol. Aku sama sekali tidak takut."
Ia memutar-mutar bola matanya. "Hah, jangan bohong, Gretchen. Mengaku sajalah
— sekali ini saja. Kau benar-benar ketakutan, ya kan?"
"Enak saja!" bantahku. "Aku cuma sedikit kaget. Itu saja."
Kuselipkan kedua tanganku ke kantong celana, agar Clark tidak melihat tanganku
gemetaran. "Kau benar-benar konyol, tahu!"
"Hmm, Nenek kan berpesan agar kita bersenang-senang di sini. Dan ini benar-
benar asyik!" ia menggodaku. "Ke mana kita sekarang?"
"Aku tidak mau ke mana-mana," balasku gusar. "Aku mau mengurung diri di
kamar dan membaca."
"Hei! Ide bagus!" seru Clark. "Kita main petak umpet saja!"
"Main? Apa aku tidak salah dengar?" ujarku. "Tadi kau bilang yang suka main
cuma anak dua tahun."
"Ini lain," jelas Clark. "Main petak umpet di rumah ini bukan permainan untuk
bayi."
"Clark, aku bukan..."
Ia tidak memberi kesempatan padaku untuk menyelesaikan kalimat itu. "KAU
YANG JAGA!" serunya. Seketika ia berbalik dan lari ke ujung lorong untuk
bersembunyi.
"Aku tidak mau main petak umpet," gerutuku.
Oke, kataku dalam hati. Kita selesaikan secepatnya saja. Cari Clark sampai
ketemu. Habis itu kau bisa ke kamar dan membaca.
Aku mulai berhitung lima-lima.
"Lima, sepuluh, lima belas, dua puluh...," kataku keras-keras, sampai seratus.
Kemudian aku mulai menyusuri lorong gelap. Ketika aku sampai di ujung,
lorongnya berbelok — dan menyambung ke tangga yang menuju lantai tiga.
Aku mulai menaiki tangga kayu yang penuh debu. Tangganya berputar dan
berputar. Aku memandang ke depan, tapi yang terlihat hanya beberapa anak tangga
saja.
Kakiku sendiri pun tidak kelihatan. Keadaan di sini benar-benar gelap gulita.
Tangga itu berderak dan berderit setiap kali aku melangkah. Langkannya tertutup
lapisan debu tebal-tapi aku tetap berpegangan.
Aku naik perlahan-lahan — mendaki tangga putar yang gelap. Semakin lama
semakin tinggi.
Aku mulai terengah-engah. Hidungku gatal karena mengisap debu yang melayang-
layang di udara pengap.
Akhirnya aku sampai di puncak tangga, dan memandang ke lorong lantai tiga.
Lorong itu juga berkelok-kelok, sama seperti lorong lantai dua. Dindingnya juga
dicat hijau tua. Dan satu-satunya sumber cahaya berasal dari jendela kecil.
Perlahan-lahan aku melangkah maju dan membuka pintu pertama yang kutemui.
Ruangan itu ternyata besar sekali. Hampir seluas ruang duduk. Tapi kosong sama
sekali.Ruangan berikut tak kalah besarnya. Dan tak kalah kosongnya.
Dengan hati-hati aku kembali menyusuri lorong gelap.
Udara di atas sini benar-benar panas. Butir-butir keringat mengalir dari pelipis ke
pipiku. Aku menyeka semuanya dengan lengan baju.
Ruangan berikut yang kumasuki ternyata kecil. Ehm, sebenarnya tidak kecil juga,
tapi lebih kecil dari ruangan-ruangan lain yang sudah kulihat. Di salah satu sisi ada
piano tua.
Kalau saja tidak begitu pengap di sini, aku pasti balik ke ruangan ini, aku berkata
dalam hati. Aku akan kembali untuk melihat apakah piano itu masih bisa
dimainkan.
Tapi sekarang aku cuma ingin menemukan Clark di tempat persembunyiannya.
Lalu segera pergi.
Aku maju lagi.
Melewati belokan.
Dan memekik kaget — ketika aku mulai jatuh. Lantainya mendadak lenyap.
Tak ada lantai di bawah kakiku!
Cepat-cepat aku mengulurkan tangan dalam gelap. Tanganku menggapai-gapai,
mencari tempat berpegangan.
Aku berhasil meraih sesuatu yang keras — langkan tangga tua.
Aku terus berpegangan. Dan bergelantungan.
Aku mencengkeramnya erat-erat dengan kedua tangan, lalu mengayunkan badanku
ke atas. Kembali ke lantai lorong.
Jantungku berdegup-degup ketika aku menatap ke lubang menganga tempat aku
terjatuh tadi. Lubang gelap yang dulu pernah ada tangganya. Tapi tangga itu sudah
hancur termakan usia.
Aku menghela napas.
"Awas, Clark, kau akan merasakan pembalasanku!" seruku keras-keras. "Aku kan
sudah bilang aku tidak mau ikut main."
Aku bergegas menyusuri lorong sambil mencari saudara tiriku itu. Aku ingin
mengakhiri permainan konyol ini secepat mungkin. Dan kemudian aku berhenti.
Tanpa berkedip aku menatap pintu di ujung lorong. Pintu dengan kunci besar
mengilap. Perlahan-lahan aku menghampirinya.
Anak kunci berwarna perak dibiarkan menancap.
Apa yang ada di dalam situ? aku bertanya-tanya. Kenapa pintu ini digembok?
Aku maju lagi.
Kenapa Kakek dan Nenek melarang kami masuk ke ruangan itu?
Mereka bilang ruangan itu cuma gudang.
Hampir setiap ruangan di rumah aneh ini bisa dibilang gudang, pikirku. Jadi
kenapa pintu yang satu ini tidak boleh dibuka?
Aku berdiri di depan pintu.
Kuulurkan tanganku.
Dan kuraih anak kunci berwarna perak itu.
Chapter 15
JANGAN.
Segera kutarik tanganku.
Aku harus mencari Clark, kataku dalam hati. Aku sudah bosan dengan permainan
konyol ini. Aku sudah capek mondar-mandir di sini.
Tiba-tiba aku mendapat ide gemilang.
Aku sembunyi saja! Biar Clark yang mencari aku. Aku akan bersembunyi sampai
Clark bosan menunggu. Dan setelah itu dia yang akan mencari aku! Ide bagus!
pikirku. Hmm... di mana aku bisa bersembunyi?
Aku memeriksa semua ruangan di lantai tiga untuk mencari tempat persembunyian
yang baik. Tapi semua ruangan di sini ternyata kosong. Tak ada tempat untuk
bersembunyi.
Aku kembali ke ruangan kecil yang berisi piano. Barangkali aku bisa menyelinap
ke balik piano, pikirku.
Aku berusaha mendorongnya menjauhi dinding. Sedikit saja, asal cukup untuk
menyelinap. Tapi piano itu terlalu berat, dan tidak bergeser sedikit pun.
Aku kembali ke pintu berkunci besar — satu-satunya ruangan yang terkunci.
Lalu aku berbalik dan mengamati lorong remang-remang.
Betulkah semua ruangan sudah kuperiksa? Jangan-jangan ada yang terlewat.
Dan ketika itulah aku melihatnya.
Sebuah pintu kecil. Pintu di dinding.
Pintu yang sebelumnya luput dari perhatianku. Pintu ke cerobong kerekan.
Aku pernah melihat kerekan seperti itu dalam film. Di rumah tua yang besar
seperti rumah ini. Kerekan itu berfungsi untuk membawa makanan dan piring dari
satu lantai ke lantai lain. Praktis sekali.
Hei, ada kerekan makanan! pikirku. Tempat yang cocok untuk sembunyi! Aku
berbalik dan menghampirinya — tapi tiba-tiba terdengar bunyi praaang. Seperti
bunyi piring jatuh ke lantai.
Bunyi itu berasal dari balik pintu yang terkunci rapat.
Aku menempelkan telinga ke daun pintu. Dan mendengar bunyi langkah.
Oh, rupanya Clark bersembunyi di situ! aku menyadari. Dasar curang! Dia tahu
persis aku takkan mencarinya di situ!
Dia bersembunyi di ruangan yang tidak boleh kami masuki.
Hah, Clark, pikirku. Kali ini kau sedang apes!
Aku memegang anak kunci yang menancap di pintu dan segera memutarnya. Klik.
Tanpa pikir panjang aku membuka pintu.
Dan berhadapan dengan monster yang mengerikan.
Chapter 16
"KENAPA kita ditinggal?" ratapku. "Kenapa kita ditinggal di sini? Kenapa kita
dikurung?"
Langit-langit di atas kami bergetar. Bergetar keras. Cukup keras untuk membuat
foto-foto di dinding ruang duduk berjatuhan ke lantai.
"Apa itu?" tanya Clark sambil mengerutkan kening.
"Si monster! Dia mengejar kita!" sahutku dengan suara parau. "Kita harus keluar
dari sini! Kita harus mencari bantuan!"
Clark dan aku kembali ke dapur. Ke pintu belakang.
Aku memutar-mutar gagang pintu. Dan menarik dengan sekuat tenaga. Tapi
ternyata pintu ini juga tidak bergerak sedikit pun, karena dikunci dari luar.
Kami berlari kian kemari.
Memeriksa semua pintu samping.
Tapi semuanya terkunci. Semua pintu — terkunci rapat dari luar.
Langkah si monster berdebam-debam di atas. Tega-teganya Kakek dan Nenek
berbuat begini. Tega-teganya mereka. Tega-teganya mereka. Kalimat itu terus
terulang dalam benakku ketika aku berlari ke perpustakaan. Menghampiri jendela.
Satu-satunya jendela di seluruh lantai dasar. Satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan diri. Aku berjuang keras untuk membuka jendela. Tapi jendela itu
tidak bergerak sedikit pun. Aku mengepalkan tangan dan menggedor-gedor rangka
kayunya.
"Lihat tuh!" kata Clark dengan suara seperti tercekik. Ia menunjuk kaca jendela
yang berdebu. "Lihat itu!"
Dua paku berkarat. Dua paku yang menyembul dari rangka jendela. Jendelanya
dipaku — dari luar! Clark dan aku benar-benar terkurung.
Tega-teganya mereka berbuat begini, ratapku dalam hati. Tega-teganya.
"Kacanya harus kita pecahkan!" Aku berpaling kepada Clark. "Itu satu-satunya
cara untuk keluar dari sini!"
"Oke!" seru Clark. Ia mencondongkan badan dan mulai memukul-mukul kaca
jendela dengan tangan terkepal.
"Kau sudah gila?" bentakku. "Cari sesuatu yang lebih kuat buat..."
Tapi sisa kalimatku terpotong — terpotong bunyi gaduh dari atas. Bunyi itu disusul
denting dawai piano yang memekakkan telinga.
"S-sedang apa dia?" Clark tergagap-gagap.
"Di atas ada piano tua. Sepertinya si monster melemparnya ke dinding!"
Lantai, dinding-dinding, langit-langit ruang perpustakaan — semuanya bergetar
ketika si monster melempar-lempar piano.
Berulang-ulang.
Vas porselen, piring kristal, dan sejumlah hiasan kaca di atas meja kecil berjatuhan
ke lantai dan pecah berantakan di depan kaki kami.
Aku memekik tertahan ketika buku-buku berhamburan dari rak dan berserakan di
lantai.
Clark dan aku saling merapat. Kami langsung tiarap. Menunggu hujan buku itu
berhenti.
Menunggu sampai si monster berhenti mengamuk. Kami tiarap di lantai sampai
suasana kembali hening.
Satu buku lagi jatuh dari rak, dan menimpa meja kecil di sampingku.
"Berikan itu padaku!" kataku kepada Clark sambil menunjuk tempat lilin dari
kuningan di sebelah buku yang baru jatuh. "Awas, mundur."
Aku berpaling ke jendela. Aku mengambil ancang-ancang untuk mengayunkan
tempat lilin yang berat itu — tapi tiba-tiba aku mendengar suara merintih-rintih.
Rintihan Charley. Dari atas.
"Oh, ya ampun!" pekikku tertahan. "Si monster — dia berhasil menangkap
Charley!"
Chapter 19
AKU berlari ke tangga. Sebelah tanganku menggenggam tempat lilin, satunya lagi
menyeret Clark. Aku harus menyelamatkan Charley! Harus!
Tanpa pikir panjang aku berlari menaiki tangga. Aku berhenti ketika sampai di
lantai dua.
Jantungku berdegup kencang ketika aku mengintip ke lorong.
Si monster tidak kelihatan.
Aku mengendap-endap menuju kamar mandi. Tak ada bunyi apa pun selain bunyi
napas Clark yang terengah-engah dan detak jantungku sendiri.
Aku maju dengan hati-hati sampai bisa melihat pintu kamar mandi.
Pintunya tertutup.
Aku meraih gagang pintu. Tapi tanganku licin karena telapaknya berkeringat.
Pintu itu kubuka sedikit. Aku mengintip melalui celah pintu, tapi tidak melihat
apa-apa.
Napas Clark terasa di tengkukku ketika aku membuka pintu lebih lebar.
Sedikit demi sedikit.
"Charley!" seruku lega.
Charley duduk di bak mandi untuk berendam. Ia meringkuk di salah satu sudut.
Ketakutan — tapi selamat.
Ia menatap kami dengan mata besarnya yang berwarna cokelat. Ekornya
bergoyang pelan. Kemudian ia mulai menggonggong.
"Ssst!" bisikku sambil membelai-belai kepalanya. "Jangan ribut, Charley. Nanti si
monster tahu kita di sini."
Charley malahan menggonggong lebih keras. Saking kerasnya, kami nyaris tidak
mendengar bunyi mobil yang baru berhenti di luar.
"Ssst!" kataku kepada Charley. Aku berpaling pada Clark. "Kaudengar itu?"
Ia membelalakkan mata. "Pintu mobil!"
"Yes!" seruku.
"Kakek dan Nenek kembali!" seru Clark. "Mereka pasti membawa bantuan!"
"Tunggu di sini!" aku memberi perintah kepada Charley ketika Clark dan aku
menyelinap keluar dari kamar mandi. "Anjing pintar. Tunggu."
Clark membanting pintu, dan kami langsung berlari menuruni tangga.
"Aku tahu mereka pasti kembali! Aku tahu mereka tidak mungkin meninggalkan
kita di sini!" Aku menghambur turun, setiap langkah melewati dua anak tangga.
Lalu aku mendengar mesin mobil dinyalakan kembali.
Mendengar mobil itu menjauh.
Mendengar bunyi ban melindas batu-batu kerikil di pekarangan.
"Tungguuuu!" seruku ketika mencapai pintu depan. "Jangan pergi! Jangan pergi!"
Aku menggedor-gedor pintu dengan tangan terkepal. Aku menendang-nendangnya
dengan keras. Dan kemudian aku melihat secarik kertas berwarna pink di lantai.
Kelihatannya kertas itu diselipkan melalui celah di bawah pintu.
Pesan. Tanganku gemetaran ketika aku memungutnya. Aku mulai membaca:
Kami baru kembali minggu depan. Maaf, anak-anak. Tapi rupanya urusan dinas
ini makan waktu lebih lama dari yang kami kira.
Pesan telepon — dari Dad dan Mom.
Ternyata bukan Kakek dan Nenek yang datang, aku menyadari.
Mr. Donner, dari warung serba ada di kota, mampir ke sini untuk mengantarkan
pesan telepon ini.
Raungan si monster membuyarkan lamunanku. Aku langsung berbalik.
Clark telah lenyap.
"Clark!" seruku. "Di mana kau?"
Suara si monster semakin nyaring. Dan semakin garang.
"Clark!" panggilku sekali lagi. "Clark!"
"Gretchen... cepat kemari!"aku mendengar teriakannya dari arah dapur.
Chapter 20
"GRETCHEN! Gretchen!"
Berulang kali aku mendengar Clark memanggil namaku ketika aku berlari
melintasi ruang duduk. Setiap kali nadanya bertambah melengking dan ngeri.
"Aku datang!" seruku. "Tunggu, Clark! Aku sudah datang."
Aku bergegas melewati sofa — dan tersandung kursi kecil penyangga kaki.
Kepalaku membentur lantai.
Clark masih terus memanggil-manggil, tapi sekarang suaranya terdengar jauh.
Begitu jauh.
Kepalaku berdenyut-denyut.
Aku memaksakan diri bangkit, tapi seluruh ruangan seolah-olah berputar
mengelilingiku.
"Gret-chen! Gret-chen!"
"Tunggu sebentar!" ujarku sambil memejamkan mata.
Kemudian aku mendengar raungan si monster. Suara menggelegar itu terdengar di
semua sudut rumah.
Aku harus menolong Clark. Dia dalam kesulitan! Dia ditangkap si monster! aku
menyadari.
Terhuyung-huyung aku melewati ruang duduk. Menuju dapur. Raungan si monster
membuat dinding-dinding bergetar.
"Tahan, Clark!" aku hendak berseru, tapi suaraku tidak mau keluar dari mulut.
"Aku datang!"
Aku masuk ke dapur.
"Gretchen!" Clark berdiri di depan lemari es. Ia sendirian.
"Mana dia?" seruku. Aku memandang berkeliling, mencari-cari si monster.
"S-siapa?" Clark tergagap-gagap.
"Si monster!" sahutku.
"Di atas," balas Clark heran. "Kok lama betul sih kau kemari?"
Ia tidak menunggu jawabanku. "Coba lihat ini." Ia menunjuk lemari es. Aku
membalik dan melihat dua surat yang ditempelkan dengan magnet.
"Gara-gara ini kau teriak-teriak seperti orang gila?" pekikku.
"Aku kaget setengah mati tadi! Kupikir kau ditangkap si monster!"
Tangan Clark gemetaran ketika melepaskan kedua surat itu dari pintu lemari es.
"Dua surat untuk kita. Dari Kakek dan Nenek."
Aku menatap kedua amplop di tangan Clark. Keduanya memang ditujukan pada
kami. Dan diberi nomor, satu dan dua.
"Mereka meninggalkan surat untuk kita?" Aku benar-benar heran.
Clark membuka amplop pertama. Kertas suratnya bergetar di tangannya ketika ia
mulai membaca dalam hati.
Matanya beralih dari baris ke baris. Mulutnya komat-kamit, tapi aku tidak
mendengar apa yang dikatakannya.
"Coba sini!" Aku berusaha mengambil surat itu, tapi Clark segera merebutnya
kembali. Ia memegangnya erat-erat dan meneruskan membaca.
"Apa katanya, Clark?" tanyaku.
Ia tidak menghiraukanku. Ia membetulkan letak kacamatanya yang merosot
sedikit, lalu kembali membaca. Kembali bergumam tak jelas.
Aku memperhatikan Clark membaca.
Aku memperhatikan matanya menelusuri baris demi baris.
Dan aku memperhatikannya membelalakkan mata karena ngeri.
Chapter 21
Chapter 22
MONSTER itu memelototiku dengan matanya yang terbelalak lebar. Aku melihat
urat nadi di kepalanya berdenyut-denyut ketika ia menggeram panjang.
Aku tidak sanggup mengalihkan mata dari urat nadi yang berdenyut-denyut itu.
"Lari, Gretchen!" Clark menarikku dari belakang. Ia menyeretku keluar dari ruang
makan. Terburu-buru kami lari ke tangga.
"Kita harus cari tempat sembunyi." Napas Clark terengah-engah ketika kami naik
ke lantai dua. "Kita harus sembunyi sampai Kakek dan Nenek kembali dengan
bantuan."
"Mereka takkan kembali!" seruku. "Mereka takkan kembali ke sini!"
"Mereka bilang begitu," Clark berkeras. "Mereka bilang begitu di surat tadi."
"Clark, kau memang bodoh sekali."
Kami sampai di puncak tangga. Aku berhenti sejenak untuk mengatur napas.
"Siapa yang bakal percaya pada mereka?" tanyaku sambil megap-megap. "Siapa
yang mau percaya mereka menyekap monster rawa di rumah mereka?"
Clark diam saja.
Aku sendiri yang menjawab pertanyaanku. "Takkan ada! Takkan ada yang
percaya. Semua orang yang mendengar cerita itu pasti menyangka mereka sudah
gila."
"Pasti ada yang percaya," sahut Clark dengan parau. "Pasti ada yang mau
menolong."
"Mana mungkin?! 'Kami perlu bantuan untuk membunuh monster rawa,' itu yang
akan mereka katakan. Kujamin pasti banyak yang menawarkan diri!" Aku
menggeleng-gelengkan kepala.
Aku berhenti membentak-bentak Clark ketika bunyi napas si monster terdengar
lagi. Aku segera berbalik — dan melihat makhluk itu.
Ia berdiri di kaki tangga. Dan menatap kami dengan tajam. Air liurnya menetes-
netes. Perlahan-lahan Clark dan aku melangkah mundur. Pandangan si monster
terus mengikuti kami.
"Kita harus membunuhnya," bisik Clark. "Itu yang dikatakan Kakek dan Nenek
dalam surat mereka. Kita harus membunuhnya. Tapi bagaimana?"
"Aku punya ide," ujarku kepada Clark. "Ayo, ikut aku!"
Kami berbalik dan segera lari. Ketika melewati kamar mandi, kami mendengar
Charley merintih-rintih.
"Charley harus kita bawa!" Clark langsung berhenti. "Terlalu bahaya dia dibiarkan
terkurung di sini. Dia harus dibawa."
"Tidak bisa, Clark," sahutku. "Dia cukup aman di sini. Kau tak perlu kuatir."
Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu yakin. Tapi aku tahu kami tidak punya waktu
untuk mengambil Charley — sebab si monster telah menyusul kami ke lantai dua.
Ia berdiri di ujung lorong.
Dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ternyata ia memegang kursi penyangga
kaki yang sempat membuatku tersandung di ruang duduk tadi.
Matanya tampak menyala-nyala.
Ia memelototiku, lalu menggeram keras-keras. Air liurnya kembali menetes-netes.
Lidahnya menjulur keluar untuk menjilat ludahnya sendiri.
Aku merinding ketika melihat lidahnya yang bercabang dua, bagaikan lidah ular.
Kemudian ia menghantamkan kursi di tangannya ke kakinya. Kursi itu langsung
terbelah. Dengan gusar si monster melemparkan bagian-bagiannya ke arah kami.
"Ayo!" teriak Clark ketika potongan-potongan kayu itu membentur dinding.
Kami berlari menaiki tangga. Menuju lantai tiga. Si monster mengejar kami. Setiap
kali ia melangkah, seluruh rumah terasa bergetar.
"Dia datang!" teriak Clark. "Apa yang harus kita lakukan? Tadi kau bilang kau
punya ide. Ide apa?"
"Di atas ada tangga ambruk," aku memberitahu Clark sambil berlari sekencang
mungkin di lorong yang gelap dan berkelok-kelok.
"Tangga itu ambruk seluruhnya. Yang tersisa cuma lubang besar. Setelah
membelok di ujung, kau harus langsung berpegangan pada langkan tangga. Si
monster akan mengejar kita — dan dia akan jatuh ke lubang itu."
Raungan s i monster membuat telingaku berdengung-dengung.
Aku melihatnya bergegas menyusuri lorong, mengikuti kami.
"Ayo, Clark! Cepat!"
"Tapi bagaimana kalau ini tidak berhasil?" tanya Clark dengan nada melengking
karena ngeri. "Bagaimana kalau dia cuma cedera? Bisa-bisa dia malah bertambah
ganas!"
"Jangan banyak tanya, Clark," balasku kesal. "Ini pasti berhasil! Pasti!"
Kami mulai berlari lagi.
Si monster melolong-lolong. Melolong karena marah.
"Itu belokannya, Clark. Di depan."
Monster itu meraung-raung. Ia hanya beberapa langkah di belakang kami.
Jantungku berdegup kencang. Dadaku serasa mau meledak.
"Pegang pagarnya, Clark. Kalau tidak, kau bakal jatuh. Ayo!"
Kami berbelok.
Kami mengangkat tangan. Dan berpegangan pada langkan tangga.
Tubuh kami membentur dinding — lalu menggantung di atas lubang hitam yang
menganga.
Si monster ikut berbelok.
Apakah rencanaku akan berhasil? Apakah dia bakal jatuh dan mati?
Apakah memang begini cara membunuh monster?
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
AKU memperhatikan bagaimana monster itu melahap pie itu sampai ludes.
Kemudian ia menjulur-julurkan lidahnya yang bercabang, dan menjilat-jilat remah-
remah yang masih tersisa di piring.
"Tidak berhasil," bisikku kepada Clark. "Dia malah suka."
"Sekarang bagaimana?" tanya Clark, juga sambil berbisik. Ia menekuk lutut dan
merangkulnya erat-erat di depan dada agar tidak gemetaran.
Si monster mengerang panjang.
Aku mengintip dari bawah meja. Aku melihat kedua matanya melotot. Matanya
nyaris copot dari kepala!
Napasnya tersendat-sendat, seakan-akan ada yang mencekiknya. Kedua tangannya
yang berbulu memegangi lehernya.
Ia kembali mengerang.
Perutnya bergemuruh — mirip bunyi guntur di kejauhan. Ia membungkuk sambil
memegangi perutnya.
Kemudian ia memekik kesakitan — kesakitan bercampur kaget. Dan akhirnya ia
roboh di lantai dapur. Mati.
"Kita berhasil! Kita berhasil!" sorakku. "Monster itu berhasil kita bunuh!"
Aku menarik Clark dari bawah meja.
Lalu aku mengamati si monster dari jauh. Sebenarnya aku yakin dia sudah mati —
tapi aku tetap saja tidak mau terlalu mendekatinya.
Kedua mata si monster terpejam rapat.
Aku menatap dadanya — untuk melihat apakah dadanya bergerak naik-turun.
Untuk melihat apakah dia masih bernapas.
Tapi dadanya tidak bergerak sedikit pun.
Aku mengamatinya beberapa saat lagi.
Ia tetap bergeming.
Clark mengintip dari belakangku. "D-dia sudah benar-benar mati?" tanyanya
tergagap-gagap.
"Ya!" Sekarang aku betul-betul yakin. Seratus persen yakin.
"Kita berhasil!" seruku. Aku melompat-lompat girang. "Kita berhasil membunuh si
monster! Kita berhasil membunuhnya!"
Clark merogoh kantong belakang celananya untuk mengambil komiknya —
Makhluk dari Lumpur. Ia melemparkannya ke seberang ruangan. Komik itu
membentur kepala si monster, lalu jatuh ke lantai.
"Aku sudah muak dengan monster rawa. Benar-benar muak!" seru Clark. "Ayo,
kita pergi dari sini."
Charley menggaruk-garuk pintu. Begitu pintunya kami buka, ia langsung
melompat keluar dan berputar-putar mengelilingi kami.
"Semuanya sudah beres, Charley," kataku menenangkannya. "Semuanya sudah
beres."
Aku mengintip ke ruangan tempat Charley disekap tadi.
"Hei, Clark, sepertinya ada pintu di sini," kataku. "Pintu untuk keluar dari sini!"
Langsung saja aku masuk ke ruangan kecil yang gelap itu — dan tersandung sapu
yang tergeletak di lantai.
Aku memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas.
Dua sekop yang telah berkarat tampak tersandar ke dinding di sebelah kananku. Di
sebelah kiri ada gulungan slang air.
Pintu yang kulihat tadi berada di depanku. Pintu dengan jendela besar.
Aku memandang ke luar — ke pekarangan belakang. Ke jalan setapak yang
melintasi rawa-rawa.
Barangkali jalan setapak itu menuju kota, kataku dalam hati.
Hmm, tak ada salahnya dicoba.
"Sebentar lagi kita bakal bebas!" ujarku.
Aku memutar gagang pintu, tapi pintu itu terkunci. Digerendel dari luar, seperti
semua pintu lainnya.
"Pintunya tak bisa dibuka," aku memberitahu Clark. "Tapi aku akan memecahkan
jendela, biar kita bisa memanjat keluar. Tenang saja."
Sekop-sekop yang tersandar ke dinding tampak berat dan kokoh. Aku memegang
gagang salah satu sekop dengan dua tangan, lalu mengambil ancang-ancang.
Aku mengayunkannya ke belakang — dan merasakan lantai bergetar.
Aku berbalik — dan mendengar raungan mengerikan.
Raungan si monster rawa. Dia belum mati.
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
END