PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) adalah kelainan yang bersifat kronis yang ditandai
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang disebabkan
defisiensi insulin baik absolut dan atau relatif. Defisiensi insulin absolut biasanya
didapatkan pada pasien diabetes mellitus tipe-1. Hal ini disebabkan adanya
kerusakan sel pankreas yang progresif sehingga insulin tidak dapat disintesis oleh
kelenjar pankreas. Defisiensi insulin relatif ditemukan pada pasien DM tipe-2
dikarenakan kurang efektifnya pemakaian insulin di dalam tubuh. Sebagian besar
penderita DM pada anak termasuk dalam DM tipe-1, yang terjadi akibat suatu
proses autoimun yang merusak sel beta pankreas sehingga produksi insulin
berkurang bahkan berhenti.1
Diabetes Mellitus (DM) tipe-1 merupakan salah satu penyakit kronis yang
sampai saat ini belum dapat disembuhkan. Walaupun demikian berkat kemajuan
teknologi kedokteran kualitas hidup penderita DM tipe-1 tetap dapat sepadan
dengan anak-anak normal lainnya jika mendapat tata laksana yang adekuat.2
Secara global DM Tipe 1 ditemukan 90% dari seluruh diabetes pada anak
dan remaja. Di Indonesia insidens tercatat semakin meningkat dari tahun ke tahun,
terutama dalam 5 tahun terakhir. Jumlah penderita baru meningkat dari 23 orang
per tahun di tahun 2005 menjadi 48 orang per tahun di tahun 2009.1
Oleh karena itu penderita sangat tergantung pada insulin untuk kelangsungan
hidupnya. Diabetes mellitus tipe-1 ini disebut juga DM Tergantung Insulin
(DMTI). Penelitian di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia RS Cipto Mangunkusuma (IKA FKUI-RSCM) dari tahun
1973-1988 hanya mendapatkan 28 pasien DM tipe-1 dengan usia terbanyak 6-10
tahun, anak perempuan mempunyai proporsi 3 kali lebih banyak dari laki-laki.
Gambaran klinis yang khas pada DM tipe-1 berupa polyuria, polidipsi,
polifagia dan adanya penurunan berat badan yang progresif sering terlupakan.
Dengan demikian tindakan yang diberikan pada pasien tersebut tidak adekuat,
1
sehingga pasien tersebut mengalami hiperglikemia kronis dan akhirnya jatuh
dalam komplikasi yang berat seperti ketoasidosis diabetic (KAD), gangguan
pertumbuhan dan komplikasi kronis lainnya berupa retinopati diabetika, nefropati
diabetika, neuropati diabetika dan sebagainya.
Selain itu, masyarakat masih banyak yang kurang percaya bahwa DM bisa
terjadi pada anak. Setelah anaknya dirawat dengan komplikasi akut seperti KAD
orangtua baru menyadari.gambaran klinis yang tidak khas perlu diperhatikan dan
ditelusuri lebih lanjut untuk lebih menajamkan diagnosis seperti cepat lelah,
kesemutan atau keram kaki. Gangguan kesadaran dan asidosis metabolic selalu
bermanifestasi bila pasien datang dengan komplikasi KAD.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
genetik faktor B (BfFl) properdin yang jarang, yang sangat terkait dengan sistem
HLA pada kromosom 6 ditemukan pada lebih dari 20Vo diabetes tipe I tetapi ku-
rang dari 2Vo dari subjek yang sehat; dengan demikian faktor risiko relatif adalah
pada mereka yang mewarisi penanda genetik ini. Golongan darah tertentu juga
telah dikaitkan dengan risiko diabetes yang meningkat. Penerapan teknik genetika
molekular yang lebih baru melalui analisis polimorfisme DNA setelah digesti
dengan pembatasan endonuklease tertentu telah menunjukkan heterogenitas lebih
lanjut pada daerah HLA-D pada individu dengan dan tanpa diabetes walaupun
memiliki kedua penanda D3 atau D4, menunjukkan "kerentanan" lokus yang
sekarang ditentukan dalam penanda ini.
Sekarang ada banyak bukti bahwa setidaknya satu kerentanan lokus utama
dapat berada pada gen DQ B1 gen. Tidak adanya homozigot asam aspartat pada
posisi 57 rantai HLA-DQ B (nonAsp/nonAsp) menyebabkan sekitar 100 kali
risiko relatif berkembangnya diabetes tipe L Mereka yang heterozigot dengan
asam aspartat tunggal pada posisi 57 (non-Asp/Asp) adalah kurang mungkin
menjadi diabetes tetapi lebih rentan daripada individu yang memiliki asam
aspartat pada kedua rantai DQ B, yaitu yang homozigot Asp/Asp. Sebenarnya,
insiden diabetes mellitus tipe I pada setiap populasi tertentu tampak sebanding
dengan frekuensi gen allele nonAsp pada populasi tersebut. Lagi pula, arginin
pada posisi 52 rantai DQ U menyebabkan kerentanan yang mencolok terhadap
diabetes mellitus tergantung insulin. Posisi 57 pada DQ B dan posisi 52 DQ cr
berada pada posisi kritis molekul HLA yang memungkinkan atau mencegah
penyajian antigen terhadap reseptor sel-T dan mengaktikan kaskade autoimun.3
4
Tabel 1. Klasifikasi DM berdasarkan etiologi2
I. DM Tipe-1 (destruksi sel-β )
a. a. Immune mediated
b. b. Idiopatik
II. DM Tipe 2
III. DM Tipe lain
a. Defek genetik fungsi pancreas sel-β
Kromosom 12, HNF-1α (MODY3
Kromosom 7, glukokinase (MODY2)
Kromosom 20, HNF-4α (MODY1)
Kromosom 13, Insulin promotor factor (IPF)-1, (MODY4)
Dan lain-lain
b. Defek genetik pada kerja insulin
Resisten insulin tipe-A
Leprechaunisme
Sindrom Rabson-Mendenhall
Diabetes Lipoatropik
Dan lain-lain
c. Kelainan eksokrin pankreas
Pankreatitis
Trauma/pankreatomi
Neoplasia
Kistik fibrosis
Dan lain-lain
d. Gangguan endokrin
Akromegali
Sindrom Cushing
Glukagonoma
Feokromositoma
Hipertiroidisme
Somatostatinoma
Aldosteronoma
Dan lain-lain
e. Terinduksi obat dan kimia
f. Vakor
Pentamidin
Asam Nikotinik
5
2.3 EPIDEMIOLOGI
Secara global DM Tipe 1 ditemukan 90% dari seluruh diabetes pada anak
dan remaja. Di Indonesia insidens tercatat semakin meningkat dari tahun ke tahun,
terutama dalam 5 tahun terakhir. Jumlah penderita baru meningkat dari 23 orang
per tahun di tahun 2005 menjadi 48 orang per tahun di tahun 2009.
Untuk penderita baru DM Tipe 1 terdapat 3 pola gambaran klinis saat
awitan: klasik, silent diabetes, dan ketoasidosis diabetic (KAD). Di Negara-
negara dengan kewaspadaan tinggi terhadap DM, bentuk klasik paling sering
dijumpai di klinik dibandingkan bentuk yang lain. DI Indonesia 33,3% penderita
baru DM Tipe 1 didiagnosis dalam bentuk KAD, sedangkan bentuk silent diabetes
paling jarang dijumpai; biasanya diketahui karena skrining/penelitian atau
pemeriksaan khusus karena salah seorang keluarga penderita telah menderita DM
Tipe 1 sebelumnya.1
Insidens DM tipe-1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam
suatu negara. Insidens tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 43/100.000 dan
insidens yang rendah di Jepang yaitu 1,5-2/100.000 untuk usia kurang 15 tahun.
Insidens DM tipe-1 lebih tinggi pada ras kaukasia dibandingkan ras-ras lainnya.
Berdasarkan data dari rumah sakit terdapat 2 puncak insidens DM tipe-1
pada anak yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut dicatat bahwa lebih dari
50 % penderita baru DM tipe-1 berusia > 20 tahun.
Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan dalam terjadinya DM tipe-
1. Walaupun hampir 80 % penderita DM tipe-1 baru tidak mempunyai riwayat
keluarga dengan penyakit serupa, namun faktor genetik diakui berperan dalam
patogenesis DM tipe-1. Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, tetapi
sistim HLA bukan merupakan faktor satu-satunya ataupun faktor dominan pada
patogenesis DM tipe-1. Sistem HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene
atau faktor kerentanan. Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari
lingkungan (infeksi virus, toksin dll) untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1
pada seseorang yang rentan.2
6
2.4. GAMBARAN KLINIS
Sebagian besar penderita DM tipe-1 mempunyai riwayat perjalanan klinis
yang akut. Biasanya gejala-gejala poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan
yang cepat menurun terjadi antara 1 sampai 2 minggu sebelum diagnosis
ditegakkan. Apabila gejala-gejala klinis ini disertai dengan hiperglikemia maka
diagnosis DM tidak diragukan lagi.
Insidens DM tipe-1 di Indonesia masih rendah sehingga tidak jarang
terjadi kesalahan diagnosis dan keterlambatan diagnosis. Akibat keterlambatan
diagnosis, penderita DM tipe-1 akan memasuki fase ketoasidosis yang dapat
berakibat fatal bagi penderita. Keterlambatan ini dapat terjadi karena penderita
disangka menderita bronkopneumonia dengan asidosis atau syok berat akibat
gastroenteritis.
Kata kunci untuk mengurangi keterlambatan diagnosis adalah
kewaspadaan terhadap DM tipe-1. Diagnosis DM tipe-1 sebaiknya dipikrkan
sebagai diferensial diagnosis pada anak dengan enuresis nokturnal (anak besar),
atau pada anak dengan dehidrasi sedang sampai berat tetapi masih ditemukan
diuresis (poliuria), terlebih lagi jika disertai dengan pernafasan Kussmaul dan bau
keton.
Perjalanan alamiah penyakit DM tipe-1 ditandai dengan adanya fase remisi
(parsial/total) yang dikenal sebagai honeymoon periode. Fase ini terjadi akibat
berfungsinya kembali jaringan residual pankreas sehingga pankreas
mensekresikan kembali sisa insulin. Fase ini akan berakhir apabila pankreas sudah
menghabiskan seluruh sisa insulin. Secara klinis ada tidaknya fase ini harus
dicurigai apabila seorang penderita baru DM tipe-1 sering mengalami serangan
hipoglikemia sehingga kebutuhan insulin harus dikurangi untuk menghindari
hipoglikemia. Apabila dosis insulin yang dibutuhkan sudah mencapai < 0,25
U/kgBB/hari maka dapat dikatakan penderita berada pada fase “remisi total”. Di
negara berkembang yang masih diwarnai oleh pengobatan tradisional, fase ini
perlu dijelaskan kepada penderita sehingga anggapan bahwa penderita telah
“sembuh” dapat dihindari. Ingat, bahwa pada saat cadangan insulin sudah habis,
penderita akan membutuhkan kembali insulin dan apabila tidak segera mendapat
7
insulin, penderita akan jatuh kembali ke keadaan ketoasidosis dengan segala
konsekuensinya.2
2.5. Diagnosis
2.5.1. Anamnesis
Bentuk klasik:1
Polidipsi, poliuri, polifagi, poliuri biasanya tidak diutarakan secara langsung
oleh orang tua kepada dokter, yang sering dikeluhkan adalah anak sering
mengompol, mengganti popok terlalu sering, disertai infeksi jamur berulang di
sekitar keluhan lain yang tidak spesifik.
Penurunan berat badan yang nyata dalam waktu 2-6 minggu disertai keluhan
lain yang tidak spesifik
Mudah lelah
Pada kasus KAD:1
Awitan gejala klasik yang cepat dalam waktu beberapa hari
Sering disertai nyeri peut, sesak nafas, dan letargi
8
Sesak napas, napas cepat dan dalam (Kussmaul) disertai bau aseton
Gangguan kesadaran
Renjatan
Kondisi yang sulit didiagnosis (sering menyebabkan keterlambatan diagnosis
KAD)
Pada bayi atau anak <2-3 tahun
Hiperventilasi: sering didiagnosis awal sebagai pneumonia atau asma berat
Nyeri perut: sering dikira sebagai akut abdomen
Poliuri dan enuresis: sering didiagnosis awal sebagai infeksi saluran kemih
Polidipsi: sering didiagnosis awal sebagai gangguan psikogenik
Muntah berulang: sering didiagnosis awal sebagai gastroenteritis
Harus dicurigai sebagai DM TIpe 2
Adanya gejala klinis poliuri, polidisi, dan polifagi yang disertai dengan
hal-hal di bawah ini harus dicurigai sebagai DM Tipe 2:
Obesitas
Usia remaja (>10 tahun)
Adanya riwayat keluarga DM Tipe 2
Penanda autoantibodi negatif
Kadar C-peptida normal atau tinggi
Ras atau etnik tertentu (Pima-Indian, Arab)1
9
Kadar C-peptida: digunakan untuk melihat fungsi sel-β yang masih
memproduksi insulin; dapat digunakan apabila sulit membedakan diabetes tipe
1 dan 2.
Pemeriksaan HbA1c: dilakukan rutin setiap 3 bulan. Pemeriksaan HbA1c
bermanfaat untuk mengukur kadar glukosa darah selama 120 hari yang lalu
(sesuai dengan usia eritrosit), menilai perubahan terapi 8-12 minggu
sebelumnya, dan menilai pengendalian penyakit DM dengan tujuan mencegah
terjadinya komplikasi diabetes.
Glukosuria: tidak spesifik untuk DM perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan
gula darah.
Penanda autoantibodi: hanya sekitar 70-80% dari penderita DM Tipe 1
memberikan hasil pemeriksaan autoantibodi (ICA, IAA) yang positif,
sehingga pemeriksaan ini bukan merupakana syarat mutlak diagnosis.
10
meningkatkan kadar glukosa darah.
Jangan melakukan pemeriksaan dengan glukometer/kapiler,
gunakanlah
darah vena.
Berhubung kadar glukosa darah dapat berkurang 5% per
jam apabila
dibiarkan dalam suhu kamar, maka setelah darah vena diambil dengan
pengawet EDTA/heparin harus segera disimpan di lemari es.
Selain cara ad.4, maka sampel darah dapat harus segera disen- trifus agar kadar
glukosa darah tidak menurun.
11
Kepatuhan dan keteraturan pengobatan merupakan kunci keberhasilan.
Penyuluhan pada pasien dan keluarga harus terus menerus dilakukan.
Penatalaksanaan dibagi menjadi:1,2
Pemberian insulin
Pengaturan makan
Olahraga
Edukasi
Home monitoring (pemantauan mandiri)
12
3. Janganlah membersihkan jarum dengan alkohol.
4. Pompalah udara ke jarum suntik berulang-ulang setiap kali
sebelum
pemakaian untuk membuang sumbatannya.
5. Buang jarum suntik apabila telah bengkok atau tumpul atau
telah bersentuhan
dengan bagian badan lainnya selain kulit.
6. Buang jarum suntik apabila angka-angkanya sudah tidak
terbaca atau kurang
terbaca.
13
2. Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Potensi dan efek hipoglikemia insulin kerja pendek atau insulin regular,
hampir sama dengan insulin kerja ultra pendek. Selain dapat diberikan subkutan,
insulin regular adalah insulin yang dapat diberikan secara intra vena, oleh karena
itu insulin ini biasanya dipakai untuk mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis,
pasien baru, dan tindakan bedah. Pada kasus DM tipe-1 yang masih balita
sebaiknya menggunakan insulin jenis ini untuk menghindari efek hipoglikemia.
3. Insulin kerja menengah
Insulin kerja menengah mempunyai awitan yang lambat dan masa kerja
yang panjang tetapi masih tetap kurang dari 24 jam. Insulin jenis ini dapat
digunakan dua kali sehari, digunakan untuk anak yang telah mempunyai pola
hidup lebih teratur untuk menghindari terjadinya episode hipoglikemia. Sebagian
besar kasus DM tipe-1 pada anak menggunakan insulin kerja menengah.
4. Insulin kerja panjang
Mengingat masa kerja yang panjang, maka pemakaian insulin ini cukup
diberikan satu kali dalam satu hari. Pada suatu penelitian disebutkan bahwa
pemakaian insulin kerja panjang secara bermakna mengurangi kejadian
hipoglikemia pada malam hari (nocturnal hypoglycemia). Pemakaian insulin kerja
panjang (glargine insuline) juga secara bermakna dapat menurunkan kadar HbA1c
serta frekuensi terjadinya hipoglikemia. Percampuran insulin kerja ultra pendek
dengan insulin kerja panjang tidak terbukti lebih baik dalam mencegah nocturnal
hypoglycemia.
5. Insulin Campuran
Untuk kemudahan dan pencapaian kadar terapeutik yang adekuat, insulin
regular dengan insulin kerja menengah dapat dicampur dalam satu alat suntik,
kemudian disuntikkan secara subkutan dalam dosis terbagi sebelum sarapan pagi
dan makan malam. Dianjurkan untuk memasukkan insulin regular terlebih dahulu
ke dalam alat suntik sebelum memasukkan insulin kerja menengah. Insulin
campuran yang stabil (70% insulin kerja menengah dengan 30% insulin kerja
pendek) yang sudah dikemas oleh pabrik, tersedia untuk memudahkan pasien
yang kesulitan dalam mencampur sendiri insulin atau kurang terampil. Termasuk
14
insulin campuran diantaranya Novolin® 70:30 yang merupakan campuran 70%
insulin kerja menengah dengan 30% insulin regular, dan Humulin® 70:30.
Pemakaian preparat ini dianjurkan bagi pasien yang sudah dapat mengontrol
metabolik dengan baik. Kebutuhan insulin diukur berdasarkan berat badan, usia,
dan status pubertas anak. Anak yang baru didiagnosis DM tipe-1 mendapatkan
dosis inisial 0,5-1,0 unit/kg per hari. Dosis lebih besar diberikan pada anak yang
menderita ketoasidosis, pemakaian steroid, serta pada saat pubertas. Sementara
dosis yang lebih kecil dibutuhkan pada honeymoon period, saat kebutuhan
menurun sampai di bawah dosis inisial.4
Teknik Penyuntikan
Insulin harus disuntikkan secara subkutan dalam dengan melakukan
‘pinched’ (cubitan) dan jarum suntik harus membentuk sudut 45o atau 90o bila
jaringan subkutannya tebal. Untuk penyuntikan tidak perlu menggunakan alkohol
sebagai tindakan aseptik pada kulit.
Tempat penyuntikan dapat dilakukan di abdomen, paha bagian depan,
pantat, dan lengan atas. Penyuntikan ini dapat dilakukan pada daerah yang sama
setiap hari tetapi tidak dianjurkan untuk melakukan penyuntikan pada titik yang
sama. Rotasi penyuntikan sangat dianjurkan untuk mencegah timbulnya
lipohipertrofi atau lipodistrofi. Penyuntikan insulin kerja cepat lebih dianjurkan di
daerah abdomen karena penyerapan lebih cepat. Di daerah paha dan pantat
penyerapan insulin kerja menengah lebih lambat.
15
2.6.2. Pengaturan Makan
Tujuan: mencapai Kontrol metabolik yang baik, tanpa mengabaikan kalori
yang dibutuhkan untuk metabolisme basal, pertumbuhan, pubertas, ataupun untuk
aktivitas yang dilakukan.
Jumlah kalori yang dibutuhkan: [1000 + (usia(tahun) x 100)] kalori per
hari. Komposisi kalori yang dianjurkan adalah 60-65% berasal dari karbohidrat,
25% berasal dari protein dan sumber energi dari lemak <30%.
Jadwal: 3 kali makan utama dan 3 kali makanan kecil. Tidak ada
pengaturan makan khusus yang dianjurkan pada anak, tetapi pemberian makanan
yang mengandung banyak serat seperti buah, sayuran, dan sereal akan membantu
mencegah lonjakan kadar glukosa darah.
2.6.3 Olahraga
Olahraga sebaiknya menjadi bagian dari kehidupan setiap orang, baik
anak, remaja, maupun, dewasa; baik penderita DM atau bukan. Olahraga dapat
membantu menurunkan berat badan, mempertahankan berat badan ideal, dan
meningkatkan rasa percaya diri. Untuk penderita DM berolahraga dapat
membantu untuk menurunkan kadar gula darah, menimbulkan perasaan ‘sehat’
atau ‘well being’, dan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin, sehingga
mengurangi kebutuhan insulin.
Olahraga tidak memperbaiki kontrol metabolik, akan tetapi membantu
meningkatkan jati diri anak mempertahankan berat badan ideal, meningkatkan
kapasitas kerja jantung, mengurangi terjadinya komplikasi jangka panjang,
membantu kerja metabolisme tubuh sehingga dapat mengurangi kebutuhan
insulin.
Jenis olahraga disesuaikan dengan minat anak. Pada umumnya terdiri dari
pemanasan selama 10 menit, dilanjutkan 20 menit untuk latihan aerobic seperti
berjalan atau bersepeda. Olahraga harus dilakukan paling sedikit 3 kali seminggu
dan sebaiknya dilakukan pada waktu yang sama untuk memudahkan pemberian
insulin dan pengaturan makan. Lama dan intensitas olahraga disesuaikan dengan
toleransi anak.
16
Bagi penderita DM tipe-1 ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
sebelum, selama, dan setelah berolahraga. Ada beberapa penyesuaian diet, insulin,
dan cara monitoring gula darah agar aman berolahraga, antara lain:
a. Sebelum berolah raga
1. Tentukan waktu, lama, jenis, intensitas olahraga. Diskusikan dengan
pelatih/guru olah raga dan konsultasikan dengan dokter.
2. Asupan karbohidrat dalam 1-3 jam sebelum olahraga.
3. Cek kontrol metabolik, minimal 2 kali sebelum berolahraga.
4. Kalau Gula Darah (GD) <90 mg/dL dan cenderung turun,
tambahkan
ekstra karbohidrat.
5. Kalau GD 90-250 mg/dL, tidak diperlukan ekstra karbohidrat
(tergantung lama aktifitas dan respons individual).
6. Kalau GD >250 mg/dL dan keton urin/darah (+), tunda olah
raga sampai
GD normal dengan insulin.
7. Bila olah raga aerobik, perkirakan energi yang dikeluarkan
dan tentukan
apakah penyesuaian insulin atau tambahan
karbohidrat diperlukan.
8. Bila olah raga anaerobik atau olah raga saat panas, atau olahraga
kompetisi insulin dapat dinaikkan.
9. Pertimbangkan pemberian cairan untuk menjaga hidrasi (250
mL pada
20 menit sebelum olahraga).
b. Selama berolah raga
1. Monitor GD tiap 30 menit.
2. Teruskan asupan cairan (250 ml tiap 20-30 menit).
3. Konsumsi karbohidrat tiap 20-30 menit, bila diperlukan.
c. Setelah berolahraga
1. Monitor GD, termasuk sepanjang malam (terutama bila tidak biasa dengan
program olahraga yang sedang dijalani).
2. Pertimbangkan mengubah terapi insulin.
3. Pertimbangkan tambahan karbohidrat kerja lambat dalam 1-2 jam setelah
olahraga untuk menghindari hipoglikemia awitan lambat. Hipoglikemia
awitan lambat dapat terjadi dalam interval 2 x 24 jam setelah latihan.
17
Respons penderita DM tipe-1 terhadap suatu jenis olahraga sangat
individual, karena itu acuan di atas merupakan acuan umum. Seorang atlit
berpengalaman pun perlu waktu yang cukup lama, untuk mendapatkan pola
pengelolaan yang benar-benar sesuai untuk jenis olahraganya.
2.6.4. Edukasi
Penyuluhan dan tatalaksana merupakan bagian integral terapi. Diabetes
mellitus tipe 1 merupakan suatu life long disease. Keberhasilan untuk mencapai
normoglikemia sangat bergantung dari cara dan gaya hidup penderita/keluarga
atau dinamika keluarga sehingga pengendalian utama metabolik yang ideal
tergantung pada penderita sendiri. Kegiatan edukasi harus terus dilakukan oleh
semua pihak, meliputi pemahaman dan pengertian mengenai penyakit dan
komplikasinya serta memotivasi penderita dan keluarganya agar patuh berobat.
Edukasi pertama dilakukan selama perawatan di rumah sakit yang
meliputi: pengetahuan dasar mengenai DM Tipe 1 (terutama perbedaan mendasar
dengan DM tipe lainnya mengenai kebutuhan insulin), pengaturan makan, insulin
(jenis, dosis, cara penyuntikan, penyimpanan, efek samping dan pertolongan
pertama pada kedaruratan medik akibat DM tipe 1 (hipoglikemia, pemberian
insulin pada saat sakit).
Edukasi selanjutnya berlangsung selama konsultasi di poliklinik. Selain itu
penderita dan keluarganya diperkenalkan dengan sumber informasi yang banyak
terdapat di perpustakaan, media massa maupun internet.1
18
teratur pada saat awal perjalanan penyakit, pada setiap penggantan dosis insulin,
atau pada saat sakit.1
19
BAB 3
STATUS ORANG SAKIT
20
III. RIWAYAT KELAHIRAN PASIEN
Tanggal Lahir : 2 Januari 2003
Tempat Lahir : Beringin
Kelahiran : Pervaginam
BB Lahir : 2,8kg
Panjang : 49cm
Ditolong Oleh : Bidan
V. ANAMNESA MAKANAN
0-4 Bulan : Asi
5-6 Bulan : Susu Formula + Asi + Makan Bubur bayi
7-12 Bulan : Susu Formula + Bubur Nasi Tim
1 Tahun-Sekarang : Susu Formula + Nasi lembek
21
VII. PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA PASIEN
-
RPO :-
RPT :-
X. PEMERIKSAAN FISIK
1. STATUS PRESENT
KU/KP/KG : Baik/Baik/Baik
Sensorium : Compos Mentis
HR : 82 kali/menit
RR : 27 kali/menit
Temperature : 36,8 °C
BB Masuk : 35 kg
22
2. STATUS LOKALISATA
A. Kepala : Normochepali
Rambut : Hitam.
Mata : Conjungtiva Anemis (-/-),
Sklera Ikterik (-/-)
Hidung : Deviasi Septum (-/-),
Pernafasan Cuping Hidung (-/-)
Telinga : Secret (-/-), Nyeri Tekan Tragus(-/-)
C. Thoraks
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara pernafasan vesikuler (+/+), ST (-/-)
D. Abdomen
Inspeksi : Simetris, tidak tampak pembesaran abdomen
Palpasi : Soepel, Turgor kulit kembali cepat
Perkusi : Thympani
Auskultasi : Normoperistaltik
E. Eksremitas
Superior : Akral hangat, oedema (-)
Inferior : Akral hangat, oedema (-)
23
XI. STATUS NEUROLOGI
1. Syaraf Otak : Tidak dilakukan pemeriksaan
2. System Motorik : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pertumbuhan Gigi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Neuro Muskular : Tidak dilakukan pemeriksaan
Involunter Movement : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. Koordinasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Sensibilitas : Tidak dilakukan pemeriksaan
24
XIII. RESUME
Os datang ke Poli Anak RSUD Deli Serdang dengan keluhan pandangan
kabur di mata kanan dalam 1 bulan ini. Os juga mengeluhkan bahwa Os sering
kencing pada malam hari ± 5 kali, hal ini sudah dialami 6 bulan terakhir. Selain
itu, Os juga merasa sering haus dan banyak makan, penurunan berat badan serta
sering merasa cepat lelah hal ini juga telah dialami Os dalam 6 bulan terakhir. Os
juga mengatakan bahwa os sering mengantuk ketika setelah sarapan. Demam (-),
batuk (-), sesak (-), mual-muntah (-).
Vital sign: -Sens: Compos Mentis, -HR: 82kali/menit, -RR: 27kali/menit, -T:
36,8°C, BB: 37kg, Pemeriksaan fisik dalam batas normal, pemeriksaan lab:
Basofil: 1.7 %, Limfosit: 41.5 %, pemeriksaan HBA1C: >16, pemeriksaan
glukosa sewaktu: 535 mg/dL.
XVI. PENATALAKSANAAN
Lantus 1x20 unit (0-0-1)
XVII. PROGNOSA
dubia et bonam
XVIII. USUL/SARAN
1. Kontrol gaya hidup dan makanan secara ketat
2. Mengajarkan cara menyuntik insulin sendiri di rumah
3. Rajin Kontrol ulang
25
FOLLOW UP PASIEN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD DELI SERDANG
O : O :
Sens : compos mentis Sens : compos mentis
HR : 82kali/menit HR :84kali/menit
RR : 27kali/menit RR :28kali/menit
T :36,8°C T :37°C
BB : 35 kg BB : 42,9
KGD Sewaktu: 524 mg/dL
A : A :
Diabetes Mellitus tipe 1 Diabetes Mellitus tipe 1
P : P :
Lantus : 1x20 unit Lantus : 1x20 unit
(0-0-1) (0-0-1)
26
BAB 4
KESIMPULAN
27
DAFTAR PUSTAKA
28