Anda di halaman 1dari 11

Vicky Supit - 15011101093

OOGENESIS

Oogenesis sangat berbeda dari spermatogenesis dalam beberapa aspek penting, meskipun tahap-
tahap identic replikasi dan pembelahan kromosom berlangsung selama produksi gamet pada kedua
jenis kelamin. Sel germinativum primordial yang belum berdiferensiasi di ovarium janin, oogonia
(sebanding dengan spermatogonia), membelah secara mitosis untuk menghasilkan 6 juta sampai 7
juta ogonia pada bulan kelima gestasi, saaat proliferasi mitotic terhenti.

PEMBENTUKAN OOSIT PRIMER DAN FOLIKEL

Selama bagian terakhir kehidupan janin, oogonia memulai tahap-tahap awal pembelahan meiotic
pertama tetapi tidak menuntaskannya. Oogonia tersebut, yang kini dikenal sebagai oosit primer,
mengandumg jumlah diploid 46 kromosom replikasi, yang dikumpulkan ke dalam pasangan-
pasangan homolog tetapi tidak memisah. Oosit primer tetap berada dalam keadaan meiotic arrest
ini selama bertahun-tahun sampai sel ini dipersiapkan untuk ovulasi.

Sebelum lahir, setiap oosit primer dikelilingi oleh satu lapisan sel granulosa. Bersama-
sama, satu oosit dan sel-sel granulosa di sekitarnya membentuk folikel primer. Oosit yang tidak
membentuk folikel kemudian mengalami kerusakan melalui proses apoptosis. Saat lahir hanya
sekitar 2 juta folikel primer yang tersisa, masing-masing mengandung satu oosit primer yang
mampy menghasilkan satu ovum. Pandangan tradisional menyatakan bahwa tidak ada oosit atau
folikel baru yang muncul setelah lahir, folikel yang sudah ad di ovarium saat lahir berfungsi
sebagai reservoir yang menjadi asal bagi semua ovum sepanjang masa subur wanita yang
bersangkutan. Namun, para peneliti baru-baru ini menemukan, paling tidak pada mencit, bahwa
oosit dan folikel baru dapat diproduksi setelah lahir dari sel punca ovarium, yang sebelumnya tidak
diketahuo mampu menghasilkan sel germinativum primordial atau oogonia. Meskipun pada
manusia mungkin terdapat sel punca penghasil ovum namun cadangan folikel tersebut secara
bertahap menyusut akibat proses-proses yang “menghabiskan” folikel yang berisi oosit.

Reservoar folikel primer tersebut perlahan menghasilkan foliekel yang sedang berkembang
secara terus-menerus. Sekali terbentuk, folikel ditakdirkan mengalami satu dari dua nasib;
mencapai kematangan dan berovullasi, atau berdegenerasi untuk membentuk jaringan prut, suatu
proses yang dikenal sebagai atresia. Sampai masa pubertas, semua folikel yang mulai berkembang

1
Vicky Supit - 15011101093

mengalami atresia pada tahap-tahap awal tanpa pernah berovulasi. Bahkan selama beberapa tahun
pertama pubertas, banyak dari siklus bersifat anovulatorik (yaitu tanpa pembebasan ovum). Dari
cadangan total folikel, hanya sekitar 400 akan matang dan mengeluarkan ovum; 99,98% tidak
pernah akan matang dan mengalami atresia pada suatu tahap perkembangannya. Saat menopause,
yang rerata terjadi pada usia 50-an awal, hanya beberapa folikel primer yang tersisa yang tidak
pernah berovulasi atau mengalami atresia. Sejak tahap ini, kapasitas reproduksi wanita yang
bersangkutan berhenti.

Potensial gamet yang terbatas pada wanita ini sangat berbeda dari proses spermatogenesis
pada pria yang terus-menerus dan berpotensi menghasilkan beberapa ratus juta sperma dalam
sehari. Selain itu, dibandingkan dengna spermatogenesis, pada oogenesis banyak terjadi
pemborosan kromosom, seperti yang akan kita lihat.

PEMBENTUKAN OOSIT SEKUNDER DAN FOLIKEL SEKUNDER

Oosit primer di dalam folikel primer masih merupakan suatu sel diploid yang mengandung 46
kromosom ganda. Dari pubertas sampai menopause , sebagian dari kumpulan folikel ini mulai
berkembang menjadi folikel sekunder (antrum) seccara siklis. Belum diketahui mekanisme apa
yang akan berkembang pada suatu siklus. Pembentukan folikel sekunder ditandai oleh
pertumbuhan oosit primer dan oleh ekspansi serta diferensiasi lapisan-lapisan sel sekitar. Oosit
membesar sekitar seribu kali lipat. Pembesaran oosit ini disebabkan oleh penimbunan bahan
sitoplasma yang akan dibutuhkan oleh mudigah.

Tepat sebelum ovulasi, oosit primer, yang nukleusnya mengalami meiotic arrest
(penghentian proses meiosis) selama bertahun-tahun, menyelesaikan pembelahan meiotic
pertamanya. Pembelahan ini menghasilkan dua sel anak, masing-masing menerima sel haploid 23
kromosom ganda, analog dengan pembentukan sprematosit sekunder. Namun, hamper semua
sitoplasma tetap berada di salah satu sel anak, yang sekarang dinamai oosit sekunder dan
ditakirkan untuk menjadi ovum. Kromosom sel anak yang lain bersama dengan sedikit
sitoplasmanya membentuk badan polar pertama. Dengna cara ini, calon ovum kehilangan
separuh kromosomnya utuk membentuk gamet haploid tetapi mempertahankan sitoplasma yang
kaya nutrient. Badan polar yang kekurangan sitoplasma tersebut segera mengalami degenerasi.

2
Vicky Supit - 15011101093

PEMBENTUKAN OVUM MATANG

Sebenarnya oosit sekunderlah, bukan ovum matang, yang diovulasikan dan dibuahi, tetapi telah
menjadi kebiasaan untuk menyebut gamet wanita yang sedang terbentuk sebagai ovum bahkan
dalam stadium oosit primer dan sekunder. Masuknya sperma ke dalam oosit sekunder dibutuhkan
untuk memicu pembelahan meiotic kedua. Oosit sekunder yang tidak dibuahi tidak pernah
menyelesaikan pembelahan final ini. Selama pembelahan ini, separuh set kromosom besama
dengan sedikit sitoplasma dikeluarkan sebagai badan polar kedua. Separuh set lainnya (23
kromosom tak berpasangan) tetap tertinggal dalam apa yangsekarang dinamai ovum matang. Dua
pulluh tiga kromosom ibu ini menyatu dengan 23 kromosom ayah dari sperma yang masuk untuk
menuntaskan pembuahan. Jika badan polar pertama belum berdegenerasi maka sel ini juga
mengalami pembelahan meiotic kedua pada saat yang sama ketika oosit sekunder yang dibuahi
membagi kromosomnya.

PERBANDINGAN LANGKAH-LANGKAH DALAM OOGENESIS DAN


SPERMATOGENESIS

Tahap-tahap yang terjadi dalam distribusi kromosom selama oogenesis analog dengan yang terjadi
pada spermatogenesis, kecuali bahwa distribusi sitoplasma dan rentang waktu penyelesaiannya
sangat berbeda. Seperti halnya pembentukan empat spermatid haploid oleh setiap spermatosit
primer, setiap oosit primer (jika badan polar pertama tidak mengalami degenerasi sebelum
menuntaskan pembelahan meiotic keduanya) juga menghasilkan empat sel anak haploid. Dalam
spermatogenesis, masing-masing sel anak berkembang menjadi spermatozoa motil yang sangat
khusus dan tidak dibebani oleh sitoplasma dan organel yang tidak esensial serta semata-mata
bertugas memberikan separuh gen ke individu baru. Namun, dalam oogenesis, dari keempat sel
anak hanya satu yang ditakdirkan menjadi ovum yang menerima sitoplasma. Distribusi sitoplasma
yang tidak merata ini penting karena ovum, selain menyumbang separuh gen, juga menyediakan
semua komponen sitoplasma yang dibutuhkan untuk menunjang perkembangan awal ovum yang
telah dibuahi. Ovum yang besar dan relative belum berdiferensiasi ini mengandung banyak
nutrient, organel, serta protein structural dan enzimatik. Ketiga sel anak lainnya yang kekurangan
sitoplasma, atau badan polar; cepat berdegenerasi dan kromosomnya menjadi tersia-siakan.

3
Vicky Supit - 15011101093

Perhatikan juga perbedaan besar dalam waktu untuk menyelesaikan spermatogenesis dan
oogenesis. Diperlukan waktu sekitar dua bulan lagi spermatogonia untuk berkembang menjadi
spermatozoa sempurna. Sebaliknya, perkembangan oogonia (terdapat sebelum lahir) menjadi
ovum matang memerlukan waktu antara 11 tahun (permulaan ovulasi pada awal pubertas) hingga
50 tahun (akhir ovulasi pada permulaan menopause). Panjang sebenarnya dari tahap-tahap aktif
meiosis pada pria dan wanita sama, tetapi pada wanita sel telur mengalami penghentian meiotic
untuk waktu yang berbeda-beda.

CATATAN KLINIS. Semakin tuanya usia ovum yang dibebaskan oleh wanita pada usia
akhir 30-an dan 40-an diperkirakan berperan menyebabkan peningkatan insidens kelainan genetic,
misalnya sindrom Down, pada anak yang lahir dari ibu dalam kisaran usia tersebut.

4
Vicky Supit - 15011101093

SIKLUS OVARIUM DIATUR OLEH INTERAKSI HORMON YANG


KOMPLEKS

Ovarium memiliki dua unit endokrin yang berkaitan: folikel penghasil estrogen selama paruh
pertama siklus dan korpus luteum, yang menghasilkan progesterone dan estrogen selama paruh
terakhir siklus. Unit-unit ini secar berurutan dipicu oleh hubungan hormonal sikllik kompleks
antara hipotalamus, hipofisis anterior, dan kedua unit endokrin ovarium ini.

Seperti pada pria, fungsi gonad pada wanita dikontrol secara langsung oleh hormone-
hormon gonadotropik hipofisis anterior, yaitu follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing
hormone (LH). Kedua hormone ini, sebaliknya, diatur oleh gonadotropin-releasing hormone
(GnRH) hipotalamus serta efek umpan balik hormone-hormon gonad. Namun, tidak seperti pada
pria, control gonad wanita diperumit oleh sifat fungsi ovarium yang siklik. Sebagai contoh, efek
FSH dan LH pada ovarium bergantung pada stadium siklus ovarium. Selain itu, estrogen
menimbulkan efek umpan balik negative selama paruh tertentu siklus dan efek umpan balik positif
pada paruh siklus lainnya, bergantung pad konsentrasi estrogen. Juga berbeda dari pria, FSH tidak
semata-mata bertanggung jawab untuk gametogenesis, demikian juga LH tidak hanya menentukan
sekresi hormone gonad. Kita akan membahas control fungsi folikel, ovulasi, dan dkorpus luteum
secara terpisah, sebagai cara untuk memadukan berbagai aktivitas yang berlangsung sepanjang
siklus.

KONTROL FUNGSI FOLIKEL

Kita mulai dengan fase folikular siklus ovarium (1) Faktor-faktor yang memulai pembentukan
folikel masih belum dipahami. Tahap-tahap awal pertumbuhan folikel pra-antrum dan pematangan
oosit tidak memerlukan rangsangan gonadotropik. Namun diperlukan dukungan hormone untuk
pembentukan antrum, perembangan folikel (2), dan sekresi estrogen (3). Estrogen, FSH (4), dan
LH (5) semuanya dibutuhkan. Pembentukan antrum diinduksi oleh FSH. Baik FSH maupun
estrogen merangsang proliferasi sel-sel granulosa. FSH dan LH diperlukan untuk sintesis dan
sekresi estrogen oleh folikel, tetapi kedua hormone ini bekerja pada sel yang berbeda dan pada
tahap yang berbeda dalam jalur pembentukan estrogen. Baik sel granulosa maupun sel teka ikut
serta dalam produksi estrogen. Perubahan kolesterol menjadi estrogen memerlukan sejumlah
langkah berurutan, dengan yang terakhir berupa konversi androgen menjadi estrogen. Sel-sel teka

5
Vicky Supit - 15011101093

cepat menghasilkan androgen tetapi kurang kemampuannya untuk mengubah androgen ini
menjadi estrogen. Sel granulosa, sebaliknya, mengandung enzim aromatase sehingga dapat
dengan mudah mengubah androgen menjadi estrogen, tetapi sel ini tidak dapat membentuk
androgen, sementara FSH bekerja pada sel granulosa untuk meningkatkan konversi androgen teka
(yang berdifusi ke dalam sel granulosa dari sel teka) menjadi estrogen. Karena kadar basal FSH
yang rendah (6) sudah memadai untuk mendorong konversi akhir menjadi estrogen ini, maka laju
sekresi estrogen oleh folikel terutama bergantung pada kadar LH dalam darah, yang terus
meningkat selama fase folikular (7). Selain itu, seiring dengan semakin tumbuhnya folikel, lebih
banyak estrogen diproduksi karena sel folikel penghasil estrogen bertambah.

Sebagian dari estrogen yang dihasilkan oleh folikel yang sedang tumbuh dikeluarkan ke
dalam darah dan merupakan penyebab terus meningkatnya kadar estrogen plasma selama fase
folikular (8). Estrogen sisanya tetap berada di dalam folikel, ikut membentuk cairan antrum dan
merangsang proliferasi lebih lanjut sel granulosa.

Estrogen yang dikeluarkan, selain bekerja pada jaringan spesifik seks misalnya uterus,
menghambat hipotalamus dan hipofisis anterior secara umpan balik negative. Kadar estrogen yang
meningkat sedang dan menandai fase folikular bekerja secara langsung pada hipotalamus untuk
menghambat sekresi GnRH sehingga pelepasan FSH dan LH dari hipofisis anterior yang dipicu
oleh GnRH tertekan. Namun, efek primer estrogen adalah langsung pada hipofisis ini sendiri.
Estrogen menurunkan kepekaan sel yang menghasilkan hormone-hormon gonadotropik,
khususnya sel penghasil FSH, terhadap GnRH.

Perbedaan kepekaan sel-sel penghasil FSH dan LH yang diinduksi oleh estrogen berperan,
paling tidak sebagian, dalam menyebabkan kadar FSH plasma, tidak seperti konsentrasi LH
plasma, turun selama fase folikular ketika kadar estrogen naik (6).

6
Vicky Supit - 15011101093

Factor penunjang lain yang menyebabkan


turunnya FSH selama fase folikular
adalah sekresi inhibin oleh sel-sel folikel.
Inhibin terutama menghambat sekresi
FSH dengan bekerja pada sel hipofisis
anterior, seperti yang terjadi pada pria.
Penurunan sekresi FSH menyebabkan
atresia semua folikel yang sedang
berkembang kecuali satu yang paling
matang.

Berbeda dari FSH, sekresi LH terus


meningkat perlahan selama fase folikular
(7) meskipun terdapat inhibisi sekresi
GnRH (dan karenanya secar tak langsung
terhadap LH). Hal yang tampaknya
paradox ini disebabkan oleh kenyataan
bahwa estrogen saja tidak dapat secara
penuh menekan sekresi LH tonik (kadar
rendah, terus –menerus); untuk
menghambat secara total sekresi tonik LH
maka diperlukan baik estrogen maupun
progesterone. Karena progesterone belum
muncul sampai fase luteal siklus maka
kadar basal LH dalam darah secara
perlahan meningkat selama fase folikular
di bawah inhibisi tak sempurna estrogen.

7
Vicky Supit - 15011101093

KONTROL OVULASI

Ovulasi dan selanjutnya luteinisasi folikel yan pecah dipicu oleh peningkatan sekresi LH yang
mendadak dan besar (9) Lonjakan LH ini menyebabkan empat perubaan besar dalam folikel:

1. Hal ini menghentikan sintesis estrogen oleh sel folikel (11).


2. Hal ini memulai kembali meiosis di oosit folikel yang sedang berkembang, tampaknya
dengan menghambat pelepasan suatu oocyte maturation inhibiting substance yang
dihasilkan oleh sel granulosa. Bahan ini dipercayai berperan menghentikan meiosis di oosit
primer setelah oosit ini terbungkus oleh sel-sel granulosa di ovarium janin.
3. Hal ini memicu pembentukan prostaglandin kerja local yang memicu ovulasi dengan
mendorong perubahan vascular yang menyebabkan pembengkakan capat folikel sembari
menginduksi digesti enzimatik dinding folikel. Bersama-sama, berbagai efek ini
menyebabkan pecahnya dinding yang menutupi tonjolan folikel (10).
4. Hal ini menyebabkan diferensiasi sel folikel menjadi sel luteal. Karena lonjakan LH
memicu ovulasi dan luteinisasi, maka pembentukan korpus luteum secara otomatis
mengikuti ovulasi (12). Karena itu, lonjakan sekresi LH di pertengahan siklus merupakan
titik dramatic dalam siklus; hal ini mengakhiri fase folikular dan memulai fase luteal (15).

Dua cara sekresi LH yang berbeda-sekresi tonik LH (7) yang menyebabkan sekresi hormone
ovarium dan lonjakan LH (9) yang menyebabkan ovulasi-tidak saja terjadi dalam waktu yang
berbeda dan menghasilkan efek berbeda pada ovarium tetapi juga dikontrol oleh mekanisme yang
berbeda. Sekresi tonik LH ditekn secara parsial (7) oleh efk inhibitorik kadar sedang estrogen (3)
selama fase folikular dan ditekan total (17) oleh peningkatan kadar progesterone selama fase luteal
(13). Karena sekresi tonik LH merangsang sekresi estrogen dan progesterone maka hal ini
merupakan system control umpan balik negative yang tipikal.

Sebaliknya, lonjakan LH dipicu oleh efek umpan balik positif. Sementara kadar estrogen
yang meningkat dan moderat pada awal fase folikular menghambat sekresi LH, kadar estrogen
yang tinggi selama puncak sekresi estrogen pada akhir fase folikular (8) merangsang sekresi LH
dan memulai lonjakan LH. Karean itu, LH meningkatkan produksi estrogen oleh folikel, dan

8
Vicky Supit - 15011101093

konsentrasi estrogen yang memuncak merangsang sekresi LH. Konsentrasi estrogen dalam plasma
yang tinggi bekerja langsung pada hipotalamus untuk meningkatkan GnRH sehingga sekresi LH
dan FSH meningkat. Hal ini juga secara langsung bekerja pada hipofisis anterior untuk secara
spesifik meningkatkan kepekaan sel penghasil LH terhadap GnRH. Efek yang terakhir ini berperan
dalam lonjakan sekresi LH yang jauh lebih besar daripada peningkatan sekresi FSH pada
pertengahan siklus (9). Sekresi inhibin yang berlanjut oleh sel folikel juga cenderung lebih
menghambat sel penghasil FSH, menahan kadar FSH untuk tidak naik setinggi kadar LH. Belum
diketahui apa peran peningkatan sedang FSH pada pertengahan siklus yang menyertai lonjakan
LH. Karena hanya folikel matang praovulasi, bukan folikel padatahap awal perkembangan, yang
dapat mengeluarkan estrogen dalam jumlah banyak sehingga dapat memicu lonjakan LH, maka
ovulasi baru terjadi samapi folikel mencapai ukuran dan kematangan yang sesuai. Karena itu, dapat
dikatakan bahwa folikel “memberi tahu” hipotalamus” kapan ia siap dirangsang untuk berovulasi.
Lonjakan LH berlangsung selama sekitar sehari pada pertengahan siklus, tepat sebelum ovulasi.

KONTROL KORPUS LUTEUM

LH “memelihara” korpus luteum; yaitu, setelah memicu pembentukan korpus luteum, LH


merangsang sekresi berkelanjutan hormone steroid oleh struktur ovarium ini. Di bawah pengaruh
LH, korpus luteum mengeluarkan progesterone (13) dan estrogen (14), dengan progesterone
merupakan produk hormone yang paling banyak. Kadar progesterone plasma meningkat untuk
pertama kali selama fase luteal. Tidak ada progesterone yang dikeluarkan selama fase folikular.
Karena itu, fase folikular didominasi oleh estrogen dan fase luteal oleh progesterone.

Pada pertengahan siklus terjadi penrunan sesaat kadar estrogen darah (11) karena folikel
penghasil estrogen mati saat ovulasi. Kadar estrogen kembali naik selama fase luteal karean
aktivitas korpus luteum, meskipun tidak mencapai kadar yang sama ketika fase folikular. Apa yang
mencegah kadar estrogen yang lumayan tinggi selama fase luteal ini memicu lonjakan LH lain?
Progesteron. Meskipun estrogen kadar tinggi merangsang sekresi LH namun progesterone, yang
mendominasi fase luteal, dengan kuat menghambat sekresi LH serta sekresi FSH (17), (16).
Inhibisi FSH dan LH oleh progesterone mencegah pematangan folikel baru dan ovulasi selama
fase luteal. Di bawah pengaruh progesterone, system reproduksi dipersiapkan untuk menunjang
ovum yang baru saja dibebaskan, seandainya ovum tersebut dibuahi, dan bukan mempersiapkan
pelepasan ovum lain. Tidak ada inhibin yang disekresikan selama fase luteal.

9
Vicky Supit - 15011101093

Korpus luteum berfungsi selama rerata dua minggu kemudian berdegenerasi jika tidak
terjadi fertilisasi (18). Mekanisme yang mengatur degenerasi korpus luteum belum sepenuhnya
diketahui. Menurunnya kadar LH (1&), yang didorong oleh efek inhibitorik progesterone, jelas
berperan dalam degenerasi korpus luteum. Prostaglandin dan estrogen yang dikeluarkan oleh sel
luteal itu sendiri juga mungkin berperan. Matinya korpus luteum mengakhiri fase luteal dan
menyiapkan tahap baru untuk fase folikular berikutnya. Sewaktu korpus luteum berdegenerasi,
kkadar progesterone dan estrogen plasam menurun cepat, karena kedua hormone ini tidak lagi
diproduksi. Hilangnya efek inhibisi kedua hormone ini pada hipotalamus memungkinkan sekresi
FSH dan sekresi LH tonik kembali meningkat moderat. Di bawah pengaruh hormone-hormon
gonadotropik ini, kelompok baru folikel primer kembali diinduksi untuk matang seiring dengan
dimulainya fase folikular baru.

SOAL TUGAS:

1. Mengapa peningkatan LH surge diikuti dengan terjadinya peningkatan FSH pada


pertengahan siklus ovarium?
Jawaban: Pada pertengahan siklus ovarium dimana konsentrasi estrogen dalam plasma
yang tinggi bekerja langsung pada hipotalamus untuk meningkatkan GnRH sehingga
sekresi LH dan FSH meningkat. Hal ini juga secara langsung bekerja pada hipofisis
anterior untuk secara spesifik meningkatkan kepekaan sel penghasil LH terhadap GnRH.
Efek yang terakhir ini berperan dalam lonjakan sekresi LH yang jauh lebih besar daripada
peningkatan sekresi FSH pada pertengahan siklus.

2. Mengapa oosit primer tetap berada dalam keadaan meiotic arrest selama bertahun-tahun
sampai sel ini dipersiapkan untuk ovulasi?
Jawaban: Terjadinya ovulasi dan selanjutnya luteinisasi folikel yang pecah dipicu oleh
peningkatan sekresi LH yang mendadak dan besar. Lonjakan LH ini memulai kembali
meiosis di oosit folikel yang sedang berkembang, tampaknya dengan menghambat
pelepasan suatu oocyte maturation inhibiting substance yang dihasilkan oleh sel granulosa.
Bahan ini dipercayai berperan menghentikan meiosis di oosit primer setelah oosit ini
terbungkus oleh sel-sel granulosa di ovarium janin.

10
Vicky Supit - 15011101093

Referensi :

1. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. 6th ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2012.

11

Anda mungkin juga menyukai