TUGAS Hukum Pidana
TUGAS Hukum Pidana
Dosen Pengampu :
Buchari Said., S.H., M.H.
Oleh :
Rafa Zhafirah Amaani
NPM : 178040014
hubungan hukum, karena hubungan dokter dengan pasien telah diatur dalam Undang-undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dokter maupun tenaga medis lainnya
merupakan manusia biasa yang penuh dengan keterbatasan dalam melaksanakan tugasnya penuh
dengan risiko, karena kemungkinan pasien meninggal dunia setelah ditangani dokter dapat saja
terjadi, walaupun dokter telah melaksanakan tugasnya sesuai standar operasional prosedur (SOP).
Keadaan seperti ini seharusnya disebut dengan risiko medik dan risiko ini terkadang dimaknai oleh
Perlidungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek medik
menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 53 Ayat 1
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Pasal 24 Ayat 1 Peraturan
Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut
a. Menghormati harkat dan martabat pasien dengan pemberian informasi dan persetujuan atas
c. Menumbuhkan sikap positif dan iktikad baik,serta profesionalisme pada dokter (dan dokter gigi)
berlaku.
Hak sesorang dalam bidang kesehatan berdasarkan dengan lima prinsip, yaitu:
3. Hak untuk memperileh informasai secara terbuka atau” the right to information”
Secara tegas didalam UUPK telah mengatur materi muatan tentang informed consent :
1. Prinsip otoritas pasien, diwujudkan dengan pengaturan bahwasanya setiap tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi harus mendapat persetujuan. Persetujuan pasien baru dapat diberikan setelah
menerima informasi dan memahami segala sesuatu yang menyangkut tindakan tersebut.UUPK
Pasal 45.
2. Prinsip pencatatan (rekam medik) yang wajib dibuat oleh dokter. Beberapa literature
dikenal: alat bukti dengan tulisan, bertolak dari hal tersebut maka, selama ini rekam medic sebagai
catatan yang dibuat dokter (dan dokter gigi) dianggap dapat digunakan sebagai: alat bukti dengan
tulisan, meskipun di dalam perkembangan selanjutnya, pendapat tersebut masih mungkin ditinjau
kembali. Rekam medik bukan alat bukti menurut undang-undang,meskipun dapat digunakan
sebagai petunjuk pembuktian sepanjang dilakukan dengan benar sesuai ketentuan yang berlaku.
Menurut UU Praktek Kedokteran No 29 Tahun 2004 Pasal 39, praktik kedokteran
diselenggarakan berdasarkan kesepakatan antara dokter dengan pasien; Pasal 45 yaitu (1) setiap
tindakan harus mendapat persetujuan pasien (2) persetujuan dimaksud setelah pasien mendapat
penjelasan lengkap (3) penjelasannya mencakup: diagnosis, tujuan, alternatif, resiko, komplikasi
dan prognosis (4) persetujuan secara tertulis maupun lisan; Pasal 52 yaitu (a) pasien berhak
mendapatkan penjelasan lengkap tentang tindakan medis (b) meminta pendapat (c) menolak
tindakan medis.
Menurut Tjipto Atmoko, Standar Operasional Prosedur adalah suatu pedoman atau acuan
untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai denga fungsi dan alat penilaian kinerja instansi
pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan prosedural sesuai tata kerja,
prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan.
Undang-undang Praktik Kedokteran No. 29 tahun 2004 pasal 44 ayat (1) menyatakan:
Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar
pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. Ayat (2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud
dibedakan menurut jenis dan strata fasilitas pelayanan kesehatan. Ayat (3) Standar pelayanan
W1tuk dokter dan dokter gigi tersebut diatur dengan Peraturan Menteri. Standar pelayanan
kedokteran (SPK) sebagaimana yang dimaksud dalam Undang Undang Praktik Kedokteran dalam
Operasional yang dimaksud sesuai dengan Pasal 50 ayat 1 dan pasal 51 Undang-W1dang Nomor
29 TahW1 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Pedoman ini merupakan acuan bagi Kementerian
Kesehatan dan organisasi profesi dalam menyusun Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, dan
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 44 ayat (I), pasal 50
dan 51 (Lembaran Negara Republik Indonesia TahW1 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
ten tang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 TahW1 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063);
4. Undang-Undang Nomor 44 TahW1 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik
Indonesia TahW1 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5072);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 439/Menkes/PerNI/2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 ten tang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kesehatan;
sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya
dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan
di dalam KUHP. Hubungan dokter dengan pasien haruslah berupa hubungan kemitraan. Dokter
tidak dapat disalahkan bila pasien tidak jujur dan memberi tahu tentang kondisnya. Sehingga
rekam medik (medical record) dan informed consent (persetujuan) yang baik dan benar harus
terpenuhi.
Apabila kasus masuk ke pihak kepolisian maka pada tingkat penyelidikannya dokter yang
diduga telah melakukan tindakan malpraktek medik tetap mendapatkan haknya dalam hukum yang
ditetapkan dalam Pasal 52, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 57 Ayat 1, Pasal 65, Pasal 68, dan Pasal 70
Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan apabila kasus dilimpahkan
kepada tingkat pengadilan maka pembuktian dugaan malpraktek dapat menggunakan rekam medik
(medical record) sebagai alat bukti berupa surat yang sah (Pasal 184 Ayat 1 KUHAP).
DAFTAR PUSTAKA