Anda di halaman 1dari 11

Vicky Supit - 15011101093

KOMPLEMEN C3 PADA GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA


STREPTOKOKUS PADA ANAK

Rentang Nilai Normal Komplemen C3 : 80-170 mg/dl

Penurunan komplemen C3 dijumoai pada 80-90% kasus dalam 2 minggu pertama, sedang kadar properdin
menurun pada 50% kasus. Penurunan C3 sangat nyata, dengan kadar sekitar 20-40 mg/dl (normal 80-170
mg/dl). Kadar IgG sering meningkat lebih dari 1600 mg/100 ml pada hamper 93% pasien. Pada awal
penyakit kebanyakan pasien mempunyai krioglobulin dalam sirkulasi yang mengandung IgG atau IgG
bersama-sama IgM atau C3.
Tanda Glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratoris
dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis.
Perbaikan yang lama dengna hipertensi yang menetap, azotemia, gross hematuria setelah 3 minggu, kadar
C3 yang rendah setelah 6 minggu, proteinuria yang menetap setelah 6 bulan dan hematuria yang menetap
setelah 12 bulan
Kadar C3 akan kembali normal pada 95% pasien setelah 8-12 minggu, edem membaik dalam 5-10 hari,
tekanan darah kembali normal setelah 2-3 minggu, walaupun dapat tetap tinggi sampai 6 minggu.

PEMERIKSAAN LAJU FILTRASI GLOMERULUS / GLOMERULAR


FILTRATION RATE

Formula Schwartz untuk Glomerular Filtration Rate =


𝑻𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 𝑩𝒂𝒅𝒂𝒏 (𝒄𝒎)𝒙 𝑲𝒐𝒏𝒔𝒕𝒂𝒏𝒕𝒂
𝒎𝒈
𝑲𝒓𝒆𝒂𝒕𝒊𝒏𝒊𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒖𝒎 ( )
𝒅𝑳

Nilai Konstanta
Kelompok Konstanta
BBLR < 1 tahun 0,33
Aterm < 1 tahun 0,45
1 - 12 tahun 0,55
Perempuan 13 - 21 tahun 0,57
Lelaki 13-21 tahun 0,70

1
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Vicky Supit - 15011101093

MEKANISME KERJA OBAT ANTIHIPERTENSI

DIURETIK

Mekanisme antihipertensi
Khasiat antihipertensi diuretik berawal dari efeknya meningkatkan ekskresi natrium, klorida, dan air,
sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel' TD turun akibat berkurangnya curah jantung,
sedangkan resistensi perifer tidak berubah pada awal terapi. Pada pemberian kronik, volume plasma
kembali tetapi masih kira-kira 5% di bawah nilai sebelum pengobatan. Curah jantung kembali mendekati
normal. TD tetap turun karena sekarang resistensi perifer menurun. Vasodilatasi periler yang terjadi
kemudian initampaknya bukan efek langsung tiazid tetapi karena adanya penyesuaian pembuluh darah
perifer terhadap pengurangan volume plasma yang terus menerus. Kemungkinan lain adalah berkurangnya
volume cairan interstisial berakibat berkurangnya kekakuan dinding pembuluh darah dan bertambahnya
daya lentur (compliance) vaskular.

DIURETIK TIAZID DAN SEJENISNYA

Berbagai tiazid (misalnya hidroklorotiazid, bendroflumetiazid) dan diuretik yang sejenis (misalnya
klortalidon, indapamid) mempunyai mekanisme kerja yang sama. Dalam dosis yang ekuipoten, berbagai
obat ini menimbulkan efek antihipertensi dan toksisitas yang tidak berbeda satu sama lain, kecuali
indapamid mungkin lebih efektif daripada tiazid lainnya pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
Perbedaan utama antara berbagai obat ini terletak dalam masa kerjanya.
Efek antihipertensi tiazid berlangsung lebih lama dan terjadi pada dosis yang jauh lebih rendah
daripada elek diuretiknya. Efek hipotensinya baru terlihat setelah 2-3 hari dan mencapai maksimum setelah
2-4 minggu. Karena itu, peningkatan dosis tiazid harus dilakukan dengan interval tidak kurang dari 4
minggu.

Penggunaan sebagai antihipertensi


Sampai sekarang tiazid merupakan obat utama dalam terapi antihipertensi pada penderita dengan fungsi
ginjal yang normal. Obat ini terutama efektif untuk penderita hipertensi dengan kadar renin yang rendah,
misalnya (kebanyakan) penderita yang lebih tua. Tiazid digunakan sebagai obat tunggal pada penderita
hipertensi ringan sampai sedang, atau dalam kombinasi dengan AH lain pada penderita yang TD-nya tidak
dapat dikendalikan dengan diuretik saja.

Tiazid menurunkan TD berdiri maupun berbaring, jarang menimbulkan hipotensi postural,


ditoleransi penderita dengan baik, harganya relatil murah, dapat diberikan sekali sehari, dan efek
hipotensifnya bertahan pada penggunaan jangka panjang. Tiazid seringkali dikombinasi dengan AH lain
karena (1 ) tiazid meningkatkan efek hipotensil obat lain yang mekanisme kerjanya berbeda sehingga dosis
obat tersebut dapat dikurangi, dan dengan demikian mengurangi jumlah dan beratnya efek samping;dan (2)
tiazid mencegah terjadinya retensi cairan oleh AH lainnya sehingga elek hipotensil obat-obat tersebut dapat
bertahan.

2
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Vicky Supit - 15011101093

Efek samping dan perhatian


Tiazid dapat menimbulkan berbagai efek samping metabolik, yakni hipokalemia, hipomagnesemia,
hiponatremia, hiperurisemia, hiperkalsemia, hiperglikemia, hiperkolesterolemia, dan hipertrigliseridemia.
Tiazid dapat mencetuskan gout akut. Untuk menghindari efek metabolik ini, tiazid harus digunakan dengan
dosis rendah dan dilakukan pengaturan diet.

Kecuali indapamid, tiazid kehilangan efektivitasnya sebagai diuretik maupun antihipertensi pada
gagal ginjal (kreatinin serum > 2,5 mg/dl). Untuk kasus demikian digunakan diuretik kuat. Hipokalemia
meningkatkan efek toksik digitalis, yang diberikan bersama untuk gagal jantung. Tiazid juga menimbulkan
gangguan fungsi seksual dan rasa lemah.

Efek hipotensif diuretik diantagonisasi oleh obat-obat antiinflamasi nonsteroid (AINS), terutama
indometasin, melalui hambatan sintesis prostaglandin yang bersilat vasodilator dan berperan penting dalam
pengaturan aliran darah ginjal serta metabolisme air dan garam. pada akhirnya AINS menyebabkan retensi
natrium dan air, yang mengurangi efek hampir semua AH. AINS juga menyebabkan hiperkalemia.

DIURETIK KUAT DAN DIURETIK HEMAT KALIUM

Diuretik kuat, misalnya furosemid, merupakan AH yang lebih efektif dibandingkan tiazid untuk hipertensi
dengan gangguan lungsi ginjal atau gagal jantung. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih
kuat daripada tiazid. Tetapi tiazid lebih efektif untuk bentuk-bentuk hipertensi lainnya. Karena itu,
penggunaan diuretik kuat sebagai AH oral biasanya dicadangkan untuk penderita dengan kreatinin serum
> 2,5 mg/dl atau gagal jantung. Masa kerjanya pendek sehingga untuk mengendalikan TD diperlukan
pemberian minimal 2 kali sehari.

Seperti halnya tiazid, perubahan kadar kalium plasma oleh diuretik kuat berhubungan dengan efek
diuretiknya, dan tidak dengan efek hipotensifnya. Elek samping diuretik kuat sama dengan tiazid kecuali
tidak menyebabkan hiperkalsemia. Untuk menghindari elek metabolik ini, diuretik kuat harus digunakan
dengan dosis rendah disertai pengaturan diet. Diuretik hemat kalium merupakan diuretik lemah,
penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah atau mengurangi
hipokalemia dari diuretik lain. Diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada
penderita dengan gangguan fungsi ginjal atau bila dikombinasi dengan penghambat ACE, suplemen kalium,
atau AINS. pada penderita dengan kreatinin serum > 2,5 mg/dl, penggunaannya harus dihindarkan.

Spironolakton dalam dosis sampai dengan l00 mg sehari mempunyai elek hipotensif yang
sebanding dengan hidroklorotiazid. Spironolakton adalah antagonis spesifik dari aldosteron, maka
merupakan obat pilihan utama untuk hiperaldosteronisme prirner. Elek sampingnya adalah ginekomastia,
mastodinia, menstruasi tidak teratur, dan berkurangnya libido pada pria.

3
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Vicky Supit - 15011101093

ACE INHIBITOR (PENGHAMBAT ENZIM KONVERSI ANGIOTENSIN)

Kaptopril adalah penghambat enzim konversi angiotensin (penghambat ACE) yang pertama ditemukan.
Sejak itu telah dikembangkan banyak penghambat ACE lain, dan yang telah resmi beredar di lndonesia
adalah enalapril, lisinopril, kuinapril, perindopril, ramipril, silazapril, benazepril, delapril, dan losinopril.
Secara umum penghambat ACE dapat dibedakan atas (1) yang bekeria langsung, yakni kaptopril dan
lisinopril; dan (2) yang bekerja tidak langsung (merupakan prodrug), yakni semua yang lainnya.

SISTEM RENIN-ANGIOTENSIN-ALDOSTERON (RAA)

Renin disekresi oleh sel jukstaglomerular di dinding arteriol aleren dan glomerulus ke dalam darah bila
perlusi ginjal menurun (akibat menurunnya TD atau adanya stenosis pada arteri ginjal), blla terdapat deplesi
natrium (penurunan kadar natrium dalam tubuli ginjal), dan/atau bila terdapat stimulasi adrenergik (melalui
reseptor β1).

Renin, yang merupakan enzim proteolitik, akan memecah angiotensinogen, suatu α-globulin yang
disintesis dalam hati dan beredar dalam darah, menjadi angiotensin I (AI). AI yang relatif tidak aktif akan
dikonversi dengan cepat sekali oleh ACE yang terikat pada membran sel endotel yang menghadap ke lumen
di seluruh sistem vaskuler, menjadi angiotensin II (AII) yang sangat aktif. AII bekerja pada reseptor di otot
polos vaskuler, korteks adrenal, jantung, dan SSP untuk menimbulkan konstriksi arteriol dan venula (elek
pada arteriol lebih kuat), slimulasi sintesis dan sekresi aldosteron, stimulasi jantung dan sistem simpatis,
dan efek di SSP berupa stimulasi konsumsi air dan peningkatan sekresi ADH. Akibatnya terjadi
peningkatan resistensi perifer, reabsorpsi natrium dan air, serta peningkatan denyut jantung dan curah
jantung. Peningkatan TD ini mengaktifkan mekanisme umpan balik yang mengurangi sekresi renin.

ACE juga adalah enzim kininase ll yang mengingktifkan bradikinin. Bradikinin merupakan
vasodilator arteriol sistemik yang poten, kerianya melalui produksi EDRF (endothelial-derived relaxing
factor) dan prostaglandin oleh sel-sel endotel vaskuler.

Sistem RAA tidak berperan aktil dalam mempertahankan homeostasis TD pada subjek dengan
volume darah dan kadar natrium yang normal, tetapi berperan penting dalam mempertahankan TD dan
volume intravaskular sewaktu terdapat deplesi natrium dan cairan.

MEKANISME ANTIHIPERTENSI

Penghambat ACE mengurangi pembentukan AII sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi
aldosteron yang menyebabkan terjadinya ekskresi natrium dan air, serta retensi kalium. Akibatnya terjadi
penurunan TD pada penderita hipertensi esensial maupun hipertensi renovaskuler. Kadar plasma All dan
aldosteron menurun, sedangkan kadar plasma Al dan aktivitas renin plasma (PFIA) meningkat karena
mekanisme kompensasi. Sekresi aldosteron, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di samping sistem
renin-angiotensin, mungkin kembali ke nilai awal pada terapi jangka panjang. Karena efekvasokonstriksi
All paling kuat antara lain pada pembuluh darah ginlal, maka berkurangnya pembentukan All oleh
penghambat ACE menimbulkan vasodilatasi renal yang kuat, sehingga terjadi peningkatan aliran darah
ginjal.

4
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Vicky Supit - 15011101093

Penurunan TD oleh penghambat ACE disertai dengan penurunan resistensi perifer, tanpa disertai
refleks takikardia. Penghambat ACE juga mengurangi tonus vena. Besarnya penurunan TD oleh
penghambat ACE berbanding lurus dengan PRA awal, tetapi hanya pada pemberian akut, dan tidak pada
pemberian kronik. Tampaknya kerja golongan obat ini tidak hanya melalui sistem RAA, tetapi juga melalui
sistem kinin. Hambatan inaklivasi bradikinin oleh penghambat ACE meningkatkan bradikinin dan
prostaglandin vasodilator sehingga meningkatkan vasodilatasi akibat hambatan pembentukan All.
Seperti halnya dengan diuretik, penghambat ACE mempunyai kurva dosis-respons yang relatil
curam pada kisaran dosis rendah dan menjadi relatif rata pada kisaran dosis tinggi. Diuretik atau diet rendah
garam merangsang sekresi renin dan mengaktifkan sistem BAA sehingga memberikan elek sinergistik
dengan penghambat ACE. Pada penggunaan jangka panjang, tidak terjadi toleransi terhadap elek hipotensil
golongan obat ini. Penghentian obat-obat ini secara mendadak tidak menimbulkan fenomen rebound.

PENGGUNAAN SEBAGAI ANTIHIPERTENSI

Sejak JNC-IV (1988) dan WHo/lSH (1989), penghambat ACE telah menjadi salah satu golongan AH tahap
pertama. Penghambat ACE elektif untuk hipertensi yang ringan, sedang maupun berat. Sebagai monoterapi,
penghambat ACE sama efektivitasnya dengan golongan AH lainnya. Penghambat ACE efektif sebagal AH
pada sekitar 70% penderita. Penurunan TD sekitar 10/5 sampai 15/12 mm Hg. Besarnya penurunan TD ini
sebanding dengan tingginya TD sebelum pengobatan. Penghambat ACE terutama efektif pada hipertensi
dengan PRA yang tinggi, yakni pada kebanyakan hipertensi maligna dan hipertensi renovaskuler, dan pada
kira-kira l/5 populasi hipertensi esensial, tetapi obat ini juga efektif pada hipertensi dengan PRA yang
normal dan yang rendah. Karena itu penentuan PRA tidak berguna untuk individualisasi terapi.

Pada hipertensi berat, penghambat ACE dapat ditambahkan sebagai vasodilator obat ke-3 pada
diuretik dan p-bloker. Kombinasi dengan dluretik memberikan efek antihipertensi yang sinergistik (kira-
kira 85% penderita TD-nya terkendali dengan kombinasi ini), sedangkan efek hipokalemia diuretik dicegah
atau dikurangi. Kombinasi dengan β-bloker memberikan efek yang aditif. Kombinasi dengan vasodilator,
termasuk prazosin dan nifedipin, memberikan efek yang baik. Tetapi pemberian bersama penghambat
adrenergik lainnya yang menghambat respons adrenergik α dan β (misalnya metildopa, klonidin, labetalol,
prazosin + βbloker), sebaiknya dihindarkan karena dapat menimbulkan hipotensi yang berat dan
berkepanjangan.

Penghambat ACE lebih efektif pada penderita yang lebih muda bila digunakan sendiri. Obat-obat
ini terpilih untuk penderita hipertensi dengan gagal jantung kongestif yang juga merupakan indikasi
penghambat ACE. Penghambat ACE oral dapat digunakan untuk hipertensi mendesak, sedangkan preparat
lV (enalaprilat) digunakan pada hipertensi darurat.

EFEK SAMPING DAN PERHATIAN

Batuk kering merupakan efek samping yang paling sering terjadi, insidensnya sampai 10-20%, lebih sering
pada wanita dan pada malam hari. Elek samping ini bergantung pada besarnya dosis, dan reversibel bila
obat dihentikan. Efek samping berupa rash dan gangguan pengecap lebih sering terjadi pada penggunaan
kaptopril karena adanya gugus sulfhidril pada obat ini, yang tidak dimiliki oleh penghambat ACE lainnya.

5
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Vicky Supit - 15011101093

Sekitar 10% penderita yang mendapat kaptopril mengalami rash makulopapular atau morbililorm. Reaksi
dermatologik ini menghilang bila obat dihentikan dan tidak selalu muncul kembali bila obat diberikan lagi;
beberapa rash eritematosus hilang meskipun obat diteruskan.

Gangguan pengecap (disgeusia) terjadi pada kira-kira 71/2 penderita yang diberi kaptopril;
gangguan ini bersilat reversibel, tetapi pemberian kaptopril mungkin perlu dihentikan bila terjadi anoreksia
dan penurunan berat badan. Fash dan disgeusia lebih jarang terjadi bila digunakan dosis rendah (< 150 mg
sehari).

Udem angioneurotik, yang dapat terjadi pada penggunaan semua penghambat ACE, dapat cukup
parah sampai menjadi fatal, tetapi hanya terjadi < 0,1%. Risiko udem ini meningkat pada penderita yang
meneruskan obat meskipun sudah terjadi ulkus di mulut atau rash kulit. Dosis pertama penghambat ACE
dapat menimbulkan hipotensi simtomatik yang berat, terutama pada penderita yang mengalami deplesi
cairan akibat pemberian diuretik, diet rendah garam, atau dialisis, atau pada penderita yang hiponatremik.
Untuk mengurangi efek samping ini, dosis dimulai serendah mungkin dan dinaikkan perlahanlahan, dosis
pertama dan setiap kali peningkatan dosis diberikan sebelum tidur, dan sebaiknya dosis diuretik dikurangi
atau dihentikan dulu beberapa waktu sebelum memulai penghambat ACE. Diuretik dapat diberikan kembali
kemudian, bila diperlukan. Pada penderita dengan penyakit jantung koroner, hipotensi akut ini dapat
mencetuskan serangan angina.

Gagal ginjal akut yang reversibel dapat terjadi pada penderita dengan stenosis arteri ginjal pada
kedua ginjal atau pada satu-satunya ginjal yang berfungsi, akibat berkurangnya kadarAll yang pada kondisi
ini diperlukan untuk konstriksi arteriol glomerulus eferen dan mempertahankan filtrasi glomerulus yang
cukup; pada penderita ini penghambat ACE tidak boleh diberikan.

Proteinuria (> 1 g/hari) jarang terjadi. Dulu banyak dilaporkan pada penggunaan kaptopril dosis
tinggi sekali dan terutama terjadi pada penderita yang mempunyai penyakit parenkim ginjal. Demikian juga
dengan neutropenia, efek samping ini juga jarang terjadi; dulu banyak dilaporkan pada penggunaan
kaptopril dosis tinggi dan terutama terjadi pada penderita dengan penyakit kolagen atau penyakit parenkim
ginjal.

Hiperkalemia yang bermakna secara klinik jarang terjadi pada penderita dengan fungsi ginjal
normal. Risiko hiperkalemia meningkat bila obat-obat ini diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal, atau diberikan bersama suplemen kalium atau diuretik hemat kalium. Penghambat ACE tidak
menimbulkan efek samping metabolik pada penggunaan iangka panjang, yakni tidak mengubah
metabolisme karbohidrat maupun kadar lipid dan asam urat dalam plasma. Penghambat ACE, di samping
a-bloker, juga dapat mengurangi resistensi insulin, sehingga menjadi AH terpilih pada hipertensi dengan
NIDDM atau dengan obesitas. Pada saat ini penghambat ACE menjadi AH terpilih pada hipertensi dengan
netropati diabetik. Diperkirakan bahwa dilatasi arteriol glomerulus eferen oleh penghambat ACE akan
mengurangi perbedaan tekanan hidraulik pada pembuluh kapiler glomerulus sehingga dapat mengurangi
kebocoran albumin yang menyebabkan kerusakan membran dasar glomerulus, sehingga dapat
memperlambat proses terjadinya glomerulosklerosis diabetik.

6
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Vicky Supit - 15011101093

Efek hipotensi penghambat ACE dilawan oleh obat-obat AINS, terutama indometasin,
melaluihambatan sintesis prostaglandin yang bersifat vasodilator dan berperan penting dalam aliran darah
ginjal serta metabolisme air dan garam. Pada akhirnya AINS menyebabkan retensi natrium dan air, yang
mengurangi elek hampir semua AH. Penghambat ACE tidak boleh diberikan pada kehamilan trimester 2
dan 3 karena dapat menyebabkan gagal ginjal dan kematian pada fetus.

FARMAKOKINETIK

KAPTOPRIL. Bioavailabilitas oral 60-65%, dan berkurang bila diberikan bersama makanan, maka obat
ini harus diberikan 1 jam sebelum makan. Ikatan dengan protein plasma sekitar 30%. Waktu paruh
eliminasinya sekitar 2,2 iam. Ekskresi utuh dalam urin terjadi pada 40% dari dosis yang bioavailabel, maka
pada gangguan ginjal dosis obat harus dikurangi.

ENALAPBIL. Enalapril adalah prodrug yang dipecah dalam hati menjadi bentuk aktifnya, enalaprilat.
Bioavailabilitas oral 40% dan tidak dipengaruhi oleh makanan. Waktu paruh enalaprilat setelah dosis
berulang l 1 jam dan meningkat bila terdapat gangguan ginjal sehingga pada keadaan ini dosis obat harus
dikurangi.

LISINOPRIL. Bioavailabilitas oral antara 30-50%, dan tidak dipengaruhi makanan. Waktu paruhnya
sekitar 12 jam, dan sama sekali tidak terikat pada protein plasma. Hampir 100% dari dosis yang bioavailabel
diekskresi utuh dalam urin.

7
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Vicky Supit - 15011101093

CALCIUM CHANNEL BLOCKER (PENGHAMBAT KANAL KALSIUM)

Penghambat kanal Ca 2+ (Calcium channel blocker, CCB) adalah sekelompok obat yang bekerja dengan
menghambat masuknya ion Ca" melewati slow channtel yang terdapat pada membran sel (sarkolema).
struktur kimia CCB sangat berbeda satu sama lainnya. Obat ini pertama kali dilaporkan mempunyai elek
kronotropik dan inotropik negatit oleh Hass & Hartfelder (1962), yang^terjadi karena terhambatnya arus
masuk ion Ca2* ke dalam sel jantung (Fleckenstein dkk., 1967). Nama lain yang biasa dipakai untuk
golongan obat ini adalah calgium antagonis atau calcium entry blocker.
Berdasarkan struktur kimianya, CCB dapat
dibedakan atas 5 golongan :
1) Dihidropiridin (DHP) : nifedipin, nikardipin, felodipin, amlodipin, dll.
2) Difenilalkilamin : verapamil, galopamil, tiapamil, dll.
3) Benzotiazepin : diltiazem,
4) Piperazin : sinarizin, flunarizin, dll.
5) Lain-lain : prenilamin, perheksilin, dll.
Golongan 1, 2 dan 3 menghambat secara selektif kanal Ca2+ (90-100%), sedangkan kelompok lainnya
menghambat kanal Ca 2+ (50-70%) dan kanal Na+. Uraian selanjutnya dibatasi pada ke-3 prototipe CCB,
yakni nifedipin, verapamil dan diltiazem.

MEKANISME KERJA
Pada otot jantung dan otot polos vaskuler, ion Ca" terutama berperan dalam peristiwa kontraksi.
Meningkatnya kadar ion Ca2* dalam sitosol akan meningkatkan kontraksi. Masuknya ion Ca2+ dari ruang
ekstrasel (2mM) ke dalam ruang intrasel dipacu oleh perbedaan kadar (kadar Ca2* ekstrasel 10.000 kali
lebih tinggi daripada kadar Ca2+ intrasel sewaktu diastole) dan karena ruang intrasel bermuatan negatif.
Pada otot jantung mamalia, masuknya ion Ca2+ meningkatkan kadar Ca2+ sitosol dan mencetuskan
penglepasan ion Ca2* dalam jumlah cukup banyak dari depot intrasel (retikulum sarkoplasmik) sehingga
aparat_kontraktil (sarkomer) bekerja. Masuknya ion Ca2* terutama berlangsung lewat slow channel. Slow
channel berbeda dengan fast Na channel yang melewatkan ion Na+ dari ruang ekstrasel menuju ruang
intrasel dan dihambat oleh tetrodotoksin. Kanal Ca" tidak dihambat oleh tetrodotoksin.

Secara umum ada 2 macam kanal kalsium pada membran sel eksitabel: (1) Voltage-operated (VOC)
atau potential-dependent channel (PDC), yang terbuka oleh depolarisasi; (2) Receptor-operated channel
(ROC), yang terbuka oleh norepinefrin atau neurotransmitor lain tanpa terjadi depolarisasi. VOC juga
dibagi dalam 3 subtipe L, N dan T atas dasar konduktansi dan sensitivitas kanal tersebut terhadap perubahan
potensial. Dari ke-3 subtipe ini, hanya tipe L yang sensitif terhadap CCB. CCB terutama bekerja pada
jantung dan otot vaskuler, karena pada kedua jaringan ini banyak terdapat tipe L. Kanal L terdiri dari 5
subunit, yakni α1, α2, β, γ dan δ, dan reseptor CCB terdapat pada subunit α1. Nifedipin, verapamil dan
diltiazem berikatan dengan subunit α1 di tempat yan.g berlainan tetapi berdekatan dan saling memengaruhi.
Dibandingkan dengan CCB organik, maka CCB anorganik seperti Co dan La, menghambat kanal Ca2+
secara tidak selektif dan tidak bersifat frequency-dependent. Untuk kontraksl, otot jantung memerlukan ion
Ca2+ yang masuk dari luar sel di samping ion Ca2+ dari gudang intrasel, otot polos bergantung hampir
seluruhnya pada ion Ca" ekstrasel, sedangkan otot rangka tidak memerlukan ion Ca2+ ekstrasel.

8
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Vicky Supit - 15011101093

Oleh karena itu CCB menghambat kontraksi otot polos dan otot jantung, tetapi tidak menghambat
kontraksi otot rangka. Pada otot polos vaskuler terdapat 3 macam kanal Ca2+ untuk kontraksi, yakni VOC,
ROC dan SOC (stretch-operated channel). VOC (terbuka pada perangsangan saraf) dan ROC (terbuka pada
perangsangan NE/Epi) menentukan tonus vaskuler oleh perangsangan ekstrinsik. SOC yang terbuka pada
perangsangan otol sendiri (miogenik) menentukan tonus vaskuler basal (intrinsik). Ion Ca2+ dalam
sitoplasma akan berikatan dengan kalmodulin, menimbulkan fosforilasi myosin light chain dan kontraksi.

CCB jauh lebih aktif dalam menyebabkan dilatasi arteriol daripada dilatasi vena. Pada arteri besar,
VOC lebih sensitif terhadap CCB dibanding ROC. Akan tetapi pada arteriol, yang menentukan resistensi
perifer, sensitivitas VOC terhadap CCB sama dengan ROC. Pada jantung, ion Ca2+ ekstrasel selain
diperlukan untuk kontraksi otot jantung, juga untuk pembentukan impuls SA dan AV. Dengan demikian,
CCB menyebabkan efek inotropik negatif, kronotropik negatil, dan penghambatan konduksi AV.

Jadi, CCB terutama bekerja pada otot polos vaskuler (menyebabkan dilatasi arteriol perifer dan
koroner), otot jantung (menimbulkan efek inotropik negatif), nodus AV dan nodus SA (menyebabkan
hambatan konduksi AV dan denyut jantung). Berbagai CCB menunjukkan aktivitas yang berbeda terhadap
otot polos vaskuler dan terhadap jantung. Hanya golongan 2 (verapamil) dan golongan 3 (diltiazem) yang
mempunyai efek hambatan yang bermakna terhadap nodus AV dan SA.

Aktivitas hambatan CCB terhadap kontraksi otot polos vaskuler dibanding hambatannya terhadap
kontraksi otot jantung disebut selektivitas vaskuler. CCB golongan DHP bersifat vaskuloselektif, artinya
DHP lebih aktif menghambat kontraksi otot polos vaskuler dibanding kontraksi otot jantung, generasi yang
baru mempunyai selektivitas yang lebih tinggi dibanding niledipin. Sitat vaskuloselektif ini, di samping
tidak adanya efek yang bermakna pada nodus AV dan SA, membawa keuntungan pada:

9
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Vicky Supit - 15011101093

(1) pengobatan hipertensi : menurunkan tahanan tepi tanpa efek samping pada jantung, dan relatif
aman dalam kombinasi dengan B-bloker.
(2) pengobatan angina: mengurangi serangan angina tanpa efek samping pada jantung, dan relatif aman
dalam kombinasi dengan B-bloker.
(3) gangguan lungsi jantung : lebih aman.

Hambatan influks Ca2+ melalui kanal Ca2+ oleh CCB bersifat kompetitif. Efek ini dapat diatasi dengan
pemberian larutan Ca2', agonis β1 (epinefrin, isoproterenol) atau glikosida jantung.

10
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Vicky Supit - 15011101093

Referensi :
1. Noer MS. Glomerulonefritis. In: Buku Ajar Nefrologi Anak. 2nd edition.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2010.
2. Lumbanbatu SM. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak. In:
Sari Pediatri, Vol .5, No.2, September 2003: 58 – 63.
3. Farmakologi dan Terapi. 4th edition. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001.
4. Brunton Laurence, Blumenthal Donald,dkk. Goodman & Gilman: Manual
Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011.

11
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

Anda mungkin juga menyukai