Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Definisi dokter keluarga (DK) atau dokter praktek umum (DPU) yang
dicanangkan oleh WONCA adalah dokter yang mengutamakan penyediaan pelayanan
komprehensif bagi semua orang yang mencari pelayanan kedokteran dan mengatur
pelayanan oleh provider lain bila diperlukan. Dokter ini adalah seorang generalis
yang menerima semua orang yang membutuhkan pelayanan kedokteran tanpa adanya
pembatasan usia, jenis kelamin ataupun jenis penyakit. Dokter yang mengasuh
individu sebagai bagian dari keluarga dan dalam lingkup komunitas dari individu
tersebut tanpa membedakan ras, budaya dan tingkatan sosial. Secara klinis dokter ini
berkompeten untuk menyediakan pelayanan dengan sangat mempertimbangkan dan
memperhatikan latar budaya, sosial ekonomi dan psikologis pasien. Sebagai
tambahan, dokter ini bertanggung jawab atas berlangsungnya pelayanan yang
komprehensif dan berkesinambungan bagi pasiennya. Pelayanan diberikan kepada
semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia ataupun jenis penyakitnya.

Pelayanan Dokter Keluarga melibatkan Dokter Keluarga (DK) sebagai


penyaring di tingkat primer, dokter Spesialis (DSp) di tingkat pelayanan sekunder,
rumah sakit rujukan, dan pihak pendana yang kesemuanya bekerja sama dibawah
naungan peraturan dan perundangan. Pelayanan diselenggarakan secara
komprehensif, kontinu, integratif, holistik, koordinatif, dengan mengutamakan
pencegahan, menimbang peran keluarga dan lingkungan serta pekerjaannya.
Pelayanan diberikan kepada semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia
ataupun jenis penyakitnya.

Dokter keluarga harus mempunyai kompetensi khusus yang lebih dari pada
seorang lulusan fakultas kedokteran pada umumnya. kompetensi yang harus dimiliki
oleh setiap Dokter Keluarga secara garis besarnya ialah :
Menguasai dan mampu menerapkan konsep operasional kedokteran keluarga,

1
Menguasai pengetahuan dan mampu menerapkan ketrampilan klinik dalam pelayanan
kedokteran keluarga, Menguasai ketrampilan berkomunikasi
Dan diharapkan dapat menyelenggarakan hubungan profesional dokter-pasien untuk
Secara efektif berkomunikasi dengan pasien dan semua anggota keluarga dengan
perhatian khusus terhadap peran dan risiko kesehatan keluarga, Secara efektif
memanfaatkan kemampuan keluarga untuk berkerjasana menyelesaikan masalah
kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta
pengawasan dan pemantauan risiko kesehatan keluarga, Dapat bekerjasama secara
profesional secara harmonis dalam satu tim pada penyelenggaraan pelayanan
kedokteran/kesehatan.

Prinsip-prinsip pelayanan dokter keluarga di Indonesia mengikuti anjuran


World Health Organization (WHO) dan World Organization of National College,
Academic and Academic Assiciation of General Practitioners/Family Physician
(WONCA). Prinsip-prinsip pelayanan/pendekatan kedokteran keluarga adalah
memberikan/mewujudkan pelayanan yang holistik dan komprehensif, kontinu,
mengutamakan pencegahan, koordinatif dan kolaboratif, personal bagi setiap pasien
sebagai bagian integral dari keluarganya, mempertimbangkan keluarga, lingkungan
kerja, dan lingkungan tempat tinggalnya, menjunjung tinggi etika dan hukum, dapat
diaudit dan dapat dipertanggungjawabkan, sadar biaya dan sadar mutu. Pelayanan
yang disediakan dokter keluarga adalah pelayanan medis strata pertama untuk semua
orang yang bersifat paripurna (comprehensive), yaitu termasuk pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit dan proteksi khusus
(preventive and specific protection), pemulihan kesehatan (curative), pencegahan
kecacatan (disability limitation) dan rehabilitasi setelah sakit (rehabilitation) dengan
memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan mediko legal etika kedokteran.

Dengan adanya prinsip utama pelayanan dokter keluarga secara holistik,


perlulah diketahui berbagai latar belakang pasien yang menjadi tanggungannya, serta
dapat selalu menjaga kesinambungan pelayanan kedokteran yang dibutuhkan oleh
pasien. Untuk dapat mewujudkan pelayanan kedokteran yang seperti ini, banyak

2
upaya yang dapat dilakukan. Salah satu diantaranya yang dipandang mempunyai
peran amat penting adalah melakukan kunjungan rumah (home visit) serta melakukan
perawatan pasien dirumah (home care) terhadap keluarga yang membutuhkan.1

Terwujudnya keadaan sehat merupakan kehendak semua pihak. Tidak hanya


per orang atau keluarga, tetapi juga oleh kelompok dan bahkan oleh seluruh anggota
masyarakat. Adapun yang dimaksudkan sehat di sini ialah keadaan sejahtera dari
badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomi.2

Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif. Penyakit diabetes melitus terdapat pada sekitas 1%
wanita usia reproduksi 1-2% diantaranya akan menderita diabetes gestasional.
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemi (meningkatnya kadar gula darah) yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya.3,4

3
BAB II
HOME VISIT

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Edmont Ferdinan
2. Tempat/Tanggal lahir : Tombatu 9 juni 1942
3. Umur : 74 tahun
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Agama : Kristen Protestan
6. Alamat : Teling 1 atas
7. Status Pernikahan : Sudah Menikah
8. Tanggal Kunjungan : 16 Mei 2017

B. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


Keadaan Umum : cukup
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital : N : 72 x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,6°C
T : 140/90 mmHg
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pembesaran
kelenjar getah bening regional (-)
Thoraks : pulmo: simetris, stem fremitus kanan=kiri, sonor
kanan=kiri, sp.vesikuler, ronki (-), wheezing (-), cor: BJ
I-II regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : datar, lemas, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba,
timpani, bising usus (-) meningkat
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), tidak ada deformitas
BB : 62 Kg
TB : 165 cm

4
C. PENETAPAN MASALAH PASIEN
1. Riwayat medis
Pada awalnya penderita mengeluh merasakan keram disekitar pundak dan
jari-jari tangan sampai tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari.
Kemudian penderita merasakan jantung berdebar-debar, serta penderita
mengelukan sering merasa haus dan lapar tetapi berat badan menurun.
Saat diperiksa gula darah hasilnya 245 g/dl dan tekanan darah 140/100
mmHg.
2. Riwayat penyakit keluarga
Hanya penderita yang mengalami penaykit ini dalam keluarga.
3. Riwayat kebiasaan
Penderita sering mengonsumsi makanan manis dan minum kopi.
4. Riwayat sosial ekonomi
Hubungan keluarga dengan tetangga atau orang sekitar baik, saling
membantu jika ada kesulitan. Tidak ada masalah baik di rumah maupun di
masyarakat. Hubungan penderita dengan keluarga baik. Pendidikan
tertinggi pada keluarga tersebut yaitu SMA. Penderita tinggal di kawasan
perumahan, jarak antar rumah sangat dekat. Kebutuhan pokok keluarga
terpenuhi dari penghasilan penderita.
5. Riwayat gizi
Penderita memiliki berat badan 62 kg, tinggi badan 165cm, dan indeks
massa tubuh 23 kg/m2, sehingga status gizi termasuk dalam kategori
overweight.
6. Diagnosis holistik (biopsikososial)
Personal : Keram di sekitar bahu, keram pada tangan, jantung
berdebar-debar, pusing, lemah, poliuri, polifagi,
polidipsi.
Klinis : DM tipe 2 + Hipertensi
Faktor : internal: kelebihan berat badan.

5
eksternal: sering makan tidak terkontrol.
Psikososial : penderita adalah seorang ayah dari 2 orang anak,
dan anak ke-4 dari 5 orang bersaudara
Skala fungsi sosial : skala 2(sedikit kesulitan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari)
D. FUNGSI KELUARGA
1. Fungsi biologis
Keluarga tersebut merupakan keluarga luas (extended family) yang =
mencakup kerabat dekat baik dari ayah maupun ibu, memiliki fungsi
memenuhi kebutuhan gizi keluarga dan memelihara serta merawat
anggota keluarga. Keluarga tersebut terdiri dari penderita, seorang istri, 2
orang anak.
2. Fungsi sosial
Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga hanya sebagai anggota masyarakat
biasa. Keluarga tersebut sering mengikuti kegiatan masyarakat dan
komunikasi antar tetangga cukup baik.
3. Fungsi psikologis
Penderita tinggal dengan istri dan 2 orang anak. Hubungan keluarga
terjalin akrab dan harmonis dengan kemampuan menyelesaikan masalah
secara musyawarah.
4. Fungsi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan
Penghasilan keluarga sekitar Rp. 1.000.000 – 2.000.000/bulan. Penderita
sehari-harinya makan sebanyak 2x, dengan nasi, sayur, dan lauk pauk.
5. Fungsi fisiologis (skor APGAR)
APGAR score adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga
ditinjau dari sudut pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya
dengan anggota keluarga yang lain. APGAR score meliputi:

6
1. Adaptation
Kemampuan anggota keluarga tersebut beradaptasi dengan anggota
keluarga yang lain, serta penerimaan, dukungan dan saran dari anggota
keluarga yang lain.
2. Partnership
Menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi antara
anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga
tersebut.
3. Growth
Menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang
dilakukan anggota keluarga tersebut.
4. Affection
Menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar anggota
keluarga.
5. Resolve
Menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan dan
waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain.

Terdapat 3 kategori penilaian yaitu: nilai rata-rata ≤ 5 kurang, 6-7 cukup


dan 8-10 adalah baik. Pada keluarga tersebut belum dilakukan penilaian.

6. Fungsi patologis (SCREEM)

SUMBER PATOLOGIS KET.

Social Ikut berpartisipasi dalam kegiatan di lingkungannya. -


Kepuasan atau kebanggaan terhadap budaya baik dapat
Culture dilihat pada pengobatan/ramuan tradisional yang masih -
digunakan.
Pemahaman terhadap ajaran agama cukup, demikian
Religious -
juga dalam ketaatannya dalam beribadah.
Economic Penghasilan keluarga yang kurang stabil. -

7
Tingkat pendidikan dan pengetahuan keluarga tersebut
Educational -
cukup.
Keluarga tersebut kurang mampu membiayai pelayanan
Medical kesehatan, sehingga jika tidak cukup parah tidak akan -
dibawa ke rumah sakit.

Penderita dan keluarga tidak mempunyai fungsi patologis.

7. Kesimpulan permasalah fungsi keluarga


Bapak Edmont Ferdinan umur 72 tahun dengan DM tipe 2 + Hipertensi ,
fungsi sosial, fungsi psikologis, dan fungsi ekonomi yang cukup baik.

E. KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA


Hubungan Keadaan
No. Nama Anggota Umur Jenis Kelamin
Keluarga Fisik
1. EF 72 tahun Laki-laki Pasien Sakit
2. SP 64 tahun Perempuan Istri Sehat
3. DF 35 tahun Laki-Laki Anak Sehat
4. MF 30 tahun Perempuan Anak Sehat

8
F. STRUKTUR KELUARGA (GENOGRAM)

Keterangan:
= Laki-laki = Penderita

= Perempuan

= Meninggal

G. INTERAKSI KELUARGA
Hubungan penderita dengan keluarga baik. Hubungan keluarga terjalin akrab
dan harmonis dengan kemampuan menyelesaikan masalah secara musyawarah.
Keluarga tersebut terbuka terhadap perbedaan pendapat dan dan menghindari
debat yang tidak perlu, bila tidak sependapat. Komunikasi antar anggota
keluarga baik, saling membagi, saling mengisi antara anggota keluarga dalam
segala masalah yang dialami oleh keluarga tersebut.

H. KEADAAN RUMAH DAN LINGKUNGAN


1. Kepemilikan rumah : rumah pribadi
2. Ukuran rumah : luas ± 200 m2
3. Daerah rumah : padat, bersih, teras kecil, rumah rapi
4. Bertingkat/tidak : tidak bertingkat
5. Ruang tamu : 1 ruang
6. Ruang keluarga : 1 ruang
7. Kamar tidur : 3 ruang

9
8. Kamar mandi/WC : 2 ruang
9. Dapur : 1 ruang
10. Ruang lainnya : -
11. Dinding rumah : tembok
12. Ventilasi rumah : ada di setiap ruang
13. Lantai rumah : tehel
14. Atap rumah : seng
15. Sumur/sumber air : Perusahaan Air Minum (PAM)
16. Sumber/listrik : Perusahaan Listrik Negara (PLN)
17. Septic tank : ada
18. Tempat Pembuangan sampah : tempat pembuangan sampah sementara
19. Jumlah penghuni rumah : 4 orang

I. DENAH RUMAH

WCKamar WC
tidur Kamar tidur
RUANG TAMU

Ruang tamu
Ruang makan

3 Ru 2 KAMAR

Dapur ang TIDUR 1

kel
uar
J. DAFTAR MASALAH ga
1. Masalah medis
a. Pola makan yang tidak teratur
b. Kebiasaan konsumsi makanan tinggi kolesterol
c. Kebiasaan merokok

10
2. Masalah nonmedis
a. Penderita kurang beraktivitas fisik
b. Pekerjaan kantor yang padat
K. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan (penderita, bentuk keluarga, diagnosis biopsikososial)
Personal : Keram di sekitar bahu dan jari-jari tangan, jantung
berdebar, Polidipsi, poliuri, polifagi, pusing dan
kelemahan.
Klinis : DM tipe 2 + Hipertensi
Faktor : internal: kelebihan berat badan.
eksternal: sering makan tidak terkontrol.
Psikososial : penderita adalah seorang ayah dari 2 orang anak,
dan anak ke-4 dari 5 orang bersaudara.
Skala fungsi sosial : skala 2 (sedikit kesulitan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari)
Fungsi keluarga : cukup baik
2. Saran (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif)
Promotif :
a. Pembinaan mental keagamaan
b. Meningkatkan kegiatan sosial di masyarakat
c. Menghindarkan kebiasaan buruk
d. Penanggulangan masalah kesehatannya sendiri secara benar
Preventif :
a. Kesehatan lingkungan.
b. Penyuluhan pencegahan kemungkinan terjadinya Diabetes
Mellitus.
Kuratif :
a. Deteksi dini gejala dan tanda pada pasien yang memiliki indikasi
Hipertensi dan Hiperkolesterolemia
b. Pemeriksaan anamnesis maupun fisik diagnostik yang memadai

11
c. Serta pemeriksaan lengkap keseluruhan.

Rehabilitatif :
a. Upaya hidup sehat, berolahraga, mengatur pola makan, dan
penjelasan tentang pengaturan pola makan dan gaya hidup sehat.

12
BAB III
PEMBAHASAN

A. Definisi Diabetes Melitus


Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus
(DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan DM.
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi yaitu:5
1. Ras dan etnik
Predisposisi genetik yang bermakna pada penyakit DM ditemukan pada
kelompok etnik tertentu.Sebagai contoh, kurang lebih 25% kelompok
Hispanik berusia lebih dari 45 tahun mengidap diabetes.
2. Riwayat keluarga dengan diabetes (keturunan)
DM bukan penyakit menular tapi diturunkan, namun bukan berarti anak dari
kedua orangtua yang diabetes pasti akan mengidap diabetes juga, sepanjang
bisa menjaga dan menghindari faktor resiko yang lain.
3. Umur
Resiko untuk mendeita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia, dengan semakin bertambahnya umur kemampuan jaringan
mengambil glukosa darah semakin menurun. Usia> 45 tahun harus dilakukan
pemeriksaan DM.
4. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional (DMG).
5. Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2500 gram. Bayi yang
lahir dengan BB rendah mempunyai resiko yang lebih tinggi dibanding
dengan bayi baru lahir dengan BB normal.
Adapun faktor risiko penyebab DM yang bisa dimodifikasi yaitu :
1. Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2)

13
2. Kurangnya aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan kurangnya
pembakaran energi oleh tubuh sehingga kelebihan energi dalam tubuh akan
disimpan dalam bentuk lemak dalam tubuh.
3. Hipertensi (> 140/90 mmHg)
4. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
5. Diet tidak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat
akan meningkatkan resiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan DM
tipe 2.

B. Klasifikasi Diabetes Melitus


Menurut PERKENI (2015), DM diklasifikasikan menjadi:6
1. Diabetes mellitus tipe 1
Berdasarkan etiologinya, DM tipe 1 atau biasa disebut insulin dependent
diabetes melitus (IDDM) didefinisikan sebagai adanya gangguan produksi
insulin sehingga penderita membutuhkan pasokan insulin (Suherman,
2008).Kurangnya sekresi insulin pada diabetes mellitus tipe 1 disebabkan
kerusakan yang bersifat autoimun di sel beta pankreas penghasil insulin.Ada
sekitar 5-10% penderita diabetes yang mengalami diabetes tipe ini dan
biasanya muncul sebelum penderita berusia 40 tahun.

2. Diabetes mellitus tipe 2


Secara etiologi, DM tipe 2 atau non-insulin dependent diabetes mellitus
(NIDDM) merupakan suatu kondisi resistensi insulin atau kekurangan sekresi
insulin yang terjadi secara progresif dari waktu ke waktu. Sekitar 90-95% dari
kasus diabetes, penderitanya mengalami DM tipe 2. Diabetes mellitus tipe 2
lazimnya terjadi pada usia lebih dari 40 tahun dan insidensinya lebih banyak
pada orang dengan tubuh gemuk maupun usia lanjut.

14
3. Diabetes mellitus gestasional (kehamilan)
Diabetes mellitus gestasional (DMG) didefinisikan sebagai kondisi intoleransi
glukosa yang terjadi selama masa kehamilan.Penyakit ini terjadi sekitar 7%
dari semua kehamilan.Deteksi klinis sangatlah penting untuk memulai terapi
sehingga angka morbiditas dan mortilitas dapat dikurangi.

4. Diabetes melitus tipe lain


Diabetes mellitus tipe lain dapat disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta
maupun kerja insulin, endokrinopati, infeksi, penyakit eksokrin pankreas,
penggunaan obat atau zat kimia, penyakit imunologi, dan sindrom genetik lain
yang berkaitan dengan DM.

C. Tanda dan Gejala Diabetes Melitus


Gejala yang sering dikeluhkan yaitu poliuria, polidipsia, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya. Keluhan lain yang
mungkin dirasakan pasien antara lain gangguan konsentrasi, badan lemas atau
mudah lelah, luka sukar sembuh dan kesemutan pada tangan dan kaki, mata
kabur, disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulva pada wanita.5,6

D. Diagnosa dan Penanganan Diabetes Melitus


Diabetes melitus tipe 1 mudah didiagnosa karena pasien biasanya
merasakan semua gejala diabetes dan nilai glukosa darah serta urin yang tinggi,
sedangkan DM tipe 2 sulit didiagnosa karena pasien seringkali tidak mengalami
gejala. Kriteria diabetes bagi semua individu yang tidak hamil menurut American
Diabetes Association (ADA) yaitu sebagai berikut:5,6
1. Mengalami beberapa gejala dan tanda DM (poliuria, polidipsia, ketonuria, dan
penurunan berat bedan yang tiak diketahui penyebabnya) disertai dengan
kadar glukosa darah sewaktu (GDS) ≥200 mg/dL (11,0 mmol/L).

15
2. Kadar gula darah puasa (GDP) ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa diartikan
sebagai tidak mengkonsumsi kalori sekurang-kurangnya 8 jam sebelum
pemeriksaan.
3. Tes toleransi glukosa oral dilakukan dengan cara setelah pemberian glukosa
secara oral (75 g glukosa untuk dewasa atau 1,75 g/kg untuk anak-anak),
kadar glukosa darah vena mencapai ≥200 mg/dL pada 2 jam setelahnya dan
mencapai >200mg/dL pada 1 jam diwaktu yang lain selama pemeriksaan (0,5;
1; 1,5 jam).
Berikut ini merupakan alur penatalaksanaan diabetes melitus menurut
PERKENI 2015:

Gambar 1. Alur penatalaksanaan DM Tipe 2

E. Pengendalian Kadar Gula Darah


Pengendalian gula darah yakni menjaga kadar glukosa darah dalam
kisaran normal seperti bukan DM, sehingga dapat terhindar dari hyperglikemia
dan hypoglikemia. Pengendalian DM tidak hanya sekedar menjaga kadar gula

16
darah dalam batas normal, namun dibutuhkan pengendalian penyakit penyerta dan
mencegah terjadinya penyakit kronik. Oleh sebab itu, faktor-faktor risiko dan
indikator penyulit perlu pemantauan ketat sehingga pengendalian DM dapat
dilakukan dengan baik.
Tujuan pengendalian DM dapat dibagi menjadi tujuh tujuan, seperti:
menghilangkan gejala, menciptakan dan mempertahankan rasa sehat,
memperbaiki kualitas hidup, mencegah komplikasi akut dan kronik, mengurangi
laju perkembangan komplikasi yang telah ada, mengurangi kematian dan
mengobati penyakit penyerta bila ada.5,6

Tabel 1. Kriteria Pengendalian Penyakit Diabetes Melitus

F. Strategi Pengendalian Kadar Gula Darah


Pengendalian kadar gula darah pada penderita diabetes secara umum
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan tujuan jangka pendek
adalah untuk menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman serta dapat mencapai target pengendalian glukosa darah. Sedangkan
tujuan jangka panjang dalam penatalaksanaan pengendalian kadar gula darah ini
yakni untuk mencegah atau menghambat penyakit makroangiopati,
mikroangiopati dan neuropati sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas dari DM.5,6

17
Kerangka utama dalam pengelolaan DM yaitu edukasi, terapi gizi medis,
latihan jasmani dan intervensi farmakologi:
1. Edukasi
Edukasi DM merupakan pelatihan dan pendidikan tentang pengetahuan dan
keterampilan penderita DM sebagai suatu langkah untuk meningkatkan
pemahaman terhadap penyakit, untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik
(Soegondo, 2007).Edukasi yang diberikan, diharapkan terjadi perubahan
perilaku pada penderita DM kearah yang lebih baik. Perubahan perilaku ini
didukung oleh partisipasi aktif penderita DM serta keluarga dan tim
kesehatan.6
2. Terapi Makanan Medis
Terapi makanan medis memiliki prinsip pengaturan makan yakni makanan
yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori serta zat gizi masing-
masing individu.Pada penatalaksanaan ini, untuk mencapai keberhasilan
diperlukan keterlibatan dari tenaga kesehatan, penderita DM dan
keluarga.Selain itu, perlunya ditekankan bahwa keteraturan makan dalam
jadwal, jenis dan jumlah makanan terutama pada penderita DM yang
menggunakan obat hypoglykemik atau insulin sangatlah penting. Pada
konsensus perkumpulan endokrinologi Indonesia telah menetapkan bahwa
standar yang dianjurkan yaitu santapan dengan komposisi seimbang berupa
karbohidrat (60-70%), protein (10-15%) dan lemak (20-35%).
Makanan yang diberikan telah disesuaikan dengan jumlah energi yang
dihitung kemudian didistribusikan kedalam tiga porsi makan, yakni makan
pagi 20%, makan siang 30% dan makan sore 25% serta 2-3 porsi makanan
ringan sebanyak 10-15% diantara makan besar.6
3. Latihan Jasmani
Latihan jasmani pada penderita DM bertujuan untuk menurunkan berat badan
serta memperbaiki sensitivitas insulin agar dapat mengendalikan kadar gula
darah menjadi lebih baik. Penderita DM dianjurkan latihan jasmani 3 hingga 4
kali tiap minggu selama ±0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continuous,

18
Rhytmica, Interval, Progresive, Endurance Training). Latihan dilakukan
secara terus menerus, otot-otot berkontraksi dan berelaksaasi secara teratur,
bergantian antara gerak cepat dan lambat, berangsur-angsur dari sedikit
kelatihan yang lebih berat secara bertahap dan dalam tahap waktu tertentu.
Latihan yang dapat dijadikan pilihan seperti: jalan kaki, jogging, lari, renang
bersepeda dan mendayung.5,6
4. Intervensi Farmakologi
Terapi farmakologi pada penderita DM dapat dibagi menjadi 2 yaitu obat
hipoglikemik oral (OHO) dan terapi insulin dilakukan bersama dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani. Apabila pengaturan makanan dan
kegiatan jasmani telah dilakukan oleh penderita DM secara teratur, tetapi
kadar glukosa darah tidak stabil maka dipertimbangkan pemakaian obat
berkhasiat hipoglikemik baik oral maupun suntik. Contoh obat hipoglikemik
oral: sulfoniluria, biguanid, inhibitor α glukosidase, insulin sensitizing
agent.5,6

G. Pengertian Hipertensi

Hipertensi atau penyakit darah tinggi adalah suatu gangguan pada


pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa
oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan.
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat
melebihi batas normal. Batas tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan
usia. Dimana tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg dan tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg. Berbagai faktor dapat memicu terjadinya hipertensi,
walaupun sebagian besar (90%) penyebab hipertensi tidak diketahui (hipertensi
essential). Penyebab tekanan darah meningkat adalah peningkatan kecepatan
denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah dari tepi
dan peningkatan volume aliran darah.

19
Penyakit hipertensi merupakan penyakit kelainan jantung yang
ditandai oleh meningkatnya tekanan darah dalam tubuh. Seseorang yang
terjangkit penyakit ini biasanya berpotensi mengalami penyakit-penyakit lain
seperti stroke, dan penyakit jantung.

H. Epidemiologi Hipertensi

Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang


memberi gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk
otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot
jantung. Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan
masyarakat yang ada di indonesia maupun di beberapa negara yang ada di
dunia. Semakin meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien
dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah. Saat ini, angka
kematian karena hipertensi di Indonesia sangat tinggi. Hipertensi merupakan
penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis, yakni mencapai
6,7% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia. Hipertensi
merupakan gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan
tekanan darah di atas normal, yaitu 140/90 mmHg. Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2007 menunjukan prevalensi hipertensi
secara nasional mencapai 31,7% (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia).
Dari jumlah itu, 60% penderita hipertensi berakhir pada stroke.
Sedangkan sisanya pada jantung, gagal ginjal, dan kebutaan. Sementara di
dunia Barat, hipertensi justru banyak menimbulkan gagal ginjal, oleh karena
perlu diadakan upaya-upaya untuk menekan angka peyakit hipertensi terlebih
bagi penderita hipertensi perlu diberikan perawatan dan pengobatan yang
tepat agar tidak menimbukan komplikasi yang semakin parah. Selain itu
pentingnya pemberian asuhan keperawatan pada pasien hipertensi juga sangat
diperlukan untuk melakukan implementasi yang benar pada pasien hipertensi.
Diharapkan dengan dibuatnya makalah tentang asuhan keperawatan
klien dengan gangguan hipertensi ini dapat memberi asuhan keperawatan yang
tepat dan benar bagi penderita hipertensi dan dapat mengurangi angka
kesakitan serta kematian karena hipertensi dalam masyarakat.

20
I. Klasifikasi Hipertensi
Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pengukuran rata – rata dua
kalai atau lebih pengukuran pada dua kali atau lebih kunjungan. Beberapa
klasifikasi hipertensi :

a. Klasifikasi Menurut Joint National Commite 7


Komite eksekutif dari National High Blood Pressure Education
Program merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari 46 professionalm
sukarelawan, dan agen federal. Mereka mencanangkan klasifikasi JNC
(Joint Committe on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure) pada tabel 1, yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi
nasional Amerika Serikat (Sani, 2008).
Tabel 2
Klasifikasi Menurut JNC (Joint National Committe on Prevention,
Detection, Evaluatin, and Treatment of High Blood Pressure)

Kategori Kategori Tekanan dan/ Tekanan


Tekanan Darah Tekanan Darah Darah Sistol atau Darah Diastol
menurut JNC 7 menurut JNC 6 (mmHg) (mmHg)
Normal Optimal < 120 dan < 80
Pra-Hipertensi 120-139 atau 80-89
- Nornal < 130 dan < 85
- Normal-Tinggi 130-139 atau 85-89
Hipertensi: Hipertensi:
Tahap 1 Tahap 1 140-159 atau 90-99
Tahap 2 - ≥ 160 atau ≥ 100
- Tahap 2 160-179 atau 100-109
Tahap 3 ≥ 180 atau ≥ 110

21
Data terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang
sebelumnya dipertimbangkan normal ternyata menyebabkan peningkatan
resiko komplikasi kardiovaskuler. Data ini mendorong pembuatan
klasifikasi baru yang disebut pra hipertensi.
b. Klasifikasi Menurut WHO (World Health Organization)
WHO dan International Society of Hypertension Working Group
(ISHWG) telah mengelompokkan hipertensi dalam klasifikasi optimal,
normal, normal-tinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi
berat.
Tabel 3
Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO
Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah
Sistol (mmHg) Diatol (mmHg)
Optimal
Normal < 120 < 80
Normal-Tinggi < 130 < 85
130-139 85-89
Tingkat 1 (Hipertensi Ringan) 140-159 90-99
Sub-group: perbatasan 140-149 90-94
Tingkat 2 (Hipertensi Sedang) 160-179 100-109
Tingkat 3 (Hipertensi Berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 < 90
(Isolated systolic
hypertension)
Sub-group: perbatasan 140-149 <90

c. Klasifikasi Hipertensi Menurut Bentuknya :


 Pertama yaitu hipertensi sistolik adalah jantung berdenyut terlalu
kuat sehingga dapat meningkatkan angka sistolik. Tekanan sistolik

22
berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung
berkontraksi (denyut jantung). Ini adalah tekanan maksimum
dalam arteri pada suatu saat dan tercermin pada hasil pembacaan
tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.
 Kedua yaitu hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah
kecil menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar
tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan
tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik berkaitan dengan
tekanan dalam arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi
diantara dua denyutan.
d. Klasifikasi Hipertensi Menurut Sebabnya Dibagi Menjadi Dua, yaitu
sekunder dan primer. Hipertensi sekunder merupakan jenis yang penyebab
spesifiknya dapat diketahui.
e. Klasifikasi Hipertensi Menurut Gejala Dibedakan Menjadi :
 Hipertensi Benigna adalah keadaan hipertensi yang tidak
menimbulkan gejala-gejala, biasanya ditemukan pada saat
penderita dicek up.
 Hipertensi Maligna adalah keadaan hipertensi yang
membahayakan biasanya disertai dengan keadaan kegawatan yang
merupakan akibat komplikasi organ-organ seperti otak, jantung
dan ginjal.

J. Faktor Resiko Hipertensi


Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya
sudah mempunyai faktor resiko tambahan, tetapi kebanyakan asimptomatik.
Faktor Resiko Mayor
 Hipertensi
 Merokok
 Obesitas
 Immobilitas

23
 Dislipidemia
 Diabetes mellitus
 Mikroalbuminuria atau perkiraan GFR<60 ml/min
 Umur (>55 tahun untuk laki-laki, >65 tahun untuk perempuan)
 Riwayat keluarga untuk penyakit kardiovaskular prematur (laki-
laki < 55 tahun atau perempuan < 65 tahun)
Kerusakan Organ Target
 Jantung : Left ventricular hypertrophy
Angina atau sudah pernah infark miokard
Sudah pernah revaskularisasi koroner
Gagal jantung
 Otak : Stroke atau TIA
 Penyakit ginjal kronis
 Penyakit arteri perifer
 Retinopathy

24
K. Patofisiologi Hipertensi
Renin

Angiotensin I

Angiotensin I Converting Enzyme


(ACE)

Angiotensin II

Stimulasi sekresi aldosteron


dari korteks adrenal

↑ Sekresi hormone ADH rasa


haus ↓ Ekskresi NaCl (garam) dengan
mereabsorpsinya di tubulus ginjal

Urin sedikit → pekat & ↑osmolaritas

↑ Konsentrasi NaCl
di pembuluh darah
Mengentalkan

Menarik cairan intraseluler → ekstraseluler


Diencerkan dengan ↑ volume
ekstraseluler

Volume darah ↑

↑ Volume darah

↑ Tekanan darah

↑ Tekanan darah

25
Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi
L. Etiologi Hipertensi
Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial tidak diketahui dengan
pasti. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus.
Hipertensi ini disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.
Hipertensi sekunder disebabkan oleh faktor primer yang diketahui seperti
kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu, stress akut, kerusakan vaskuler dan
lain – lain. Adapun penyebab paling umum pada penderita hipertensi maligna
adalah hipertensi yang tidak terobati. Risiko relatif hipertensi tergantung pada
jumlah dan keparahan dari faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan yang
tidak dapat dimodifikasi.
Gejala Klinis
 Sakit kepala
 Kelelahan
 Mual
 Muntah
 Sesak nafas
 Gelisah
 Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada
otak, mata, jantung dan ginjal.
 Cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.
 Nokturia yang disebabkan peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus.
 Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan
kapiler

M. Komplikasi Hipertensi

26
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel
arteri dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk
rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah
besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular
(stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard,
angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi
memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain (tabel 3), maka akan
meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya
tersebut. Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai
peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit
arteri perifer, dan gagal jantung.

N. Diagnosis Hipertensi
Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat
penyakit
dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan
prosedur diagnostik lainnya. Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan
darah yang benar, pemeriksaan funduskopi, perhitungan BMI (body mass
index) yaitu berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (meter kuadrat),
auskultasi arteri karotis, abdominal, dan bruit arteri femoralis; palpasi pada
kelenjar tiroid; pemeriksaan lengkap jantung dan paru-paru; pemeriksaan
abdomen untuk melihat pembesaran ginjal, massa intra abdominal, dan pulsasi
aorta yang abnormal; palpasi ektremitas bawah untuk melihat adanya edema
dan denyut nadi, serta penilaian neurologis. Pasien dengan hipertensi esensial
biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik yang utama adalah
meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali atau lebih dalam
waktu dua kali kontrol ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi. Tekanan
darah ini digunakan untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan sesuai
dengan tingkatnya.

27
BAB IV

PENUTUP

Meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien mutlak


dilakukan oleh dokter keluarga. Apabila memang ada kemampuan, seyogyanya
dokter keluarga dapat melakukan kunjungan rumah kepada semua keluarga yang
menjadi tanggung jawabnya. Sekalipun tujuan utama kunjungan rumah adalah untuk
mengumpulkan data pasien, namun sangat dianjurkan pada waktu kunjungan rumah
tersebut dapat sekaligus disampaikan nasehat dan ataupun dilakukan penyuluhan
kesehatan sesuai dengan hasil temuan.
Ada banyak manfaat yang diperoleh apabila melakukan kunjungan dan atau
perawatan di rumah dilakukan dengan sebaik-baiknya, antara lain dapat lebih
meningkatkan pemahaman dokter tentang pasien, meningkatkan hubungan dokter-
pasien, menjamin terpenuhinya kebutuhan dan tuntutan kesehatan pasien, dan
meningkatkan kepuasan pasien.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Azwar, Azrul. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Jakarta.IDI.2010


2. Azwar, Azrul, Goh L, Wonodirekso S. A Primer on Family Medicine
Practice. Singapore: Singapore International Foundation, 2009.
3. Waspadji, Sarwono dkk. Pedoman Diet Diabetes Melitus. Jakarta: FKUI,
2009.
4. PAPDI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4, jilid 3. Departemen
Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2006.
5. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes.
Diabetes Care. 2010;33.
6. Soebagijo AS, Hermina N, Yuanita AL, Ketut Suastika, dkk. Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB
PERKENI, 2015.
7. Braverman E, Braverman D. Penyakit Jantung & Penyembuhannya secara
Alami. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2006.
8. Lars H. Cholesterol. Jakarta: Kesaint Blanc, 1991.
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pharmaceutical Care Untuk
Penyakit Hipertensi. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI, 2006.

10. Bruner, Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Ed 8 Vol. 2.


Jakarta: EGC, 2001.
11. Copstead C, Lee E, Jacquelyn L, Banasik. Pathophysiology. Vol. 1.
Elsevier :St. Louis Missouri 63146, 2005.
12. Diklat PJT–RSCM. Buku Ajar Keperawatan Kardiologi Dasar Edisi 4.
Jakarta: RSCM, 2008.

29
13. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC,
1999.
14. Muttaqin A. Asuhan Keperawatan Dengan Pasien Gangguan
Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika, 2009.
15. Sofyan A. Hipertensi. Kudus, 2012.
16. Corwin, J Elizabeth. Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2000.

LAMPIRAN

30
31

Anda mungkin juga menyukai