Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Perdarahan intra serebral (ICH) adalah disfungsi neurologi fokal akut dan
disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan, bukan oleh
karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena dan
kapiler. Perdarahan intra serebral merupakan 10% dari semua jenis stroke, tetapi
persentase kematian lebih tinggi disebabkan oleh stroke. Sekitar 60% terjadi di putamen
dan kapsula interna, dan masing-masing 10% pada substansia alba, batang otak,
serebelum dan talamus.
Perdarahan intracerebral adalah penyakit yang sering dengn insiden dari 11-23
kasus dari 100,000 pertahun. Walaupun ia termasuk 10-15% dari semua stroke, tetapi ia
adalah paling fatal subtype stroke yang bisa mengakibatkan kematian lebih dari 40%.
Perdarahan intracerebral dapat diklasifikasikan dari aspek anatomi dan aspek etiologi.
Berdasarkan dari anatomi terdapat beberapa perdarahan seperti perdarahan
parenkim,subarachnoid,subdural,epidural,perdarahan supra dan infratentorial.
Berdasarkan aspek etilogi perdarahan primer atau spontan boleh dibedakan dengan
perdarahan sekunder. Perdarahan primer merupakan perdarahan spontan yang mana
disebabkan oleh penyakit hipertensi arteri. Perdarahan sekunder terjadi akibat
trauma,tumor, dan akibat pengunaan obat
Pada kasus perdarahan intra serebral (ICH), tekanan intra kranial dapat
meningkat. Hal ini disebabkan karena terjadi penambahan volume relatif jaringan otak.
Pada orang dewasa, volume intra kranial normalnya sekitar 1500 ml, dimana 85-90%
merupakan jaringan otak, 10% volume darah intravaskular serebral, dan sisanya <3%
merupakan volume cairan serebrospinal.
Perdarahan intracerebral adalah tipe stroke yang disebabkan oleh perdarahan yang
disebabkan oleh perdaharahan dari jaringan otak itu sendiri. Stroke terjadi apabila
jaringan otak kekurangan oksigen kerana adanya gangguan pada suplai darah. ICH paling
senang terjadi disebabkan oleh Hipertensi,arterivenous Malformasi (AVM), atau trauma

1
kepala. Pengobatan harus di fokuskan pada penghentian pendarahan ,membersihkan
hematom dan menurunkan tekanan pada otak.

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk menguraikan teori-teori
tentang Stroke Hemoragic mulai dari definisi sampai diagnosis, pentalaksanaan, dan
prognosisnya.

1.3 Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan
pemahaman penulis serta pembaca khususnya peserta dokter muda untuk lebih
memahami dan mengenal Stroke Hemoragic, terutama tentang penegakan diagnosis dan
tatalaksana.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI
2.1.1. BATANG OTAK

Gambar 1. Batang Otak. a. Tampak Ventral. b.Tampak Dorsal. c.Tampak


Lateral

Batang otak terletak pada kaudal dan secara filogenetik merupakan bagian
otak tertua. Secara keseluruhan, batang otak terbagi menjadi medula oblongata,

3
pons, dan otak tengah (mesensefalon). Medula merupakan kelanjutan medulla
spinalis ke arah rostral, sedangkan mesensefalon terletak tepat di bawah
diensefalon; pons merupakan bagian tengah batang otak. Sepuluh dari 12 pasang
nervus kranialis (N III- N XII) keluar dari batang otak dan terutama berperan
untuk persarafan kepala dan leher.
Batang otak mengandung banyak jaras serabut, termasuk semua jaras
asendens dan desendens yang menghubungkan otak dengan perifer Beberapa jaras
ini menyilang garis tengah ketika melewati batang otak, dan beberapa di
antaranya membentuk sinaps di sini sebelum melanjutkan perjalanan di sepanjang
jarasnya. Batang otak juga mengandung nuklei, termasuk nuklei nervus III sampai
XII; nukleus ruber dan substansia nigra mesensefali, nuklei pontis, dan motorik;
dan nuklei lamina quadrigemina mesensefali, yang merupakan stasiun seluruh
batang otak diliputi oleh jaringan difus neuron yang “tersusun-padat” (formasio
retikularis), yang mengandung pusat regulasi otonomik yang penting untuk
berbagai fungsi tubuh vital, termasuk aktivitas jantung, sirkulasi, dan respirasi.
Formasio retikularis juga mengirimkan impuls pengaktivasi ke korteks serebri
yang dibutuhkan untuk mempertahankan kesadaran. Jaras desendens dari
formasio retikularis memengaruhi aktivitas neuron motorik spinal.
Karena batang otak mengandung berbagai macam nuklei dan jaras saraf
pada ruang yang sangat padat, bahkan lesi yang kecil pada batang otak dapat
menimbulkan berbagai tipe defisit neurologis secara simultan (seperti pada
berbagai sindroma vascular batang-otak). Temuan batang otak yang relatif sering
ditemukan adalah yang disebut paralisis menyilang atau hemiplegia alternans,
yaitu defisit nervus kranialis ipsilateral dari lesi yang disertai oleh paralisis
setengah sisi tubuh kontralateral.
Secara umum, defisit nervus kranialis dapat diklasifikasikan menjadi
supranuklear, misalnya yag disebabkan oleh lesi di jaras desendens dari pusat yang
lebih tinggi, biasanya di korteks serebri, yang berakhir di nukleus nervus kranialis
yang sesuai di batang otak; nuklear, jika lesi berada di nukleus nervus kranialis itu
sendiri; fasikular, jika lesi mengenai serabut radiks saraf sebelum keluar dari

4
batang otak; atau perifer, jika lesi mengenai nervus kranialis itu sendiri setelah
keluar dari batang otak. Tipe defisit yang ditimbulkan bergantung pada lokasi lesi.1

2.1.2. PONS
Tampak ventral. Pons (“Jembatan”) dinamakan demikian karena jika
dilihat dari depan, tampak menghubungkan kedua hemisfer serebeli satu dengan
lainnya dengan sebuah pita lebar berupa serabut-serabut yang bersusun horizontal,
yang terikat di bagian kaudal oleh medulla dan di bagian rostral oleh pedunkulus
serebri (krura serebri) mesensefali. Traktus kortikopontinus desendens
membentuk sinaps dengan neuron keduanya di pons sisi ipsilateral, yang
membentuk serabut pontoserebelaris yang tersusun secara horizontal ini, yang
kemudian, menyilang garis tengah dan berjalan melalui pedunkulus serebelaris
medius ke serebelum. Celah dangkal di garis tengah aspek ventral pons
mengandung arteri basilaris yang berjalan vertikal. Celah ini bukan disebabkan
oleh arteri, tetapi oleh penonjolan pada masing-masing sisi yang ditimbulkan oeh
traktus piramidalis ketika berjalan turun melalui basis pontis.
Tampak lateral. Penampang lateral menunjukkan serabut-serabut pontin
yang tersusun horizontal dan bergabung membentuk pedunkulus serebelaris
medius (brachium pontis). Nervus Trigeminus (N V) keluar dari pons tepat di
bagian medial dari asal pedunkulus serebelaris medius.
Tampak dorsal. Aspek dorsal pons membentuk bagian superior dasar
ventrikel keempat. Dasar ini berbentuk segitiga yang dasarnya adalah garis
horizontal yang membentuk batas antara aspek dorsal pons dan medulla. Pada
setiap ujung garis ini, ventrikel keempat membuka ke dalam rogga subarakhnoid
melalui apertura lateralis (foramen Luschka). Apertura medialis ventrikel
keempat yang tidak berpasangan (foramen Magendie) telihat di ujung kaudal
ventrikel. Atap ventrikel keempat dibentuk oleh pedunkulus serebelaris superior
(brachium konjungtivum) dan velum medulare superius.
Pons memiliki dua komponen: tegmentum pontis di dorsal, dan pars
ventralis pontis (basis pontis) di ventral.

5
Pars ventralis pontis. Banyak berkas serabut melewati pons dari satu sisi
ke sisi lain di pars basilaris pontis, sehingga memecah-mecah traktus
kortikospinalis desendens menjadi banyak fasikulus kecil. Traktus yang berjalan
horizontal ini menyebabkan pemberian nama pons (‘Jembatan”), meskipun
sebetulnya mereka tidak, membentuk jembatan. Mereka adalah serabut-serabut
pontoserebelaris, yang muncul dari nuklei pars basilaris pontis yang mengandung
neuron kedua jaras kortikopontoserebelaris. Nuklei ini menerima input melaui
serabut kortikopontis desendens dari korteks serebri frontal, parietal dan temporal
ipsilateral (yang ditemukan di bagian lateral pedunkulus serebri masing-masing
sisi, disertai oleh serabut kortikopinalis dan serabut kortikonuklearis), dan nukeli
tersebut juga menerima input dari serabut kolateral traktus piramidalis. Serabut
pontoserebelaris berproyeksi menyeberangi garis tengah dan kemudian masuk ke
serebelum melalui pedunkulus serebelaris medialis.
Semua impuls yang berasal dari kortikal dan berkaitan dengan gerakan
volunter dihantarkan oleh nuklei pontis ke korteks serebeli, yang kemudian
diproyeksikan kembali ke korteks serebri melalui nukleus dentatus, pedunkulus
serebelaris superior, dan thalamus (mekanisme umpan-balik). Sirkuit regulasi ini
memungkinkan koordinasi gerakan volunter halus dan tepat.
Struktur tegmentum pontis mirip dengan tegmentum medularis. Bagian
tegmentum yang paling ventral mengandung lemniskus medialis, suatu pita tegak
lurus yang terpuntir dengan demikian serabut yang berasal dari nukleus kuneatus
kini terletak lebih ke medial, dan serabut yang berasal dari nukleus grasilis
terletak lebih lateral. Dengan demikian, dari lateral ke medial, bagian tubuh yang
direpresentasikan di lemniskus medialis adalah ekstremitas bawah, tubuh,
ektremitas atas, dan leher. Traktus spinotalamikus berada di sebelha lateral
lemniskus medialis demikian pula halnya dengan lemniskus lateralis. Lemniskus
lateralis merupakan kelanjutan dari berkas serabut yang menyilang di pons bagian
kaudal yang disebut korpus trapezoideum. Korpus trapezoideum mengandung
serabut yang berasal dari nuklei kokhleares dan menghantarkan impuls auditorik
ke kolikulus inferior, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kompleks
nukleus vestibularis terletak di ujung lateral dasar ventrikel keempat. Nukleus

6
vestibularis lateralis menghantarkan impuls dan traktus vestibulospinalis ke
neuron medulla spinalis. Nuklei vestibulares juga berhubungan, melalui fasikulus
longitudinalis medialis, ke nuklei somatomotorik dan viseromotorik batang otak.
Nukleus spinalis nervi trigemini berakhir di tingkat pertengahan pons, di
atas lokasi nukleus prinsipalis nervi trigemini. Nukleus motorius nervus trigemini,
yang mempersarafi otot-otot pengunyah, terletak di ventrolateral nukelus
prinsipalis nervi trigemini. Neuron kedua nukleus spinalis nervi trigemini (nyeri
dan suhu) serta nukleus prinsipalis nervi trigemini (sensasi epikritik) berproyeksi
ke thalamus kontralateral melalui traktus trigeminotalamikus ventralis. Nukleus
prinsipalis nervi trigemini juga mengirimkan serabut yang tidak menyilang ke
talamus melalui traktus trigeminotalamikus dorsalis. Nukleus traktus
mesenfalikus nervi trigemini berlanjut ke arah rostral menuju mesensefalon.
Nukleus trigeminalis ini berbeda dengan yang lainnya yaitu mengandung neuron
sensorik pertama, dan dengan demikian dapat dianggap sebagai ganglion sensorik
yang, terdapat pengecualian, terletak di batang otak, Neuron sensorik pertama
lainnya pada sistem trigeminalis terletak di ganglion trigeminalis (gasserian).
Serabut aferen nukleus traktus mesenfalikus nervi trigemini menghantarkan input
proprioseptif terutama yang berasal dari reseptor sensorik otot-otot pengunyah
dan sendi rahang.1

2.2. FISIOLOGI
Batang otak terdiri dari medulla, pons, dan otak tengah. Batang otak adalah
penghubung vital antara medulla spinalis dan bagian-bagian otak yang lebih tinggi.
Semua serat datang dan pergi yang berjalan antara perifer dan pusat-pusat yang lebih
tinggi di otak harus melewati batang otak harus melewati batang otak. Dengan serat
datang memancarkan informasi sensorik ke otak dan serat pergi membawa sinyal
perintah dari otak ke organ eferen. Beberapa serat hanya lewat, tetapi sebagian besar
bersinaps didalam batang otak untuk suatu proses penting. Karena itu, batang otak adalah
jalur penghubung penting antara otak lain dan medulla spinalis.
Fungsi batang otak mencakup yang berikut:

7
1. Sebagian besar dari 12 pasang saraf kranialis berasal dari batang otak. dengan
satu pengecualian utama, saraf-saraf ini mensyarafi struktur-struktur di kepala dan
leher dengan serat sensorik dan motorik. saraf-saraf kranialis ini penting dalam
penglihatan, pendengaran, pengecapan, penghidu, sensasi wajah dan kulit kepala,
gerakan mata, mengunyah, menelan, ekspresi wajah, dan salivasi. Pengecualian
utama adalah saraf kranialis X, saraf vagus. Sebagian besar cabang nervus vagus,
bukan mensyarafi daerah-daerah di kepala, namun menyarafi organ-organ di
rongga toraks dan abdomen, vagus adalah saraf utama system saraf parasimpatik.
2. Dibatang otak terkumpul kelompok-kelompok neuron, atau “pusat”, yang
mengkontrol fungsi jantung dan pembuluh darah, pernafasan, dan banyak aktifitas
pencernaan.
3. Batang otak berperan dalam mengatur refleks otot yang terlibat dalam
keseimbangan dan postur.
4. Terdapat suatu anyaman neurn-neuron yang saling berhubungan yang disebut
formasio retikularis, meluas diseluruh batang otak dan masuk kedalam thalamus.
Jaringan ini menerima dan mengintegrasikan semua masukan sinaptik sensorik
yang datang. Serat-serat asendens yang berasal dari formatio retikularis membawa
sinyal keatas untuk membangunkan dan mengaktifkan korteks serebri. Serat-serat
ini membentuk sistem pengaktif retikular (reticular activating system, RAS), yang
mengkontrol derajat keseluruhan kewaspadaan korteks dan penting dalam
kemampuan untuk mengarahkan perhatian. Sebaliknya, serat-serat desenden dari
korteks, terutama daerah motoriknya, dapat mengaktifkan RAS.
5. Pusat-pusat yang mengatur tidur secara tradisional dianggap terdapat didalam
batang otak, meskipun bukti-bukti terakgir mengisyaratkan bahwa pusat yang
mendorong tidur gelombang lambat teletak di hipotalamus.
Kata kesadaran merujuk kepada keadaan mengetahui secara subyektif
tentang dunia luar dan diri sendiri termasuk mengetahui alam pikirannya sendiri-
yaitu, kesadaran akan pikiran persepsi, mimpi, dan sebagainya. meskipun tingkat
akhir kesadaran terletak di korteks seebri dan sensasi kasar tentang kesadaran
terdeteksi oleh thalamus namun pengalaman sadar bergantung pada
terintegrasinya fungsi berbagai bagian sistem saraf.2

8
Berikut ini dicantumkan keadaan-keadaan kesadaran sesuai urutan
penurunan tingkat keterjagaan, didasarkan pada tingkat interaksi antara
rangsangan perifer dan otak :
• kewaspadaan maksimal
• terjaga
• tidur (beberapa jenis yang berbeda)
• koma

2.3. PERDARAHAN INTRASEREBRAL


2.3.1. DEFINISI
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih
dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma
maupun infeksi. 3
Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan
oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal
pembuluh darah otak yang menyebabkan turunnya oksigen dan glukosa ke bagian
otak yang mengalami oklusi.4 Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan
intraserebral atau perdarahan subarachnoid.5
Perdarahan intraserebral terjadi pada parenkim otak sedangkan perdarahan
subarachnoid merupakan perdarahan yang terjadi pada kompartemen meningeal di
sekitarnya.1

2.3.2. EPIDEMIOLOGI
Di seluruh dunia insiden perdarahan intraserebral berkisar 10 sampai 20
kasus per 100.000 penduduk dan meningkat seiring dengan usia. Perdarahan
intraserebral lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, terutama yang lebih
tua dari 55 tahun, dan dalam populasi tertentu, termasuk orang kulit hitam dan
Jepang.

9
Analisis pada 3 tahun dari data mortalitas nasional untuk pasien stroke
intracerebtral mengungkapkan eksiden terbesar dari ICH pada Africa Amerika ,
Alaska Natives, Asian pacific Islander (API) dan kumpulan Hispanic ethnic.
Pada penelitian selama 20 tahun oleh National Health dan Nutrition
examination survei epidemiologi insiden perdarahan intracerebral diantara orang
kulit Hitam 50/100,000 dua kali lipat insiden pada pada orang kulit putih.Insiden
populasi di Japan 55/100,000 sama dengan orang kulit hitam. Prevelansi
Hipertensi dan pengunaan alcohol yang tinggi pada populasi Japan meningkatkan
insidensi. Hipertensi adalah faktor risiko spontan perdarahan intraserebral
terutama pada pasien yang tidak menggunakan obat hipertensi,pasien umur 55
tahun,anak muda dan perokok.

2.3.3. Etiologi dan Patogenesis


Walaupun hubungan antara hipertensi dan perdarahan intraserebral (PIS)
telah diketahui, namun mekanisme yang mencetuskan perdarahan masih
diperdebatkan. Perdarahan mungkin berasal dari pecahnya arteriol, kapiler, atau
vena. Dilain pihak, pembuluh darah yang pecah berasal tadi terlebih dahulu
mengalami perlunakan karena hipertensi atau arteriosclerosis. Lebih jauh, tumor
yang merembet atau penyakit sistemik misalnya diskrasia darah dapat pula
menyebabkan perdarahan. Pada hipertensi kronis dapat terjadi aneurisma-
aneurisma mikro, diameter 1 mm, di sepanjang arteri. Aneurisma tadi dapat pecah
atau robek.
Urutan patogenesis yang paling umum adalah terjadinya lipohialinosis dan
nekrosis fibrinoid, keduanya melemahkan muskularia arteriol. Hipertensi yang
terus berlangsung akan mendesak dinding arteriol yang lemah tadi, membuat
herniasi atau pecahnya tunica intima yang kemudian menjadi aneurisma atau
terjadi robekan-robekan kecil. Bagian otak yang sering mengalami perdarahan
adalah putamen, thalamus, substansia alba bagian dalam, serebelum, dan pons.6
Mekanisme lain yang dapat menyebabkan perdarahan adalah sebagai
berikut:

10
a. Cerebral Amyloid Angiopathy, adalah suatu perubahan vaskular yang unik
ditandai oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika
adventisia pada arteri kecil dan arteri sedang di hemisfer serebral. Deposit
amiloid menyebabkan dinding arteri menjadi lemah sehingga kemudian pecah
dan terjadi perdarahan intraserebral. Disamping hipertensi, amyloid
angiopathy dianggap faktor penyebab kedua terjadinya perdarahan
intraserebral pada penderita lanjut usia.8
b. Spasme arteriolar sebagai akibat hipertensi dapat menyebabkan hipolsia dan
nekrosis bagian distal, thrombosis, perdarahan kecil, dan edema otak. Wilayah
yang tekena akan melunak dan tejadilah perdarahan. Contoh untuk hal ini
adalah ensefalopati hipertensif dan eklamasia.6
c. Angioma kongenital, merupakan suatu kelainan perkembangan kongenital
(embrional) pada pembuluh darah intraserebral, dimana terjadinya hubungan
langsung antara arteriole dan venule tanpa melalui kapiler, sehingga terjadi
aliran darah yang cepat melewati daerah tersebut. Akibat aliran yang cepat
inilah dan tekanan yang besar dari arteri akan mengakibatkan penipisan
dinding pembuluh darah, dapat menimbulkan aneurisma dan penurunan aliran
darah otak disekitar angioma kongenital yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan disekitarnya.
d. Poliarteritis nodosa, juga infeksi viral dan refleksial, dapat menyebabkan
inflamasi dinding pembuluh darah yang akhirnya menyebabkan perdarahan.6
e. Aneurisma, merupakan suatu kelainan kongenital pada pembuluh darah,
dimana terjadi gangguan perkembangan dinding pembuluh darah yaitu pada
tunika media dan lamina elastika. Akibat adanya gangguan pada tunika media,
dan terjadi perubahan degeneratif sehingga dapat terjadi destruksi local pada
membrane elastika interna yang menyebabkan tunika intima menonjol dan
membentuk suatu aneurisma bentuk sakuler. Ukuran aneurisma ini rata-rata
7,5 mm, bila > 10 mm maka akan mudah terjadi ruptur.8
f. Toksin (arsen), defisiensi vitamin B1 dan vitamin C dapat menimbulkan
kematian sel dan kemudian terjadil perdarahan kecil-kecil.6

11
g. Arteripati misalnya penyakit-penyakit moya-moya, robeknya arteri secara
spontan, dan angiopati kongofilik dapat menimbulkan perdarahan.
h. Diskrasia darah, yang dapat menyebabkan perdarahan intraserebral adalah
anemia sickle cell, leukimia dan hemofilia serta gangguan koagulasi yang
didapat, misalnya pada penyakit hepar yang berat seperti sirosis hepar dan
hepatitis fulminan dapat menyebabkan gangguan sintesis faktor pembekuan,
peningkatan fibrinolisis, dan trombositopenia.
i. Neoplasma dapat menimbulkan perdarahan, pembuluh darah mengalami erosi
kemudian pecah, atau pembuluh darah baru yang terdapat didalam tumor
pecah. Komplikasi demikian ini terjadi pada 3-5% kasus-kasus glioblastoma,
melanoma maligna, dan tumor metastatic khususnya hipernefroma, khorio-
epitelioma, dan karsinoma paru-paru, tiroid serta payudara.
j. Antikoagulan, pada penggunaan obat antikoagulan heparin atau warfarin,
sekitar 9% dapat terjadi perdarahan intraserebral. Biasanya terjadi perdarahan
apabila antikoagulan digunakan secara berlebihan atau penggunaan jangka
panjang dengan insidens 8-11 kali jika dibandingkan pada pasien yang tidak
mendapatkan antikoagulan. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan
perdarahan pada pasien yang menggunakan antikoagulan adalah
meningkatnya umur, infark iskemik yang luas dan adanya hipertensi berat.
k. Thrombosis sinus dura atau vena serebral dapat menyebabkan PIS
l. Drug abuse (psikotropika, amfetamin) baik secara oral maupun intravena
dapat menimbulkan selfagia, konvulsi dan GPDO. Dapat terjadi nekrosis
fibrinoid di tunika intima dan media dengan infiltrasi inflamator dan oklusi
atau perdarahan.6 Banyak obat-obatan yang menyebabkan kecanduan
mengakibatkan perdarahan intraserebral. Kokain termasuk salah satu obat
yang menyebabkan perdarahan intraserebral dengan jalan meninggikan
tekanan darah, nadi, temperatur dan metabolisme.

2.3.4. Gambaran Klinis


Perdarahan intraserebral sering terjadi pada lokasi-lokasi:7
• Putamen dan kapsula interna yang berdekatan

12
• Substansia alba otak
• Talamus
• Hemisfer serebri
• Pons
• Serebelum
Manifestasi perdarahan intraserebral bergantun pada lokasinya. Perdarahan
ganglia basalia dengan kerusakan kapsula interna biasanya menyebabkan
hemiparesis kontralateral berat, sedangkan perdarahan pons menimbulkan tanda-
tanda atang otak.

Ancaman utama perdarahan intraserebral adalah hipertensi intrakranial akibat
efek massa hematoma. Tidak seperti infark, yang meningkatkan tekanan
intrakranial secara perlahan ketika edema sitotoksik yang menyertainya
bertambah berat, perdarahan intraserebral menaikkan tekanan itrakranial secara
sangat cepat. Ruptur intraventrikular perdarahan intraserebral dapat menyebabkan
hidrosefalus, baik melalui obstruksi aliran ventrikular dengan bekuan darah atau
ganggguan resorpsi LCS dari granulasiones arakhnoidae; jika ada, hidrosefalus
makin meningkatkan tekanan intrakranial. Di fosa posterios hampir tidak ada
ruang kosong, sehingga perdarahan intraparenkimal di bawah tentorium
meningkatkan tekanan intrakranial secara cepat, kemungkinan menyebabkan
herniasi isi fosa posterior, baik melalui insisura tentori, atau ke bawah ke dalam
foramen magnum. Karena itu, perdarahan intraparenkimal di batang otak atau
serebelum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan
perdarahan berukuran sama di hemisfer serebri.1

Perdarahan intraserebral kadang didahului oleh beberapa gejala prodormal
seperti nyeri kepala atau pusing, namun hal ini tidak begitu lazim dijumpai.
Kebanyakan kasus mengalami serangan sewaktu ia dalam keadaan aktif dan
jarang terjadi sewaktu penderita sedang tidur, dalam hal ini onset gejala defisit
neurologis berlangsung dalam beberapa menit dan kemudian pasien menjadi tidak
sadar.7 Gejala klinik yang sangat menonjol pada perdarahan pons ialah onset yang
tiba-tiba dan terjadi koma yang dalam dengan defisit neurologik bilateral serta
progresif dan fatal.

13

Pada sebagian besar kasus, perdarahan mulai dibatas antara dasar pons dan
tegmentum di tingkat pertengahan pons. Perdarahan pons dicirikan oleh koma
dalam yang mendadak tanpa didahului peringatan atau nyeri kepala. Dan
kematian terjadi dalam beberapa jam pertama. Seringkali terjdi bihemiparesis dan
rigiditas deserebrasi. Pada tahap awal , hemiplegia kontralateral dapat diikuti oleh
paralisis fasial homolateral atau paralisis nervus kranialis lainnya. Kebalikan
dengan lesi hemisferik, perdarahan pons biasanya dicirikan oleh deviasi mata dan
kepala secara permanen, menjauhi sisi yang terkena perdarahan disertai
gangguan reflex gerakan bola mata. Apabila terjadi perdarahan bilateral maka
terjadi paralisis gerakan bola mata horizontal dengan gerakan bola mata vertical
secara spontan maupun atas rangsangan. Pada tahap lanjut muncul prognosis
buruk dengan factor 5 P : paralysis, pulsus parvis, pintpoint pupils, pyrexia, dan
periodic respiration. Tanda-tanda tadi begitu khas untuk lesi pons dengan
diagnosis banding lajakdosis obat dan perdarahan ventricular.6

2.3.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Gambar 2. Perdarahan Pons

14
Pemeriksaan CT Scan otak merupakan pemeriksaan diagnostic terpilih
untuk membedakan perdarahan otak dengan infark, disamping itu juga dapat
menunjukan adanya komplikasi dan evaluasi paska bedah seperti edema dan
hidrosefalus sekunder.
CT Angiografi, CT Venografi, dan CT dengan kontras, MRI dengan
kontras, magnetic resonance angiography (MRA) dan magnetic resonance
venography (MRV) dapat bermanfaat untuk mengevaluasi adanya lesi structural
yang melatarbelakanngi, pada kasus yang secara klinis dan ragdiologis diduga
terdapat malformasi vascular dan tumor.
Apabila dilakukan pemeriksaan cairan serebro spinal, warna merah
biasanya dijumpai pada perdarahan yang massif, sedangkan perdarahan yang kecil
biasanya warna cairan serebro spinal masih normal (atau xantokhrom) sewaktu
hari-hari pertama. Angka mortalitas keseluruhan adalah sekitar 80% di mana
kebanyakan kasus meninggal dalam waktu beberapa hari. Kasus perdarahan
interaserebral yang lebih kecil, masih dapat tertolong dan pemulihan fungsional
juga baik, kecuali bila ada perdarahan ulang atau komplikasi lain seperti serangan
jantung.7
Volume perdarahan juga dapat diukur dengan menggunakan rumus volume
elipsoid yang dimodifikasi, yaitu (A x B x C)/2. A dan B adalah merupakan
diameter hematoma terbesar yang saling tegak lurus, dan C adalah jumlah dari
slice yang terdapat hematoma dikalikan dengan ketebalan slice (Kothari, 1996).
Pada penelitian Kothari didapati bahwa volume PIS dapat diestimasi dengan
menggunakan rumus (AxBxC)/2 secara akurat, dengan mengkorelasikannya
terhadap computed planimetric measurement. Penting untuk mengetahui volume
perdarahan, dikarenakan volume perdarahan berhubungan dengan prognosis dari
suatu PIS seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

15
SKOR ICH

Komponen Skor ICH


Skor GCS
3-4 2
5-12 1
13-15 0
Volume ICH,cm3
≥ 30 1
<30 0
IVH
Ya 1
Tidak 0
ICH yang berasal dari
infratentorial 1
Ya 2
Tidak
Umur
≥ 80 1
< 80 0
Total Skor ICH 0-6

Skor ICH adalah dikembangkan dari model regresi logistik untuk semua
pasien ICH. 5 karakteristik prediktor mortalitas 30 hari (dan karena itu termasuk
dalam model regresi logistik) yang masing-masing diberi titik pada dasar kekuatan
hubungan dengan hasilnya. Jumlah Skor ICH adalah jumlah poin dari berbagai
karakteristik. Tabel menunjukkan point tertentu yang digunakan dalam
menghitung Skor ICH.

Skor GCS paling sangat terkait dengan hasil, itu diberikan paling berat
dalam skala. GCS dibagi menjadi 3 subkelompok (GCS skor dari 3 sampai 4, 5
sampai 12, dan 13 sampai 15) lebih akurat mencerminkan pengaruh yang sangat

16
kuat dari skor GCS pada hasil. Dari catatan, di UCSF (University of California,
SanFrancisco) ICH kohort, hanya 1 dari 35 pasien dengan skor GCS menunjukkan
3- 4 selamat sampai 30 hari, dan hanya 5 dari 60 pasien dengan skor GCS
menunjukkan dari 13-15 meninggal, sedangkan 29 dari 57 pasien dengan skor
GCS dari 5-12 meninggal dalam waktu 30 hari.

2.3.6. PENATALAKSANAAN
Terapi umum. Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30
mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk
Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila
tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP > 130 mmHg, dan volume hematoma
bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv
10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300
mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral.
Jika didapatkan tanda tekanan intracranial meningkat, posisi kepala dinaikkan 300, posisi
kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol dan hiperventilasi (PCO2 20-35 mmHg).
Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak lambung diatasi dengan
antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton; komplikasi saluran napas dicegah
dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas.9
Penatalaksanaan berdasarkan Perdossi:
1. Diagnosis dan Penilaian Gawat Darurat pada Perdarahan Intrakranial dan
Penyebabnya.
a. Pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT atau MRI
direkomendasikan untuk membedakan stroke iskemik dengan perdarahan
intracranial.
b. Angiografi CT dan CT dengan kontras dapat dipertimbangkan untuk
membantu mengidentifikasi pasien dengan risiko perluasan hematoma.
Bila secara klinis atau radiologis terdapat kecurigaan yang mengarah ke
lesi structural termasuk malformasi vaskuler dan tumor, sebaiknya
dilakukan angiografi CT, venografi CT, CT dengan kontras, MRI dengan
kontras, MRA, dan venografi MR.

17
2. Tatalaksana Medis Perdarahan Intrakranial
a. Pasien dengan defisiensi berat factor koagulasi atau trombositopenia berat
sebaiknya mendapat erapi penggantian factor koagulasi atau trombosit.
b. Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR terkait obat
antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi mendapat
terapi untuk menggganti vitamin K-dependent factor dan mengkoreksi
INR, serta mendapat vitamin K intravena. Konsentrat kompleks
protrombin tidak menunjukkan perbaikan keluaran dibandingkan dengan
Fresh Frozen Plasma (FFP). Namun, pemberian konsentrat kompleks
protrombin dapat mengurangi komplikasi dibandingkan dengan FFP dan
dapat dipertimbangkan sebagai alternative FFP.
c. Apabila terjadi gangguan koagulasi maka dapat dikoreksi sebagai berikut:
• Vitamin K 10 mg IV diberikan pada penderita dengan peningkatan
INR dan diberikan dalam waktu yang sma dengan terapi yang lain
karena efek akan timbul 6 jam kemudian. Kecepatan pemberian
<1 mg/menit untuk meminimalkan risiko anafilaksis.
• FFP 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi factor
pembekuan darah bila ditemukan sehingga dengan cepat
memperbaiki INR atau aPTT. Terapi FFP ini untuk mengganti
pada kehilangan faktor koagulasi.
d. Faktor VIIa rekombinan tidak mengganti semua faktor pembekuan, dan
walaupun INR menurun, pembekuan bias jadi tidak membaik. Oleh
karena itu, factor VIIa rekombinan tidak secara rutin direkomendasikan
sebagai agen tunggal untuk mengganti antikoagulan oral pada perdarahan
intracranial. Walaupun factor VII a rekombinan dapat membatasi
perluasan hematoma pada pasien ICH tanpa koagulopati, risiko kejadian
tromboemboli akan meningkat dengan factor VIIa rekombinan dan tidak
ada keuntungan nyata pada pasien yang tidak terseleksi.
e. Kegunaan dari transfuse trombosit pada pasien perdarahan intracranial
dengan riwayat penggunaan antiplatelet masih tidak jelas dan dalam tahap
penelitian.

18
f. Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan perdarahan
intracranial, sebaiknya mendapat pneumatic intermittent compression
selain dengan stoking elastis.
g. Setelah dokumentai penghentian perdarahan LMWH atau UFH subkutan
dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk pencegahan tromboembolin
vena pada pasien dengan mobilitas yang kurang setelah satu hingga empat
hari pascaawitan.
h. Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian proamin sulfat 10-50 mg IV
dalam waktu 1-3 menit. Penderita dengan pemberian protamin sulfat perlu
pengawasan ketat untuk melihat tanda-tanda hipersensitif.
3. Tekanan Darah
Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan
tekanan darah sistolik >140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian
hipertensi pada pasien stroke akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya
mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >180.
Banyak studi menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U (U-
shaped relationship) (U-shaped relationship) antara hipertensi pada stroke akut
(iskemik maupun hemoragik) dengan kematian dan kecacatan. Hubungan tersebut
menunjukkan bahwa tingginya tekanan darah pada level tertentu berkaitan dengan
tingginya kematian dan kecacatan.
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan
rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga
neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan
sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai
Gudeline merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke
akut agar dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi di
bawah ini.
a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15%
(sistolik maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila
tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolic
(TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi

19
terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185
mmHg dan TDD <110 mmHg. Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau
hingga TDS <180 mmHg dan TDD <105 mmHg selama 24 jam setelah
pemberian rtPA. Obat antihipertensi yang digunakan adalah labetalol,
nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena.
b. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS >200
mmHg atau Mean Arterial Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah
diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara
kontiniu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala
dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan
tekanan intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan
tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
d. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala
dan tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan
secara hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena
kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15
menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada
studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih
diperbolehkan.
e. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg,
penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup
aman. Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100mmHg.
f. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah
pada penderita stroke perdarahan intraserebral.
g. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta
(labetalol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem)
intravena, digunakan dalam upaya diatas.

20
h. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena
mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan
kontraindikasi mutlak.
i. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga
lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam
target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema
paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan
tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam
6 jam pertama.
4. Penanganan di Rumah Sakit dan Pencegahaan Kerusakan Otak Sekunder
a. Pemantauan awal dan penanganan pasien penrdarahan intracranial
sebaiknya dilakukan di ICU dengan dokter dan perawat yang memiliki
keahlian perawatan intensif neurosains.
b. Penatalaksanaan Gula Darah pada Stroke Akut
c. Obat kejang dan antiepilepsi
Kejang sebaiknya diterapi dengan obat antiepilepsi. Pemantauan EEG
secara kontinu dapat diindikasikan pada pasien perdarahan intrakrranial
dengan kesadaran menurun tanpa mempertimbangkan kerusakan otak
yang terjadi. Pasien dengan perubahan status kesadaran yang didapatkan
gelombang epiloptogenik pada EEG sebaiknya diterapi dengan obat
antiepilepsi. Pemberian antikonvulsan profilaksis tidak direkomendasikan.
5. Prosedur/ Operasi
a. Penanganan dan Pemantauan Tekanan Intrakranial
• Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi
transtentorial,atau dengan perdarahan intraventrikuler yang luas
atau hidrosefalus, dapat dipertimbangkan untuk penanganan dan
Pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70
mmHg dapat dipertahankan tergantung pada status otoregulasi
otak.
• Drainase ventrikular sebagai tata laksana hidrosefalus dapat
di[pertimabngkan pada pasien dengan penurunan tingakt

21
kesadaran.
b. Perdarahan Intraventrikuler
Walaupun pemberian intraventrikuler recombinant tissue-type
plasminogen activator (rTPA) untuk melisiskan bekuan darah
intraventrikuler memiliki tingkat komplikasi yang cukup rendah, efikasi
dan keamanan dari tata laksana ini masih belum pasti dan dalam tahap
penelitian
c. Evakuasi hematom
• Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intrakranial,
kegunaan tindakan operasi masih belum pasti.
• Pasien dengan perdarahan serebral yang mengalami perburukan
neurologis, atau yang terdapat kompresi batang otak, dan atau
hidrosefalus akibat obstruksi ventirkel sebaiknya menjalani operasi
evakuasi bekuan darah secepatnnya. Tata laksana awal pada pasien
tersebut dengan drainase ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan
darah tidak direkomendasikan.
• Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di
1cm dari permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial
supratentorial dengan kraniotomi standar dapat dipertimbangkan.
• Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasif minimal
menggunakan baik aspirasi streotaktik maupun endoskopik
dengan atau tanpa penggunaan trombolitik masih belum pasti
dalam tahap penelitian.
• Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan segera
dari perdarahan intrakranial supratentorial untuk meningkatakan
keluaran fungsional atau angka kematian, kraniotomi segera dapat
merugikan karena dapat meningkatkan faktor resiko perdarahan
berulang.
d. Prediksi keluaran dan penghentian dukungan teknologi
Perintah penundaan tidak diresusitasi direkoimendasikan untuk tidak
melakukan perawatan penuh dan agresif dilakukan selama 2 hari. Kecuali

22
pada pasien yang sejak semula ada keinginan untuk tidak diresusitasi.
e. Pencegahan perdarahan intrakranial berulang
• Pada perdarahan intrakranial dimana stratifikasi risiko pasien telah
disusun untuk mencegah perdarahan berulang keputusan
tatalaksana dapat berubah karena pertimbangan beberapa faktor
risiko, antara lain lokasi lobus dari perdarahan awal, usia lanjut,
dalam pengobatan antikoagulan, terdapat alel E2 atau E4
apolipoprotein dan perdarahan mikro dalam jumlah besar pada
MRI.
• Setelah periode akut perdarahan intrakranial dan tidak ada kontra
indikasi medis, tekanan darah sebaiknya dikontrol dengan baik
terutama pada pasien yang lokasi perdarahannya tipikal dari
vaskulopati hipertensif.
• Setelah periode akut perdarahan intrakranial, target dari tekanan
darah dapat dipertimbangkan menjadi <140/90 mmHg atau
<130/80 mmHg jika diabetes penyakit ginjal kronik.
• Penghentian pemakaian antikoagulan jangka panjang sebagai
tatalaksana fibrilasi atrial nonvalvuler mungkin direkomendasikan
setelah perdarahan intrakranial lobar spontan karena relatif
berisiko tinggi untuk perdarahan berulang. Pemberian antikoagulan
dan terapi antiplatelet setelah perdarahan intrakranial nonlobar
dapat dipertimbangkan, terutama pada keadaan terdapat indikasi
pasti penggunaan terapi tersebut.
• Pelanggaran konsusmsi alkohol berat sangat bermanfaat.
6. Rehabilitasi dan pemulihan
Mengingat potensi yang serius dari perdarahan intrakranial berupa
kecacatan yang berat, serius dan kompleks, semua pasien sebaiknya dilakukan
rehabilitasi secara multidisiplin. Jika memungkinkan , rehabilitasi dapat dilakukan
sedini mungkin dan berlanjut disarana rehabilitasi komunitas, sebagai bagian dari
program terkoordinasi yang baik antara perawatan di rumah sakit dengan

23
perawatan berbasis rumah sakit dengan perawatan berbasis rumah (Home care)
untuk meningkatkan pemulihan.10

2.3.7. PROGNOSIS
Jaringan otak di area perdarahan (kebalikan dengan infark) umumnya
tidak rusak total, jaringan otak yang hidup sering ditemukan ditengah-tengah
darah yang mengalami ekstravasasi. Hal ini menjelaskan mengapa deficit
neurologis pasien biasanya pulih dengan lebih cepat, ketika hematoma teresorpsi,
daripada bila disebabkan oleh stroke iskemik.1

24
BAB 3
STATUS ORANG SAKIT

3.1 Anamnesis
Identitas Pribadi
No. Rekam Medis : 050868
Nama : Tn. IP
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 67 Tahun
Suku Bangsa : Batak
Agama : Kristen Protestan
Alamat : JL. T.A Hamzah No: 295 Binjai
Status : Menikah
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Tanggal Masuk : 9 Januari 2018
Tanggal Keluar :-

3.2 Riwayat Perjalanan Penyakit


3.2.1. Keluhan
Keluhan Utama : Kelemahan lengan dan tungkai sebelah kanan
Telaah : Pasien dengan keluhan kelemahan lengan dan tungkai
sebelah kanan yang sejak 10 hari yang lalu. Lemah yag
dirasakan secara tiba-tiba pada saat pasien sedang acara
pesta. Pada saat itu juga pasien merasakan nyeri kepala,
dan terjatuh karena tungkainya yang lemah dan berat
sehingga pasien menyeret-nyeret kakinya. Dan saat itu
pasien berbicara menjadi pelo. Riwayat penurunan
kesadaran dijumpai. Riwayat sakit kepala dijumpai, tetapi
mual, muntah dan kejang tidak dijumpai. Riwayat darah
tinggi dijumpai pada pasien sejak 10 tahun yang lalu, dan

25
pasien tidak rutin mengkonsumsi obat darah tinggi setiap
hari. Riwayat diabetes tidak ada. Riwayat stroke
sebelumnya . BAK dan BAB dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Terdahulu : Hipertensi Heart Disease


Riwayat penggunaan obat : Tidak jelas.

3.2.2 Anamnesa Traktus


Traktus Sirkulatorius : Anemis (-), Hipertensi (+)
Traktus Respiratorius : Tidak dijumpai gangguan, sesak napas (-),batuk (-)
Traktus Digestivus : Tidak dijumpai kelainan, mual (-), muntah (-)
BAB (+) normal.
Traktus Urogenitalis : Tidak dijumpai kelainan, BAK (+) normal
Penyakit Terdahulu : HT (+)
Intoksikasi dan Obat-obatan : Tidak jelas

3.2.3 Anamnesa Keluarga


Faktor Herediter : (-)
Faktor Familier : (-)
Lain-lain : (-)

3.2.4 Anamnesa Sosial


Kelahiran dan Pertumbuhan : Lahir normal, pertumbuhan baik
Imunisasi : Tidak jelas
Pekerjaan : PNS
Perkawinan : Menikah

26
3.3 Pemeriksaan Jasmani
3.3.1 Pemeriksaan Umum
Tekanan Darah : 150/100mmHg
Nadi : 84x/menit
Frekuensi Nafas : 24x/menit
Temperatur : 37,1°C
Kulit : Akral hangat, CRT < 3”
Leher : Pembesaran KGB (-)
Persendian : Pembengkakan (-)

3.3.2 Kepala dan Leher


Bentuk dan Posisi : Normocephali, simetris
Pergerakan : Bebas, dalam batas normal
Kelainan Panca Indera : Tidak dijumpai kelainan
Rongga Mulut dan Gigi : mulut jatuh ke kanan
Kelenjar Parotis : Dalam batas normal
Desah : Tidak dijumpai
Dan Lain-lain :-

3.3.3 Rongga Dada dan Abdomen


Rongga Dada Rongga Abdomen
Inspeksi : Simetris Fusiformis Simetris
Palpasi : SF ka=ki, kesan normal Soepel
Perkusi : Sonor Timpani
Auskultasi : SP: vesikuler, ST: (-), SJ: dbn Peristaltik (+) normal

3.3.4 Genitalia
Toucher : Tidak dilakukan pemeriksaan

27
3.4 Pemeriksaan Neurologis
3.4.1 Sensorium : Compos Mentis, GCS 15 (E4V5M6)
3.4.2 Kranium
Bentuk : Bulat
Fontanella : Tertutup
Palpasi : Pulsasi a. temporalis (+), a. carotis (+),
Perkusi : Cracked pot sign (-)
Auskultasi : Bruit (-)
Transilumnasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

3.4.3. Perangsangan Meningeal


Kaku Kuduk : (-)
Tanda Kernig : (-)
Tanda Brudzinski I : (-)
Tanda Brudzinski II : (-)

3.4.4 Peningkatan Tekanan Intrakranial


Muntah proyektil : (-)
Sakit Kepala : (+)
Kejang : (-)

3.4.5 Saraf Otak/Nervus Kranialis


Nervus I Meatus Nasi Dextra Meatus Nasi Sinistra
Normosmia : (+) (+)
Anosmia : (-) (-)
Parosmia : (-) (-)
Hiposmia : (-) (-)

28
Nervus II, III Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)
Visus : 1/60 1/60
Lapangan Pandang
Normal : (+) (+)
Menyempit : (-) (-)
Hemianopsia : (-) (-)
Scotoma : (-) (-)
Refleks Ancaman : (+) (+)
Fundus Okuli
Warna : Tidak dilakukan pemeriksaan
Batas : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekskavasio : Tidak dilakukan pemeriksaan
Arteri : Tidak dilakukan pemeriksaan
Vena : Tidak dilakukan pemeriksaan

Nervus III, IV, VI Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)


Gerakan Bola Mata : (+) (+)
Nistagmus : (-) (-)
Pupil
Lebar : Ø 3 mm Ø 3 mm
Bentuk : bulat, isokor bulat, isokor
Refleks Cahaya Langsung : (+) (+)
Refleks Cahaya tidak Langsung: (+) (+)
Rima Palpebra : 7 mm 7 mm
Deviasi Konjugate : (-) (-)
Fenomena Doll’s Eye : Tidak dilakukan pemeriksaan
Strabismus : (-) (-)

29
Nervus V Kanan Kiri
Motorik
Membuka dan menutup mulut : (+) (+)
Palpasi otot masseter dan temporalis : (+) (+)
Kekuatan gigitan : (+) (+)
Sensorik
Kulit : dalam batas normal dalam batas normal
Selaput lendir : dalam batas normal dalam batas normal
Refleks Kornea
Langsung : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tidak Langsung : Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks Masseter : Dalam batas normal
Refleks bersin : (+)

Nervus VII Kanan Kiri


Motorik
Mimik : Sudut mulut asimetris Sudut mulut simetris
Kerut Kening : dalam batas normal dalam batas normal
Menutup Mata : dalam batas normal dalam batas normal
Meniup Sekuatnya : bocor tidak bocor
Memperlihatkan Gigi : sudut mulut terjatuh Sudut mulut simetris
Tertawa : sudut mulut terjatuh dalam batas normal

Sensorik
Pengecapan 2/3 Depan Lidah : Tdp Tdp
Produksi Kelenjar Ludah : dalam batas normal dalam batas normal
Hiperakusis : (-) (-)
Refleks Stapedial : (-) (-)

30
Nervus VIII Kanan Kiri
Auditorius
Pendengaran : (+) (+)
Test Rinne : Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Weber : Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Schwabach : Tidak dilakukan pemeriksaan

Vestibularis
Nistagmus : (-) (-)
Reaksi Kalori : Tidak dilakukan pemeriksaan
Vertigo : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tinnitus : Tidak dilakukan pemeriksaan

Nervus IX, X
Pallatum Mole : Medial
Uvula : Medial
Disfagia : (-)
Disartria : (-)
Disfonia : (-)
Refleks Muntah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pengecapan 1/3 Belakang Lidah : Tidak dilkakukan pemeriksaan

Nervus XI Kanan Kiri


Mengangkat Bahu : (+) (+)
Fungsi Otot Sternocleidomastoideus : (+) (+)

31
Nervus XII
Lidah
Tremor : (-)
Atrofi : (-)
Fasikulasi : (-)
Ujung Lidah Sewaktu Istirahat : Medial
Ujung Lidah Sewaktu Dijulurkan : Medial

3.4.6 Sistem Motorik


Trofi : Eutrofi
Tonus Otot : Normotonus
Kekuatan Otot : ESD: 11111/11111 ESS: 55555/55555
EID: 11111/11111 EIS: 55555/55555
Sikap (Duduk-Berdiri-Berbaring): Baik- tidak dilakukan pemeriksaan- baik
Gerakan Spontan Abnormal
Tremor : (-)
Khorea : (-)
Ballismus : (-)
Mioklonus : (-)
Atetotis : (-)
Distonia : (-)
Spasme : (-)

3.4.7 Tes Sensibilitas


Eksteroseptif : Dalam batas normal
Proprioseptif : Dalam batas normal
Fungsi Kortikal untuk Sensibilitas
• Stereognosis : Dalam batas normal
• Pengenalan Dua Titik : Dalam batas normal
• Grafestesia : Dalam batas normal

32
3.4.8 Refleks Kanan Kiri
Refleks Fisiologis
Biceps : (++) (++)
Triceps : (++) (++)
Radioperiost : (++) (++)
APR : (++) (++)
KPR : (++) (++)

Refleks Patologis
Babinski : (-) (-)
Oppenheim : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Schaefer : (-) (-)
Hoffman-Tromner : (-) (-)
Klonus Lutut : (-) (-)
Klonus Kaki : (-) (-)
Refleks Primitif : (-) (-)

3.4.9 Koordinasi
Lenggang : tidak dilakukan pemeriksaan
Bicara : Pelo
Menulis : tidak dilakukan pemeriksaan
Percobaan Apraksia : (-)
Mimik : Dalam batas normal
Test Telunjuk-Telunjuk : Tidak dilakukan Pemeriksaan/Dalam batas normal
Test Telunjuk-Hidung : Tidak dilakukan Pemeriksaan/Dalam batas normal
Diadokhokinesia : Tidak dilakukan pemeriksaan/Dalam batas normal
Test Tumit-Lutut : Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan

33
3.4.10 Vegetatif
Vasomotorik : Dalam batas normal
Sudomotorik : Dalam batas normal
Pilo-Erektor : Dalam batas normal
Miksi : Dalam batas normal
Defekasi : Dalam batas normal
Potens dan Libido : Tidak dilakukan pemeriksaan

3.4.11 Vertebra
Bentuk
Normal : (+)
Scoliosis : (-)
Hiperlordosis : (-)
Pergerakan
Leher : Bebas
Pinggang : Bebas

3.4.12 Tanda Perangsangan Radikuler


Laseque : (-)
Cross Laseque : (-)
Test Lhermitte : (-)
Test Naffziger : (-)

3.4.13 Gejala-Gejala Serebelar


Ataksia : (-)
Disartria : (-)
Tremor : (-)
Nistagmus : (-)
Fenomena Rebound : (-)
Vertigo : (-)

34
Dan Lain-lain : (-)
3.4.14 Gejala-Gejala Ekstrapiramidal
Tremor : (-)
Rigiditas : tidak dilakukan pemeriksaan
Bradikinesia : tidak dilakukan pemeriksaan
Dan Lain-lain : (-)

3.4.15 Fungsi Luhur


Kesadaran Kualitatif : Compos mentis
Ingatan Baru : (+)
Ingatan Lama : (+)
Orientasi
Diri : (+)
Tempat : (+)
Waktu : (+)
Situasi : (+)
Intelegensia : Dalam batas normal
Daya Pertimbangan : Dalam batas normal
Reaksi Emosi : Dalam batas normal
Afasia
Ekspresif : (-)
Reseptif : (-)
Apraksia : (-)
Agnosia
Agnosia visual : (-)
Agnosia Jari-jari : (-)
Akalkulia : (-)
Disorientasi Kanan-Kiri : (-)

35
3.6 Kesimpulan Pemeriksaan
Keluhan Utama : Kelemahan anggota gerak bagian kiri
Telaah : Pasien dengan keluhan kelemahan lengan dan tungkai
sebelah kanan yang sejak 10 hari yang lalu. Lemah yag
dirasakan secara tiba-tiba pada saat pasien sedang acara
pesta. Pada saat itu juga pasien merasakan nyeri kepala,
dan terjatuh karena tungkainya yang lemah dan berat
sehingga pasien menyeret-nyeret kakinya. Dan saat itu
pasien berbicara menjadi pelo. Riwayat penurunan
kesadaran dijumpai. Riwayat sakit kepala dijumpai, tetapi
mual, muntah dan kejang tidak dijumpai. Riwayat darah
tinggi dijumpai pada pasien sejak 10 tahun yang lalu, dan
pasien tidak rutin mengkonsumsi obat darah tinggi setiap
hari. Riwayat diabetes tidak ada. Riwayat stroke
sebelumnya . BAK dan BAB dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Terdahulu : Hipertensi Heart Disease
Riwayat penggunaan obat : Tidak jelas

Status Presens
Sensorium : Compos mentis
Tekanan Darah : 150/100mmHg
Nadi : 84x/menit
Frekuensi Nafas : 24x/menit
Temperature : 37.1°C

Nervus Kranialis
N. I : Normosmia
N. II,III : Refleks Cahaya langsung (+/+), tidak langsung (+/+)
N. III,IV,VI : Gerakan bola mata (+/+), pupil isokor Ø=3mm/3mm
N. V : Buka tutup mulut (+)

36
N. VII : Sudut mulut tertarik ke kiri
N. VIII : Pendengaran (+/+) Normal
N. IX, X : Pallatum Mole medial, uvula medial
N. XI : Mengangkat bahu kanan kiri (+/+)
N. XII : Posisi lidah dijulurkan medial

STATUS NEUROLOGIS
Peningkatan TIK : Sakit kepala (-).
Muntah proyektil (-)
Kejang (-)
Rangsang Meningeal : (-)
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
B/T : (++/++) (++/++)
APR/KPR : (++/++) (++/++)
Refleks Patologis Kanan Kiri
H/T : (-/-) (-/-)
Babinski : (-) (-)
Oppenheim : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Schefer : (-) (-)
Kekuatan Motorik :
1 1 1 1 1 5 5 5
5 5
ESD : ESS:
1 1
1 1 1 5 5 5
5
5
2 2 2
2
2 5 5 5
5 5
EID: EIS:
2 2 2
2 2 5 5 5
5 5

37
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Rutin
Hemoglobin 14,2 13-16 g/dL
Hematokrit 40,0 40-48 %
Leukosit 11,47 5-10.103 /µL
Trombosit 192.800 150-400.103 / µL
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu 120 <200 mg/dL
Kesan :

2. Head CT-Scan

38
CT-Scan kepala irisan axial sejajar OM Line tanpa kontras (Tanggal 7 Januari
2018)
- Dijumpai lesi hiperdens volume ± 2,5 cc di pons dengan perifocal edema
- Infratentorial, cerebellum, ventrikel 4 baik
- Sistem ventrikel dan cysterna normal
- Sulci dan gyri normal
- Tidak dijumpai deviasi midline struktur
- Tidak dijumpai kalsifikasi abnormal
- Sinus maxillaris kanan kiri baik
- Tulang-tulang calvaria normal
- Kesan: perdarahan di pons volume ± 2,5 cc dengan perifocal edema

3.7. Diagnosis
DIAGNOSIS FUNGSIONAL : Disatria + Hemiparesis dextra
DIAGNOSIS ETIOLOGI : Perdarahan
DIAGNOSIS ANATOMIK : Pons
DIAGNOSIS BANDING :1. Stroke Hemoragik
2. Stroke Ikemik
3. Infeksi SSP
4. Trauma kapitis
DIAGNOSIS KERJA : Disatria + Hemiparesis dextra ec Perdarahan
Intraserebral di Pons

3.8. Penatalaksanaan
• IVFD Manitol 125cc/8 jam
• Inj. Citicolin 250mg/12jam
• Inj. Phenitoin 100 mg amp/8 jam
• Inj. Ozid amp/12jam

39

BAB IV
FOLLOW UP PASIEN

16 Januari 2018
S O A P
Lemah lengan Status Present Hemiparese dextra - Inj Citicolin 250mg/12
dan tungkai Sensorium: CM ec ICH di pons jam
kanan, bicara TD: 150/80 mmHg - Inj. Ozid 1amp/12
celat (+) jam
- Phenitoin tab 2x
100mg
- mecobalamin 2x
500mg
- KSR 1x1

17 Januari 2018
S O A P
Lemah lengan Status Present Disatria + - Inj Citicolin 250mg/12
dan tungkai Sensorium: CM Hemiparese dextra jam
kanan, bicara TD: 160/100 ec ICH di pons - Inj. Ozid 1amp/12
celat (+) mmHg jam
- Phenitoin tab 2x
100mg
- mecobalamin 2x
500mg
- KSR 1x1

40
18 Januari 2018

S O A P
Lemah lengan Status Present Disatria + - Inj Citicolin 250mg/12
dan tungkai Sensorium: CM Hemiparese dextra jam
kanan, bicara TD: 130/90 mmHg ec ICH di pons - Inj. Ozid 1amp/12
celat (+) jam
- Phenitoin tab 2x
100mg
- mecobalamin 2x
500mg
- KSR 1x1

19 Januari 2018
S O A P
Lemah lengan Status Present Disatria + - Inj Citicolin 250mg/12
dan tungkai Sensorium: CM Hemiparese dextra jam
kanan, bicara TD: 140/90 mmHg ec ICH di pons - Inj. Ozid 1amp/12
celat (+) jam
- Phenitoin tab 2x
100mg
- mecobalamin 2x
500mg
- KSR 1x1

41
20 Januari 2018
S O A P
Lemah lengan Status Present Disatria + - Inj Citicolin 250mg/12
dan tungkai Sensorium: CM Hemiparese dextra jam
kanan, bicara TD: 150/90 mmHg ec ICH di pons - Inj. Ozid 1amp/12
celat (+) jam
- Phenitoin tab 2x
100mg
- Mecobalamin 2x
500mg
- KSR 1x1

22 Januari 2018
S O A P
Lemah lengan Status Present Disatria + - Inj Citicolin 250mg/12
dan tungkai Sensorium: CM Hemiparese dextra jam
kanan, bicara TD: 140/80 mmHg ec ICH di pons - Inj. Ozid 1amp/12
celat (+) jam
- Phenitoin tab 2x
100mg
- Mecobalamin 2x
500mg
- KSR 1x1

42
23 Januari 2018
S O A P
Lemah lengan Status Present Disatria + - Inj Citicolin 250mg/12
dan tungkai Sensorium: CM Hemiparese dextra jam
kanan, bicara TD: 140/80 mmHg ec ICH di pons - Inj. Ozid 1amp/12
celat (+), NGT jam
kotor (+) - Phenitoin tab 2x
100mg
- Mecobalamin 2x
500mg
- KSR 1x1

24 Januari 2018
S O A P
Lemah lengan Status Present Disatria + - Inj Citicolin 250mg/12
dan tungkai Sensorium: CM Hemiparese dextra jam
kanan, bicara TD: 140/80 mmHg ec ICH di pons - Inj. Ozid 1amp/12
celat (+) jam
- Phenitoin tab 2x
100mg
- Mecobalamin 2x
500mg
- KSR 1x1

43
25 Januari 2018
S O A P
Lemah lengan Status Present Disatria + - Inj Citicolin 250mg/12
dan tungkai Sensorium: CM Hemiparese dextra jam
kanan, bicara TD: 160/90 mmHg ec ICH di pons - Inj. Ozid 1amp/12
celat (+), demam jam
(+) - Phenitoin tab 2x
100mg
- Mecobalamin 2x
500mg
- KSR 1x1

44
BAB V
KESIMPULAN

Pasien IP, usia 67 tahun dengan keluhan kelemahan lengan dan tungkai sebelah kanan
yang sejak 10 hari yang lalu.
Pasien ditatalaksana dengan:
• Bed Rest
• IVFD Manitol 125cc/8 jam
• Inj. Citicolin 250mg/12jam
• Inj. Phenitoin 100 mg amp/8 jam
• Inj. Ozid amp/12jam

45
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

1. Baehr, M., Frotscher, M. 2007. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Jakarta: EGC
2. Sherwood, Lauralee, (2012). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

3. WHO. MONICA. Manual Version 1: 1. 1986.


4. Hacke W, Kaste M, Bogousslavsky J, Brainin M, Chamorro A, Lees K et al..
Ischemic Stroke Prophylaxis and Treatment - European Stroke Initiative
Recommendations 2003.
5. Bruno A, Kaelin DL, Yilmaz EY. The subacute stroke patient: hours 6 to 72 after
stroke onset. In Cohen SN. Management of Ischemic Stroke. McGraw-Hill. 2000.
pp. 53-87
6. Harsono, 2011. Buku Ajar Neurologi Klinisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
7. Satyanegara, Arifin.M.Z., et al. 2014. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara Edisi V.
Jakarta: Gramedia
8. Jager R, Saunders D. Cranial and intracranial pathology (2): cerebrovascular
disease and non-traumatic intracranial hemorrhage. In: Grainger RG, Allison D,
Adam A, Dixon AK, editor.Grainger & Allison’s diagnostic radiology: a textbook
of medical imaging. 4th edition. London:Churchill Livingstone; 2001.
9. Setyopranoto I. 2011. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. diakses di
http://www.kalbemed.com/Portals/6/1_05_185Strokegejalapenatalaksanaan.pdf
pada tanggal 18 Januari 2018
10. Perdossi. 2011. Guideline Stroke. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia

46

Anda mungkin juga menyukai