Anda di halaman 1dari 10

Bab 1

Pendahuluan
A.latar belakang
Bolaang Mongondow merupakan suatu daerah yang terletak di bagian utara semenanjung
Sulawesi. Daerah ini berbatasan dengan daerah Minahasa sebelah utara dan timur laut Bintauna
dan Bolaang Uki dan Gorontalo di sebelah baratnya. Dalam legenda dikatakan bahwa asal mula
manusia Bolaang Mongondow berasal dari 2 (dua) pasang suami isteri masing-masing
Gumolangit atau manusia yang turun dari langit dengan isterinya Tendeduata atau putri Dewa,
dan Tumotoi Bakal atau orang yang dapat berjalan di atas ombak dengan isterinya Tumotoi
Bakal atau gadis yang keluar dari pecahan ombak.
A. Sejarah Sosial dan Perkembangan Bolaang Mongondow
Penduduk asli Bolaang Mongondow berasal dari keturunan Gumalangit (turun
dari langit) dan Tendeduata (putri dari dewa) serta Tumotoibokol (meniti dari ombak)
dan Tumotoibokat (keluar dari pecahan ombak), pasangan Gumalangit memperoleh
keturunan putri bernama Dumondon, sedangkan pasangan Tumotoibokol mendapat
keturunan putera bernama Sugeha, dimana setelah dewasa mereka dinikahkan.
Seiring dengan perkembangan dengan perjalanan waktu keturunan mereka
berkembang menjadi besar dan berkelompok-kelompok serta hidup bersama dengan
tempat tinggal bernama Lipung, dan dengan perkembangannya kedua keturunan ini mulai
memasuki pedalaman dan hidup berpindah-pindah (Nomaden), kemudian menyebar
untuk mendapatkan pemukiman baru di pimpin oleh para Boganinya menyebar diseluruh
pelosok negeri, dan dari keturunan Gumalangit menyebar ada yang ke Huntuk Baludawa
dan ada juga masuk kepedalaman Bolaang Mongondow yang waktu itu masih berbentuk
danau dan sebagai bukti terhadap salah satu tempat wilayah Passi bernama Uangga
(perahu) sebab dulunya disana di gunakan sebagai tempat tambatan perahu.
Nama Bolaang Mongondow berasal dari kata “bolango” atau “balangon” yang
berarti laut. Bolaang atau golaang dapat pula berarti menjadi terang atau terbuka dan
tidak gelap, sedangkan Mongondow dari kata “Momondow” yang berarti berseru tanda
kemenangan. Desa bolaang terletak di tepi pantai utara yang pada abad 17 sampai akhir
abad 19 menjadi tempat kedudukan istana raja, sedangkan desa mongondow terletak
sekitar 2 km selatan kotamobagu.
Daerah pedalaman sering disebut dengan “rata mongondow”. Dengan bersatunya
seluruh kelompok masyarakat yang tersebar, baik yang berdiam di pesisir pantai maupun
yang berada di pedalaman Mongondow di bawah pemerintahan Raja Tadohe, maka
daerah ini dinamakan Bolaang Mongondow. Setiap kelompok keluarga dari satu
keturunan di pimpin oleh seorang Bogani (laki-laki atau perempuan) yang dipilih dari
anggota kelompok dengan persayaratan : memiliki kemampuan fisik (kuat), berani,
bijaksana, cerdas, serta mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan kelompok
dan keselamatan dari gangguan musuh.
Mokoduludut adalah Punu’Molantud yang di angkat berdasarkan kesepakatan
seluruh bogani. Mokoduludut tercatat sebagai raja (datu yang pertama). Sejak
Tomponu’on pertama sampai ke tujuh, keadaan masyarakat semakin maju dengan adanya
pengaruh luar (bangsa asing). Perubahan total mulai terlihat sejak Tadohe menjadi
Tompunu’on, akibat pengaruh pedagang belanda dirubah istilah Tompunu’on menjadi
Datu (Raja). Tadohe dikenal seorang datu yang cakap, sistem bercocok tanam diatur
dengan mulai dikenalnya padi, jagung dan kelapa yang dibawa bangsa Spanyol pada
masa pemerintahan Mokoagow (Ayah Tadohe). Tadohe melakukan penggolongan dalam
masyarakat, yaitu pemerintahan (Kinalang) dan rakyat (Paloko’). Paloko’ harus patuh dan
menunjang tugas kinalang, sedangkan kinalang mengangkat tingkat penghidupan Paloko’
melalui pembangunan di segala bidang sedangkan kepala desa dipilih oleh rakyat.
Tadohe berhasil mempersatukan seluruh rakyat yang hidup berkelompok dengan
boganinya masing-masing, dan di bentuk sistem pemerintahan baru. Seluruh kelompok
keluarga dari bolaang, mongondow (Passi dan Lolayan), Kotabunan, Dumoga, disatukan
menjadi Bolaang Mongondow. Dimasa ini mulai dikenal mata uang real, doit, sebagai
alat perdagangan.
Pada zaman pemerintahan raja Corenelius Manoppo, raja ke-16 (1832), agama
Islam masuk daerah Bolaang Mongondow melalui Gorontalo yang di bawa oleh Syarif
Aloewi yang kawin dengan putri raja tahun 1866. Karena keluarga raja memeluk agama
Islam, maka agama itu dianggap sebagai agama raja, sehingga sebagian besar penduduk
memeluk agama Islam dan turut mempengaruhi perkembangan kebudayaan dalam
beberapa segi kehidupan masyarakat. Sekitar tahun 1867 seluruh penduduk Bolaang
Mongondow sudah menjadi satu dalam bahasa, adat dan kebiasaan yang sama (menurut
N.P Willken dan J.A. Schwarz).
Pada tanggal 1 januari 1901, Belanda dibawah pimpinan Controleur Anton
Cornelius Veenhuizen bersama pasukannya secara paksa bahkan kekerasan berusaha
masuk Bolaang Mongondow melalui Minahasa, setelah usaha mereka melalui laut tidak
berhasil dan ini terjadi pada masa pemerintahan Raja RiedelManuel Manoppo dengan
kedudukan istana raja di desa Bolaang. Raja Riedel Manuel Manoppo tidak mau
menerima campur tangan pemerintahan oleh belanda, maka belanda melantik Datu
Cornelis Manoppo menjadi raja dan mendirikan komalig (istana raja) di kotabangon pada
tahun 1901. Pada tahun 1904, dilakukan perhitungan penduduk Bolaang Mongondow dan
berjumlah 41.417 jiwa. Pada tahun 1906, melalui kerja sama dan kesepakatan dengan raja
Bolaang Mongondow, W Dunnebier mengusahakan pembukaan Sekolah Rakyat dengan
tiga kelas yang dikelola oleh zending di beberapa desa; yakni : Desa Nanasi, Nonapan,
Mariri Lama, Kotabangon, Moyag, Pontodon, Passi, Popo Mongondow, Otam, Motoboi
Besar, Kopandakan, Poyowa Kecil, dan Pobundayan dengan total murid sebanyak 1.605
orang, sedangkan pengajarnya didatangkan dari minahasa.
Pada tahun 1937 dibuka di Kotamobagu sebuah sekolah Gubernemen, yaitu
Vervolg School (sekolah sambungan) kelas 4 dan 5 yang menampung lepasan sekolah
rakyat 3 tahun. Ibukota Bolaang Mongondow sebelumnya terletak disalah satu tempat di
kaki gunung Sia’ dekat Popo Mongondow dengan nama Kotabaru. Karena tempat itu
kurang strategis sebagai tempat kedudukan controleur, maka diusahakan pemindahan ke
Kotamobagu dan peresmiannya diadakan pada bulan April 1911 oleh Controleur F.
Jenius yang bertugas tahun 1910-1915. Pada tahun 1911 didirikan sebuah rumah sakit di
ibukota yang baru Kotamobagu. Rakyat mulai mengenal pengobatan modern, namun ada
juga yang masih mempertahankan dan melestarikan pengobatan tradisional melalui
tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat dan sampai sekarang dibudayakan secara
konvesional. Sejak semula, masyarakat Bolaang Mongondow mengenal 3 macam cara
kehidupan bergotong-royong yang masih terpelihara dan dilestarikan terus sampai
sekarang ini, yaitu: Pogogutat (potolu adi’), Tonggolipu’, Posad (mokidulu).
Tujuan kehidupan bergotong-royong ini sama, namun cara pelaksanaannya
berbeda. Penduduk pedalaman yang memerlukan garam atau hasil hutan, akan
meninggalkan desanya masuk hutan mencari damar atau ke pesisir pantai memasak
garam (modapug) dan mencari ikan. Dalam rezeki itu, sering mereka tinggal agak lama di
pesisir, maka disamping masak garam mereka juga membuka kebun. Tanah yang mereka
tempati itulah yang disebut Totabuan yang dapat di artikan sebagai tempat mencari
nafkah. Bila ada tamu yang bertandang pada masa kerajaan, biasanya disuguhi sirih
pinang, tamu pria atau wanita terutama orang tua. Sirih pinang diletakkan dalam kabela’
(dari kebiasaan ini diciptakan tari kabela sebagai tari penjemput tamu). Tamu terhormat
terutama pejabat dijemput dengan upacara adat. Tarian kabela sampai sekarang tetap
lestari di bumi Totabuan. Tarian yang ada di Bolaang Mongondow cukup beragam
diantaranya tarian tradisional yang terdiri dari Tari Tayo, Tari Joke’, Tari Mosau, Tari
Rongko atau Tari Ragai, Tari Tuitan: juga tarian kreasi baru seperti Tari Kabela, Tari
Kalibombang, Tari Pomamaan, Tari Monugal, Tari Mokoyut, Tari Kikoyog dan tari
Mokosambe.
Upacara monibi terakhir diadakan pada tahun 1939 di desa Kotabangon (tempat
kedudukan istana raja) dan di desa Matali (tempat pemakaman raja dan keturunannya).
Transmigran ke Bolaang Mongondow pertama kali datang pada tahun 1963 dengan
jumlah 1.549 jiwa (349 KK) dan ditempatkan di desa Wherdhi Agung. Para transmigran
berikutnya ditempatkan di desa Kembang Mertha (1964), Mopuya (1972/1975),
Mopugad (1973/1975), Tumokang (1971/1972), Sangkub (1981/1982), Onggunai
(1983/1984), Torosik (1983/1984) dan Pusian/serasi (1992/1993). Lengkap setelah
proklamasi17 Agustus 1945, Bagian Bolaang Mongondow menjadi bagian wilayah
provinsi sulawesi yang berpusat di Makassar, kemudian tahun 1953 berdasarkan
peraturan pemerintah No.11 Tahun 1953 Sulawesi Utara dijadikan sebagai daerah
otonom tingkat I.
Bolaang Mongondow dipisahkan menjadi daerah otonom tingakt II mulai tanggal
23 Maret 1954, sejak saat itu Bolaang Mongondow resmi menjadi daerah otonom yang
berhak mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan PP No.24 Tahun 1954. Atas
dasar itulah, mengapa setiap tamnggal 23 Maret seluruh rakyat Bolaang Mongondow
selalu merayakan sebagai HUT Kabupaten Bolaang Mongondow. Sering dengan nuansa
reformasi dan otonomi daerah , telah dilakukan pemekaran wilayah dengan terbentuknya
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara melalui Undang-Undang RI No.10 Tahun 2007
dan Kota Kotamobagu melalui UU RI No.4 Tahun 2007 sebagai hasil pemekaran dari
Kabupaten Bolaang Mongondow. Tujuan utama pembentukan Kab. Bolmong Utara dan
Kota Kotamobagu adalah untuk memajukan daerah, membangun kesejahteraan rakyat,
memudahkan pelayanan, dan mobilisasi pembangunan bagi terciptanya kesejahteraan
serta kemakmuran rakyat totabuan.
Adapun bahasa yang di gunakan suku mongondow dalam kehidupan keseharian
yaitu bahasa mongondow dan bahasa melayu manado.
B. Masuknya Agama Dan Pendidikan
Raja Jacobus Manoppo ialah raja Bolaang Mongondow yang pertama memerintah
setelah mengalami pendidikan di Hoofden School ternate, karena ia telah di bawa oleh
pedagang VOC. Sesudah melalui persetujuan ayahnya raja Loloda Mokoagow (datu
Binangkang). Jacobus Manoppo adalah raja kle-10 yang memerintah pada tahun 1691-
1720, yang di angkat oleh VOC, walaupun pengangkatannya sebagai raja tidak direstui
oleh ayahnya. Jacobus Manoppo pada saat dilantik menjadin raja beragama Roma
Katholik.

Pada zaman pemerintahan raja Cornelius Manoppo, raja ke-16 (1832), agama
Islam masuk daerah Bolaang Mongondow melalui Gorontalo yang dibawa oleh Syarif
Aloewi, yang kawin dengan putrii raja itu tahun 1866. Karena keluarga kerajaan sebelum
raja Cornelius Manoppo memeluk agama Islam, maka agama itu dianggap sebagai raja
agama, sehingga sebagian besar penduduk Bolaang Mongondow memeluk agama Islam
juga telah turut memengaruhi perkembangan kebudayaan dalam beberapa segi kehidupan
masyarakat. Pada sekitar tahun 1867 seluruh penduduk dengan Bolaang Mongondow
sudah menjadi satu penduduk dengan bahasa, adat dan kebiasaan yang sama (menurut
N.P Wilken dan J.A. Schwarz).
Over de Vorsten Van Bolaang Mongondow 1949
Een Mongondowsh verhaal met vertaling en aanteekeningen 1911
De voornaamwoorden in het Bolaang Mongondows
Verhaal van een mensch en een slang 1919
Spraakkunst van het Bolaang Mongondow 1930
Verloven en trouwen in Bolaang Mongondow 1931
De plechtigheid “waterscheppen” in Bolaang Mongondow 1938
Bolaang Mongondowsch Woordenboek 1951, dsb
Pada tahun 1906 melalui kerja sama dan kesepakatan dengan raja Bolaang
Mongondow, W. Dunnebier telah mengusahakan pembukaan beberapa sekolah rakyat
yang dikelola oleh zending di beberapa desa di Bolaang Mongondow dengan tiga kelas.
Guru-gurunya didatangkan dari Minahasa, antara lain:
Di Nanasi, guru jeseya rondonowu dan S. Sondak
Di Nonapan, guru H. Werung dan A. Rembet
Di Mariri lama, guru P. Assa dan Mandagi
di Kotabangon, guru J. Pandegirot dan Tumbelaka
Di Moyag, guru F. Tampemawa dan K. Palapa
Di Pontodon, guru J. Ngongoloi, M. Tombokan dan W. Tandayu
Di Pasi, guru Th. Kawuwung dan W. Wuisan
Di Popo Mongondow, guru S. Saroinsong dan J. Mandagi
Di Otam, guru J. Kodong dan S. Supit
Di Motoboi Besar, guru S. Mamesah, A. Kuhu dan K. Angkow
Di Kopandakan, guru H. Lumanaw dan P. Kamasi
Di Poyowa Kecil, guru D. Matindas dan Gumogar
Di Pobundayan, guru Th. Masinambouw dan A. Supit
Jumlah murid yang tertampung di sekolah-sekolah tersebut adalah 1.605 orang
(Sejarah Pendidikan daerah Sulawesi Utara oleh Drs.L.Th. Manus dkk). Pada tahun 1912
di Dumoga juga dibuka sekolah zending dengan guru Jesaya Tumurang. Pada tahun 1926
sekolah-sekolah seperti itu juga dibuka di Tabang, Tungoi, Poigar, Matali dan Lolak.
Pada Tahun 1911 didirikan sebuah sekolah berbahasa Belanda di Kotamobagu, Yaitu
Holland Inlandshe School (H.I.S) dengan Kepala sekolah Adrian van der Endt.
Disamping sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending, maka pada sekitar tahun
1926 diusahakan pembukaan sekolah-sekolah rakyat yang dikelola oleh Balai Pendidikan
dan Pengajaran Islam (BPPI) yang berpusat di desa Moliow. Guru-gurunya didatangkan
dari Yogyakarta seperti antara lain : Mohammad Safii Wirakusumah, Sarwoko, R.
Ahmad Hardjodiwirdjo, Sukirman, Sumarjo, Surjopranoto, Muhammad Djazuli
Kartawinata dan alin-lain. Juga ditambah dengan Ali Bakhmid dari Manado Usman
Hadju dari Gorontalo dan Mohammad Tahir dari Sangir Talaud (Sejarah Pendidikan
Daerah Sulawesi Utara oleh Drs.L.Th.Manus dkk. 1980).
Perkembangan pendidikan yang dikelola oleh BPPI demikian pesatnya sehingga
pada tahun 1931 dibuka sebuah H.I.S berbahasa Belanda di Molinow. Untuk medidik
guru-guru yang akan mengajar di sekolah-sekolah yang dikelola oleh BPPI, maka pada
tahun 1937 dibuka lagi sebuah sekolah guru, yaitu Kweekschool di Molinow.
Disamping sekolah-sekolah yang dikelola oleh zending dan BPPI, maka usaha
pihak swasta untuk membuka sekolah terlihat antara lain : Particuliere Schakel School
yang dibuka oleh A.C. Manoppo. Kemudian sekolah seperti itu dibuka oleh A.E. Lewu,
yaitu Neutrale Particuliere School yang berlangsung sampai tahun 1941 sebelum bahas
Jepang masuk Indonesia karena perang dunia ke-2. Sebuah sekolah swasta seperti itu
juga pernah dibuka oleh Sumual pada tahun 1925, namun tidak berlanjut. Pada tahun
1937 dibuka di Kotamobagu sebuah sekolah Gubernemen, yaitu Vervolg School (sekolah
sambungan) kelas 4 dan 5 yang menampung lepasan sekolah rakyat 3 tahun, dengan
kepala sekolahnya N. Ares.
Kotamobagu sebagai ibukota kabupaten Bolaang Mongondow, sebelumnya
terletak disalah satu tempat di kaki gunung Sia’ dekat Popo Mongondow dengan nama
Kotabaru. Karena tempat itu dianggap kurang strategis sebagai tempat kedudukan
controleur, maka diusahakan pemindahan ibukota ke tempat yang sekarang ini, yaitu
Kotamobagu, yang peresmiannya diadakan pada bulan April 1911 oleh Controleur F.
Junius yang bertugas di Bolaang Mongondow tahun 1910-1915.
Kedudukan istana raja di desa Kotobangon, yang sebelumnya pada masa
pemerintahan raja Riedel Manoppo berkedudukan di desa Bolaang. Karena raja Riedel
Manuel Manoppo tidak mau menerima campur tangan pemerintah oleh Belanda, maka
Belanda melantik Datu Cornelis Manoppo menjadi raja, lalu bersama-sama denga
Controleur Anthon Cornelis Veenhuizen dikawal oleh sepasukan prajurit melalui
Minahasa selatan masuk Bolaang Mongondow dan mendirikan komalig (isatana raja) di
Kotobangon pada tahun 1901.
Pada tahun 1911 didirikan seuah rumah sakit di ibukota yang baru Kotamobagu.
Rakyat mulai mengenal pengobatan modern, namun ada juga yang masih
mempertahankan dan melestarikan pengobatan tradisional melalui tumbuh-tumbuhan
yang berkhasiat obat.
Dengan masuknya agama dan pendidikan, maka sistem kehidupan sosial budaya
masyarakat turut mengalami perubahan, antara lain : tentang cara pengelolaan tanah
pertanian (mulai mengenal penanaman padi di sawah), adat kebiasaan, pernikahan,
kematian, pembangunan rumah, pengaturan saran perhubungan, media komunikasi dan
lain-lain sebagainya.
Sebagai informasi perlu disampaikan bahwa : rumah adat Bolaang Mongondow
yang diwujudkan dalam bentuk pavilyun Bolaang Mongondow di Taman Mini Indonesia
Indah jakarta (samping bangunan rumah adat Sulawesi Utara), yang miniaturnya diminta
oleh almarhum Alex Wetik dan dibawa ke Manado tahun 1972 dan kemudian menjadi
contoh pembangunan rumah adat Bolaang Mongondow di TMII Jakarta.
Umumnya rumah tempat tinggal di Bolaang Mongondow berbentuk rumah
panggung dengan sebuah tangga di depan dan sebuah di belakang. Dengan adanya
pengaruh luar, maka bentuk rumahpun sudah berubah. Kehidupan sosial budaya
masyarakat yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan pembangunan sekarang ini,
banyak yang telah berubah. Namun budaya daerah yang masih mengandung nilai-nilai
luhur yang dapat menunjang pembangunan fisik material dan mental spiritual, masih
tetap dipelihara dan dilestarikan.
Pada saat masyarakat mulai mengenal mengenal mata uang seperti real dan doit
sebagai alat penukar bahan keperluan hidup, maka penduduk mulai menjual hasil
pertanian tersebut seperti : sayur, buah-buahan dan lain-lain. Hasil pertanian tersebut
diletakkan di depan rumah dekat jalan raya dan diatur setumpuk-setumpuk dengan harga
satu doit per-tumpuk. Pemilik tidak perlu menjaga bahan dagangannya. Sore hari, pemilik
akan mengambil uang harga jualannya. Bila habis terjual, maka di tempat penjualan itu
terletak uang harag bahan yang dijual dalam keadaan utuh, tidak berkurang. Contoh
seperti ini menunjukkan keluhuran budi pekerti setiap anggota masyarakat yang masih
jujur, serta menyadari bahwa setiap perbuatan jahat itu tidak dikehendaki oleh Ompu
Duata (Yang Maha Kuasa). Pada saat itu mereka belum mengenal dusta, tipu muslihat
dan lain-lain sifat jahat yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat. Kerukunan hidup
antar keluarga dan antar tetangga dimasa itu belum tercemar oleh pengaruh luar.
C. Pemekaran Daerah
Karena wilayah Bolaang Mongondow memiliki luas 50,3% dari luas wilayah
sulawesi Utara sehingga pemerintah Kabupaten Mongondow bersama tokoh masyarakat,
tokoh adat dan agama sepakat melakukan pemekaran wilayah dengan menunjuk Drs.
Djainudin Damopoli’I sebagai ketua pemekaran. Dengan dukungan penuh dari seluruh
lapisn masyarakat serta Pembkab Bolaang Mongondow panitia pemekaran berhasil
meyakinkan pemerintah pusat dan DPR RI sehingga wilayah Bolaang Mongondow
secara resmi mekar menjadi 5 daerah tingkat II yaitu:
Kabupaten Bolaang Mongondow
Kota Kotamobagu
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur
Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan
D. Jaz Merah Bolaang Mongondow
Tepat 23 Maret 2007 kemarin Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi
Utara merayakan HUTnya ke-53 yang berlangsung cukup khidmat, meriah, aman dan
damai dalam kebersamaan (insya Allah) dibanding setahun lalu yang diwarnai kericuhan,
air mata dan darah (kontroversi hasil Pilkada 2006).
Jum’at pagi yang cerah itu, di beberapa lapangan di atas tanah Totabuan
berkumpul berbagai kalangan masyarakat yang mengikuti upacara dengan khidmat
layaknya upacara 17 Agustus-an (semoga banyak dari mereka yang mengetahui dan
memahami budaya serta asal-usul tanah adat warisan leluhur tempat mereka berpijak).
Masa lalu bukan untuk ditinggalkan tetapi untuk dijadikan pelajaran dalam setiap
keputusan melangkah ke masa depan. Bahwa generasi muda bukan berarti harus
meninggalkan masa lalu, melainkan menghargai perjuangan terdahulu. Kata Bung Karno
: “JAS MERAH !” Jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Sebagai awal, di bawah ini terpapar silsilah keturunan manusia pertama di tanah
Bolaang Mongondow (menurut legenda rakyat Bolaang Mongondow) yang diringkas dan
dikemas dalam bentuk skema:
X : Menikah
I : Menghasilkan

Anda mungkin juga menyukai