A. HASIL PENELITIAN
Tabel. 1
Distribusi Frekuensi menurut jenis kelamin anak usia toodler di RS
Monompia Kotamobagu tahun 2016
(60,0% ).
Tabel. 2
Distribusi Frekuensi Menurut umur anak usia toodler di RS Monompia
Kotamobagu tahun 2016
Total 30 100.0
Sumber : Data Primer 2015
Total 30 100.0
Total 30 100.0
orang (43,3% ) dan umur ibu sebagian besar berumur 20-29 tahun yaitu sebanyak
12 orang ( 40,0%).
Tabel 4
Distribusi Frekuensi Menurut Pekerjaan orang tua anak usia toodler di
RS Monompia Kotamobagu tahun 2016
sebanyak 17 orang (56,7%) dan pekerjaan ibu sebagian besar bekerja sebagai IRT
Tabel. 5
Distribusi Frekuensi Menurut Pendidikan orang tua anak usia toodler di
RS Monompia Kotamobagu tahun 2016
diketahui pendidikan ayah sebagian besar SMA yaitu sebanyak 25 orang (83,3%)
dan pendidikan ibu sebagian besar SMA yaitu sebanyak 24 orang (80,0% )
Tabel. 6
Distribusi Frekuensi Menurut Reaksi Penerimaan anak usia toodler pada
tindakan pemberian obat per oral sebelum diberikan terapi bermain di
RS Monompia Kotamobagu tahun 2016
reaksi anak usia toodler sebelum diberikan terapi bermain adalah menolak
Tabel. 7
Distribusi Frekuensi Menurut Reaksi Penerimaan anak usia toodler pada
tindakan pemberian obat per oral setelah diberikan terapi bermain di
RS Monompia Kotamobagu tahun 2016
pada reaksi anak usia toodler setelah diberikan terapi bermain adalah
responden (13,3%).
Tabel. 8
Pengaruh penerimaan anak usia toodler pada tindakan pemberian obat
per oral sebelum dan sesudah diberikan terapi bermain di RS Monompia
Kotamobagu tahun 2016
Reaksi anak n Mean Mean Rank SD P Value
nilai mean, hasil uji statistik didapatkan nilai p-Value sebesar 0,000 < α
Anak usia toodler yang dirawat di rumah sakit akan merasa tidak aman
dan nyaman serta tidak mengerti kenapa harus di rawat, berpisah dengan
orang terdekat dan cemas dengan lingkungan yang baru. Anak akan
menganggap hospitalisasi sebagai pengalaman yang menakutkan, sehingga
dibutuhkan cara – cara tertentu dalam bentuk bermain yang dapat
memperbaiki konsep anak tentang prosedur medis, peralatan dan tujuan
penggunaannya serta tindakan medis yang diberikan (Wong, DL 1996)
Bermain di Rumah Sakit membantu anak merasa lebih aman terhadap
lngkungan yang asing, mengurangi stres perpisahan dan perasaan rindu,
menghilangkan ketegangan dan mengekpresikan perasaan, mendorong
interaksi dan mengembangkan sikap yang positif terhadap orang lain,
memberikan pengalaman terhadap ide yang kreatif, memfasilitasi pencapaian
tujuan teraperautik, menempatkan anak pada posisi yang berperan aktif dan
memberikan mereka kesempatan untuk memilih. Untuk itu, bermain dapat
dijadikan sebagai suatu terapi karena berfokus pada kebutuhan anak untuk
mengekpresikan diri melalui penggunaan mainan dalam aktivitas bermain dan
dapat juga digunakan untuk membantu anak mengerti tentang penykitnya
sehingga anak dapat menerima tindakan medis yang diberikan (Mc. Guiness,
2001)
Hasil observasi yang dilakukan menunjukan bahwa aktivitas bermain
dapat memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan untuk menerima
tindakan medis yang diberikan yaitu pemberian obat oral. Hal ini dapat
dipahami karena hampir sebagian besar anak di rumah biasanya dihabiskan
untuk bermain. Setelah anak sampai di rumah sakit dan mendapatkan
perawatan, kebebasan anak menjadi berkurang. Hal ini menjadi sala satu
stressor yang dirasakan anak selama menjalani perawatan. Bermain di rumah
sakit memberikan kesempatan bagi anak untuk bertanya, merasa takut dan
memperhatikan terhadap luka atau penyakitnya, pengobatan, tindakan medis
dan lingkungan rumah sakit serta menyediakan kebebasan untuk
mengekpresikan emosi dan memberikan perlindungan pada anak terhadap
stress karena membantu untuk menanggulangi pengalaman yang tidak
menyenangkan(Dewi, 2013)
Hasil penelitian menunjukan karakteristik responden menurut jenis
kelamin terdiri dari 18 anak (60,0%) anak perempuan. Ini menunjukkan anak
perempuan cenderung lebih menyesuaikan diri dibandingkan dengan anak
laki-laki. Anak perempuan mempunyai sikap memahami dan menerima yang
baik dan menyesuaikan tingkah laku. Saat anak diberikan terapi bermain
dengan menggunakan boneka sebagai media, perawat mendemonstrasikan
boneka tersebut sebagai pasien yang menolak minum obat kemudian sambil
perawat berupaya meyakinkan boneka agar mau minum obat. Sehingga anak
dapat termotivasi dan mau menerima tindakan pemberian obat oral (Wong,
DL, 1996)
Karakteristik lain adalah umur, hasil penelitian menujukkan 40% yaitu
anak toodler berumur 2 tahun, ini menunjukkan bahwa anak toodler usia 2
tahun usia dimana anak berada pada masa pertumbuhan dan perkembangan
untuk anak dapat merespon menolak atau menerima terhadap tindakan yang
diberikan. Karenanya menurut wong DL, 1996, untuk memenuhi kebutuhan
anak yang dihospitalisasi, sangatlah penting bagi perawat pediatric untuk
memiliki pengetahuan tentang pertumbuhan dan perkembangan normal,
termasuk beberapa pemahaman tentang proses kognitif anak dan arti
hospitalisasi bagi nak pada kelompok usia berapapun
Dalam proses hospitalisasi bermain dapat dijadikan sebagai suatu cara
untuk mencapai tujuan terapeutik. Tindakan medis ataupun tindakan
keperawatan yang akan dilakukan sebaiknya memperhatikan aspek
pertumbuhan dan perkembangan anak terutama mengenai kebutuhan bermain
sehingga tindakan pemberian obat oral yang dilakukan dapat diterima. Karena
anak lebih cenderung tidak menyukai rasa yang pahit dan tidak enak pada obat
sehingga melakukan respon menolak saat akan memberikan obat oral
Hasil penelitan menunjukkan 86,7 % anak memberikan reaksi menerima
saat tindakan pemberian obat oral setelah di berikan terapi bermain pada
anak. Aktivitas bermain yang dilakukan untuk memotivasi anak dalam
pemberian obat oral dengan menceritakan kepada anak tentang kisah anak
yang minum obat, mendemontrasikan boneka sebagai media dan berperan
sebagai perawat sehingga perawat berupaya meyakinkan boneka agar mau
minum obat, Menanyakan kepada anak mengenai makanan dan minuman
yang disenangi untuk dimakan atau diminum setelah minum obat untuk
menghilangkan rasa tidak enak obat, dan luangkan waktu bersama anak
setelah pemberian obat. Dengan begitu anak lebih mengetahui dan paham
tentang prosedur yang akan dilakukan. Anak juga lebih mengerti bahwa
pengobatan dan perawatan juga dilakukan pada teman lain dan bertujuan
untuk kesembuhan dirinya (Wong DL, 1996).
Hasil penelitian berdasarkan uji statistik (uji wilcoxon) didapatkan nilai
p-Value sebesar 0,000 dinama < α (5%), yang berarti Ho ditolak Ha diterima.
Hasil ini menunjukan bahwa secara statistik ada pengaruh yang signifikan
dalam pemberian terapi bermain terhadap penerimaan anak usia toodler pada
tindakan pemberian obat oral di RS monompia kotamobagu.
Menurut wong 1995 dalam Ghofar 2004, permainan adalah satu dari
aspek yang paling penting dalam kehidupan seorang ana, dan merupakan salah
satu dari aspek yang paling penting dalam kehidupan seorang anak, dan
merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menghadapi dan
mengatasi stress. Permainan adalah “pekerjaan” anak, dan dalam lingkup
rumah sakit permainan akan memberikan peluang untuk meningkatkan
ekspresi emosional anak, termasuk pelepasan yang aman dari rasa marah,
benci takut dan sedih.
Pemberian terapi bermain pada anak usia toodler membuat anak menjadi
familiar dengan prosedur tindakan yang dilakukan padanya. Anak jauh lebih
termotivasi terhadap tindakan yang diberikan seperti pemberian obat oral.
Anak dilatih untuk menerima kondisinya saat menjalani perawatan sehingga
Perlu adanya fasilitas bermain untuk anak di bangsal bedah anak. Hal ini
berguna untuk membantu anak menyesuaikan diri terhadap tindakan
traumatick yang dilakukan padanya (Dewi,2006)