Ramadhan
Bulan Ramadhan merupakan ajang bagi segenap kaum muslimin untuk menaklukkan hawa
nafsunya, baik yang berpusat pada perut (makan dan minum) maupun kemaluan (jima’ di siang
hari Ramadhan). Semuanya dilakukan dalam rangka meraih predikat dari Allah sebagai orang-
orang yang bertaqwa (lihat surat al-Baqarah: 183). Setelah waktu berbuka tiba, Allah kembali
menghalalkan apa yang sebelumnya Ia haramkan. Hal ini sebagaiman firman-Nya:
Berkaitan dengan ayat ini, Imam al-Baidlawi mengatakan, dahulu kaum Muslimin ketika
berbuka puasa dihalalkan makanan, minuman, dan jima’ hingga sampai akhir waktu isya atau
sampai sebelum tidur. Kemudian Umar bin al-Khattab menggauli istrinya selepas waktu isya.
Beliau pun menyesal, lalu datang menghadap Rasulallah saw mengadu tentang perbuatan yang
telah ia lakukan. Bersamaan dengan itu, para Sahabat lainnya juga mengutarakan hal yang
sama. Sebagai respon atas hal ini dan kemurahan dari Allah swt, kemudian ayat ini diturunkan
(lihat Tafsir al Baidlowi, I: 126. Lihat juga Tafsir Ibn Katsir, I: 375). Pendapat ini sejalan dengan
riwayat:
ي البَ َرا ََّء عن ََّ ض َّ ُل لَما َعن َّه
ِ ّللاُ َر ََّ َصو َُّم نَز
َ ان ََّ ضَ ون ال َكانُوا َر َم ََّ ُسا ََّء يَق َربَ ِان الن
ََّ ضَ َر َم
ُان ُكل َّه َ ُل أَنف
ََّ ُس ُهمَّ يَ ُخون
ََّ ون ِر َجالَّ َو َك ََّ َّللاُ فَأَنز َّ َّون ُكنتُمَّ أَن ُكم
َّ ّللاُ َع ِل ََّم ََّ ُس ُكمَّ تَختَان َ ُاب أَنف
ََّ َ فَت
ََّعن ُكمَّ َو َعفَا َعلَي ُكم
“Dari al-Barra’ ra; Tatkala Allah menurunkan perintah puasa Ramadhan, para laki-laki sama
sekali tidak mendekati (menggauli) perempuan selama Ramadhan, namun mereka
mengkhianati diri mereka sendiri (dengan menggauli istri mereka). Kemudian Allah
menurunkan ayat ‘Allah mengetahui, bahwa kamu mengkhianati (tidak dapat menahan) dirimu
sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu (surat al-Baqarah: 187)’ (H.R. al-
Bukhari no 4508).”
Lalu bagaimana dengan jima’ yang dilakukan di siang hari, bahkan berulang-ulang? Berikut
bahasannya.
Perlu diingat dan betul difahami, jima’ di siang hari saat puasa (Ramadhan) adalah pembatal
yang paling fatal. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah:
َّي ُه َري َرَّة َ أ َ ِبي َعن ََّ ض َّ ُل َعن َّه
ِ ّللاُ َر ََّ ل ِإلَى َر ُجلَّ َجا ََّء قَا َِّ سو ُ ّللاِ َر َّ صلى َ ُّللا َّ سل ََّم َعلَي َِّه َ َو
َُّ ل َهلَك
ََّ ت فَقَا
ل ََّ اك َو َما فَقَا ََّ َل ذ ََّ ت قَاَُّ ان فِي بِأَه ِلي َوقَع ََّ ض َ ل َر َم ََّ ل َرقَبَةَّ ت َ ِج َّدُ قَا ََّ ل ال قَا ََّ قَا
َّوم أَنَّ تَست َ ِطي َُّع فَ َهل ََّ ص ُ َن ت َِّ ن شَه َري َِّ ل ُمتَتَابِعَي ََّ ل ال قَا ََّ ين تُط ِع ََّم أَنَّ فَتَست َ ِطي َُّع قَا ََّ ِل ِمس ِكينا ِست ََّ قَا
ل ال ََّ ار ِمنَّ َر ُجلَّ فَ َجا ََّء قَا َِّ ص َ ق ِب َع َرقَّ األَن َُّ ل َوال َع َر َُّ َ ال تَمرَّ فِي َِّه ال ِمكت ََّ َِب َهذَا اذهَبَّ فَق
َّصدق َ َ ل ِب َِّه فَت ََّ ج َعلَى قَا ََّ ل يَا ِمنا أَح َو ََّ سوُ ّللاِ َر َّ ك َوالذِي ََّ َ ق بَ َعث َِّ ح
ََّ ن َما ِبال ََّ ل البَتَي َها بَي َُّ بَيتَّ أَه
َُّ ل ِمنا أَح َو
ج ََّ ك فَأَط ِعم َّهُ اذهَبَّ قَا ََّ َأَهل
“Dari Abu Hurairah ra, ia berkata; Seorang laki-laki mendatangi Rasulallah saw kemudian
berkata, ‘Celakalah aku!.’ Rasulallah saw bertanya: ‘Apa gerangan?’ Laki-laki tersebut
menjawab: ‘Aku menggauli istriku ketika (siang hari) Ramadhan.’ Rasul saw bertanya: ‘Apakah
engkau mampu memerdekakan seorang budak wanita?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Rasul saw
kembali bertanya: ‘Apakah engkau sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Ia menjawab:
‘Tidak.’ Rasul saw bertanya lagi: ‘Apakah engkau sanggup memberi makan enam puluh orang
miskin?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Abu Hurairah menuturkan, kemudian datang seorang Sahabat
Anshar membawa satu keranjang kurma (diberikan kepada Rasulallah saw). Setelah itu Rasul
saw bersabda: ‘Bawalah ini dan bersedekahlah dengannya.’ Lelaki tersebut menjawab: ‘Kepada
yang lebih butuh dari kami, wahai Rasulallah? Demi Dzat Yang Mengutusmu dengan kebenaran,
tidak ada diantara penduduk Madinah yang lebih membutuhkan (makanan) dari pada kami.
Rasulallah saw menjawa: ‘Pergilah, dan beri makan keluargamu dengan kurma ini.’ (H.R. al-
Bukhari no. 2600 dan Muslim no. 1111).”
Berkaitan dengan hadits ini, Imam Ibnu Qudamah berkata, kami tidak mengetahui adanya
perselisihan para ulama tentang batalnya puasa orang yang menggauli istri pada kemaluannya
baik menyebabkan keluar mani atau tidak, atau menggauli tidak pada kemaluannya kemudian
mengeluarkan mani dan hal ini membatalkan puasa (wajib kafarat) jika dilakukan dengan
sengaja sebagaimana ditunjukkan oleh banyak riwayat yang sahih (lihat al-Mughni, IV: 372).
Lalu bagaimana halnya jika jima’ dilakukan berulang kali? Terkait dengan hal ini ada beberapa
keadaan.
Pertama, jika jima’ dilakukan berulang-ulang pada satu hari, maka ia hanya wajib membayar
kafarat untuk hari itu. Sebab hubungan intim yang kedua pelakunya tidak dianggap sedang
berpuasa.
Kedua, jika jima’ dilakukan berulang-ulang pada hari yang berbeda, terdapat dua pendapat
ulama dalam hal ini. Imam Muhammad bin al-Hasan, az-Zuhri, al-Auza’i, dan pendapat yang
lemah dari madzhab Hanbali mengatakan, cukup menunaikan satu kafarat saja; sebab jima’ di
siang yang dilakukan berulang-ulang pada puasa Ramadhan adalah perkara jinayah -
sebagaimana halnya hudud- dan pelakunya belum mendapatkan hukuman. Sedangkan ulama
madzhab Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali menegaskan bahwa satu kafarat tidak mencukupi.
Bahkan ia harus menunaikan kafarat terhadap jumlah hari yang ia rusak dengan jima’.
Alasannya adalah, ibadah puasa tidak menyatu dalam hal hari-harinya; masing-masing hari
puasa berdiri sendiri sehingga tidak dapat dianggap sebagai jarimah tunggal seperti halnya
ketika seseorang melaksanakan dua haji dan dua umrah (sama dalam hal waktu, dimana dua
haji dan dua umrah dilaksanakan dalam waktu yang berbeda –pent). Dan ini adalah pendapat
yang benar. Sehingga orang yang berjima’ berulang kali pada hari yang berbeda wajib
menunaikan kafarat terhadap hari puasa Ranadhan yang ia rusak dengan perbuatan jima’ (lihat
al-Majmu’, VI: 239-240 dan fatwa asy-Syabakah al-Islamiyyah no. 6733)..
Kesimpulannya, orang yang melakukan jima’ di siang hari saat puasa Ramadhan menimbulkan
konsekuensi sebagai berikut:
Pertama, pelakunya mendapat dosa, dan menjadi lebih berbahaya jika dilakukan di bulan
Ramadhan.
Ketiga, wajib menahan diri (al-imsak) dari makan, minum, dan juga jima’ kemudian mengqadla
puasa yang rusak di hari yang lain.
Adapun jika seseorang melaksanakan puasa puasa wajib selain Ramadhan -seperti puasa
kafarat, qadla, dan selainnya- maka ia mendapatkan dosa dan wajib menggantinya di hari yang
lain tanpa disertai dengan kafarat. Sedangkan orang yang melakukan puasa sunnah kemudian
membatalkannya dengan jima’ maka tidak menimbulkan konsekuesi apapun.
Jima’ merupakan pembatal puasa yang paling berat dan sudah seharusnya setiap muslim
menaruh perhatian yang serius tentang hal ini. Hindarkan diri -terutama bagi yang memiliki
syahwat menggebu-gebu- dari sebab yang bisa mengarah kepada hubungan intim suami istri
ketika puasa wajib dan atau Ramadhan. Caranya bisa dengan menyibukkan diri di masjid atau
melakukan amal shaleh lainnya. Pun Allah swt telah menjadikan malam ketika puasa sebagai
waktu yang lapang bagi suami dan istri untuk menunaikan hajatnya secara syar’i.
Tips Menyelesaikan Masalah ala Aisyah R.a
Ummul Mukninin ‘Aisyah tumbuh besar di rumah Rasulullah nan suci. Hal ini sungguh
merupakan anugerah yang sangat besar, karena setiap orang yang dididik langsung oleh
Rasulullah pada dasarnya akan menjadi guru dan sekolah yang fenomenal.
Inilah yang benar-benar terjadi pada diri ibunda kita, ‘Aisyah. Nalar dan pemikirannya dipenuhi
dengan konsepsi-konsepsi Islam. Tingkah laku dan sikap ‘Aisyah merupakan bentuk praktis dan
implementasi dari konsep-konsep Islam. Maka tidak masuk akal jika ‘Aisyah melakukan suatu
perbuatan yang menyalahi pemikiran, konsepsi dan tingkah laku yang sudah mendarah daging
pada diri dan akalnya.
Sikap seperti ini bukan hanya ada pada diri ‘Aisyah saja, melainkan adalah corak tingkah laku
yang ada pada diri sahabat Rasul secara umum. Di situ ditemukan adanya keharmonisan luar
biasa antara pikiran dan tingkah laku, yang jarang sekali bertolak belakang dengan Al Quran.
‘Aisyah yang suci -putri dari sahabat Nabi yang jujur- ditimpa musibah paling besar yang
mungkin menimpa perempuan bermartabat sepertinya. Ia dituduh berbuat zina. Alangkah
berat ujian yang ia terima. Tuduhan itu tidak hanya beredar di kalangan terbatas keluarga dan
sahabat dekat, tetapi beredar ke masyarakat dan dibumbui dengan sejumlah propaganda yang
licik.
Istri seorang Rasul yang sangat disegani sekaligus dicinta oleh ummat dituduh telah melakukan
zina. Zina yang dipandang sebagai aib dan dosa besar bagi setiap perempuan, terlebih jika
dilakukan oleh istri Nabi, maka hal tersebut sungguh menjadi suatu masalah dan ujian yang
berat bagi ‘Aisyah. Hanya orang dengan kepribadian matang, tangguh dan cerdas seperti
‘Aisyah yang dapat menanggung ujian tersebut dan mampu menemukan solusi sehingga dapat
melewati cobaan dengan baik.
Apa yang dilakukan ‘Aisyah menghadapi persoalan rumit ini? Bagaimana dia menghadapi,
melawan, dan mengalahkannya?
Tentu wanita muslimah di jaman sekarang pun dapat mengambil hikmah, meneladani sikap dan
tindakan ‘Aisyah ketika menghadapi masalah dan ujian yang dihadapinya.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang sikap dan cara-cara ‘Aisyah dalam menyelesaikan
masalah, ada baiknya mengulas sedikit mengenai definisi masalah.
Manusia hidup tentu akan bertemu dengan masalah. Hal tersebut seperti bagian dari skenario
َّ َ baik untuk pembelajaran maupun untuk menunjukkan tanda-tanda
yang ditentukan ُّللا
kebesaran dan kekuasaan-Nya.
Masalah dapat didefinisikan sebagai perasaan atau kesadaran tentang adanya suatu kesulitan
yang harus dilewati untuk mencapai tujuan. Masalah juga dapat diartikan sebagai kondisi disaat
kita berbenturan dengan realitas yang tidak diinginkan.
Tanpa sadar kadang masalah yang datang dapat menyita pikiran kita. Disinilah diperlukan sikap
dan pengetahuan agar dapat menghadapi masalah dan menemukan solusi yang tepat dan
tentunya tidak semakin menjerumuskan kepada masalah lain. Dan yang lebih utama,
bagaimana bersikap dan bertindak menghadapi masalah sesuai dengan petunjuk yang diberikan
Allah.
Terkadang untuk menyelesaikan masalah butuh waktu, namun terkadang masalah dapat selesai
dengan cepat. Bagaimanakah ibunda ‘Aisyah menghadapi persoalannya kala itu?
Persoalan yang dihadapi ‘Aisyah adalah berita bohong. Para kaum munafik menyebarluaskan
isu tentang kasus perzinaan ‘Aisyah dengan Shafwan bin Mu’aththal. Ketika pulang dari sebuah
peperangan, ‘Aisyah terlambat dari rombongan. Ia pulang diantar Shafwan dan menaiki
untanya. Setelah itu isu tentang perzinaan ini pun menyebar luas, laksana api yang dengan
cepat membakar rerumputan kering.
Persoalan ‘Aisyah kala itu ada dua hal, pertama, ‘Aisyah mendapati dirinya sendirian karena
sudah ditinggal rombongan pasukan. Kedua, ketika isu ini beredar di luar, ia tidak mengetahui
bahkan tidak terlintas di dalam pikirannya sama sekali. Lantas apakah yang dilakukan ‘Aisyah
untuk menghadapi dua persoalan tersebut?
Harus diketahui bahwa sebuah persoalan tidak akan berarti jika orang yang tertimpa atau
memiliki hubungan dengan persoalan tersebut tidak menyadarinya. Begitu pun dengan ‘Aisyah,
ia sadar betul akan adanya masalah yang sedang dihadapi. Ketika kembali dari mencari kalung
yang hilang dan mendapati rombongan pasukan sudah pergi meninggalkannya, ‘Aisyah sadar
kalau ia sedang dalam masalah. Ini persoalan pertama.
Sedangkan terhadap persoalan kedua, dimana ia dituduh melakukan zina, ‘Aisyah segera
merasa kalau sedang ada masalah ketika diberitahu Ummu Misthah tentang isu yang sedang
beredar di masyarakat. Pada awalnya ‘Aisyah tidak merasakan hal itu. Maka ia heran atas
celaan Ummu Misthah terhadap anaknya, dan ia pun membelanya karena Misthah termasuk
salah satu sahabat yang ikut dalam perang badar.
“Maka hanya bersabar itulah yang terbaik (buatku). Dan kepada Allah saja memohon
pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan. (Yusuf [12]:18)
Ketegaran hati yang dimiliki ‘Aisyah tercermin dengan selalu memohon perlindungan Allah
melalui doa, shalat, zikir, berbaik sangka kepada Allah dan umat muslim yang terkait dengan isu
tentang dirinya, serta mengharap datangnya kebaikan. Sisi keimanan secara umum juga sangat
berpengaruh dalam hal ini, sehingga keimanan harus tetap dijaga pada setiap fase penyelesaian
masalah.
Semua inilah yang dilakukan oleh ‘Aisyah. Meskipun isu-isu itu mampu membuat ‘Aisyah
terpukul, tapi ia tetap tidak kehilangan akal sehat.
Terhadap persoalan pertama, ‘Aisyah menyimpulkan kalau rombongan pasukan memang sudah
meninggalkannya, dan ia tertinggal sendirian. Hal ini membuat ‘Aisyah mengkhawatirkan diri
sendiri kalau sampai meninggal dunia, mendapat musibah, atau mengalami tindak kekerasan.
Sedangkan terhadap persoalan kedua, ‘Aisyah sudah menyimpulkan dan mengetahuinya. Isu
yang beredar saat itu adalah ia dituduh berbuat zina. ‘Aisyah sudah memikirkan tuduhan
tersebut dan konsekuensi yang mungkin timbul karenanya.
Memikirkan Solusi
‘Aisyah memikirkan solusi yang mungkin berguna untuk menyelesaikan persoalannya. Yang
terbersit dalam benak ‘Aisyah waktu itu adalah sejumlah hal berikut:
1.Menyusul rombongan pasukan. Tapi ia tidak memiliki kendaraan, sedang malam sudah gelap
dan ia pun rasanya tidak mungkin berjalan sendirian
4.Menunggu di tempat semula dengan harapan rombongan pasukan atau sebagian mereka
akan kembali lagi ke tempat itu. Sebab apabila rombongan tahu kalau ia tidak ada, tentu
mereka akan segera kembali ke tempat semula untuk mencari.
5.Mencari seseorang yang mungkin tertinggal dari rombongan seperti yang ia alami, atau
menunggu seseorang yang mengikuti rombongan pasukan dari jauh.
Sedangkan terhadap persoalan kedua, yang terbersit pada benak ‘Aisyah adalah;
1.Membela diri
2.Menyerahkan hal itu kepada Rasul, sementara ia tetap berada di rumahnya. Namun
sepertinya ‘Aisyah melihat kalau Rasulullah terpengaruh dengan isu tersebut, di samping isunya
sudah menyebar luas di masyarakat
3.Pulang ke rumah bapak ibunya, bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah
Solusi
‘Aisyah memilih untuk tetap berada di tempat semula dengan harapan rombongan pasukan
atau sebagian dari mereka kembali lagi untuk menjemput. Benar saja, Shafwan datang. Waktu
itu, ‘Aisyah menyangka kalau Shafwan memang diutus rombongan untuk menjemputnya. Oleh
karena itu, ‘Aisyah langsung menaiki unta Shafwan tanpa berbicara sedikit pun. Dan karena
anggapan seperti ini juga, ‘Aisyah tidak pernah terbetik dalam pikirannya bakal ada isu-isu
miring tentang dirinya. Sebab ia menyangka bahwa Shafwan memang diutus rombongan untuk
mencari dan membawanya menyusul rombongan.
Sedangkan mengenai masalah tuduhan zina, ‘Aisyah meminta izin kepada Rasulullah untuk
pulang ke rumah keluarganya. Sebab persoalan ini butuh kejelasan lebih lanjut selagi belum
turun wahyu yang menjelaskannya. Selain itu, menghadapi persoalan semacam ini juga butuh
kepala dingin agar bisa berpikir tenang. Kepulangan ‘Aisyah ke rumah orangtuanya
mengandung banyak himah dan kecerdikan. Oleh karena itu, Rasul pun segera memenuhi
keinginan ‘Aisyah tersebut.
Etika Melakukan Hubungan Seksual dalam Islam
Islam sebagai agama yang mengatur tata hidup penganutnya banyak menyinggung masalah
keluarga. Islam juga mengakui nilai-nilai seks dan menganjurkan pernikahan. Nikah adalah
faktor yang paling kuat dan benteng yang paling kokoh untuk menjaga dan menyelamatkan diri
bagi umat manusia dari ketergelinciran ke lembah dosa dan jurang kehinaan (zina). Sejarah
telah mengatakan bahwa Nabi saw telah mengeskpresikan pernikahan sebagai naluri alamiah
yang sepatutnya dilakukan oleh setiap individu Muslim sebagai bukti kemanusiaan mereka
kepada agama.[1] Seperti disebutkan dalam sebuah hadis, bahwa Nabi s.a.w, bersabda [2]:
َ ال ِقيَا َم َِّة يَو ََّم األ ُ َم ََّم بِ ُك َُّم ُمكَاثِرَّ فَإنِي تَنَا
سلُوا تَنَا َك ُحوا
”Menikahlah kalian dan beranak cuculah. Karena sesungguhnya aku akan membanggakan
banyaknya jumlah kalian di antara sekian banyak ummat”.
Allah SWT menjadikan pernikahan sebagai karunia dan anugrah bagi hamba-hamban-Nya yang
beriman agar terhindar dari godaan setan yang terkutuk. Namun pernikahan ini bukan sekedar
legalisasi penyaluran kebutuhan biologis dengan lawan jenis. Lebih dari itu menikah adalah
masalah kehormatan agama. Al-Qur’an menyebut pernikahan sebagai mitsaqan ghaliza[3]
(perjanjian yang sangat berat) dihadapan Allah. Seperti disebutkan dalam sebuah hadis, sebagai
berikut :
“Barang siapa yang telah menikah, maka ia sungguh telah menyempurnakan separuh
agamanya, maka takutlah kepada Allah dalam separuh (hal urusan agama) yang kedua itu”.[4]
Hadis sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an telah mengalami perjalanan yang
cukup panjang bukan hanya dalam kondifikasi dan penelitian validitasnya saja, tetapi juga
berkembang pada pemaknaan yang tepat untuk sebuah matan hadis yang dapat dibuktikan
keuniversalan ajaran Islam.
Perkembangan pemahaman hadis Nabi saw baik dalam pemahaman materi maupun di dalam
pembentukan kerangka metodologinya harus diakui masih kalah pesat dibandingkan dengan
penafsiran terhadap al-Qur’an. Hal ini dapat dimaklumi karena hadis memiliki permasalahan
yang lebih kompleks dibandingkan dengan al-Qur’an yang telah diakui validitasnya oleh umat
Islam.[5]
Pemahaman hadis merupakan problematika tersendiri dalam diskursus kritik hadis yang
menyangkut otetisitasnya, yang senantiasa menjadi objek yang menarik bagi para pengkaji
hadis, baik itu dikalangan umat Islan sendiri maupun kalangan non Islam (Orientalis). Apalagi
banyak hadis yang dipertanyakan validitasnya, baik itu dari segi sanad ataupun matan.
Pemahaman hadis – fahmu al-hadis, menurut Syuhudi Ismail merupakan sebuah usaha untuk
memahami matan hadis secara tepat dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan
dengannya. Indikasi-indikasi yang meliputi matan hadis akan memberikan kejelasan dalam
pemaknaan hadis, apakah hadis akan dimaknai tekstual atau kontekstual. Pemahaman akan
kandungan hadis apakah suatu hadis termasuk kategori temporal, lokal, universal juga
mendukung pemaknaan yang tepat terhadap hadis.[6]
Hal ini disebabkan karena tidak seluruhnya hadis diriwayatkan secara mutawattir, dan tidak
sedikit hadis yang diriwayatkan secara ahad, yang memerlukan penelitian lebih lanjut.[7]
Kenyataan ini merupakan kenyataan sejarah yang tak terbantahkan, bahwa dari sekian banyak
hadis tidak seluruhnya ditulis pada masa Nabi.[8] Dan pasca Nabi, tepatnya pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib terjadi imitasisasi hadis. Ini dipicu oleh adanya kepentingan
politik antara Ali bin Abi Thalih dengan Mu’awiyah bin Sofyan, kemudian merambah pada
kepentingan ekonomi, yang menyebabkan tercemarnya otentisitas hadis Nabi.[9]
Kemungkinan lain adalah proses penghimpunan hadis yang memakan waktu lama, yang terjadi
sekitar pertengahan abad ke 2 H yang ditandai dengan karya-karya himpunan hadis dibeberapa
kota seperti Makkah, Madinah, dan Basrah. Hal ini terjadi sampai abad ke 3 H.[10]
terasa hancur lebur jiwaku mendengar pernyataan ini yang langsung ku dengar dari bibir mungil
putri bungsu beliau , saat itu jam istirahat , aku bertujuan hendak ke kamar kecil, tetapi aku
melihat putri kecil itu duduk seorang diri di salah satu tangga daruzzahro sambil memegang
perut ,
maka aku pun menghampirinya dan bertanya
"ada apa denganmu wahai putri mulia "