Anda di halaman 1dari 4

‫الر ِحيم‬

َّ ‫الرحْ َم ِن‬
َّ ِ‫ْــــــــــــــــم اﷲ‬
ِ ‫بِس‬

I. PENDAHULUAN
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-piutang. Yang mana untuk
mendapat kepercayaan dari pihak yang menghutangkan, maka pihak yang berhutang
memberikan barangnya sebagai jaminan. Barang jaminan tetap milik orang yang berhutang
(penggadai), tetapi dikuasai oleh orang yang menghutangkan (penerima gadai). Praktek ini sudah
ada sejak zaman Rasulullah SAW. dan Rasulullah sendiri pernah melakukannya. Gadai memiliki
nilai sosial yang sangat tinggi dan dilakukan secara rela atas dasar tolong-menolong.[1]
Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang mendesak dalam masalah ekonomi, sedang
dia tidak memiliki satu rupiah pun, makagadai adalah salah satu solusi dari permasalahan ekonomi
tersebut.

II. LANDASAN HUKUM


A. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 283

“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[2]

B. Hadis Nabi Muhammad SAW.


1) Hadis dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:
‫ أ َﺧْﺒَﺮَنَا ﻋِﻴْﺲَ بْﻦَ يُﻮْنُﺲ بﻦ‬:‫حَﺪَّثنا ِإسْﺤَا ُق بْﻦُ ِإبْﺮَا هيم ا َلْﺤَﻨْﻈَﻠِﻲْ َوﻋَﻠِﻲﱢ بْﻦِ حَﺸَﺮَم ﻗَا َل‬
‫ إِﺷْﺘَﺮَى َرسُﻮْ ُل ا ﷲِ صﻠى ﷲ ﻋﻠيه‬:ْ‫ﺶ ﻋَﻦْ اِبْﺮِا هيم ﻋَﻦِ االسْﻮَ ِد ﻋَﻦْ ﻋَا ﺋِﺸَﺔَ ﻗَالَﺖ‬ ِ ْ‫ا َلْﻌَﻤ‬
(‫درﻋًا مِﻦْ حَﺪِيْﺪٍ (رواﻩ مﺴﻠﻢ‬
ْ ‫ِي ﻃَﻌَا مًا َو َرهنه‬
ْ ‫ مِﻦْ يَﻬُﻮْد‬.‫وسﻠم‬
“Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyram
berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin ‘Amasy dari
Ibrahim dari Aswad dari Aisyah berkata: bahwasannya Rasulullah saw. membeli makanan dari
seorang yahudi dengan menggadaikan baju besinya”.
(HR. Muslim)[3]

2) Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yang
berbunyi:
َ‫هريْﺮَة‬ َ ْ‫حَﺪَّثَﻨَا مُﺤَﻤَّﺪُ بْﻦُ مُﻘَا ﺗِﻞِ أ َﺧْﺒَﺮَنَا ﻋَﺒْﺪُا ﷲِ بْﻦِ مُﺒَا َر ِك أ َﺧْﺒَﺮَنَا زكريَّا ﻋَﻦِ الﺸَّﻌْﺒِﻲْ ﻋﻦْ أ َبِﻲ‬
‫ اطﻬر يُﺮْكب بنفﻘﺗه‬.‫ ﻗَا َل َرسﻮْ ُل ا ﷲُ صﻠى ﷲ ﻋﻠيه وسﻠم‬,‫َرﺿﻲَ ا ﷲُ ﻋَﻨْهُ ﻗا َل‬
َ‫كب َويَﺸْﺮَبُا اﻨَّفَﻘَه‬
ُ ْ‫ي يَﺮ‬ ْ ْ‫ب الﻨَّفَﻘَهَ ِإ َذا كانَ مَﺮ‬
ْ ِ‫هونًا َوﻋَﻠَى ا لَّﺬ‬ ُ َ‫الدار َويَﺸْﺮ‬
ِ ُ‫ِإ َذاكان مَﺮْهونا َولَﺒْﻦ‬
)‫(رواﻩ الﺒﺨاري‬
“Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Muqatil, mengabarkan kepada kami
Abdullah bin Mubarak, mengabarkan kepada kami Zakariyya dari Sya’bi dari Abu Hurairah,
dari Nabi saw.bahwasannya beliau bersabda: kendaraan dapat digunakan dan hewan ternak
dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan, penggadai wajib memberikan nafkah dan
penerima gadai boleh mendapatkan manfaat.”(HR.Al-Bukhari)

III. PANDANGAN ULAMA


Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud berdasarkan pada
kisah Nabi Muhammad SAW. yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari
seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad SAW. tersebut,
ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada
seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad SAW. yang tidak mau
memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan
oleh Nabi Muhammad SAW. kepada mereka.[4]
Adapun mengenai pemanfaatan barang gadai, dalam kitab fathul mu’in sebagai berikut:
‫ لوكان‬:‫ نﻌم‬,‫ويجوزله االنﺗفاع بالركوب والسكنئ – البالبناءوالغرس‬
“Pemiliknya diperbolehkan memanfaatkan apa yang telah digadaikannya, umpamanya
menaikinya (jika yang digadaikan itu berupa hewan tunggangan) atau menempatinya (jika berupa
rumah), tetapi tidak boleh membangun atau menanami. Hal itu diperbolehkan baginya jika utangnya
berjangka waktu, lalu pengutang mengatakan, “Aku akan mencabut atau meruntuhkannya jika masa
masa pelunasan telah tiba.”[5]

IV. ANALISIS
A. Pengertian Gadai
Gadai (rahn) adalah Akad pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan
utang.[6]
B. Rukun Dan Syarat Gadai
1. Rukun Gadai
Terdapat perbedaan ulama fiqih dalam menetapkan rukun pelaksanaan akad gadai (rahn). Di
antaranya adalah:
a) Menurut jumhur ulama rukun gadai (ar-rahn) itu ada empat:
1) Sighat (lafal ijab dan qabul).
2) Orang yang berakad (rahin dan murtahin).
3) Harta yang dijadikan agunan (marhun).
4) Utang (marhun bih).
b) Adapun menurut ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa rukun gadai (rahn) itu hanya ijab
(pernyataan menyerahkan barang sebagai agunan oleh pemilik barang) dan qabul (pernyataan
kesediaan memberi utang dan menerima barang agunan tersebut).[7]
2. Syarat Gadai
a) Shighat
Syarat terkait dengan shighat tidak boleh terkait dengan syarat tertentu dan waktu yang akan
datang.
b) Pihak-Pihak yang Berakad Cakap Menurut Hukum
Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum mempunyai pengertian pihak rahin dan
murtahin cakap melakukan perbuatan hukum. Yang ditandai aqil baligh, berakal sehat dan mampu
melakukan akad.
c) Utang (Marhun Bih)
Yang karenanya dijadikan akad.
d) Marhun
Harta yang dipegang oleh murtahin sebagai jaminan hutang. Barang yang digadaikan
mempunyai syarat sebagai berikut:
1). Agunan bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut syari’at islam.
2). Agunan dapat dijual dan nilainya seimbang dengan besarnya utang.
3). Agunan harus jelas dan tertentu (dapat dispesifikasi)
4). Agunan milik sah debitur.
5). Agunan itu tidak terikat dengan hak orang lain.
6). Agunan harus harta yang utuh.[8]
C. Pemanfaatan Barang Gadai
Jumhur Ulama Fuqaha’ berpendapat bahwa penerima gadai tidak boleh mengambil sesuatu
manfaatpun dari barang gadai.
Fuqaha’ lain berpendapat bahwa apabila barang gadai itu berupa hewan, maka penerima
gadai boleh mengambil air susunya dan menungganginya dengan kadar yang seimbang dengan
makanan dan biaya yang diberikan kepadanya.[9] Kalau marhun termasuk barang yang harus
secara terus menerus dimanfaatkan, seperti sepeda motor, mobil, mesin jahit, sedang murtahin
tidak sempat memanfaatkannya, maka barang gadai dapat disewakan kepada pihak lain yang dapat
memanfaatkannya, dan hasil dari penyewaan itu tetap milik rahin.[10]
D. Berakhirnya Gadai
Gadai dipandang habis dengan beberapa keadaan seperti yang akan dijelaskan di bawah
ini, antara lain:
1. Penggadai (rahin) melunasi semua utangnya kepada penerima gadai (murtahin).
2. Barang gadaian rusak (bukan karena murtahin)
3. Pembebasan utang
Pembebasan utang dalam bentuk apa saja menandakan habisnya gadai (rahn), meskipun utang
tersebut dipindahkan kepada orang lain.
4. Pemberi gadai (rahin) meninggal
Menurut ulama Malikiyah, gadai (rahn) habis jika pemberi gadai (rahin) meninggal sebelum
menyerahkan barang gadaian kepada penerima gadai (murtahin). Juga dipandang batal jika
penerima gadai (murtahin) meninggal sebelum mengembalikan barang gadaian kepada pemberi
gadai (rahin).
5. Barang gadaian diserahkan kepada pemiliknya
Jumhur ulama selain Syafi’iyah memandang habis gadai (rahn) jika penerima gadai (murtahin)
menyerahkan barang gadai kepada pemberi gadai (rahin). Sebab barang gadaian merupakan
jaminan utang.
6. Tasarruf dan barang gadaian Gadai (rahn) dipandang habis apabila barang gadaian ditasarruf-
kan. Seperti: dijadikan hadiah, hibah, sedekah, dan lain-lain atas seizin pemiliknya.[11]

[1]Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syari’ah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), Hlm. 3.
[2]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2005),
Hlm. 71
[3]Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj Al-Kusyairy An-Naisaburi, Shahih muslim, juz 2,
(Beirut: Dar Al-Fiqr, 1993), Hlm. 51.
[4]Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Hlm. 8.
[5]Zainudin Al-malibari, Fathul Mu’in, (Semarang: Toha Putra, tth), Hlm. 77.
[6]Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008), Hlm. 106.
[7]Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mu’amalat, (Jakarta: Amzah, 2010), Hlm. 290.
[8]Zainuddin Ali, Hukum Gadai..., Hlm. 21-23.
[9] Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid,juz 2, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), Hlm. 314.
[10]Zainuddin Ali, Hukum Gadai..., Hlm. 31.
[11]Rachmad Syafe’i, Fiqh Mu’amalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), Hlm. 159

Anda mungkin juga menyukai