SKENARIO 2
“REAKSI ALERGI”
Disusun oleh:
KELOMPOK A-1
UNIVERSITAS YARSI
Jl. Let. Jend. Suprapto. Cempaka Putih, Jakarta Pusat. DKI Jakarta. Indonesia. 10510. Telepon:
+62 21 4206675.
SKENARIO 2
REAKSI ALERGI
Seorang perempuan berusia 20 tahun, datang ke dokter dengan keluhan gatal-gatal serta
bentol-bentol merah yang hamper merata ke seluruh tubuh, timbul bengkakpada kelopak mata
dan bibir sesudah minum obat penurun panas (Parasetamol). Pada pemeriksaan fisik didapatkan
angioedema di mata dan bibir serta urtikaria di seluruh tubuh. Dokter menjelaskan keadaan ini
diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersesitivitas tipe cepat), sehingga ia mendapatkan obat anti
histamine dan kortikosteroid. Dokter memberikan saran agar selalu berhati-hati dalam meminum
obat sertaberkonsultasi dulu dengan dokter.
A. Kata-kata Sulit
1. Angioedema : Suatu pembengkakan edematous yang difuse pada jaringan lunak
umumnya melibatkan jaringan penghubung subkutan dan submukosa.
Pembengkakan ini disebabkan karena dilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler
2. Urtikaria : Reaksi alergi yang ditandai dengan bentol-bentol merah dan disertai rasa
gatal
3. Antihistamin : Zat yang mengurangi efek histamine dalam tubuh
4. Kortikosteroid : Hormon steroid yang dihasilkan kelenjar adrenal
5. Alergi : Respon imun spesifik yang tidak sesuai
B. Brainstroming
1. Mengapa bisa terjadi angioedema dan urtikaria?
2. Apa yang dimaksud dengan hipersensitivitas tipe cepat?
3. Mengapa dokter memberikan obat antihistamin dan kortikosteroid?
4. Mengapa paracetamol menyebabkan alergi?
5. Apa saja macam-macam reaksi hipersensitivitas?
6. Bagaimana mekanisme kerja obat antihistamin?
7. Mengapa terjadi bentol-bentol seluruh tubuh?
8. Mengapa angioedema terjadi pada mata dan bibir?
C. Jawaban
1. Karena pembuluh darah mengalami dilatasi dari intraselular ke ekstraselular dan
permeabilitas kapilernya naik. Selain itu, ada juga mediator faktor seperti histamine yang
menyebabkan timbulnya bentol-bentol.
2. Hipersensitivitas tipe cepat yaitu reaksi yang terjadi dalam beberapa menit dan
menghilang dalam 2 jam atau lebih
3. Karena antihistamin berfungsi untuk memblokade pengeluaran histamin yang
menyebabkan timbulnya rasa gatal dan kemerahan.Sedangkan kortikosteroid berfungsi
sebagai anti inflamasi
4. Karena paracetamol mengandung acetaminophen yang ada cincin nitrogennya yang
kadang membuat tubuh menganggapnya sebagai allergen
5. - Hipersensitivitas tipe I
- Hipersensitivitas tipe II
- Hipersensitivitas tipe III
- Hipersensitivitas tipe IV
6. Mekanisme kerja obat antihistamin yaitu memblokade pengeluaran histamine dan sekresi
asam lambung
7. Karena reaksi yang ditimbulkan bersifat sistemik
8. Karena angioedema menyerang jaringan mukosa seperti yang ada pada bibir, mata dan
vagina
D. Hipotesa
Hipersensitivitas adalah reaksi yang disebabkan oleh interaksi antigen dan antibody yang
tidak sesuai
E. Sasaran Belajar
LI.1. Mehamami dan Menjelaskan Hipersensitivitas
1.1. Definisi
1.2. Etiologi
1.3. Klasifikasi
LI.2. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe I
2.1. Definisi
2.2. Etiologi
2.3. Mekanisme
2.4. Manifestasi
LI.3. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe II
3.1. Definisi
3.2. Etiologi
3.3. Mekanisme
3.4. Manifestasi
LI.4. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe III
4.1. Definisi
4.2. Etiologi
4.3. Mekanisme
4.4. Manifestasi
LI.5. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe IV
5.1. Definisi
5.2. Etiologi
5.3. Mekanisme
5.4. Manifestasi
LI.6. Memahami dan Menjelaskan Antihistamin dan Kortikosteroid
6.1. Memahami dan Menjelaskan Antihistamin
6.2. Memahami dan Menjelaskan Kortikosteroid
LI.7. Memahami Pandangan Islam tentang alergi obat sebagai dokter muslim
LI.1. Mehamami dan Menjelaskan Hipersensitivitas
1.1. Definisi
Suatu keadaan dengan respons sistem imun yang menyebabkan reaksi berlebihan atau
tidak sesuai yang membahayakan hospesnya sendiri. Pada orang tertentu, reaksi-reaksi tersebut
secara khas terjadi setelah kontak kedua dengan antigen spesifik (alergen). Kontak pertama
adalah kejadian pendahulu yang diperlukan yang dapat menginduksi sensitasi terhadap antigen
spesifik tersebut.
1.2. Etiologi
1.3. Klasifikasi
Pembagian Gell dan Coombs seperti terlihat di atas dibuat sebelum analisis yang mendetail
mengenai subset dan fungsi sel T diketahui. Berdasarkan penemuan-penemuan dalam penelitian
imunologi, telah dikembangkan beberapa modifikasi klasifikasi Gell dan Coombs yang membagi
lagi Tipe IV dalam beberapa subtype reaksi. Meskipun reaksi Tipe I, II, dan III dianggap sebagai
reaksi humoral, sebetulnya reaksi-reaksi tersebut masih memerlukan bantuan sel T atau peran
selular. Oleh karena itu pembagian Gell dan Coombs telah dimodifikasi lebih lanjut seperti
terlihat pada tabel:
2.3. Mekanisme
Pada reaksi tpe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa
produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis atopi.
Pada tipe I terdapat beberapa fase, yaitu :
o Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat silang
oleh reseptor spesifik pada permukaan sek mast/basofil.
o Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan
reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
o Fase efektor yaitu waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivasi farmakologik.
http://nfs.unipv.it/nfs/minf/dispense/immunology/lectures/files/images/type1_hypersensitivity.jpg
Pajanan dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi
sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel mast
dan basofil (banyak molekul IgE dengan berbagai spesifisitas dapat diikat FceR1). Pajanan
kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast,
memacu pelepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil.
Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas
vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis.
Reaksi Lokal
Reaksi hipersensitivitas tipe I local terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang
biasanya melibatkan permukaan epitel tempat allergen masuk. 20% populasi
menunjukkan penyakit melalui IGE yaitu asma, rintitits alergi dan dermatitis atopi.
Sekitar 50-70% membentuk IgE terhadap antigen yang masuk ke tubuh melalui mukosa
seperti selaput lender hidung, paru, konjungtiva. IgE yang sudah ada pada permukaan sel
mast akan menetap selama beberapa minggu. Sensitasi dapat terjadi secara pasif jika
serum orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/ sirkulasi orang normal
Reaksi Sistemik-Anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit
saja.Anafilaksis merupakan reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat
mengancam nyawa. Reaksi dapat dipicu oleh berbagai allergen seperti makanan (asal
laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks.
Reaksi Pseudoalergi atau Anafilaktoid
Reaksi Pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan
pelepasan mediator oleh sel mast yang tidak terjadi melalui IgE. Secara klinis, reaksi ini
menyerupai reaksi tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritus,
tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terlebih
dahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba,
protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol dan pelemas otot
(Baratawidjaja, 2009)
Reaksi Alergi
Jenis Alergi Alergen Umum Gambaran
Anafilaksis Obat, serum, kacang- Edema dengan peningkatan
kacangan permeabilitas kapiler, okulasi trakea ,
koleps sirkulasi yang dapat
menyebabkan kematian
Urtikaris akut Sengatan serangga Bentol, merah
Rinitis alergi Polen, tungau debu rumah Edema dan iritasi mukosa nasal
Asma Polen, tungau debu rumah Konstriksi bronkial, peningkatan
produksi mukus, inflamasi saluran
nafas
Makanan Kerang, susu, telur, ikan, Urtikaria yang gatal dan potensial
bahan asal gandum menjadi anafilaksis
Ekzem atopi Polen, tungau debu runah, Inflamasi pada kulit yang terasa gatal,
beberapa makanan biasanya merah dan ada kalanya
vesikular
3.1. Definisi
Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi
antibody dengan determinan antigen yang merupakan bagian dari membrane sel. Antibodi
tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcy-R dan juga sel NK yang dapat
berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC.
3.2. Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai dengan
antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen atau
hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut. Kemudian kerusakan
diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear.
(http://www.analiskesehatan.web.id)
Penyebabnya adalah adanya sel klon yang terbentuk karena tumor, infeksi virus, atau
terinduksi mutagen. Sel klon tersebut memiliki kecacatan DNA sehingga harus dimusnahkan.
Jika tidak dimusnahkan, sel target tersebut dapat membentuk klon baru yang lebih banyak dan
menyebabkan kerusakan jaringan. Tubuh merespon terhadap sel klon ini dengan cara
membentuk IgG atau IgM yang selanjutnya menyebabkan lisis sel target.
Contoh kasus yang menyebabkan hipersensitivitas tipe II adalah reaksi transfuse darah
yang tidak cocok, inkompabilitas Rh dalam kehamilan yang menyebabkan erythroblastosis
fetalis, dan penyakit anemia hemolitik karena alergi antibiotic.
(Baratawidjaja, 2009)
3.3. Mekanisme
Sel normal terinfeksi oleh antigen → IgG berikatan dengan antigen → Sel
diopsonisasi agar mudah di fagosit → Pengaktifan komplemen yang menghasilkan C3B
dan C4B yang dapat meningkatkan fagositosis → Sel yang diopsonisasi dikenali oleh Fc
receptor → Sel di fagositosis oleh makrofag dan neutrofil
Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks), kerusakan
yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis sel. Antibodi yang
terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya menghasilkan terutama C5a
(yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga berikatan dengan antibodi melalui
reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan perusak (enzim dan intermediate oksigen
reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan jaringan. Reaksi ini berperan pada glomerulonefritis
dan vascular rejection dalam organ grafts.
Pertama, sel target mengekspresikan protein asing atau antigen. Lalu antigen ditangkap
oleh limfosit b. Selanjutnya, limfosit B aktif dan berubah menjadi sel plasma.Lalu sel plasma
menghasilkan antibody. Antibody akan berikatan dengan sel killer yang memiliki reseptor
antibody. Sel killer bersana dengan antibody yang menempel di permukaannya selanjutnya
menyerang sel target yang memasang antigennya di permukaannya. Antibody berikatan dengan
antigen di permukaan dan selanjutnya menyebabkan sel target tersebut lisis
DISFUNGSI SEL AKIBAT ANTIBODI
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel
merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Contohnya yaitu
pada penyakit miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalam motor end-plate
otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Jadi antibodi
mem-block reseptor asetikolin yang berfungsi dalam kontraksi otot.
Contoh lainnya yaitu yang terjadi pada Graves disease. Graves disease adalah penyakit
yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar
tiroid. Akibatnya, Sel tiroid akan memproduksi hormon tiroid yang berlebihan (hipertiroidisme).
(Kumar,2005)
3.4. Manifestasi
1. Reaksi transfusi
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen.
Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, karena
anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah
direk oleh hemolisis masif intravascular. Reaksi dapat cepat atau lambat .
Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibiltas golongan darah ABO yang dipacu
oleh IgM. Dalam beebrapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan
disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah
menjadi bilirubin yang Pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam,
menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah dan
hemoglobinuria.
Reaksi transfuse darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfuse
berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah
lainnya. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai antigen
membrane golongan darah, tersering adalah golongan rhesus, kidd, kell dan Duffy
2. Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru
lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak
yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian
eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang
akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung
kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada
permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel
yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit.
Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk
mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.
3. Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorbsi
non spesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa
kompleks molekul hapten pembawa
Pada beberapa penderita, kompleks membentuk ab yang selanjutnya mengikat obat
pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia
progresif.
(Baratawidjaja, 2009)
4.1. Definisi
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun. Antibodi untuk hipersensitivitas III
menggunakan jenis IgM atau IgG. Terjadinya reaksi kompleks imun dirangsang oleh
pengendapan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi jaringan dan pembuluh darah. Reaksi
ini mengakibatkan aktivasi komplemen, respons radang polimorfonuklear dan kerusakan
jaringan. Tipe hipersensitivitas ini ditemukan pada infeksi bakteri persisten tertentu.
(Baratawidjaja, 2009)
4.2. Etiologi
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
o Infeksi persisten
- Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap
adalah organ yang diinfektif dan ginjal.
o Autoimunitas
- Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap
adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
o Ekstrinsik
- Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana
tempat kompleks yang mengendap adalah paru.
Selain itu, reaksi hipersensitivitas III bisa disebabkan oleh adanya kompleks imun ukuran
kecil yang susah untuk dimusnahkan dan malah mengendap di dinding pembuluh darah.
Kompleks antibodi berikatan dengan komplemen dan memicu neutrophil untuk berdegranulasi.
Degranulasi neutrofil menyebabkan kerusakan jaringan.
4.3. Mekanisme
Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh
eritrosit ke hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks imun
yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang menjadi masalah
pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks imun kecil yang tidak bisa atau sulit
dimusnahkan yang kemudian mengendap di pembuluh darah atau jaringan.
http://medchrome.com/wp-content/uploads/2011/08/type-3-hypersensitivity.jpg
Immune Complex Formation
Adanya antigen di dalam pembuluh darah memicu respon imun yang membuat
dilakukannya produksi antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi protein. Pada reaksi
hipersensitivitas tipe III, antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk
kompleks antigen antibodi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi.
Immune Complex Deposition
Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel, kulit,
ginjal dan persendian. Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk
membentuk cairan lain seperti urin dan cairan sinovial lebih sering terserang sehingga
meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus dan sendi. Neutrofil dan leukosit
mulai digerakkan ke tempat reaksi dan menimbulan obstruksi aliran darah. Aktivasi
sistem komplemen, menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh mastosit.
Immune Complex-Mediated Inflammation
C3a dan C5a yang terbentuk pada aktivasi komplemen meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah yang menimbulkan edema. C3a dan Ca berfungsi sebagai
fakor kemotaktik. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun bersama dengan
trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti kolagenase proteinase,
kolegenase, enzim pembentuk kinin dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi pendarahan
yang disertai nekrosis jaringan setempat.
Dari mekanisme diatas, beberapa hari – minggu setelah pemberian serum asing akan
mulai terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di
beberapa bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis
sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi tersebut dinamakan reaksi
Pirquet dan Schick.
4.4. Manifestasi
5.1. Definisi
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediated imunity (CMI),
Delayed Type Hypersensitivity (DTH). Reaksi terjadi karena respons sel T yang sudah
disensitasi terhadap antigen tertentu. Tidak ada pernan antibodi. Antigen yang dapat
menimbulkan reaksi tersebut berupa jaringan asing, mikroorganisme intraseluler, protein atau
bahan kimia yang dapat menembus kulit. Merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol
sebagian besar oleh reaktivitas sel T terhadap antigen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV telah
dibagi menjadi :
Reaksi ini terjadi karena sel T melepas sitokin bersama dengan produksi mediator
sitotoksik lainnya yang menimbulkan respon inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit
hipersensitivitas lambat.
5.3. Mekanisme
http://nfs.unipv.it/nfs/minf/dispense/immunology/lectures/files/images/type4_hypersensitivit
y.jpg
a. Fase Sensitasi
Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th diaktifkan oleh
APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans / SD pada kulit dan makrofag)
menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke
sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).
b. Fase Efektor
Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan melepas
sitokin yang menyebabkan :
- Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel inflamasi).
Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.
- Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke jaringan sekitar.
- Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan menginduksi sel
Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.
Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang teraktivasi.
Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan pada T Cell
Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.
Granuloma terbentuk pada : TB, Lepra, Skistosomiasis, Lesmaniasis dan Sarkoidasis .
5.4. Manifestasi
Dematitis kontak
Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak berbahaya
seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut (contoh reaksi DTH).
Hipersensitivitas tuberkulin
Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan Mycobacterium
tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan), akan menimbulkan reaksi ini
berupa kemerahan dan indurasi pada tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang
pernah kontak dengan M. tuberkulosis, kulit akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca
induksi. Reaksi ini diperantarai oleh sel CD4+.
AH1
Terfenadin, Astemizol,
Generasi II Loratadin, Akrivastin,
Antihistamin
Setirizin
1. Simetidin
AH2 2. Ranitidin
3. Famotidin
4. Nizatidin
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor –histamin (penghambatan saingan). Antagonis
Reseptor Antihistamin dibedakan menjadi 2 yaitu AH1 dan AH2.
A. Antagonis Reseptor H1 (AH1)
FARMAKODINAMIK
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam otot polos.
Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang
disertai penglepasan histamin endogen berlebihan. Obat AH1 dibedakan menjadi 2 yaitu
AH1 generasi pertama dan AH2 generasi kedua. Obat AH1 generasi pertama adalah
klorfeniramin (CTM). AH1 generasi kedua tidak menyebabkan efek samping karena tidak
menembus sawar otak sehingga tidak menyebabkan efek pada SSP seperti kantuk,
inkoordinasi, dll. Contoh obat AH1 generasi kedua adalah terfenadin, astemizol, loratasin,
akrivastin, dan setirizin. Obat antihistamin yang digunakan untuk anestesi local adalah
prometazin dan pirilamin.
FARMAKOKINETIK
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal
setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-
paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat
utama biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui urin setelah 24 jam, terutama
dalam bentuk metabolitnya. Meminum obat saat makan akan mengurangi efek samping.
INDIKASI
- Untuk alergi debu yang tidak parah
- Mengatasi urtikaria akut, dermatitis atopic, dermatitis kontak dan gigitan serangga
- Untuk anti muntah pasca bedah atau hamil dan setelah radiasi
- Untuk paralisis agintans (Parkinson)
- Untuk mabuk perjalanan
- Kontraindikasi untuk pasien penderita penyakit hati
EFEK SAMPING
- Mengentalkan sekresi bronkus sehingga menyulitkan ekspektorasi (sehingga tidak efektif
untuk penderita asma
- Sedasi (mengantuk parah). Namun ada obat non-sedasi yaitu Astemizol, Terfenadin,
Loratadin
- Vertigo, Insomnia, Tremor, Nafsu makan menurun, inkoordinasi, pandangan kabur,
diplopia, euphoria, gelisah, lemah, penat, mulut kering, disuria, hipotensi, sakit kepala,
dll.
- Astemizol yang berlebihan menyebabkan gemuk
- Pemberian astemizol, terfenadin yang diberikan bersama makrolida (eritromisin) seperti
ketokonazol, itrakonazol akan menyebabkan keadaan fatal yaitu aritmia ventrikel.
FARMAKODINAMIK
Simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Kerjanya
menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan ranitidin juga mengganggu volume dan
kadar pepsin cairan lambung.
FARMAKOKINETIK
Absorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan bersama atau
segera setelah makan dengan maksud untuk memperanjang efek pada periode pascamakan.
Ranitidn mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah
pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya
melalui tinja. Masa paruh simetidin adalah 2 jam sedangkan masa paruh ranitidine adalah
1,75-3 jam dan bisa makin lama pada orang tua, pasien gagal ginjal dan pasien yang
mempunyai penyakit hati.
INDIKASI
Efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya.
Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan tukak
lambung. Dapat pula untuk gangguan refluks lambung-esofagus.
Untuk melakukan pencegahan digunakan dosis yang lebih kecil, sedangkan untuk
mencegah kekambuhkan dosis nya setengah.
EFEK SAMPING
Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor H2, seperti nyeri kepala,
pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit, pruritus, kehilangan libido
dan impoten.
2. FAMOTIDIN
FARMAKODINAMIK
Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada
keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih
poten daripada ramitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
FARMAKOKINETIK
Famotidin mencapai kadar puncak di plasma kira kira dalam 2 jam setelah penggunaan
secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida.
Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melibihi 20 jam.
INDIKASI
Efektifitas Obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung, refluks esofagitis, dan
untuk pasien dengan sindrom Zollinger-Ellison.
EFEK SAMPING
Efek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare,
dan tidak menimbulkan efek antiandrogenik.
3. NIZATIDIN
FARMAKODINAMIK
Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung.
FARMAKOKINETIK
Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh
plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengn 10 jam, disekresi melalui ginjal.
INDIKASI
Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali sehari selama 8 minggu,
tukak lambung, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellion.
Kontraindikasi : Kehamilan & Ibu menyusui
EFEK SAMPING
Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki efek antiandrogenik.
FARMAKODINAMIK
- Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu
juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan
organ lain.
- Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-
inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.
Contohnya adalah kortisol.
Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit,
sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Contohnya
adalah aldosteron atau desoksikortikosteron.
- Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa kerjanya.
Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.
- Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar dosis,
makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Mekanismenya adalah melalui
pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respons jaringan
terhadap hormon lain.
FARMAKOKINETIK
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja dan
lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein.
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik. Untuk
mencapai kadar tinggi sebaiknya diberikan secara IV, untuk mendapatkan efek yang
lama kortisol dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat
mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja karena juga
mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah prodrug
yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.
Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang
sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.
INDIKASI
Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat ini
digunakan :
1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial dan
error dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.
2. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
3. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik,
tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
4. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis melebihi
dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah.
5. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi
kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya.
6. Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,
mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.
EFEK SAMPING
Short Acting
1. Cortisone
Cortisone adalah jenis steroid yang diproduksi secara alami oleh kelenjar dalam
tubuh yang disebut kelenjar adrenal. Cortisone berfungsi untuk meredakan inflamasi.
Efek samping yang biasa ditimbulkan adalah rasa nyeri.
2. Hydrocortisone
Hydrocortisone adalah kostikosteroid topical yang mempunyai efek anti-
inflamasi, anti alergi dan antipruritus pada penyakit kulit. Indikasi pemberian obat ini
adalah untuk penderita dermatitis atopi, dermatitis alergik, dermatitis kontak, pruritus
anogenital dan neurodermatitis. Hydrocortisone tidak boleh diberikan kepada
penderita yang hipersensitif, herpes simplex, varicella dan infeksi jamur. Efek
samping yang mungkin ditimbulkan dari obat ini adalah rasa terbakar, gatal,
kekeringan, atropi kulit dan infeksi sekunder
Intermediate Acting
1. Prednisolone
Prednisolone diberikan untuk pasien penekanan jangka pendek peradangan pada
gangguan alergi dan pengobatan jangka pendek peradangan pada mata . Efek
samping yang ditimbulkan adalah mual, dyspepsia, malaise, cegukan, reaksi
hipersensitifitas termasuk anafilaksis, dll.
2. Triamcinolone
Triamcinolone mempunyai efek antiinflamasi dan pembentukan glikogen yang
lebih besar, dan berkurangnya efek samping retensi garam. Efek samping yang dapat
timbul adalah fraktur spontan, ulkus peptik/tukak lambung, perubahan cushingoid,
purpura, flushing, sering berkeringat, jerawat, striae, hirsutisme, vertigo, sakit kepala,
tromboembolisme, nekrosis aseptik, pangkreatitis akut, kelemahan otot, esofagitis
ulseratif, peningkatan tekanan intrakranial, papiledema, katarak subkapsular.
3. Methylprednisolone
Methylprednisolone adalah suatu obat glukokortikoid alamiah (memiliki sifat
menahan garam (salt retaining properties)), digunakan sebagai terapi pengganti pada
defisiensi adrenokortikal. Methylprednisolone dikontraindikasikan pada infeksi
jamur sistemik dan pasien yang hipersentitif terhadap komponen obat.
4. Fludrocortisone
Fludrocortisone merupakan mineralokortikoid yang paling banyak digunakan.
Mempunyai aktivitas retensi garam yang kuat dan efek anti-inflamasi yang berarti
walaupun digunakan dalam dosis yang sedikit.
Long Acting
1. Dexamethasone
Obat ini digunakan sebagai glucocorticoid khususnya untuk Anti inflamasi,
Pengobatan rematik arthritis, dan penyakit kolagen lainnya, Alergi dermatitis,
Penyakit kulit, dll. Pengobatan yang berkepanjangan dapat mengakibatkan efek
katabolik steroid seperti kehabisan protein, osteoporosis, dan penghambatan
pertumbuhan anak. Penimbunan garam, air dan kehilangan potassium jarang terjadi
bila dibandingkan dengan glucocorticoid lainnya. Penambahan nafsu makan dan
berat badan lebih sering terjadi.
2. Betamethasone
Betamethasone digunakan untuk meringankan inflamasi dari dermatosis yan
responsive terhadap kortikosteroid. Penggunaan kostikosteroid topical dapat
menyebabkan efek samping local seperti kulit kering, gatal-gatal, rasa terbakar,
iritasi, hipopigmentasi, dermatitis alergi, dll.
LI.7. Memahami Pandangan Islam tentang alergi obat sebagai dokter muslim
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, “Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu,
pisau bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api.” (HR Bukhari
dan Muslim)
Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun untuk
kemaslahatan artinya : semua syari’at dalam perintah dan larangannya serta hukum-
hukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-manfaat) dan makna masholihi adalah :
jamak dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan.
Misal : Allah melarang minuman keras dan judi karena mudharat (bahayanya) lebih
besar dari pada manfaatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :219
اس َو ِإثْ ُم ُه َما أَ ْك َب ُر ِم ْن نَ ْف ِع ِه َما ِ سأَلُونَكَ ع َِن ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْيس ِِر قُ ْل ِف
ٌ يه َما ِإثْ ٌم َك ِب
ِ َّير َو َمنَا ِف ُع ِللن ْ َي
2:219. “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya”.
DAFTAR PUSTAKA