Anda di halaman 1dari 30

Laporan Kasus

PPOK Eksaserbasi

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Pulmonologi Fakultas Kedokteran Unsyiah/
RSUD dr. ZainoelAbidin Banda Aceh

Disusun oleh:

SALSABILA
160710101030068

Pembimbing:
dr. Herry Priyanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR

BAGIAN/ SMF PULMONOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas laporan kasus yang
berjudul “PPOK Eksaserbasi”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam
kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Pulmonologi
RSUD dr. Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada
dr. Herry Priyanto, Sp.P (K), FISR, FAPSR yang telah bersedia meluangkan
waktu membimbing penulis dalam penulisan kasus ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan
dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya dan ilmu penyakit dalam pada
khususnya. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita semua, Amin.

Banda Aceh, Mei 2017

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu penyakit paru yang
dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan dengan respon
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya.(1)
PPOK merupakan salah satu penyakit yang memiliki beban kesehatan
tertinggi. World Health Organization (WHO) dalam Global Status of Non-
communicable Diseases tahun 2010 mengkategorikan PPOK ke dalam empat
besar penyakit tidak menular yang memiliki angka kematian yang tinggi setelah
penyakit kardiovaskular, keganasan dan diabetes.(2) Di Indonesia PPOK
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian, diperkirakan
terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalensi 5,6% dan sekitar 4,3% terjadi di Aceh
dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 4:1.(3) Menurut data dari
Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2004 di 5 rumah sakit provinsi
menunjukkan PPOK menempati urutan pertama menyumbang angka kesakitan
diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).(4)
Tingginya angka kejadian PPOK dikaitkan dengan semakin meningkatnya
pajanan faktor resiko meliputi kebiasaan merokok yang masih tinggi terutama
pada sejak usia muda, polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan
di pertambangan, serta seringnya saluran napas bawah terinfeksi selama masa
kanak-kanak. Pertambahan penduduk dan peningkatan usia harapan hidup juga
berperan dalam peningkatan penyakit ini.(1)
Berbagai penyakit dapat mempunyai gejala dan tanda menyerupai PPOK,
sehingga diagnosis PPOK harus didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Adapun gejala pada pasien PPOK juga sangat
bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat. Diagnosis PPOK
dipertimbangkan bila terdapat gejala berupa sesak napas, batuk kronik yang dapat
disertai dengan dahak, serta adanya pajanan dengan faktor risiko, seperti asap
rokok, debu, asap dapur, dan bahan kimia di tempat kerja. Uji spirometri dianggap
sebagai indikator kunci untuk memastikan diagnosis PPOK.(1) Selain itu,

3
berdasarkan GOLD 2013 untuk menilai gejala-gejala PPOK dapat menggunakan
kuesioner yang sudah divalidasi, yaitu COPD Assessment Test (CAT), the
Modified British Medical Research Council (mMRC) atau the Clinical COPD
Questionnaire (CCQ).(5)
Istilah PPOK eksaserbasi akut dikatakan bila kondisi ini mengalami
perburukan yang bersifat akut dari keadaan sebelumnya yang stabil. Gejalanya
berupa sesak napas bertambah, produksi sputum meningkat, serta perubahan
warna sputum. Eksaserbasi akut biasanya terjadi disebabkan oleh infeksi (virus
dan bakteri).(6)
Salah satu dampak negatif PPOK adalah penurunan kualitas hidup dan
keterbatasan aktivitas pasien. Hal ini dikarenakan PPOK merupakan penyakit paru
kronik, progresif dan tidak sepenuhnya reversibel. Sehingga dibutuhkan edukasi
yang tepat sebagai pengelolaaan jangka panjang PPOK, dengan harapan dapat
mengurangi kecemasan pada pasien PPOK dan memberiksan semangat hidup
walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Adapun penggunaan obat-obat dan
oksigen disesuaikan dengan klasifikasi dan derajat berat penyakit yang dialami
oleh pasien PPOK.(1)

4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. TA
Umur : 59 tahun
Alamat : Tgk. Di Blang Lr. Permata No. 9, Kuta Alam,
Banda Aceh
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Status : Menikah
CM : 0-89-14-04
Tanggal Masuk : 18Mei 2017
Tanggal Pemeriksaan : 19 Mei 2017

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas
Keluhan Tambahan : Batuk berdahak, demam, nyeri ulu hati, mual
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasakan sejak 1
hari SMRS dan memberat sejak tiba di IGD. Sesak hilang timbul, tidak
dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca maupun makanan dan tidak disertai suara mengi.
Riwayat sesak sebelumnya (+) sejak 2 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
batuk berdahak sejak 1 minggu yang lalu. Dahak berwarna putih kekuningan.
Demam juga dikeluhkan oleh pasien sejak 2 hari dengan sifat naik turun. Selain
demam, pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 3 hari. Pasien merasakan
mual namun tidak muntah. Tidak ada keluhan batuk darah, nyeri dada, terbangun
di malam hari karena sesak, penurunan berat badan, keringat malam, dan riwayat
perdarahan. BAK dan BAB pasien normal tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sesak ± 2 tahun yang lalu. Riwayat alergi hidung, TB paru,
hipertensi, dan diabetes mellitus disangkal.

3
Riwayat Penggunaan Obat
Berotec
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama.
Riwayat asma, hipertensi, diabetes mellitus dan alergi obat disangkal.
Riwayat Sosial
Pasien merokok sudah 37 tahun.Pasien merokok ± 3 bungkus/hari.
Indeks Brinkman: 37 tahun x 36 batang/hari = 1332 (berat)

2.3 Pemeriksaan Tanda Vital


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Frekuensi nadi : 102 kali/menit, regular,kuat angkat, isi cukup
Frekuensi nafas : 28 kali/menit, regular
Suhu : 37,6° C

2.4 Pemeriksaan Fisik


 Kulit : sawo matang, ikterik (-), sianosis (-), edema (-),
 Kepala : rambut hitam, distribusi merata, sukar dicabut
 Wajah : simetris, edema (-), deformitas (-)
 Mata : anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), refleks cahaya
langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
 Telinga : kesan normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
 Hidung : sekret (-/-), cavum nasi hiperemis (-), napas cuping hidung (-)
 Mulut : Sianosis (-), tremor (-), hiperemis (-), tonsil hiperemis (-/-), T1 –
T1.
 Leher : retraksi suprasternal (-), pembesaran KGB axila(-)retroauricula
(-) suprasternal (-), kaku kuduk (-).

4
 Thorak anterior
Pemeriksaan
Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Fisik Paru

Inspeksi Statis: Normochest


Dinamis: Simetris saat statis dinamis,pernapasan abdominothoracal, retraksi
interkostal (-/-), jejas (-)

Palpasi
Atas Fremitus taktil: normal Fremitus taktil: normal

Tengah
Fremitus taktil: normal Fremitus taktil: normal

Bawah Fremitus taktil: normal Fremitus taktil: normal

Perkusi
Atas Sonor Sonor
Tengah Sonor Sonor

Bawah Sonor Sonor

Auskultasi
vesikuler (+), rhonki (+), wheezing
Atas vesikuler (+), rhonki (+), wheezing (+)
(-)

vesikuler (+), rhonki (-),wheezing (-


Tengah vesikuler (+), rhonki (+), wheezing (-)
)

vesikuler (+), rhonki (-),wheezing (-


Bawah vesikuler (+), rhonki (-), wheezing (-)
)

 Thoraks posterior
Pemeriksaan
Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Fisik Paru
Inspeksi Statis : Normochest
Dinamis : Simetris, pernapasan thoraco abdominal, retraksi interkostal (-/-),
jejas (-)

Palpasi
Atas Fremitus taktil: normal Fremitus taktil: normal
Tengah
Fremitus taktil: normal Fremitus taktil: normal
Bawah Fremitus taktil: normal Fremitus taktil: normal

 Jantung
Auskultasi : BJ I > BJ II, regular (+) bising (-)
 Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi (-)

5
Palpasi : soepel, organomegali (-), nyeri tekan (+) epigastric
Perkusi : timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
 Ekstremitas :
 Ekstremitas superior: sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(+/+), akral dingin (-/-
), CRT <2”
 Ekstremitas inferior: sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(+/+), akral dingin (-
/-), CRT <2”

2.5 Pemeriksaan Penunjang


a) Laboratorium Darah
Pemriksaan dilakukan pada tanggal 18 Mei 2017

Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium darah


JENIS PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin 13,7 14,0-17,0 g/dL
Hematokrit 40 45-55 %
Eritrosit 4,6 4,7-6,1 106/mm3
Leukosit 7,90 4,5-10,5 103/mm3
Trombosit 218 150-450 103/mm3
MCV 87 80-100 fL
MCH 30 27-31 pg
MCHC 34 32-36 %
RDW 13,5 11,5-14,5 %
MPV 10,7 7,2-11,1 fL
Hitung Jenis:
Eosinofil 5 0-6 %
Basofil 0 0-2 %
Netrofil Batang 0 2-6 %
Netrofil Segmen 74 50-70 %
Limfosit 15 20-40 %
Monosit 6 2-8 %
KIMIA KLINIK
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 152 < 200 Mg/dL
GINJAL-HIPERTENSI
Ureum 23 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,80 0,67-1,17 mg/dL
ELEKTROLIT - Serum
Natrium (Na) 142 132-146 mmol/L
Kalium (K) 3,8 3,7-5,4 mmol/L
Klorida (Cl) 106 98-106 mmol/L

6
b) Foto Thorax (18 Mei 2017)

Kekerasan foto cukup


Tulang tidak fraktur, tidak
deformitas
Soft tissue normal
Tampak hiperlusen
Sela iga melebar
Tampak corakan kasar di daerah
paru sinistra
Jantung seperti menggantung
Sedikit infiltrat di sudut
cardiophrenicus
Sudut costopherinicus kiri dan
kanan tajam
Diafragma mendatar

Kesan:
PPOK

2.6 Diagnosa Banding


1) PPOK eksaserbasi
2) Pneumonia atipikal
3) Sindroma dispepsia

2.7 Diagnosa
PPOK eksaserbasi

2.8 Tatalaksana
 O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
 IVFD Asering lotum 10 gtt/i
 Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
 Nebule combivent 1 resp/6 jam
 Nebule pulmicort 1 resp/12 jam
 Domperidone 3x1
 Vectrin 3x1
 Cefixime 2x100
 Curcuma 3x1

7
2.9 Planning
 Cek sputum MO gram
 Darah rutin 3 hari pasca antibiotik

2.10 Prognosis
Prognosis pasien dengan PPOK ialah dubia ad bonam.

Follow Up Harian
Tabel 2. Follow up pasien harian
Tanggal/hari
Catatan Instruksi
rawatan
Jumat S/ Sesak napas menurun, nyeri perut (+) Th/
19/05/2017 O/ VS: TD : 100/60 mmHg  O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
H1 HR : 102 x/menit  Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
RR : 28 x/menit  Nebule combivent 1 resp/6 jam
T : 37,6 C  Nebule pulmicort 1 resp/12 jam
Paru  Azitromisin 1x500 mg
I: Simetris statis/dinamis (+/+)  Domperidone 3x1
P: Sf ka = Sf ki  Vectrin 3x1
P: sonor/sonor  Curcuma 3x1
A: Ves (+/+), Rh (+/+),
Wh (-/+) Planning:
- Kultur Sputum Mo gram K/R
Ass/ - Darah rutin 3 hari post AB
- PPOK Eksaserbasi
- Pneumonia atipikal
- Sindrom dispepsia
Sabtu S/ Sesak (+), nyeri dada (+) Th/
20/05/2017 O/ VS: TD : 110/60 mmHg  O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
H2 HR : 103 x/menit  Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
RR : 25 x/menit  Nebule combivent 1 resp/6 jam
T : 36,2 C  Nebule pulmicort 1 resp/12 jam
Paru  Domperidone 3x1
I: Simetris statis/dinamis (+/+)  Vectrin 3x1
P: Sf ka = Sf ki  Curcuma 3x1
P: sonor/sonor  Cefixime 2x100 (H-1)
A: Ves (+/+), Rh (-/+),  Metylprednisolon 3x8 mg
Wh (-/-)
Planning:
Ass/ - Sputum Mogram K/R
- PPOK eksaserbasi - Darah rutin 3 hari post AB
- Pneumonia atipikal
- Sindroma dispepsia
Minggu S/ Sesak menurun, nyeri dada (+), batuk (+) Th/
21/05/2017 kering  O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
H3 O/ VS:  IVFD Asering lotum 10 gtt/i
TD : 110/50 mmHg  Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
HR : 80 x/menit  Nebule combivent 1 resp/6 jam
RR : 24 x/menit  Nebule pulmicort 1 resp/12 jam
T : 36,2 C  Domperidone 3x1
Paru  Vectrin 3x1
I: Simetris statis/dinamis (+/+)  Curcuma 3x1
P: Sf ka = Sf ki  Cefixime 2x100 (H-2)
P: sonor/sonor  Metylprednisolon 3x8 mg
A: Ves (+/+), Rh (-/-),
Wh (-/-) Planning:
- Sputum MO gram K/R

8
Ass/ - Darah rutin 3 hari post AB
- PPOK eksaserbasi
- Pneumonia atipikal
- Sindroma dispepsia

Senin S/ Sesak napas menurun, nyeri ulu hati Th/


22/05/2017 O/ VS:  O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
H4 TD : 110/60 mmHg  IVFD Asering lotum 10 gtt/i
HR : 86 x/menit  Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
RR : 24 x/menit  Nebule combivent 1 resp/6 jam
T : 36,5 C  Nebule pulmicort 1 resp/12 jam
Paru  Domperidone 3x1
I: Simetris statis/dinamis(+/+)  Vectrin 3x1
P: Sf ka = Sf ki  Curcuma 3x1
P: sonor/sonor  Cefixime 2x100 (H-3)
A: Ves (+/+), Rh (-/-),  Metylprednisolon 3x8 mg
Wh (-/-)
Planning:
Ass/ - Sputum MO gram K/R (susul
- PPOK eksaserbasi hasil)
- Pneumonia atipikal
- Sindroma dispepsia
Selasa S/ Sesak napas, nyeri kepala, dahak sulit Th/
23/05/2017 dikeluarkan  O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
H5 O/ VS:  IVFD Asering lotum 10 gtt/i
TD : 120/70 mmHg  Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
HR : 84 x/menit  Nebule combivent 1 resp/6 jam
RR : 24 x/menit  Nebule pulmicort 1 resp/12 jam
T : 36,8 C  Domperidone 3x1
Paru  Vectrin 3x1
I: Simetris statis/dinamis(+/+)  Cefixime 2x100 (H-4)
P: Sf ka = Sf ki  Curcuma 3x1
P: sonor/sonor  Metylprednisolon 3x8 mg
A: Ves (+/+), Rh (-/+),  Paracetamol 3x1
Wh (-/-)
Planning:
Ass/ - Sputum MO gram K/R (susul
- PPOK eksaserbasi hasil)
- Pneumonia atipikal - Konsul kardio
- Sindroma dispepsia
Rabu S/ Sesak napas, dahak sulit keluar Th/
24/05/2017 O/ VS:  O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
H6 TD : 120/80 mmHg  IVFD Asering lotum 10 gtt/i
HR : 82 x/menit  Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
RR : 22 x/menit  Nebule combivent 1 resp/6 jam
T : 36,6 C  Nebule pulmicort 1 resp/12 jam
Paru  Domperidone 3x1
I: Simetris statis/dinamis(+/+)  Vectrin 3x1
P: Sf ka = Sf ki  Cefixime 2x100 (H-5)
P: sonor/sonor  Curcuma 3x1
A: Ves (+/+), Rh (-/+),  Metylprednisolon 3x8 mg
Wh (-/-)  Paracetamol 3x1

Ass/ Planning:
- PPOK eksaserbasi - Konsul kardiologi (+)
- Pneumonia atipikal - Sputum MO gram K/R (susul
- Sindroma dispepsia hasil)
- PBJ

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu penyakit paru yang
dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan dengan respon
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya.(1)

3.2 Epidemiologi

PPOK merupakan salah satu penyakit yang memiliki beban kesehatan


tertinggi. World Health Organization (WHO) dalam Global Status of Non-
communicable Diseases tahun 2010 mengkategorikan PPOK ke dalam empat
besar penyakit tidak menular yang memiliki angka kematian yang tinggi setelah
penyakit kardiovaskular, keganasan dan diabetes.(2) Di Indonesia PPOK
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian, diperkirakan
terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalensi 5,6% dan sekitar 4,3% terjadi di Aceh
dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 4 : 1.(3) Menurut data dari
Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2004 di 5 rumah sakit provinsi
menunjukkan PPOK menempati urutan pertama menyumbang angka kesakitan
diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).(4)

3.3 Faktor Risiko

Beberapa hal yang berkaitan dengan risiko timbulnya PPOK antara lain:(1)
1) Asap rokok
Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab
gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Risiko PPOK pada perokok
tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah
batang rokok perhari dan lamanya merokok. Namun tidak semua perokok
berkembang menjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor
resiko genetik setiap individu. Perokok pasif atau Environmental Tobacco
Smoke (ETS) juga memberikan kontribusi terhadap terjadinya gejala

10
respirasi dan PPOK dikarenakan adanya peningkatan jumlah inhalasi
partikel dan gas.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan:
a. Riwayat merokok: perokok aktif, perokok pasif dan bekas perokok.
b. Derajat berat merokok yang dinilai dengan Indeks Brinkman (IB),
yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun dan dikategorikan sebagai:
- Ringan : 0-199
- Sedang : 200-599
- Berat : >600
2) Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan
memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK.
Polusi udara terbagi menjadi polusi di dalam ruangan (asap rokok dan asap
kompor), polusi di luar ruangan (gas buang kendaraan bermotor dan debu
jalanan), serta polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun).
3) Stres oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan
endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan
eksogen dari polutan dan asap rokok. Pada saat terjadi perubahan
keseimbangan antara oksidan dan antioksidan misalnya ekses oksidan dan
atau deplesi antioksidan akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif
tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga
menimbulkan aktivitas molekuler sebagai awal inflamasi paru.
4) Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas
PPOK.Kolonisasai bakteri mengakibatkan inflamasi jalan napas, sehingga
menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada anak akan
menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi
pada saat dewasa.

11
5) Sosial ekonomi
Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukiman yang padat,
nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang berhubungan dengan status sosial
ekonomi berpengaruh terhadap perkembangan PPOK. Malnutrisi dan
penurunan berat badan dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot
respirasi, karena penurunan masa otot dan kekuatan serabut otot.
6) Tumbuh kembang paru
Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama kehamilan, dan
pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang
adalah risiko untuk terjadinya PPOK.Studi menyatakan bahwa berat lahir
mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.
7) Gen
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan -
1antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Ditemukan pada usia
muda dengan kelainan enfisema panlobular dengan penurunan fungsi paru
yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok dengan kekurangan -
1antitrypsin yang berat.

3.4 Klasifikasi

Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) PPOK


diklasifikasikan ke dalam (Gold 2010):1

Tabel 3. Klasifikasi PPOK


Klinis Faal paru
Derajat
Gejala klinis (batuk, produksi sputum) Normal
Derajat I: Batuk kronik dan produksi sputum ada, tidak sering. VEP1/KVP < 70%
PPOK ringan Pasien sering tidak menyadari bahwa faal paru mulai ↓. VEP1 80% prediksi
Sesak mulai dirasakan saat aktivitas, kadang VEP1/KVP<70%
Derajat II:
ditemukanbatuk dan produksi sputum. Pasien mulai 50%< VEP1< 80% prediksi
PPOK sedang
memeriksakan kesehatannya.
Sesak lebih berat,↓aktivitas, rasa lelah dan serangan VEP1/KVP < 70%
Derajat III:
eksaserbasi semakin sering, berdampak pada kualitas 30% < VEP1< 50% prediksi
PPOK berat
hidup pasien.
Gejala diatas + tanda-tanda gagal napas/gagal jantung VEP1/KVP < 70%
Derajat IV:
kanan dan ketergantungan O2. Kualitas hidup pasien VEP1< 30% prediksi atau
PPOK sangat
memburuk, jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa. VEP1< 50% prediksi disertai
berat
gagal napas kronik

12
3.5 Patogenesis

Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon


inflamasi normal akibat iritasi kronis dari inhalasi asap rokok dan partikel
berbahaya lainnya, dan semakin diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan
proteinase. Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola peradangan yang melibatkan
neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi dan
berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan parenkim paru-
paru.(1)
Stres oksidatif memperkuat mekanisme terjadinya PPOK.Stres oksidatif
lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi. Asap rokok dan partikulat yang dihirup
lainnya yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi akan menghasilkan oksidan aktif.
Dapat juga disertai penurunan antioksidan endogen pada pasien PPOK. Stres
oksidatif ini berpotensi buruk pada paru, termasuk aktivasi gen inflamasi,
inaktivasi antiprotease, stimulasi sekresi mukus, dan stimulasi eksudasi plasma
meningkat. Biomarker stres oksidatif, misalnya peroksida hidrogen akan
meningkat dalam sputum, konsendat hembusan napas, dan sirkulasi sistemik pada
pasien PPOK.(1)
Terjadi ketidakseimbangan protease dan antiprotease pada pasien PPOK,
yaitu protease yang memecah komponen jaringan ikat dan antiprotease yang
melindunginya.Beberapa protease berasal dari sel inflamasi dan sel epitel yang
meningkat pada pasien PPOK. Protease-mediated perusak elastin yang
merupakan komponen jaringan ikat utama parenkim paru memberikan gambaran
penting pada emfisema dan bersifat ireversibel.(1)

Gambar 1. Patogenesis PPOK.(1)

13
3.6 Patofisiologi

Mekanisme patofisiologi yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala


yang khas telah banyak diketahui, misalnya penurunan VEP1 disebabkan
peradangan dan penyempitan saluran napas perifer, sedangankan penurunan
transfer gas dikarenakan adanya kerusakan parenkim paru pada emfisema.(1)
1) Keterbatasan aliran udara dan air trapping
Tingkat peradangan, fibrosis, dan cairan eksudat di lumen saluran
napas kecil berhubungan dengan penurunan VEP1 dan rasio
VEP1/KVP.Penurunan VEP1 merupakan gejala khas pada PPOK, obstruksi
jalan napas perifer menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan
hiperinflasi.Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan
kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan, yang terlihat
sebagai sesak napas dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang
berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya
sesak napas pada aktivitas.(1)
2) Mekanisme pertukaran gas
Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan
hipoksemia dan hiperkapnia terjadi karena beberapa mekanisme.Secara
umum, pertukaran gas memburuk selama penyakit berlangsung. Tingkat
keparahan emfisema berkolerasi dengan PO2 arteri dan tanda lain dari
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.(1)
3) Hipersekresi lendir
Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus
melalui aktivasi reseptor faktor EGFR.(1)
4) Gambaran dampak sistemik
Kakesia umumnya terlihat pada pasien PPOK berat dikarenakan
hilangnya massa otot rangka dan kelemahan otot sebagai akibat dari
peningkatan proses apoptosis atau karena tidak digunakannya otot-otot
tersebut. Peningkatan konsentrasi mediator inflamasi, termasuk TNF- IL-
6, dan radikal bebas dapat mempengaruhi efek sistemik misalnya proses
osteoporosis, depresi dan anemia kronik. Peningkatan risiko penyakit
kardiovaskuler berkolerasi dengan peningkatan protein C-reaktif (CRP).(1)

14
Gambar 2. Patofisiologi PPOK.(1)

3.7 Eksaserbasi

Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi dalam


saluran napas pasien PPOK yang dipicu oleh infeksi bakteri atau virus atau polusi
lingkungan.Pada eksaserbasi ringan dan sedang terdapat peningkatan neutrofil,
dan beberapa studi juga menemukan eosinofil dalam sputum dan dinding saluran
napas. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu,
termasuk TNF-α, LTB4 dan IL-8, serta peningkatan biomarker stress oksidatif.(1)
Pada eksaserbasi berat, salah satu penelitian menunjukkan peningkatan
neutrofil pada dinding saluran napas dan peningkatan ekspresi kemokin. Selama
eksaserbasi terjadi peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengan
pengurangan aliran ekspirasi, sehingga terjadi peningkatan sesak napas.(1)
Gejala eksaserbasi yaitu sesak bertambah, produksi sputum meningkat dan
berubah warna menjadi purulen. Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga:(1)
- Tipe I (eksaserbasi berat) : memiliki 3 gejala di atas
- Tipe II (eksaserbasi sedang) : memiliki 2 gejala di atas
- Tipe III (eksaserbasi ringan): memiliki 1 gejala ditambah infeksi saluran napas
atau >5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi
atau peningkatan frekuensi pernapasan >20% baseline, atau frekuensi nadi
>20% baseline.

3.8 Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan

15
kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila
terdapat tanda dan gejala sebagai berikut:

Tabel 4. Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK


Gejala Keterangan
Sesak Progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya
waktu)
Bertambah berat dengan aktivitas
Persistent (menetap sepanjang hari)
Dijelaskan oleh bahasa pasien sebagai “Perlu usaha
untuk bernapas,”
Berat, sukar bernapas, terengah-engah
Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak
Batuk kronik berdahak Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan
PPOK
Riwayat terpajan faktor risiko, terutama Asap rokok
Debu dan bahan kimia di tempat kerja
Asap dapur

3.9 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis PPOK secara rinci diuraikan sebagai


berikut:(1)
a) Anamnesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara.
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b) Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
 Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas

16
- Hipertrofi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher
dan edema tungkai.
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
 Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
 Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah.
 Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed lips breathing.
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan
perifer.
Pursed - lips breathing
Merupakan sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu
dan ekspirasi yang memanjang.Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
c) Pemeriksaan Rutin
1) Faal paru
 Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP).

17
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP
(%).
- Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred.) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) <
75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Pengukuran spirometri dievaluasi dnegan membandingkan hasil
pengukuran terhadap nilai prediksi yang tepat berdasarkan usia, tinggi
badan, jenis kelamin, dan ras.
- Nilai VEP1 pasca bronkodilator <80% prediksi serta nilai VEP1/KVP
<0,70 memastikan ada hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel.
 Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dievaluasi perubahan nilai VEP1 atau APE, dimana
perubahan nilai< 20% dan < 200 ml dari nilai awal.
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
2) Laboratorium Darah
Hemoglobin, Hematokrit, Trombosit, Leukosit, Analisa gas darah
3) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain.
- Pada emfisema terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang
retrosternal melebar, diafragma mendatar, jantung menggantung
(jantung pendulum/tear drop/eye drop appearance)
- Pada bronkitis kronik umumnya memiliki gambaran normal atau
pertambahan corakan bronkovaskuler.

3.10 Diagnosis Banding

Berikut diagnosis banding dan perbedaan masing-masing penyakit dengan

18
PPOK menurut Gold, 2010.(1)

Tabel 5. Diagnosis banding PPOK


Diagnosis Gejala
PPOK - Onset pada usia pertengahan
- Gejala progesif lambat
- Lamanya riwayat merokok
- Sesak saat aktivitas
- Sebagian besar hambatan aliran udara ireversibel
- Kurang respons terhadap bronkodilator dan steroid
Asma - Onset awal sering pada anak
- Gejala bervariasi dari hari ke hari
- Gejala pada malam/menjelang pagi
- Disertai atopi, rinitis atau eksim
- Riwayat keluarga dengan asma
- Sebagian besar keterbatasan aliran udara
- Reversibel
- Respons baik terhadap bronkodilator dan steroid
Gagal jantung kongestif - Auskultasi terdengar rhonki halus di bagian basal
- Foto thoraks tampak jantung membesar, edema paru
- Uji faal paru menunjukkan restriksi
Bronkiektasis - Sputum produktif dan purulen
- Umumnya terkait dengan infeksi bakteri
- Auskultasi terdengar rhonki kasar
- Foto thoraks/CT-Scan menunjukkan pelebaran dan
penebalan bronkus
Tuberkulosis - Onset segala usia
- Foto thoraks menunjukkan infiltrat
- Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
- Prevalens tuberkulosis tinggi didaerah endemik
Bronkiolitis obliterans - Onset pada usia muda, bukan perokok
- Mungkin memiliki riwayat rheumatois arthritis atau
pajanan asap
- CT-scan toraks pada ekspirasi menunjukkan daerah
hipodens
Panbronkiolitis difus - Lebih banyak pada laki-laki bukan perokok
- Hampir semua menderita sinusistis kronik
- Foto thoraks dan HRCT torkas menunjukkan nodul opak
menyebar kecil di centrilobular dan gambaran hiperinflasi.

Gejala yang dipaparkan sebelumnya sesuai dengan karakteristik penyakit


masing-masing, namun juga dapat bervariasi pada tiap kasus. Adapun penyakit
lainnya yang dapat dijadikan diagnosis banding PPOK adalah:(1)
 SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberkulosis)
Merupakan penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada pasien
pasca tuberkulosis dengan lesi paru yang minimal.
 Pneumothoraks
Dada cembung di tempat kelainan, perkusi hipersonor, auskultasi saluran napas
melemah.

19
 Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain, misalnya bronkiektasis dan
destroyed lung.

3.11 Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan PPOK
Tujuan penatalaksaan antara lain mengurangi gejala, mencegah
progesivitas penyakit, mempertahankan fungsi paru, meningkatkan kualitas
hidup dan mencegah eksaserbasi. Penatalaksaan PPOK meliputi edukasi,
obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis dan nutrisi.(1)
 Edukasi
Inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Secara umum bahan
edukasi yang harus diberikan adalah:(1)
- Pengetahuan dasar tentang PPOK
- Mengindari pencetus, dengan cara berhenti merokok, disampaikan
pertama kali kepada pasien pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
- Penggunaan obat – obatan
Dibertahukan mengenai macam obat dan jenisnya, cara penggunaan
obat yang benar (oral, MDI, atau nebuliser), waktu penggunaan yang
tepat (rutin dengan interval waktu tertentu atau kalau perlu saja), dosis
obat yang tepat serta efek sampingnya.
- Penggunaan oksigen
Diedukasikan mengenai kapan oksigen harus digunakan, berapa
dosisnya, serta efek samping kelebihan dosis oksigen.
- Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Adapun tanda eksaserbasi meliputi batuk atau sesak bertambah,
produksi sputum meningkat dan berubah warna, sehinga dapat
dideteksi dan dihindari pencetus eksaserbasi
- Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas
Pemberian edukasi pada pasien PPOK didasarkan pada derajat penyakit.
 Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat digunakan antara lain:(1)

20
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan derajat penyakitnya.Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak direkomendasikan
dalam penggunaan jangka panjang.Pada derjat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat atau obat berfek panjang.Jenis-jenis
bronkodilator:
- Golongan antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium,
oxitropium dan tiopropium bromide. Efek utamanya adalah
memblokade efek asetilkolin padareseptor muskarinik.Efek
bronkodilator dari antikolinergik kerja singkat inhalasi lebih lama
dibandingkan agonis β-2 kerja singkat. Biasanya digunakan pada
derajat ringan hingga berat, berfungsi sebagai bronkodilator serta
mengurangi sekresi mukus (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis β-2
Prinsip kerja agonis β-2 adalah relaksasiotot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptorβ-2 adrenergik dengan meningkatkan
C-AMP danmenghasilkan antagonisme fungsional terhadap
bronkokontriksi. Efek bronkodilator dari agonis β-2 kerja singkat
biasanya dalam waktu 4-6 jam. Sedangkan agonis β-2 kerja lama
memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih. Sebagai obat pemeliharaan
sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis β-2
Kombinasi ini memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya
bekerja di tempat yang berbeda.Pengguaannya juga mudah
digunakan.
- Golongan xantin
Contoh obatnya adalah teofilin. Obat ini berperan dalam perubahan
otot-otot inspirasi. Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan

21
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan
berat.Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega
napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
akut.
b. Antiinflamasi
Digunakan pada eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi,
bermanfaat menekan inflamasi, dengan pemilihan golongan
metilprednisolon atau prednisone. Bentuk inhalasi sebagai terapi
jangka panjang diberikan sebagai terapi jangka panjang bila terbukti
uji kortikosteroid positif, yaitu terdapat perbaikan VEP1 pasca
bronkodilator meningkat >20% dan minimal 250 ml.(1)
c. Antibiotik
Antibiotik bermanfaat untuk pasien PPOK eksaserbasi dengan tanda
klinis infeksi saluran napas, misalnya meningkatnya dahak purulen.
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan
komposisi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah
sakit sebaiknya per drip atau intravena, Sedangkan untuk rawat jalan
diberikan kombinasi dengan macrolide bila eksaserbasi sedang
ataupun tunggal bila ringan.(1)
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup,
digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK yang sering,
namun tidak dianjurkan pemberian yang rutin.(1)
e. Mukolitik
Hanya diberikan pada eksaserbasi akut untuk mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum kental.(1)
 Rehabilitasi PPOK
Dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan toleransi terhadap latihan
dan memperbaiki kualitas hidup pasien PPOK. Program rehabilitasi
terdiri dari 3 komponen, yaitu latihan fisik, psikososial dan latihan
pernapasan.(1)

22
 Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progesif dan kronik yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal
yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan
mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lain.
Diindkasikan pada PaO2 <60 mmHg atau Sat O2<90%. Terapi oksigen
jangka panjang diberikan pada PPOK stabil derajat berat terutama saat
tidur atau berkativitas, dengan lama pemberian 15 jam setiap hari
menggunakan nasal kanul 1-2 L/m. Sedangkan pada derajat sedang
hanya diberikan jika timnbul sesak diakibatkan pertambahan aktivitas.(1)
 Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik, atau pada PPOK
derajat berat dnegan gagal napas kronik. Dianjurkan pemakaian
Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil
ventilasi mekanis digunakan dengan intubasi.(1)
 Nutrisi
Gizi penting sebagai penentu gejala cacat dan prognosis PPOK.
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi
hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK
karena berkorelasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan
analisis gas darah. Malnutrisi dapat dievaluasi dengan penurunan berat
badan, kadar albumin rendah, antropometri, dan pengukuran kekuatan
otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi).(1)
3.12 Prognosis

Quo ad vitam : Dubia ad bonam


Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam

23
BAB IV
ANALISA KASUS

Telah diperiksa pasien laki-laki dengan inisial Tn. TA usia 59 tahun datang
ke IGD Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin dengan keluhan sesak napas.
Sesak dirasakan sejak 1 hari SMRS dan memberat sejak tiba di IGD. Sesak hilang
timbul, tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca maupun makanan dan tidak disertai
suara mengi. Pasien memiliki riwayat sesak sebelumnya sejak 2 tahun yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak sejak 1 minggu yang lalu. Dahak
berwarna putih kekuningan. Demam juga dikeluhkan oleh pasien sejak 2 hari
dengan sifat naik turun. Selain demam, pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati
sejak 3 hari. Pasien merasakan mual namun tidak muntah. Tidak ada keluhan
batuk darah, nyeri dada, terbangun di malam hari karena sesak, penurunan berat
badan, keringat malam, dan riwayat perdarahan. BAK dan BAB pasien normal
tidak ada keluhan.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien dicurigai menderita
PPOK dengan diagnosis banding pneumonia atipikal dan sindroma dispepsia.
Diagnosis PPOK dibuat berdasarkan menifestasi klinis berupa sesak napas, batuk
berdahak dan riwayat terpajan faktor risiko salah satunya adalah merokok yang
terdapat pada pasien.(1) Hal ini sesuai definisi PPOK yaitu penyakit paru kronik
dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat
progresif, tidak sepenuhnya reversible dan berhubungan dengan respon inflamasi
paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya.(1) Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya suara napas ronkhi pada lapangan atas paru dextra dan
lapangan paru atas dan tengah sinistra, serta wheezing pada lapangan atas paru
sinistra. Dugaan menderita pneumonia atipikal dibuat berdasarkan keluhan pasien
demam dan batuk berdahak putih kekuningan. Sedangkan dicurigai sindroma
dispepsia dikarenakan pasien mengeluhkan nyeri ulu hati dan merasa mual.
Pasien adalah seorang laki-laki, 59 tahun, memiliki riwayat merokok selama
37 tahun. Berdasarkan data RISKESDAS, penderita PPOK di Indonesia
didominasi oleh laki-laki dikarenakan perokok pria lebih banyak 2 kali
dibandingkan dengan perokok wanita.(3) Penderita PPOK umumnya berada pada
usia >40 tahun, hal ini dikarenakan pada usia >40 tahun paru-paru sudah

24
mengalami penurunan fungsi berupa penurunan kapasitas vital paksa dan daya
recoil paru.(3) Penelitian yang dilakukan oleh Kundu et al mendapatkan rentang
usia terbanyak adalah pada usia 56-65 tahun, hal ini sesuai dengan yang
didapatkan pada kasus ini.(7) Pasien dengan riwayat merokok selama 37 tahun juga
menjadi faktor resiko utama yang berperan dalam proses terjadinya PPOK. Risiko
PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai
merokok, jumlah batang rokok perhari dan lamanya merokok (Indeks
Brinkman).(1) Lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama
kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan semakin
besar.
Sesak dirasakan 1 hari SMRS dan memberat sejak tiba di IGD. Pasien juga
mengeluhkan batuk berdahak 1 minggu yang lalu. Dahak berwarna putih
kekuningan. Pada pasien ini sudah termasuk kategori PPOK eksaserbasi karena
ditemukannya gejala berupa sesak bertambah, produksi sputum meningkat, dan
perubahan warna sputum. Pada kasus ditemukan 2 gejala tersebut, sehingga
tergolong eksaserbasi sedang.(1)
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini meliputi foto
thorax PA dan laboratorium. Hasil foto thorax didapatkan gambaran hiperlusen,
sela iga tampak melebar, jantung seperti menggantung, tampak corakan kasar di
lapangan atas dan tengah paru sinistra, sedikit infiltrat pada sudur cardiophrenicus
dan diafragma mendatar. Gambaran foto thorax yang didapatkan menguatkan
diagnosis PPOK.(1) Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil penurunan
hemoglobin (13,7), hematokrit (40), neutrofil batang (0), peningkatan neutrofil
segmen (74) dan limfositosis (15).
Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi adalah mengatasi segera
eksaserbasi dan mencegah terjadinya gagal napas. Terapi berupa pemberian
oksigen adekuat, obat-obatan bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik.(1)
Penatalaksanaan pada kasus ini sesuai dengan prinsip penatalaksanaan PPOK
eksaserbasi,selama dirawat pasien mendapat terapi O2 2 liter/menit,nebule
combivent 1 resp/6 jam, nebule pulmicort 1 resp/12 jam dan cefixime 2x100 mg.
Pada PPOK eksaserbasi, terapi oksigen merupakan hal pertama dan utama
yang bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang dapat

25
mengancam jiwa. Diberikan untuk mempertahankan PaO2> 60 mmHg atau Sat
O2> 90%.(1) Obat-obatan yang dibutuhkan pada eksaserbasi berupa bronkodilator,
kortikosteroid dan antibiotik. Pada pasien ini diberikan jenis bronkodilator
kombinasi yaitu nebule Combivent yang mengandung Salbutamol (golongan
Agonis β2 kerja singkat) dan Ipatropium bromide (golongan Antikolinergik).
Sedangkan kortikosteroid inhalasi yang diberikan pada pasien ini merupakan
pulmicort yang mengandung budesonide. Obat ini dapat mengurangi frekuensi
eksaserbasi. Pemberian antibiotik pada pasien ini sesuai indikasi berdasarkan
algoritme pemberian antibiotik pada pasien PPOK.(1) Gejala yang timbul
menunjukkan bahwa pasien mengalami eksaserbasi sedang, tanpa komplikasi
sehingga dapat diberikan preparat golongan Sefalosporin generasi ketiga berupa
Cefixime.
Selain itu, pasien juga diberikan injeksi Ranitidin 1 amp/12 jam yang
merupakan golongan antihistamin (H2-antagonist) untuk mengurangi produksi
asam lambung oleh sel parietal lambung sehingga akan meredakan gejala
sindroma dispepsia yang dialami pasien. Curcuma 3x1 diberikan untuk
memperbaiki nafsu makan dan sebagai hepatoprotektor. Domperidone 3x1 adalah
golongan anti-emetik untuk mengatasi mual dan muntah.Vectrin 3x1 merupakan
agen mukolitik yang diberikan untuk mengencerkan dahak pada pasien..

26
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang, maka diagnosis Tn. TA usia 59 tahun ini mengarah kepada PPOK
eksaserbasi.
PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh
hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan
berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun/berbahaya. Apabila kondisi ini mengalami perburukan yang bersifat akut
dari keadaan yang sebelumnya stabil, maka disebut dengan PPOK eksaserbasi.
Gejala eksaserbasi yakni sesak bertambah bertambah, produksi sputum
meningkat, serta perubahan warna sputum (purulen).
Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi adalah mengatasi segera
eksaserbasi dan mencegah terjadinya gagal napas. Terapi berupa pemberian
oksigen adekuat, obat-obatan bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan PPOK di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia; 2011. 5-57 p.
2. World Health Organization. Global Status Report on Noncommunicable
Diseases 2010: Description of the Global Burden of NCDs, Their Risk
Factors and Determinants. 2011.
3. RI Kementrian Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan
Penelitian dan Pengembangan; 2013.
4. Rahmatika A. Karakteristik Penderita PPOK yang dirawat inap di RSUD
Aceh Tamiang: Universitas Sumatra Utara. 2010.
5. Putra DP, Bustamam N, Chairani A. Hubungan Berhenti Merokok dengan
Tingkat Keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Berdasarkan GOLD
2013. J Respir Indo. 2013;36.
6. R Darmanto Djojodibroto SP, FCCP. Respirologi. Jakarta: EGC; 2007.
7. Abhijit Khundu AM, Supriyo Sarkar. Correlation of six minute walk test
with spirometric indices in chronic obstructive pulmonary disease patients:
A tertiary care hospital experience. J Assoc Chest Physicians. 2009;

28

Anda mungkin juga menyukai