Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DOKTER MELALUI


INFORMED CONSENT DAN STANDAR OPERASI PELAYANAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu


Mata Kuliah Hukum Aspek Hukum Pidana

Dosen Pengampu :
Buchari Said., S.H., M.H.

Oleh :
Rafa Zhafirah Amaani
NPM : 178040014

Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Kesehatan


Pasca Sarjana Univesitas Pasundan
Bandung
2017
Hubungan dokter dengan pasien juga kalau dilihat dari kacamata hukum, merupakan

hubungan hukum, karena hubungan dokter dengan pasien telah diatur dalam Undang-undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dokter maupun tenaga medis lainnya

merupakan manusia biasa yang penuh dengan keterbatasan dalam melaksanakan tugasnya penuh

dengan risiko, karena kemungkinan pasien meninggal dunia setelah ditangani dokter dapat saja

terjadi, walaupun dokter telah melaksanakan tugasnya sesuai standar operasional prosedur (SOP).

Keadaan seperti ini seharusnya disebut dengan risiko medik dan risiko ini terkadang dimaknai oleh

pihak-pihak di luar profesi kedokteran sebagai medical malpractice.

Perlidungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek medik

menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 53 Ayat 1

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Pasal 24 Ayat 1 Peraturan

Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

Informed Consent menurut Permenkes No.585 / Menkes / Per / IX / 1989, Persetujuan

Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar

penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut

Informed consent dibuat untuk:

a. Menghormati harkat dan martabat pasien dengan pemberian informasi dan persetujuan atas

tindakan yang akan dilakukan

b. Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk menjalankan hidup sehat

c. Menumbuhkan sikap positif dan iktikad baik,serta profesionalisme pada dokter (dan dokter gigi)

mengingat pentingnya harkat dan martabat pasien


d. Memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan sesuai dengan standar dan persyaratan yang

berlaku.

Hak sesorang dalam bidang kesehatan berdasarkan dengan lima prinsip, yaitu:

1. Hak menentukan diri sendiri” the right to self determination”

2. Hak memperoleh pemeliharaan kesehatan atau” the right to helt it care”

3. Hak untuk memperileh informasai secara terbuka atau” the right to information”

4. Hak asasi manusia “ the right to protection of privacy”

5. Hak untuk pendapat dokter kedua “ the right to second opini”

Secara tegas didalam UUPK telah mengatur materi muatan tentang informed consent :

1. Prinsip otoritas pasien, diwujudkan dengan pengaturan bahwasanya setiap tindakan kedokteran

atau kedokteran gigi harus mendapat persetujuan. Persetujuan pasien baru dapat diberikan setelah

menerima informasi dan memahami segala sesuatu yang menyangkut tindakan tersebut.UUPK

Pasal 45.

2. Prinsip pencatatan (rekam medik) yang wajib dibuat oleh dokter. Beberapa literature

menyatakan bahwa rekam medik mempunyai nilai Administration, Legal, Finance,

Research,Education, dan Documentation (ALFRED).Dalam hukum acara perdata maupun pidana

dikenal: alat bukti dengan tulisan, bertolak dari hal tersebut maka, selama ini rekam medic sebagai

catatan yang dibuat dokter (dan dokter gigi) dianggap dapat digunakan sebagai: alat bukti dengan

tulisan, meskipun di dalam perkembangan selanjutnya, pendapat tersebut masih mungkin ditinjau

kembali. Rekam medik bukan alat bukti menurut undang-undang,meskipun dapat digunakan

sebagai petunjuk pembuktian sepanjang dilakukan dengan benar sesuai ketentuan yang berlaku.
Menurut UU Praktek Kedokteran No 29 Tahun 2004 Pasal 39, praktik kedokteran

diselenggarakan berdasarkan kesepakatan antara dokter dengan pasien; Pasal 45 yaitu (1) setiap

tindakan harus mendapat persetujuan pasien (2) persetujuan dimaksud setelah pasien mendapat

penjelasan lengkap (3) penjelasannya mencakup: diagnosis, tujuan, alternatif, resiko, komplikasi

dan prognosis (4) persetujuan secara tertulis maupun lisan; Pasal 52 yaitu (a) pasien berhak

mendapatkan penjelasan lengkap tentang tindakan medis (b) meminta pendapat (c) menolak

tindakan medis.

Menurut Tjipto Atmoko, Standar Operasional Prosedur adalah suatu pedoman atau acuan

untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai denga fungsi dan alat penilaian kinerja instansi

pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan prosedural sesuai tata kerja,

prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan.

Undang-undang Praktik Kedokteran No. 29 tahun 2004 pasal 44 ayat (1) menyatakan:

Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar

pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. Ayat (2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud

dibedakan menurut jenis dan strata fasilitas pelayanan kesehatan. Ayat (3) Standar pelayanan

W1tuk dokter dan dokter gigi tersebut diatur dengan Peraturan Menteri. Standar pelayanan

kedokteran (SPK) sebagaimana yang dimaksud dalam Undang Undang Praktik Kedokteran dalam

implementasinya adalah Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran dan Standar Prosedur

Operasional yang dimaksud sesuai dengan Pasal 50 ayat 1 dan pasal 51 Undang-W1dang Nomor

29 TahW1 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Pedoman ini merupakan acuan bagi Kementerian

Kesehatan dan organisasi profesi dalam menyusun Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, dan

fasilitas pelayanan kesehatan dalam menyusun standar prosedur operasional sebagaimana

diamanahkan oleh UU Praktik Kedokteran.


Dasar hukum dalam penyusunan standar profesi dokter adalah

1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 44 ayat (I), pasal 50

dan 51 (Lembaran Negara Republik Indonesia TahW1 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4431);

2. Undang-Undang Nomor 32 TahW1 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

ten tang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 TahW1 2004 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

3. Undang-Undang Nomor 36 TahW1 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5063);

4. Undang-Undang Nomor 44 TahW1 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik

Indonesia TahW1 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5072);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4737);

6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 439/Menkes/PerNI/2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 ten tang Organisasi dan Tata Kerja Departemen

Kesehatan;

7. Peraturan Menteri Kesehatan no147/MENKES/PER/2010 tentang Perizinan RS

8. PERMENKES no 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran

Seorang dokter bisa memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melaksanakan tugas

sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya

dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan

di dalam KUHP. Hubungan dokter dengan pasien haruslah berupa hubungan kemitraan. Dokter

tidak dapat disalahkan bila pasien tidak jujur dan memberi tahu tentang kondisnya. Sehingga

rekam medik (medical record) dan informed consent (persetujuan) yang baik dan benar harus

terpenuhi.

Apabila kasus masuk ke pihak kepolisian maka pada tingkat penyelidikannya dokter yang

diduga telah melakukan tindakan malpraktek medik tetap mendapatkan haknya dalam hukum yang

ditetapkan dalam Pasal 52, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 57 Ayat 1, Pasal 65, Pasal 68, dan Pasal 70

Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan apabila kasus dilimpahkan

kepada tingkat pengadilan maka pembuktian dugaan malpraktek dapat menggunakan rekam medik

(medical record) sebagai alat bukti berupa surat yang sah (Pasal 184 Ayat 1 KUHAP).
DAFTAR PUSTAKA

Permenkes No.585 / Menkes / Per / IX / 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis

Undang-undang Rebublik Indonesia No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai