Anda di halaman 1dari 13

Berhubungan Intim Berulang Kali di Siang Hari Bulan

Ramadhan

Bulan Ramadhan merupakan ajang bagi segenap kaum muslimin untuk menaklukkan hawa
nafsunya, baik yang berpusat pada perut (makan dan minum) maupun kemaluan (jima’ di siang
hari Ramadhan). Semuanya dilakukan dalam rangka meraih predikat dari Allah sebagai orang-
orang yang bertaqwa (lihat surat al-Baqarah: 183). Setelah waktu berbuka tiba, Allah kembali
menghalalkan apa yang sebelumnya Ia haramkan. Hal ini sebagaiman firman-Nya:

َّ‫يام لَيلَ َّةَ لَ َُّكمَّ أ ُ ِحل‬


َِّ ‫الص‬
ِ ‫ث‬ َُّ َ‫ّللاُ َع ِل ََّم لَ ُهنَّ ِلباسَّ َوأَنتُمَّ لَ ُكمَّ ِلباسَّ ُهنَّ ِنسا ِئ ُكمَّ ِإلى الرف‬
َّ َّ‫ُكنتُمَّ أَن ُكم‬
ََّ ُ‫س ُكمَّ تَختان‬
‫ون‬ َ ُ‫تاب أَنف‬
ََّ َ‫ن َعن ُكمَّ َو َعفا َعلَي ُكمَّ ف‬
ََّ ‫ب َما َوابتَغُوا بَا ِش ُرو ُهنَّ فَاْل‬ َّ َّ‫لَ ُكم‬
ََّ َ ‫ّللاُ َكت‬
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian
bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui, bahwa kamu tidak dapat
menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka sekarang
campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (Q.S. al-Baqarah, II:
187).”

Berkaitan dengan ayat ini, Imam al-Baidlawi mengatakan, dahulu kaum Muslimin ketika
berbuka puasa dihalalkan makanan, minuman, dan jima’ hingga sampai akhir waktu isya atau
sampai sebelum tidur. Kemudian Umar bin al-Khattab menggauli istrinya selepas waktu isya.

Beliau pun menyesal, lalu datang menghadap Rasulallah saw mengadu tentang perbuatan yang
telah ia lakukan. Bersamaan dengan itu, para Sahabat lainnya juga mengutarakan hal yang
sama. Sebagai respon atas hal ini dan kemurahan dari Allah swt, kemudian ayat ini diturunkan
(lihat Tafsir al Baidlowi, I: 126. Lihat juga Tafsir Ibn Katsir, I: 375). Pendapat ini sejalan dengan
riwayat:

‫ي البَ َرا ََّء عن‬ ََّ ‫ض‬ َّ ُ‫ل لَما َعن َّه‬
ِ ‫ّللاُ َر‬ ََّ َ‫صو َُّم نَز‬
َ ‫ان‬ ََّ ‫ض‬َ ‫ون ال َكانُوا َر َم‬ ََّ ُ‫سا ََّء يَق َرب‬َ ِ‫ان الن‬
ََّ ‫ض‬َ ‫َر َم‬
ُ‫ان ُكل َّه‬ َ ُ‫ل أَنف‬
ََّ ُ‫س ُهمَّ يَ ُخون‬
ََّ ‫ون ِر َجالَّ َو َك‬ ََّ َ‫ّللاُ فَأَنز‬ َّ َّ‫ون ُكنتُمَّ أَن ُكم‬
َّ ‫ّللاُ َع ِل ََّم‬ ََّ ُ‫س ُكمَّ تَختَان‬ َ ُ‫اب أَنف‬
ََّ َ ‫فَت‬
َّ‫َعن ُكمَّ َو َعفَا َعلَي ُكم‬
“Dari al-Barra’ ra; Tatkala Allah menurunkan perintah puasa Ramadhan, para laki-laki sama
sekali tidak mendekati (menggauli) perempuan selama Ramadhan, namun mereka
mengkhianati diri mereka sendiri (dengan menggauli istri mereka). Kemudian Allah
menurunkan ayat ‘Allah mengetahui, bahwa kamu mengkhianati (tidak dapat menahan) dirimu
sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu (surat al-Baqarah: 187)’ (H.R. al-
Bukhari no 4508).”

Lalu bagaimana dengan jima’ yang dilakukan di siang hari, bahkan berulang-ulang? Berikut
bahasannya.
Perlu diingat dan betul difahami, jima’ di siang hari saat puasa (Ramadhan) adalah pembatal
yang paling fatal. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah:

َّ‫ي ُه َري َرَّة َ أ َ ِبي َعن‬ ََّ ‫ض‬ َّ ُ‫ل َعن َّه‬
ِ ‫ّللاُ َر‬ ََّ ‫ل ِإلَى َر ُجلَّ َجا ََّء قَا‬ َِّ ‫سو‬ ُ ‫ّللاِ َر‬ َّ ‫صلى‬ َ ُ‫ّللا‬ َّ ‫سل ََّم َعلَي َِّه‬ َ ‫َو‬
َُّ ‫ل َهلَك‬
ََّ ‫ت فَقَا‬
‫ل‬ ََّ ‫اك َو َما فَقَا‬ ََّ َ‫ل ذ‬ ََّ ‫ت قَا‬َُّ ‫ان فِي بِأَه ِلي َوقَع‬ ََّ ‫ض‬ َ ‫ل َر َم‬ ََّ ‫ل َرقَبَةَّ ت َ ِج َّدُ قَا‬ ََّ ‫ل ال قَا‬ ََّ ‫قَا‬
َّ‫وم أَنَّ تَست َ ِطي َُّع فَ َهل‬ ََّ ‫ص‬ ُ َ‫ن ت‬ َِّ ‫ن شَه َري‬ َِّ ‫ل ُمتَتَابِعَي‬ ََّ ‫ل ال قَا‬ ََّ ‫ين تُط ِع ََّم أَنَّ فَتَست َ ِطي َُّع قَا‬ ََّ ِ‫ل ِمس ِكينا ِست‬ ََّ ‫قَا‬
‫ل ال‬ ََّ ‫ار ِمنَّ َر ُجلَّ فَ َجا ََّء قَا‬ َِّ ‫ص‬ َ ‫ق ِب َع َرقَّ األَن‬ َُّ ‫ل َوال َع َر‬ َُّ َ ‫ال تَمرَّ فِي َِّه ال ِمكت‬ ََّ َ‫ِب َهذَا اذهَبَّ فَق‬
َّ‫صدق‬ َ َ ‫ل ِب َِّه فَت‬ ََّ ‫ج َعلَى قَا‬ ََّ ‫ل يَا ِمنا أَح َو‬ ََّ ‫سو‬ُ ‫ّللاِ َر‬ َّ ‫ك َوالذِي‬ ََّ َ ‫ق بَ َعث‬ َِّ ‫ح‬
ََّ ‫ن َما ِبال‬ ََّ ‫ل البَتَي َها بَي‬ َُّ ‫بَيتَّ أَه‬
َُّ ‫ل ِمنا أَح َو‬
‫ج‬ ََّ ‫ك فَأَط ِعم َّهُ اذهَبَّ قَا‬ ََّ َ‫أَهل‬
“Dari Abu Hurairah ra, ia berkata; Seorang laki-laki mendatangi Rasulallah saw kemudian
berkata, ‘Celakalah aku!.’ Rasulallah saw bertanya: ‘Apa gerangan?’ Laki-laki tersebut
menjawab: ‘Aku menggauli istriku ketika (siang hari) Ramadhan.’ Rasul saw bertanya: ‘Apakah
engkau mampu memerdekakan seorang budak wanita?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Rasul saw
kembali bertanya: ‘Apakah engkau sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Ia menjawab:
‘Tidak.’ Rasul saw bertanya lagi: ‘Apakah engkau sanggup memberi makan enam puluh orang
miskin?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Abu Hurairah menuturkan, kemudian datang seorang Sahabat
Anshar membawa satu keranjang kurma (diberikan kepada Rasulallah saw). Setelah itu Rasul
saw bersabda: ‘Bawalah ini dan bersedekahlah dengannya.’ Lelaki tersebut menjawab: ‘Kepada
yang lebih butuh dari kami, wahai Rasulallah? Demi Dzat Yang Mengutusmu dengan kebenaran,
tidak ada diantara penduduk Madinah yang lebih membutuhkan (makanan) dari pada kami.
Rasulallah saw menjawa: ‘Pergilah, dan beri makan keluargamu dengan kurma ini.’ (H.R. al-
Bukhari no. 2600 dan Muslim no. 1111).”

Berkaitan dengan hadits ini, Imam Ibnu Qudamah berkata, kami tidak mengetahui adanya
perselisihan para ulama tentang batalnya puasa orang yang menggauli istri pada kemaluannya
baik menyebabkan keluar mani atau tidak, atau menggauli tidak pada kemaluannya kemudian
mengeluarkan mani dan hal ini membatalkan puasa (wajib kafarat) jika dilakukan dengan
sengaja sebagaimana ditunjukkan oleh banyak riwayat yang sahih (lihat al-Mughni, IV: 372).

Lalu bagaimana halnya jika jima’ dilakukan berulang kali? Terkait dengan hal ini ada beberapa
keadaan.

Pertama, jika jima’ dilakukan berulang-ulang pada satu hari, maka ia hanya wajib membayar
kafarat untuk hari itu. Sebab hubungan intim yang kedua pelakunya tidak dianggap sedang
berpuasa.

Kedua, jika jima’ dilakukan berulang-ulang pada hari yang berbeda, terdapat dua pendapat
ulama dalam hal ini. Imam Muhammad bin al-Hasan, az-Zuhri, al-Auza’i, dan pendapat yang
lemah dari madzhab Hanbali mengatakan, cukup menunaikan satu kafarat saja; sebab jima’ di
siang yang dilakukan berulang-ulang pada puasa Ramadhan adalah perkara jinayah -
sebagaimana halnya hudud- dan pelakunya belum mendapatkan hukuman. Sedangkan ulama
madzhab Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali menegaskan bahwa satu kafarat tidak mencukupi.
Bahkan ia harus menunaikan kafarat terhadap jumlah hari yang ia rusak dengan jima’.
Alasannya adalah, ibadah puasa tidak menyatu dalam hal hari-harinya; masing-masing hari
puasa berdiri sendiri sehingga tidak dapat dianggap sebagai jarimah tunggal seperti halnya
ketika seseorang melaksanakan dua haji dan dua umrah (sama dalam hal waktu, dimana dua
haji dan dua umrah dilaksanakan dalam waktu yang berbeda –pent). Dan ini adalah pendapat
yang benar. Sehingga orang yang berjima’ berulang kali pada hari yang berbeda wajib
menunaikan kafarat terhadap hari puasa Ranadhan yang ia rusak dengan perbuatan jima’ (lihat
al-Majmu’, VI: 239-240 dan fatwa asy-Syabakah al-Islamiyyah no. 6733)..

Kesimpulannya, orang yang melakukan jima’ di siang hari saat puasa Ramadhan menimbulkan
konsekuensi sebagai berikut:

Pertama, pelakunya mendapat dosa, dan menjadi lebih berbahaya jika dilakukan di bulan
Ramadhan.

Kedua, puasa yang dilakukan rusak/batal.

Ketiga, wajib menahan diri (al-imsak) dari makan, minum, dan juga jima’ kemudian mengqadla
puasa yang rusak di hari yang lain.

Keempat, membayar kafarat; memerdekakan budak perempuan. Jika tidak mendapatkannya,


maka puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin jika ia tidak
sanggup berpuasa.

Adapun jika seseorang melaksanakan puasa puasa wajib selain Ramadhan -seperti puasa
kafarat, qadla, dan selainnya- maka ia mendapatkan dosa dan wajib menggantinya di hari yang
lain tanpa disertai dengan kafarat. Sedangkan orang yang melakukan puasa sunnah kemudian
membatalkannya dengan jima’ maka tidak menimbulkan konsekuesi apapun.

Jima’ merupakan pembatal puasa yang paling berat dan sudah seharusnya setiap muslim
menaruh perhatian yang serius tentang hal ini. Hindarkan diri -terutama bagi yang memiliki
syahwat menggebu-gebu- dari sebab yang bisa mengarah kepada hubungan intim suami istri
ketika puasa wajib dan atau Ramadhan. Caranya bisa dengan menyibukkan diri di masjid atau
melakukan amal shaleh lainnya. Pun Allah swt telah menjadikan malam ketika puasa sebagai
waktu yang lapang bagi suami dan istri untuk menunaikan hajatnya secara syar’i.
Tips Menyelesaikan Masalah ala Aisyah R.a

Ummul Mukninin ‘Aisyah tumbuh besar di rumah Rasulullah nan suci. Hal ini sungguh
merupakan anugerah yang sangat besar, karena setiap orang yang dididik langsung oleh
Rasulullah pada dasarnya akan menjadi guru dan sekolah yang fenomenal.

Inilah yang benar-benar terjadi pada diri ibunda kita, ‘Aisyah. Nalar dan pemikirannya dipenuhi
dengan konsepsi-konsepsi Islam. Tingkah laku dan sikap ‘Aisyah merupakan bentuk praktis dan
implementasi dari konsep-konsep Islam. Maka tidak masuk akal jika ‘Aisyah melakukan suatu
perbuatan yang menyalahi pemikiran, konsepsi dan tingkah laku yang sudah mendarah daging
pada diri dan akalnya.

Sikap seperti ini bukan hanya ada pada diri ‘Aisyah saja, melainkan adalah corak tingkah laku
yang ada pada diri sahabat Rasul secara umum. Di situ ditemukan adanya keharmonisan luar
biasa antara pikiran dan tingkah laku, yang jarang sekali bertolak belakang dengan Al Quran.

‘Aisyah yang suci -putri dari sahabat Nabi yang jujur- ditimpa musibah paling besar yang
mungkin menimpa perempuan bermartabat sepertinya. Ia dituduh berbuat zina. Alangkah
berat ujian yang ia terima. Tuduhan itu tidak hanya beredar di kalangan terbatas keluarga dan
sahabat dekat, tetapi beredar ke masyarakat dan dibumbui dengan sejumlah propaganda yang
licik.

Istri seorang Rasul yang sangat disegani sekaligus dicinta oleh ummat dituduh telah melakukan
zina. Zina yang dipandang sebagai aib dan dosa besar bagi setiap perempuan, terlebih jika
dilakukan oleh istri Nabi, maka hal tersebut sungguh menjadi suatu masalah dan ujian yang
berat bagi ‘Aisyah. Hanya orang dengan kepribadian matang, tangguh dan cerdas seperti
‘Aisyah yang dapat menanggung ujian tersebut dan mampu menemukan solusi sehingga dapat
melewati cobaan dengan baik.

Apa yang dilakukan ‘Aisyah menghadapi persoalan rumit ini? Bagaimana dia menghadapi,
melawan, dan mengalahkannya?
Tentu wanita muslimah di jaman sekarang pun dapat mengambil hikmah, meneladani sikap dan
tindakan ‘Aisyah ketika menghadapi masalah dan ujian yang dihadapinya.

Masalah dan Cara Menghadapinya

Sebelum membahas lebih lanjut tentang sikap dan cara-cara ‘Aisyah dalam menyelesaikan
masalah, ada baiknya mengulas sedikit mengenai definisi masalah.
Manusia hidup tentu akan bertemu dengan masalah. Hal tersebut seperti bagian dari skenario
َّ َ baik untuk pembelajaran maupun untuk menunjukkan tanda-tanda
yang ditentukan ُ‫ّللا‬
kebesaran dan kekuasaan-Nya.

Masalah dapat didefinisikan sebagai perasaan atau kesadaran tentang adanya suatu kesulitan
yang harus dilewati untuk mencapai tujuan. Masalah juga dapat diartikan sebagai kondisi disaat
kita berbenturan dengan realitas yang tidak diinginkan.

Tanpa sadar kadang masalah yang datang dapat menyita pikiran kita. Disinilah diperlukan sikap
dan pengetahuan agar dapat menghadapi masalah dan menemukan solusi yang tepat dan
tentunya tidak semakin menjerumuskan kepada masalah lain. Dan yang lebih utama,
bagaimana bersikap dan bertindak menghadapi masalah sesuai dengan petunjuk yang diberikan
Allah.

Terkadang untuk menyelesaikan masalah butuh waktu, namun terkadang masalah dapat selesai
dengan cepat. Bagaimanakah ibunda ‘Aisyah menghadapi persoalannya kala itu?

Persoalan yang dihadapi ‘Aisyah adalah berita bohong. Para kaum munafik menyebarluaskan
isu tentang kasus perzinaan ‘Aisyah dengan Shafwan bin Mu’aththal. Ketika pulang dari sebuah
peperangan, ‘Aisyah terlambat dari rombongan. Ia pulang diantar Shafwan dan menaiki
untanya. Setelah itu isu tentang perzinaan ini pun menyebar luas, laksana api yang dengan
cepat membakar rerumputan kering.

Persoalan ‘Aisyah kala itu ada dua hal, pertama, ‘Aisyah mendapati dirinya sendirian karena
sudah ditinggal rombongan pasukan. Kedua, ketika isu ini beredar di luar, ia tidak mengetahui
bahkan tidak terlintas di dalam pikirannya sama sekali. Lantas apakah yang dilakukan ‘Aisyah
untuk menghadapi dua persoalan tersebut?

Sadar Bahwa Tengah Menghadapi Masalah

Harus diketahui bahwa sebuah persoalan tidak akan berarti jika orang yang tertimpa atau
memiliki hubungan dengan persoalan tersebut tidak menyadarinya. Begitu pun dengan ‘Aisyah,
ia sadar betul akan adanya masalah yang sedang dihadapi. Ketika kembali dari mencari kalung
yang hilang dan mendapati rombongan pasukan sudah pergi meninggalkannya, ‘Aisyah sadar
kalau ia sedang dalam masalah. Ini persoalan pertama.

Sedangkan terhadap persoalan kedua, dimana ia dituduh melakukan zina, ‘Aisyah segera
merasa kalau sedang ada masalah ketika diberitahu Ummu Misthah tentang isu yang sedang
beredar di masyarakat. Pada awalnya ‘Aisyah tidak merasakan hal itu. Maka ia heran atas
celaan Ummu Misthah terhadap anaknya, dan ia pun membelanya karena Misthah termasuk
salah satu sahabat yang ikut dalam perang badar.

Menjaga Emosi dan Tetap Tegar


Ibunda kita ‘Aisyah mampu menahan emosinya di saat menghadapi persoalan yang
menimpanya. Padahal situasi yang ia alami kala itu sangat mencekam. Tertinggal sendirian oleh
rombongan pasukan di medan perang. Dan ia pun tetap dapat mengontrol dirinya ketika
mendengar isu yang sesungguhnya dapat membuatnya tertekan. Tentu saja ‘Aisyah kaget dan
limbung atas isu-isu yang tersebar luas menyangkut dirinya. Namun meskipun begitu, ‘Aisyah
tetap sabar karena mengingat firman Allah,

“Maka hanya bersabar itulah yang terbaik (buatku). Dan kepada Allah saja memohon
pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan. (Yusuf [12]:18)

Ketegaran hati yang dimiliki ‘Aisyah tercermin dengan selalu memohon perlindungan Allah
melalui doa, shalat, zikir, berbaik sangka kepada Allah dan umat muslim yang terkait dengan isu
tentang dirinya, serta mengharap datangnya kebaikan. Sisi keimanan secara umum juga sangat
berpengaruh dalam hal ini, sehingga keimanan harus tetap dijaga pada setiap fase penyelesaian
masalah.

Semua inilah yang dilakukan oleh ‘Aisyah. Meskipun isu-isu itu mampu membuat ‘Aisyah
terpukul, tapi ia tetap tidak kehilangan akal sehat.

Terhadap persoalan pertama, ‘Aisyah menyimpulkan kalau rombongan pasukan memang sudah
meninggalkannya, dan ia tertinggal sendirian. Hal ini membuat ‘Aisyah mengkhawatirkan diri
sendiri kalau sampai meninggal dunia, mendapat musibah, atau mengalami tindak kekerasan.
Sedangkan terhadap persoalan kedua, ‘Aisyah sudah menyimpulkan dan mengetahuinya. Isu
yang beredar saat itu adalah ia dituduh berbuat zina. ‘Aisyah sudah memikirkan tuduhan
tersebut dan konsekuensi yang mungkin timbul karenanya.

Memikirkan Solusi

‘Aisyah memikirkan solusi yang mungkin berguna untuk menyelesaikan persoalannya. Yang
terbersit dalam benak ‘Aisyah waktu itu adalah sejumlah hal berikut:

1.Menyusul rombongan pasukan. Tapi ia tidak memiliki kendaraan, sedang malam sudah gelap
dan ia pun rasanya tidak mungkin berjalan sendirian

2.Tetap berada di tempat semula sambil bersembunyi

3.Pergi ke tempat lain

4.Menunggu di tempat semula dengan harapan rombongan pasukan atau sebagian mereka
akan kembali lagi ke tempat itu. Sebab apabila rombongan tahu kalau ia tidak ada, tentu
mereka akan segera kembali ke tempat semula untuk mencari.

5.Mencari seseorang yang mungkin tertinggal dari rombongan seperti yang ia alami, atau
menunggu seseorang yang mengikuti rombongan pasukan dari jauh.

Sedangkan terhadap persoalan kedua, yang terbersit pada benak ‘Aisyah adalah;
1.Membela diri

2.Menyerahkan hal itu kepada Rasul, sementara ia tetap berada di rumahnya. Namun
sepertinya ‘Aisyah melihat kalau Rasulullah terpengaruh dengan isu tersebut, di samping isunya
sudah menyebar luas di masyarakat

3.Pulang ke rumah bapak ibunya, bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah

4.Menerapkan solusi paling tepat di antara solusi-solusi yang ada

Solusi

‘Aisyah memilih untuk tetap berada di tempat semula dengan harapan rombongan pasukan
atau sebagian dari mereka kembali lagi untuk menjemput. Benar saja, Shafwan datang. Waktu
itu, ‘Aisyah menyangka kalau Shafwan memang diutus rombongan untuk menjemputnya. Oleh
karena itu, ‘Aisyah langsung menaiki unta Shafwan tanpa berbicara sedikit pun. Dan karena
anggapan seperti ini juga, ‘Aisyah tidak pernah terbetik dalam pikirannya bakal ada isu-isu
miring tentang dirinya. Sebab ia menyangka bahwa Shafwan memang diutus rombongan untuk
mencari dan membawanya menyusul rombongan.

Sedangkan mengenai masalah tuduhan zina, ‘Aisyah meminta izin kepada Rasulullah untuk
pulang ke rumah keluarganya. Sebab persoalan ini butuh kejelasan lebih lanjut selagi belum
turun wahyu yang menjelaskannya. Selain itu, menghadapi persoalan semacam ini juga butuh
kepala dingin agar bisa berpikir tenang. Kepulangan ‘Aisyah ke rumah orangtuanya
mengandung banyak himah dan kecerdikan. Oleh karena itu, Rasul pun segera memenuhi
keinginan ‘Aisyah tersebut.
Etika Melakukan Hubungan Seksual dalam Islam

Islam sebagai agama yang mengatur tata hidup penganutnya banyak menyinggung masalah
keluarga. Islam juga mengakui nilai-nilai seks dan menganjurkan pernikahan. Nikah adalah
faktor yang paling kuat dan benteng yang paling kokoh untuk menjaga dan menyelamatkan diri
bagi umat manusia dari ketergelinciran ke lembah dosa dan jurang kehinaan (zina). Sejarah
telah mengatakan bahwa Nabi saw telah mengeskpresikan pernikahan sebagai naluri alamiah
yang sepatutnya dilakukan oleh setiap individu Muslim sebagai bukti kemanusiaan mereka
kepada agama.[1] Seperti disebutkan dalam sebuah hadis, bahwa Nabi s.a.w, bersabda [2]:

َ ‫ال ِقيَا َم َِّة يَو ََّم األ ُ َم ََّم بِ ُك َُّم ُمكَاثِرَّ فَإنِي تَنَا‬
‫سلُوا تَنَا َك ُحوا‬

”Menikahlah kalian dan beranak cuculah. Karena sesungguhnya aku akan membanggakan
banyaknya jumlah kalian di antara sekian banyak ummat”.

Allah SWT menjadikan pernikahan sebagai karunia dan anugrah bagi hamba-hamban-Nya yang
beriman agar terhindar dari godaan setan yang terkutuk. Namun pernikahan ini bukan sekedar
legalisasi penyaluran kebutuhan biologis dengan lawan jenis. Lebih dari itu menikah adalah
masalah kehormatan agama. Al-Qur’an menyebut pernikahan sebagai mitsaqan ghaliza[3]
(perjanjian yang sangat berat) dihadapan Allah. Seperti disebutkan dalam sebuah hadis, sebagai
berikut :

ََّ ‫ل فَقَدَّ ت َزَ و‬


َّ‫ج َمن‬ ََّ ‫ف إِ ِِ ِِ ِِست َك َم‬ َِّ ‫للاَ فَليَت‬
َُّ ‫ق ِدنِي َِّه نِص‬ َّ ‫ف فِى‬
َِّ ‫الثانِى النِص‬

“Barang siapa yang telah menikah, maka ia sungguh telah menyempurnakan separuh
agamanya, maka takutlah kepada Allah dalam separuh (hal urusan agama) yang kedua itu”.[4]

Hadis sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an telah mengalami perjalanan yang
cukup panjang bukan hanya dalam kondifikasi dan penelitian validitasnya saja, tetapi juga
berkembang pada pemaknaan yang tepat untuk sebuah matan hadis yang dapat dibuktikan
keuniversalan ajaran Islam.
Perkembangan pemahaman hadis Nabi saw baik dalam pemahaman materi maupun di dalam
pembentukan kerangka metodologinya harus diakui masih kalah pesat dibandingkan dengan
penafsiran terhadap al-Qur’an. Hal ini dapat dimaklumi karena hadis memiliki permasalahan
yang lebih kompleks dibandingkan dengan al-Qur’an yang telah diakui validitasnya oleh umat
Islam.[5]

Pemahaman hadis merupakan problematika tersendiri dalam diskursus kritik hadis yang
menyangkut otetisitasnya, yang senantiasa menjadi objek yang menarik bagi para pengkaji
hadis, baik itu dikalangan umat Islan sendiri maupun kalangan non Islam (Orientalis). Apalagi
banyak hadis yang dipertanyakan validitasnya, baik itu dari segi sanad ataupun matan.

Pemahaman hadis – fahmu al-hadis, menurut Syuhudi Ismail merupakan sebuah usaha untuk
memahami matan hadis secara tepat dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan
dengannya. Indikasi-indikasi yang meliputi matan hadis akan memberikan kejelasan dalam
pemaknaan hadis, apakah hadis akan dimaknai tekstual atau kontekstual. Pemahaman akan
kandungan hadis apakah suatu hadis termasuk kategori temporal, lokal, universal juga
mendukung pemaknaan yang tepat terhadap hadis.[6]

Hal ini disebabkan karena tidak seluruhnya hadis diriwayatkan secara mutawattir, dan tidak
sedikit hadis yang diriwayatkan secara ahad, yang memerlukan penelitian lebih lanjut.[7]
Kenyataan ini merupakan kenyataan sejarah yang tak terbantahkan, bahwa dari sekian banyak
hadis tidak seluruhnya ditulis pada masa Nabi.[8] Dan pasca Nabi, tepatnya pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib terjadi imitasisasi hadis. Ini dipicu oleh adanya kepentingan
politik antara Ali bin Abi Thalih dengan Mu’awiyah bin Sofyan, kemudian merambah pada
kepentingan ekonomi, yang menyebabkan tercemarnya otentisitas hadis Nabi.[9]

Kemungkinan lain adalah proses penghimpunan hadis yang memakan waktu lama, yang terjadi
sekitar pertengahan abad ke 2 H yang ditandai dengan karya-karya himpunan hadis dibeberapa
kota seperti Makkah, Madinah, dan Basrah. Hal ini terjadi sampai abad ke 3 H.[10]

Cerita Ustadzah Halimah Alaydrus.


Selagi kami masih duduk di daruzzahro Guru
Mulia Alhabib Umar r.a pernah berkata kepada
salah satu putri beliau ‫؛‬
"Darul mustofa dan Daruzzahro ini bukan lah
kepunyaan kita , sekalipun ayah yang
mendirikannya tetapi sejatinya Adl. kepunyaan
Kakek kita Rasulullah Saw beserta putri kecintaan
beliau ibu kita Sayyidah Fatimah Azzahro R.a ,
maka sekali2 kamu jangan berbuat se enaknya di
dalamnya, harus tunduk dengan segala macam
peraturannya, jangan memakan hak2 tamu
Azzahro sebelum mereka semua telah habis makan kecuali sisa2 puing makanan dari mereka..
ingat !!
peran kita di sini hanya sebagai pembantu ,
khaddam dan pelayan yang melayani Rumah ini beserta tamu2nya ...

terasa hancur lebur jiwaku mendengar pernyataan ini yang langsung ku dengar dari bibir mungil
putri bungsu beliau , saat itu jam istirahat , aku bertujuan hendak ke kamar kecil, tetapi aku
melihat putri kecil itu duduk seorang diri di salah satu tangga daruzzahro sambil memegang
perut ,
maka aku pun menghampirinya dan bertanya
"ada apa denganmu wahai putri mulia "

maka dengan polosnya ia menjawab bahwa ia


dalam keadaan lapar sedari tadi sebab sebelum
pergi ke sekolah tidak sempat bersarapan
terlebih dahulu, khawatir terlambat ucapnya , spontan aku membalas ucapannya dan berujar ‫؛‬
"mengapa yang mulia tidak mengambil sepotong roti di ruang makan darruzzahro saja?
ia hanya menggeleng sambil tersenyum
atau pulang sebentar ke rumah mengambil
sarapan? tawarku kembali

ia pun tetap membalasnya dengan gelengan


aku semakin keheranan
bukan kah engkau putri guru mulia kami ?
pemilik Daruzzahro ini wahai yang mulia?

maka ia pun menceritakan pesan sang ayah untuk


putra putri dan seluruh keluarga , mendengarnya
Aku tercengang dan terkejut , ku rasakan sudut mataku mulai berembun ,hatiku bergetar
mendengar penuturannya, tidak hanya sampai di
situ putri kecil guru mulia mengejutkanku dengan
perkara lain ,merasa kasihan dan tak tega aku pun merogoh
saku baju dan mengambil selembar uang di dalamnya ‫؛‬

" jika begitu ku mohon Ambilah ini sebagai


hadiah dariku , dan belilah sedikit makanan untuk
mengganjal perut yang mulia "

ucapku penuh harap sambil menyodorkan


selembar uang itu ke hadapannya
ia tersenyum ramah, mata beningnya menatapku lembut dan ia menolak halus pemberianku
dengan menggeleng gelengkan kepalanya , namun aku terus merayu dan memohon agar dia
bersedia menerimanya, tetapi putri kecil guru
mulia tetap bersikeras untuk tidak menerimanya
dan terus mengindahkan tangannya dari tanganku , melihat usahaku tiada henti , dengan
polosnya
ia berkata ‫؛‬
" Maafkan aku saudaraku .. bukannya menolak pemberianmu , dan ingin melukai perasaanmu ,
akan tetapi ayah mengajarkan kami untuk tidak memberatkan orang lain dan tidak berharap
belas
kasih manusia selain belas kasih Allah swt ,
simpan lah uang itu , kerna engkau lebih
memerlukannya ketimbang aku , lagipula kalo ayahanda mengetahui pasti beliau tidak akan
menyetujuinya .
tes tes ... ku rasakan air mataku mulai berjatuhan di pipiku ,aku memperhatikannya dari ujung
rambut hingga ujung kaki ,ku lihat kerudungnya
nampak kumal ,pakaiannya pun terlihat lusuh , ia hanya menggunakan keresek putih untuk
alat2
sekolahnya, kakinya penuh debu tanpa
mengenakan sandal, aku terdiam terpaku tak
mampu berkata sekalimat pun sampai putri guru
mulia berlalu dari hadapanku sambil berlari2 kecil
dengan wajah yang tetap riang aku menelan ludah susah payah gemetar jiwaku
menatap bayangnya yang perlahan menghilang
dari pandanganku , hatiku bergetar hebat ,
pendidikan macam apa ini yang membuat anak
sebelia dia memiliki hati sedemikian mulia ,
sambil berderai air mata ku segerakan langkahku
menuju kamar , sesampainya di kamar ku membenamkan kepalaku di bantal dan pecah
tangisku seketika ,bagaimana tidak?

jiwaku hancur lembur di hantam Akhlak mulia


sebegitu luhur , benar benar kami ini murid yang tak tau diri , jauh kami merantau dari negara
kami hanya demi menimba ilmu serta mengambil
keberkahan dari Guru Mulia beserta Sang Istri ,
malam2 kami tidur dengan nyenyak , tidak
pernah sedikitpun kekurangan air dan makanan ,
bahkan kami menganggap tempat ini seperti rumah kami sendiri , terkadang kami berbuat
semaunya , makan dengan kenyang dan
menggunakan kipas Angin dan Ac sepuasnya ,
tetapi bahkan guru mulia yang mendirikan tempat ini pun merasa tidak memilikinya dan tidak
berlaku se enaknya.
hatiku benar benar serasa di cambuk rasa malu yang begitu dalam , teramat malu atas ketidak
tahuan kami ,atas sedikitnya perhatian dan
kepedulian kami , Guru mulia beserta keluarga
begitu memuliakan para pelajarnya melebihi
penghormatan kami kepada beliau.
huhuhu aku terus saja menangis ..

sampai Akhirnya terdengar suara peringatan waktu


istirahat segera berakhir , aku pun menghentikan
tangisanku dan menyeka air mata ,masih dengan
mata yang sembab aku bangkit berdiri dan
berniat mengambil Air wudhu ,saat ku lewati
ruang makan Dar zahro Sungguh ku menyaksikan
pemandangan yang kembali sangat membuat hatiku miris , ku lihat tangan mungil putri mulia
memunguti beberapa pecahan Roti yang tersisa dari bekas sarapan sebagian pelajar tadi pagi ,
melihatnya aku membuang pandangan kerna tak sanggup menyaksikannya .
kejadian tsb sangat membekas di hatiku sehingga aku merenungkannya selama berhari hari
semenjak itu aku jadi jarang ikut makan bersama
dengan teman teman lainnya, kecuali menunggu mereka telah usai semua , dan aku mulai
bermujahadah melunturkan kesombongan yang
ada di diriku , terkadang aku sengaja memakan
roti yang sudah kering dan keras yang sudah ku hancurkan sebelumnya , atau memakan bekas2
nasi yang akan di buang , atau makan bersama
kawan tetapi dengan suapan yang terbatas ketika kenyang hanya 3 suap jika memang dalam
keadaan lapar hanya 9 suap
semua itu sengaja ku lakukan agar diriku yang
sangat payah ini dapat merasakan kerasnya
menuntut ilmu tanpa memanjakan diri sedikitpun,
terlebih2 setiap mengingat kejadian di atas hatiku
sangat Malu terhadap Sang Guru , Kami hanya
seorang murid dan hanya menumpang di tempat
ini , harusnya kami yang menjadi pelayan
bukannya memanjakan diri terus menerus .
selain itu aku sering mendengar salah seorang putri tertua Guru mulia yang tak lain beliau salah
satu dari guru kami di darzahro , jika hendak
makan beliau selalu bertanya ‫؛‬

Apakah seluruh pelajar darzahro telah usai


makan ?
jika semuanya telah makan maka beliau pun akan makan dari sisa kami
namun jika ada yang belum maka beliau selalu
menunggu ,

tak jarang bahkan beliau tidak mendapat bagian sama sekali.


sering pula kami saat malam hari mendapat
makanan sisa dari tamu2 guru mulia ,bukannya
menyimpan untuk keluarga , beliau malah
menyerahkan sisa makanan2 yang lezat tsb kepada para pelajarnya .
Sang Guru kecintaan kami , istri dari Guru mulia ,sering kali ku saksikan beliau memasak sendiri
untuk para tamu dan untuk kami murid2nya
pernah suatu hari beliau mengundang para
pelajar untuk makan siang di rumah beliau, ketika kami datang ku lihat beliau bersama putri2
beliau begitu sibuk menyiapkan hidangan untuk kami ,
memasukkan Nasi ke dalam nampan
,menganggkat nampan dan memberikannya
kepada setiap lingkaran , setelah semua
mendapat bagian baru lah sang guru
menghampiri kami dengan wajah berseri2 terus menerus tersenyum seraya mempersilahkan
kami
mencicipi hidangan lalu beliau makan bersama
kami ,
seusai makan kami mengkaji beberapa kitab yang di ajarkan langsung oleh sang Guru ketika
sore menjelang usai pengajian kami di
persilahkan kembali ke daruzzahro ,
maka kami bergantian bersalaman dengan sang Guru ..
sebagian pelajar telah kembali yang tersisa hanya beberapa orang saja termasuk aku
seorang khaddam datang memberi tahukan kepada beliau bahwa beberapa di antara pelajar
ada yang tidak ikut makan siang di sebabkan
sedang berpuasa
maka ku lihat seketika itu juga Sang Guru
memerintahkan agar mengambil makanan yang tersisa untuk putra beliau Supaya di berikan
kepada para pelajar yang berpuasa saja , dan tak segan2 beliau memberikan satu teko kopi jahe
yang di buatkan khusus untuk beliau agar di
bawa ke darzahro , tetua daruzzahro sempat
menolak halus saat beliau memberikannya dan biarkan saja jatah putra beliau jangan di berikan
beliau pun membalas ucapan tetua tsb ‫؛‬
bawa lah ini kepada mereka , aku sangat malu jika di antara mereka tidak makan di rumah kami
, tak masalah bagi putraku nanti akan ku buatkan
lagi makanan untuknya ,dan satu teko kopi ini
apalah artinya di banding pahala memberi seteguk minum orang yang berbuka puasa ,
sungguh aku tak rela jika mereka kembali ke
darzahro tidak mendapatkan hidangan apa pun
,kerna mereka adl. tanggung jawab kami di dunia
dan Akhirat.

kami yang mendengar ucapan beliau semua


tertunduk malu ,terlebih2 aku , kekerasan jiwaku
kembali di hantam oleh Akhlak luhur yang maha
dahsyat, lagi lagi aku meneteskan air mata , tidak
masa depan akhirat kami saja yang menjadi
kepedulian beliau , bahkan kepada dunia kami beliau sangat peduli dan perhatian.
terima kasih Ya robby ...

Sang Guru dan Guru mulia Adl. Anugerah


terindah dalam hidup kami , kehadiran mereka
merupakan karunia terbesar bagi Ummat ini
,olehnya kami memilikki berjuta2 alasan untuk
mencintaimu dan menjadi pembelamu wahai Sang
Guru ...
Hidup & Mati kami di jalanmu dan itu merupakan
sumpah setia kami kepadamu selamanya wahai
yang Mulia ....

"Wallahu A'lam , Mohon Maaf jika ada kesalahan


dan terdapat kata kata yang tidak pantas atau
kurang sopan. sekian dan terimakasih .

Anda mungkin juga menyukai