B. FAKTOR PREDISPOSISI/PENYEBAB
1. Menurut NANDA (2015) terdapat dua penyabab dari diambilnya tindakan
sectio caesaria :
a. Etiologi yang berasal dari ibu
Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, primi para tua disertai
kelainan letak ada, disproporsi cephalopelvik (disproporsi
janin/panggul), ada sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk,
terdapat kesempitan panggul, plasenta previa terutama pada
primigravida, solutsio plasenta tingkat I-II, komplikasi kehamilan
yaitu preeklamsia-eklamsia, atas permintaan, kehamilan yang disertai
penyakit (jantung, DM), gangguan perjalanan persalinan (kista
ovarium, mioma uteri, dan sebagainya).
b. Etiologi yang berasal dari janin
Fetal distress/gawat janin, mal presentasi dan mal posisi kedudukan
janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil, kegagalan
persalinan vakum atau forseps ekstraksi.
2. Menurut Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah
ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini.
Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi
4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan
beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut :
a. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul
ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat
menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang
panggul merupakan susunan beberapa tulang yang membentuk rongga
panggul yang merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin ketika
akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan
atau panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam
proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi.
Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul
menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi
abnormal.
b. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas.
Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan
penyebab kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu
kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu
mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.
c. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian
besar ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu,
sedangkan di bawah 36 minggu.
d. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi
daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat
mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk
dilahirkan secara normal.
C. PATOFISIOLOGI
D. KLASIFIKASI
1. Menurut NANDA (2015) operasi SC dapat dibedakan menjadi :
a. Seksio sesarea abdomen
Seksio secara transperitonealis:
1) Seksio sesarea klasik atau korporal dengan insisi memanjang pada
korpus uteri
2) Seksio sesarea ismika atau profunda atau low cervical dengan
insisi pada segmen bawah rahim
3) Seksio sesarea ekstraperitonealis,yaitu tanpa membuka peritonium
parietalis, dengan demikian tidak membuka kavum abdominal
b. Seksio sesarea vaginalis
Menurut arah sayatan pada rahim, seksio sesarea dapat dilakukan
sebagai berikut:
1) Sayatan memanjang (longitudinal) menurut Kronig
2) Sayatan melintang (transversal) menurut Kerr
3) Sayatan huruf T (T-incision)
c. Seksio sesarea klasik (Corporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri
kira-kira sepanjang 10 cm. Tetapi saat ini teknik ini jarang dilakukan
karena memiliki banyak kekurangan namun pada kasus seperti operasi
berulang yang memiliki banyak perlengketan organ cara ini dapat
dipertimbangkan.
Kelebihan :
1) Mengeluarkan janin lebih cepat
2) Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
3) Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
1) Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada
reperitonealisasi yang baik
2) Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptura uteri
spontan
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemantauan janin terhadap kesehatan janin
2. Pemantauan EKG
3. JDL dengan diferensial
4. Elektrolit
5. Hemoglobin/Hematokrit
6. Golongan darah
7. Urinalisis
8. Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi
9. Pemeriksaan sinar x sesuai indikasi.
10. Ultrasound sesuai pesanan
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Pemberian cairan
2. Karena 6 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar
tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh
lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi
dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila
kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
3. Diet
4. Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral.Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 8 jam pasca
operasi, berupa air putih dan air teh.
5. Mobilisasi
6. Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 8 jam setelah operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang
sedini mungkin setelah sadar
c. Hari pertama post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit
dan diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah
duduk (semifowler)
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan
belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan
sendiri, dan pada hari ke-3 pasca operasi.pasien bisa dipulangkan
7. Kateterisasi
8. Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada