Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

MULTISINUSITIS KRONIS

DISUSUN OLEH:
Nurin Pascarini Jusaim
1102012205

PEMBIMBING:
dr. Evi Handayani, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN


RSUD DR. DRAJAT PRAWIRANEGARA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 20 NOVEMBER 23 DESEMBER 2017
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. L
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 22 tahun
Alamat : KP Sampang III, Terumbu, Kasemen, Serang
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Jaga toko
Status : Belum Menikah
Tanggal pemeriksaan : 12 Desember 2017

B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Hidung tersumbat hilang timbul sejak 1 tahun
sebelum masuk RS
Keluhan tambahan : Pusing, sakit kepala, panas dan sesak
Riwayat penyakit sekarang :
Os datang ke poli THT RSUD dr. Drajat Prawiranegara dengan
keluhan hidung tersumbat yang hilang timbul sejak 1 tahun sebelum
masuk rumah sakit. Os juga mengatakan bahwa kepala terasa pusing dan
sakit. Os terkadang merasakan sesak jika hidung sedang tersumbat. Os
terkadang merasa badannya terasa panas jika sehabis bekerja.
Os saat ini menyangkal adanya batuk, pilek, fungsi penghidu
berkurang, nyeri daerah wajah, nyeri pada telinga, lendir yang menetes ke
tenggorokan dari hidung, sakit gigi akibat adanya gigi berlubang.

1
Riwayat penyakit dahulu :
Os dalam setahun ini mengeluhkan sering mengeluhkan bersin-
bersin dan pilek, terutama jika terkena debu. Os mengatakan pernah
mempunyai polip hidung pada tahun 2016 dan sudah diobati di tempat
pengobatan alternatif. Sewaktu kecil, os beberapa kali mengalami mimisan
ketika sedang di luar rumah di bawah terik matahari.
Riwayat pengobatan : Sudah tiga kali berobat ke poli THT dengan
keluhan yang sama. Pertama kali berobat pada
bulan September 2017
Alergi : Debu
Riwayat Penyakit Keluarga : Asma, hipertensi, diabetes melitus

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : E4V5M6, compos mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernafasan : Spontan, 22 x/menit
Suhu : 36,7oC
Kepala : Normocepal
Mata : CA -/-, SI -/- , edema palpebra -/-, pterigium -/-
Leher : deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)
Thoraks : bergerak simestris bilateral, retraksi -
Paru : suara vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung : Bunyi jantung I II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : Bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), pembesaran hepar
-, pembesaran lien -
Ekstremitas : akral hangat, edema (-)

2
Status THT
Telinga :
Auricula
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Bentuk telinga Normotia
Aurikula Kelainan congenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Nyeri tarik - -
Nyeri tekan tragus - -
Preaurikuler Kelainan kongenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Edema - -
Sikatrik - -
Fistula - -
Pembesaran KGB - -
Nyeri tekan - -
Retroaurikuler Kelainan kongenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Edema - -
Sikatrik - -
Fistula - -
Pembesaran KGB - -
Nyeri tekan - -
Liang telinga Kelainan kongenital - -
luar Peradangan - -
Massa - -

3
Edema - -
Fistula - -
Kelainan kulit - -
Sekret - -
Serumen - -
Jaringan granulasi - -
MEA Lapang Lapang
Membran Kondisi Intak Intak
timpani Cone of light + +
Pendengaran :
Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach
Aurikula Dextra + Tidak ada Sesuai pemeriksa
Aurikula Sinistra + lateralisasi Sesuai pemeriksa
Kesimpulan: Pendengaran dalam batas normal

Hidung :
Cavum Nasi
Pemeriksaan
Dextra Sinistra
Inspeksi
Bentuk Tampak Simetris kanan dan kiri
Sikatrik - -
Hematom - -
Racoons eye - -
Palpasi
Nyeri tekan sinus maxilla + +
Nyeri tekan sinus ethmoid + +
Nyeri tekan sinus sphenoid - -
Nyeri tekan sinus frontalis - -
Krepitasi - -

4
Massa - -
Rhinoscopy anterior
Cavum nasi Sekret (-) Sekret (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Mukosa cavum nasi
Edema (-) Edema (-)
Sekret - -
Hipermis (-) Hipermis (-)
Concha inferior
Hipertrofi (+) Hipertrofi (+)
Hipermis (-) Hipermis (-)
Concha media
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Meatus inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Meatus media
Massa (-) Massa (-)
Septum anterior Deviasi (-) Deviasi (-)
Rhinoscopy posterior
Nasofaring
Choana
Concha superior
Dalam batas normal
Concha media
Kelenjar adenoid
Massa

Tenggrokan :
Pemeriksaan Kondisi
Faring & Rongga Mulut
Bibir Sianosis (-)
Mukosa mulut Hiperemis (-)
Lidah Normal
Gusi Normal

5
Gigi berlubang Tidak ada
Palatum durum Hipermis (-)
Palatum mole Hipermis (-)
Uvula Hipermis (-), Deviasi (-)
Arkus faring Hipermis (-), Simetris
Tonsil Normal, T1 T1
Hipofaring & Laring
Pita suara
Epiglottis Dalam batas normal
Esophagus

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil foto polos sinus paranasal posisi waters
Sinusitis maxillaris dan ethmoid bilateral
Hipertrofi konka nasi bilateral

6
E. DIAGNOSIS
Multisinusitis kronis (sinusitis maxillaris dan ethmoid)

F. DIAGNOSIS BANDING
Polip Nasi

G. TATALAKSANA
Non-medikamentosa
- Mencuci rongga hidung dengan air garam
Medikamentosa
- Cefixime 2x200 mg 10 hari
- Rhinofed 2xI tablet
- Metilprednisolon 1x4 mg
- Paracetamol 3x500 mg jika diperlukan
Edukasi
- Pemakaian obat yang teratur
Tindakan operatif
- Sinusektomi
- Turbinektomi

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad fungsionam : Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI SINUSITIS

Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal. Definisi lain

menyebutkan, sinusitis adalah inflamasi dan pembengkakan membrana mukosa sinus

disertai nyeri lokal. Sesuai anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis

maxilla, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila mengenai

beberapa sinus disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai semua sinus disebut

paranasal sinusitis. (1,2)

Sinusitis maxilla dan sinusitis ethmoid adalah sinusitis yang paling banyak

ditemukan, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih jarang ditemukan.

Pada anak hanya sinus maxilla dan sinus ethmoid yang berkembang sedangkan sinus

frontal dan sinus sphenoid mulai berkembang pada anak berusia kurang lebih 8 tahun.

Sinus maxilla merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, oleh karena (1)

merupakan sinus paranasal terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar

sehingga sekret dari sinus maxilla hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus

maxilla adalah dasar akar gigi (processus alveolaris), sehingga infeksi pada gigi dapat

menyebabkan sinusitis maxilla, (4) ostium sinus maxilla terletak di meatus medius, di

sekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat. (2)

Klasifikasi sinusitis akut dapat dikategorikan sebagai gejala berlangsung

kurang dari 4 minggu dimana dengan pengobatan yang tepat dan cepat pasien bisa

sembuh sepenuhnya. Sinusitis subakut merupakan perkembangan gejala selama 4

8
hingga 12 minggu dan dinyatakan sinusitis kronis bila gejala berlangsung melebihi 3

bulan. (3)

Terdapat beberapa gejala dan tanda yang bisa membedakan antara sinusitis

akut, sinusitis subakut dan sinusitis kronis. Seperti radang akut timbul sebagai gejala

sinusitis akut, hilangnya tanda radang akut dan perubahan histologik mukosa sinus

masih reversible adalah tanda bagi sinusitis subakut dan dikatakan sinusitis kronis

ditandai dengan perubahan histologik mukosa irreversible, misalnya sudah berubah

menjadi jaringan granulasi atau polipoid. (2)

B. EPIDEMIOLOGI SINUSITIS

Setiap 1 dari 7 orang dewasa di Amerika Serikat dideteksi positif sinusitis

dengan lebih dari 30 juta manusia didiagnosa sinusitis setiap tahun. Sinusitis lebih

sering terjadi dari awal musim gugur dan musim semi. Insiden terjadinya sinusitis

meningkat seiring dengan meningkatnya kasus asma, alergi, dan penyakit traktus

respiratorius lainnya. Perempuan lebih sering terkena sinusitis dibandingkan laki-laki

karena mereka lebih sering kontak dengan anak kecil. Angka perbandingannya 20%

perempuan disbanding 11.5% laki-laki. Sinusitis lebih sering diderita oleh anak-anak

dan dewasa muda akibat rentannya usia ini dengan infeksi Rhinovirus. (3)

C. ETIOLOGI SINUSITIS

Seperti yang diketahui, terdapat banyak faktor menjadi penyebab sesuatu

penyakit timbul, antaranya faktor internal seperti daya tahan tubuh yang menurun

9
akibat defisiensi gizi yang menyebabkan tubuh rentan dijangkiti penyakit dan faktor

eksternal seperti perubahan musim yang ekstrim, terpapar lingkungan yang tinggi zat

kimiawi, debu, asap tembakau dan lain-lain.(3)

Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit

sinusitis, berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda asing dan

neoplasma. Adapun agen etiologinya dapat berupa virus, bakteri atau jamur. (4)

a. Virus, sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas, infeksi

virus yang lazim menyerang hidung dan nasofaring juga menyerang sinus.

Mukosa sinus paranasalis berjalan kontinyu dengan mukosa hidung dan penyakit

virus yang menyerang hidung perlu dicurigai dapat meluas ke sinus. Antara agen

virus tersering menyebabkan sinusitis antara lain: Rhinovirus, influenza virus,

parainfluenza virus dan adenovirus.(4)

b. Bakteri, organisme penyebab tersering sinusitis akut mungkin sama dengan

penyebab otitis media. Yang sering ditemukan antara lain: Streptococcus

pneumonia, Haemophilus influenza, Branhamella cataralis, Streptococcus alfa,

Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Penyebab dari sinusitis

kronik hampir sama dengan bakteri penyebab sinusitis akut. Namun karena

sinusitis kronik berhubungan dengan drainase yang kurang adekuat ataupun

fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung

bersifat opportunistik, dimana proporsi terbesar merupakan bakteri anaerob

(Peptostreptococcus, Corynobacterium, Bacteroides, dan Veillonella). (4)

10
c. Jamur, biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes, terapi immunosupresif,

dan immunodefisiensi misalnya pada penderita AIDS. Jamur penyebab infeksi

biasanya berasal dari genus Aspergillus dan Zygomycetes. (5)

D. ANATOMI SINUS PARANASAL

Hidung adalah organ penciuman dan jalan utama untuk udara masuk dan

keluar dari paru. Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang superior dan

bagian lateral rongga hidung. Sinus-sinus ini membentuk rongga di dalam tulang

wajah yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sinus sphenoidalis.
(6)

Gambar 1. Anatomi sinus paranasalis (dikutip dari kepustakaan no.7)

11
a. Sinus Maxillaris

Sinus ini merupakan sinus paranasalis yang terbesar. Berbentuk pyramid.

Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa

kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maxilla, dinding

medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar

orbita dan dinding inferiornya ialah prosessus alveolaris dan palatum. (4)

b. Sinus frontalis

Sinus frontalis terletak di os frontal, terbagi dua kanan dan kiri yang biasanya

tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang

terletak digaris tengah. Sinus frontalis biasanya tersekat-sekat dan tepi sinus

berlekuk-lekuk. Dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa

serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontalis mudah menyebar ke daerah

ini. (4)

c. Sinus ethmoidalis

Sinus ini berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon

yang terdapat di dalam massa bagian lateral os ethmoid, yang terletak diantara

konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus ethmoidalis

dibagi menjadi sinus ethmoidalis anterior dan posterior. Sinus ethmoidalis

anterior bermuara di meatus medius dan sinus ethmoidalis posterior bermuara di

meatus superior. (4)

12
d. Sinus sphenoidalis

Sinus sphenoidalis terletak dalam os sphenoid di belakang sinus ethmoidalis

posterior. Sinus sphenoidalis dibagi oleh dua sekat yang disebut septum

intersphenoid. Batas-batasnya adalah sebelah superior terdapat fossa serebri

median dan kelenjar hipofise, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral

berbatasan dengan sinus cavernosus dan arteri karotis interna (sering tampak

sebagai indentasi), dan sebelah posteriornya berbatasan dengan fossa serebri

posterior di daerah pons. (4)

E. DIAGNOSIS SINUSITIS

Gambaran klinis

Keluhan utama rhinosinusitis akut adalah hidung sumbat disertai nyeri/ rasa

tekanan pada muka dan mukus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post

nasal drip) dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. (2)

Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri

khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred

pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maxilla, nyeri dia antara atau di belakang ke

dua bola mata menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sphenoid, nyeri dirasakan

di vertex, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maxilla

kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. (2)

Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip

yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.(2)

13
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit di diagnosis. Kadang-

kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip,

batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara

tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis, bronkiektasis dan yang penting

adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang

tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.(2)

Gambaran radiologik

Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk

mengevaluasi sinus paranasal adalah; pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi

yang khas, pemeriksaan tomogram dan pemeriksaan CT-Scan. Dengan pemeriksaan

radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan gambaran anatomi atau

variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus paranasalis dan struktur

tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih dini.(8)

Pemeriksaan Foto Kepala

Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas

berbagai macam posisi antara lain: (8)

a. Foto kepala posisi anterior-posterior ( AP atau posisi Caldwell)

b. Foto kepala lateral

c. Foto kepala posisi Waters

d. Foto kepala posisi Submentoverteks

e. Foto Rhese

f. Foto basis kranii dengan sudut optimal

g. Foto proyeksi Towne

14
Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan

paling utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur

tulang dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan-

kelainan jaringan lunak, erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini

dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.(8)

a. Foto kepala posisi AP (Posisi Caldwell)

Foto ini diambil pada posisi kepala meghadap kaset, bidang midsagital

kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak pyramid tulang

petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal ini

dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak lurus pada film dan

membentuk 1500 kaudal. (8)

Gambar 2. Foto kepala posisi Caldwell (diambil dari kepustakaan 9)

15
Gambar 3. Foto konvensional caldwell posisi PA menunjukkan air fluid level pada sinus
maxillaris merupakan gambaran sinusitis akut. (dikutip dari kepustakaan 8)

b. Foto lateral kepala

Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan sentrasi di luar

kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit

satu sama lain. (8)

Gambar 4. Foto lateral kepala (dikutip dari kepustakaan 9)

16
Gambar 5. Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus maksilla (dikutip dari
kepustakaan 3)

Pada sinusitis tampak :

penebalan mukosa

air fluid level (kadang-kadang)

perselubungan homogen pada satu atau lebih sinus para nasal

penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik) (1)

c. Foto kepala Posisi Submentovertical

Foto diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien

menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi

tegak lurus film dalam bidang midsagital melalui sella turcica kearah

vertex. Posisi ini biasa untuk melihat sinus frontalis dan dinding posterior

sinus maxillaris. (8)

17
Gambar 6. Foto kepala posisi submentoverteks (dikutip dari kepustakaan 9)

d. Foto posisi Waters

Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis

orbito meatus membentuk sudut 370 dengan film. Pada foto ini, secara ideal

piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maxillaris

sehingga kedua sinus maxillaris dapat dievaluasi sepenuhnya. Foto Waters

umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut

terbuka akan dapat menilai dinding posterior sinus sphenoid dengan baik. (8)

Gambar 7. Foto posisi Waters (dikutip dari kepustakaan 9)

18
e. Foto kepala posisi Towne

Posisi ini diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara 300-600 ke

arah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm diatas glabela

dari foto polos kepala dalam bidang midsagital.proyeksi ini paling baik

untuk menganalisis dinding posterior sinus maxillaris, fisura orbitalis

inferior, kondilus mandibularis dan arkus zigomatikus posterior. (8)

f. Foto posisi Rhese

Posisi Rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian posterior sinus

ethmoidalis, kanalis optikus, dan lantai dasar orbita sisi lain. (8)

Gambar 8. Foto posisi Rhese (dikutip dari kepustakaan 8)

Pemeriksaan Tomogram

Pemeriksaan tomogram pada sinus paranasal biasanya digunakan

multidirection tomogram. Sejak digunakannya CT-Scan, pemeriksaan tomogram

sudah jarang digunakan. Tetapi pada fraktur daerah sinus paranasal, pemeriksaan

tomogram merupakan suatu teknik yang terbaik untuk menyajikan fraktur-fraktur

tersebut dibandingkan dengan pemeriksaan axial dan coronal CT-Scan. Pada

19
Pemeriksaan Tomogram biasanya dilakukan pada kepala dengan posisi AP atau

Waters.(8)

Pemeriksan CT-Scan

Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang sangat unggul

untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat menganalisis dengan baik tulang-

tulang secara rinci dan bentuk-bentuk jaringan lunak, irisan axial merupakan standar

pemeriksaan paling baik yang dilakukan dalam bidang inferior orbitomeatal (IOM).

Pemeriksaan ini dapat menganalisis perluasan penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus

dan palatum, terrmasuk ekstensi intrakranial dari sinus frontalis. (10)

Gambar 10. Foto normal CT Scan sinus Maxilla (dikutip dari kepustakaan 8)

20
Gambar 11. Foto CT scan posisi coronal memperlihatkan gambaran sinusitis maxilla dengan penebalan
dinding mukosa di sinus maxilla kanan. (dikutip dari kepustakaan 17)

Pada kasus-kasus sinusitis sphenoid, kira-kira 50% foto polos sinus

sphenoidalis yang normal, tapi apabila dilakukan pemeriksaan CT-Scan, maka

tampak kelainan pada mukosa berupa penebalan. (1)

Gambar 12. Foto CT-Scan axial memperlihatkan gambaran sinusitis ethmoid dan sphenoid dextra
dengan destruksi dinding lateral sinus sphenoid dextra (dikutip dari kepustakaan 3)

21
Pansinusitis adalah suatu keadaan dimana terdapat perselubungan pada seluruh sinus-

sinus. Apabila perselubungan masih tetap ada sampai 2-3 minggu setelah terapi

konservatif perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan. Hal-hal yang mungkin terjadi

pada kasus tersebut, ialah:

Kista retensi yang luas, pada pemeriksaan CT-Scan terlihat gambaran air fluid

level

Polip yang mengisi ruang sinus

Polip antrakoana

Masa pada kavum nasi yang menyumbat sinus

Mukokel, pada foto polos tampak gambaran radioopak berbatas tegas

berbentuk konveks dengan penebalan dinding mukosa disekitarnya. Pada

mukokel didaerah sinus etmoidalis sukar dideteksi dengan foto polos, tetapi

dapat dideteksi dengan pemeriksaan CT.

Tumor

Pemeriksaan MRI

MRI memberikan gambaran yang lebih baik dalam membedakan struktur

jaringan lunak dalam sinus. Kadang digunakan dalam kasus suspek tumor dan

sinusitis fungal. Sebaliknya, MRI tidak mempunyai keuntungan dibandingkan dengan

CT Scan dalam mengevaluasi sinusitis. MRI memberi hasil positif palsu yang tinggi,

penggambaran tulang yang kurang, dan biaya yang mahal. MRI membutuhkan waktu

lama dalam penyelesaiannya dibandingkan dengan CT Scan yang relatif cukup cepat

dan sulit dilakukan pada pasien klaustrofobia. (10)

22
MRI mungkin merupakan pilihan terbaik untuk mendeteksi dan mengenali

mukokel. MRI dengan kontras merupakan teknik terbaik untuk mendeteksi empiema

subdural atau epidural. (11)

Gambar 13. Foto MRI normal sinus. (dikutip dari kepustakaan 3)

Gambar 14. Foto MRI menunjukkan ekstensi intraorbital sinus ethmoid bagian
kanan (dikutip dari kepustakaan 3)

23
F. DIAGNOSIS BANDING SINUSITIS

1. Fibrosa kistik

Pada gambaran CT Scan, lebih dari 90% pasien fibrosa kistik juga terdapat gambaran

seperti sinusitis kronik yaitu tampak gambaran perselubungan dan displacement dari

dinding lateral cavum nasi pada meatus medius. Tampak pula pembengkakan pada

dinding lateral cavum nasi dengan penumpukan mucus pada sinus maxillaris. (12)

Gambar 12. Foto CT Scan Axial memperlihatkan gambaran penumpukan di sinus maxilla

2. Polip Nasi
Pada gambaran CT Scan tampak pembesaran/ penebalan dinding nasal lateral,

polip antral-choanal juga dapat memberikan gambaran perselubungan pada sinus

maxillaris dengan lesi yang menonjol ke atas dari antrum maxillaris ke choanae.
(13)

24
Gambar 13. Foto CT Scan coronal. Tampak opaque seluruh sinus paransalis dengan soft tissue

memenuhi cavum nasi

G. TATALAKSANA SINUSITIS

Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah

komplikasi dan mencegah akut menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka

sumbatan di kompleks ostio-meatal (KOM) sehingga drainase dan ventilasi sinus-

sinus pulih secara alami. (2)

Penatalaksanaan sinusitis supuratif dapat dibagi menjadi penatalaksanaan

medis dan penatalaksanaan bedah. Penatalaksanaan bedah dapat berupa

penatalaksanaan bedah minor, pembedahan di poliklinik atau intervensi di ruang

operasi. (14)

25
1. Penatalaksanaan Medis

Karena sebagian besar infeksi sinusitis supuratif akut disebabkan oleh

organisme gram-positif yang kebanyakannya Diplococcus pneumonia,

Staphylococcus aureus, Steptococcus (grup A,B,dan D), dan Heamophilus

influenza (gram negatif) disertai hospes organisme anaerob, maka terapi

terpilihnya penisilin G. Penisilin G juga merupakan pilihan yang baik terapi awal

dan definitive untuk kokus gram negatif, basal gram positif dan gram negative.

Ini kunci utama penatalaksanaan medis pada sinusitis supuratif akut. Untuk

H.influenza, diindikasikan pemberian ampisilin. (15)

Terapi antibiotic harud diteruskan minimum 1 minggu setelah gejala

terkontrol. Lama terapi rata-rata 10 hari. Karena banyaknya distribusi ke sinus-

sinus yang terlibat, perlu mempertahankan kadar antibiotika yang adekuat; bila

tidak, mungkin terjadi sinusitis supuratif kronik. .(14)

Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk membantu memperbaiki

drainase dan pembersihan secret dari sinus. Untuk sinusitis maxillaris dilakukan

pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis frontalis dan

sinusitis sphenoidalis dilakukan tindakan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian

dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau 6 kali tidak ada perbaikan

dan klinis masih tetap banyak secret purulen, maka perlu dilakukan bedah radikal.

Untuk pasien yang menderita alergi, pengobatan alergi yang dijalani

bermanfaat. Pengontrolan lingkungan, steroid topical, dan imunoterapi dapat

mencegah eksesarbasi rhinitis sehingga mencegah perkembangannya menjadi

sinusitis. .(15)

26
2. Penatalaksanaan Bedah

Harus dipertimbangkan penatalaksanaan bedah untuk mempermudah

drainase sinus yang terkena serta mengeluarkan mukosa yang sakit. Hal ini

diperlukan (1) bila terancam komplikasi, (2) untuk menghilangkan nyeri hebat,

dan (3) bila pasien tidak berespon terhadapat terapi medis.

a) Pembedahan Radikal

Pembedahan radikal yaitu pengangkatan mukosa yang patologik dan

membuat drainase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maxillaris dilakukan

operasi Caldwell-luc, sedangkan untuk sinus ethmoidalis dilakukan

ethmoidektomi yang bisa dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dari

luar (ekstranasal). Drainase sekret pada sinus frontalis dapat dilakukan dari

dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal) seperti dalam operasi

Kilian. Drainase sinus sphenoidalis dilakukan dari dalam hidung (intranasal).

b) Pembedahan Non-Radikal

Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan

menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskop Fungsional

(BSEF). Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks

ostiomeatal yang menjadi sumber sumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi

dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami. Dengan

demikian mukosa sinus akan kembali normal.

27
H. KOMPLIKASI SINUSITIS

Komplikasi sinusitis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila tidak

mendapatkan penanganan yang baik dan adekuat. Letak sinus paranasal yang

berdekatan dengan mata dan kranial sangat berperan pada infeksi sinusitis akut

ataupun kronik.

Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya komplikasi antara

lain karena : 1). terapi yang tidak adekuat, 2). daya tahan tubuh yang rendah 3).

virulensi kuman dan 4). penanganan tindakan operatif (yang seharusnya) terlambat

dilakukan.(2)

Komplikasi yang sering ditimbulkan antara lain sebagai berikut:

1. Komplikasi ke mata

Secara anatomi perbatasan daerah mata dan sinus sangat tipis : batas medial

sinus ethmoid dan sphenoid, batas superior sinus frontal dan batas inferior

sinus maxilla. Sinusitis merupakan salah satu penyebab utama infeksi orbita.

Pada era pre antibiotik hampir 50 % terjadi komplikasi ke mata, 17 %

berlanjut ke meningen dan 20 % terjadi kebutaan.(4,15)

Komplikasi ke orbita dapat terjadi pada segala usia, tetapi pada anak-anak

lebih sering. Intervensi tindakan operatif lebih banyak dilakukan pada anak-

anak yang lebih besar dan dewasa. Ethmoiditis sering menimbulkan

komplikasi ke orbita, diikuti sinusitis frontal dan maxilla.

2. Komplikasi intrakranial

Komplikasi intrakranial dapat terjadi pada infeksi sinus yang akut,

ekaserbasi akut ataupun kronik. Komplikasi ini lebih sering pada laki-laki

28
dewasa diduga ada faktor predileksi yang berhubungan dengan pertumbuhan

tulang frontal dan meluasnya sistem anyaman pembuluh darah yang

terbentuk. Beberapa tahap komplikasi intrakranial yang dikenal :

Osteomielitis

Epidural abses

Subdural empiema

Abses otak

Meningitis

I. PROGNOSIS SINUSITIS

Sinusitis akut memiliki prognosis yang sangat baik, dengan perkiraan 70%

penderita sembuh tanpa pengobatan. Sedangkan sinusitis kronik memiliki prognosis

yang bervariasi. Jika penyebabnya adalah kelainan anatomi dan telah diterapi dengan

bedah, maka prognosisnya baik.lebih dari 90% pasien membaik dengan intervensi

bedah, namun pasien ini kadang mengalami kekambuhan.(15)

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusdy Ghazali Malueka, Sinus Paranasal (SPN). Sinusitis. Dalam: Radiologi


Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press Yogyakarta, cetakan ketiga;
april 2011, p. 116-118
2. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;
2001.hal.150-3
3. Itzhak Brook,MD,MSc. Epidemiology of Acute Sinusitis. Updated Apr 2, 2012.
Available from: http//emedicine.medscape.com/article/232670- overview#a0156
4. Hilger PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Adam GL, Boies LR, Higler PA.
Buku Ajar Penyakit THT ( BOIES Fundamental of Otolaryngology). Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran; 1997.hal.240-59.
5. Leignton S, Robson A, Russell J. Rhinosinusitis. In : Burton M. Hall & Colmans
Diseases of Ear, Nose and Throat.Fifteenth Edition. London: Churchill
Livingstone; 2000.p.111-7
6. Moller TB, Reif E. Nasal Sinuses. In : Pocket Atlas OF Radiologic Anatomy.
Second Edition. New York:Thieme Suttgart; 2000.p.19-22
7. Frank H Netter, MD, paranasal sinuses, nasal region, dalam: Atlas of Human
Anatomy 4th edition, Pennysylvania, Saunders Elsevier, 2006, p.48
8. Rachman MD, Sinus paranasalis dan Mastoid. Dalam: Ekayuda I. Radiologi
Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Divisi Radiodiagnostik Departemen Radiologi
FKUI; 2005. Hal 431-45

9. Dr Tomas Sempere Dura, Orbit And Paranasal Sinuses Conventional X- Rays.


Dalam : Atlas Of Anatomy By Sectional Imaging, Berlin, Bayer Health Care;
2009
10. Okuyemi KS, Tsue TT. Radiologic Imaging In The Management Of Sinusitis. In:
Siwek J. Radiologic Decision Making. Kansa: University of Kansas School Of
Medicine;2002.p.1882-6

30
11. Nicoll D, McPhee SJ, Pignone M, Chou TM, Detmer WM. Sinusitis. In: Pocket
Guide To Diagnostic Test. Third Edition. San Francisco: Lippincott Williams
&Wilkins Publisher,1999.p.208
12. Murray N. Sinonasal Manifestations of Cystic Fibrosis. In: Meyers AD, MD.
2011 [cited 2011 July 7]. Available from: http://www.medscape.com
13. John E McClay, MD. Overview of Nasal Polyps. In : Mayer Md, AD. 2012
[cited 2012 April 2012]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/994274-overview
14. Cody DT, Kern EB, Pearson BW, Sinusitis. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung
Dan Tenggorokan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran; 2002.hal 233-9
15. Shah AR, Salamone FN, Tani TA, Acute & Chronic Sinusitis. In : Lalwni AK.
Current Diagnosis & Treament In Otolaryngology Head & Neck Surgery. New
York: Mc Graw Hill; 2008.P.273-81
16. Chavda SV, Oliff JFC. The Sinuses. In : Eastman GW, Wald C, Crossin J.
Getting Started In Clinical Radiology. New York: Getting Started In Clinical
Radiologic; 2006.P. 1519-29
17. Russell A.Faust, PhD,MD. Development Of The Paranasal Sinuses In Children.
In: Ask The Boogor Doctor. 2010. Available
From: http://www.boogordoctor.com/2012/02/development-of-the-paranasal-
sinuses-in-children/

31

Anda mungkin juga menyukai