Anda di halaman 1dari 4

ADRENOLITIK SENTRAL

KLONIDIN. Mekanisme kerja obat ini dapat di lihat pada Bab 6. Efek hipotensifnya disertai
dengan penurunan resistensi perifer. Curah jantung mula-mula menurun tetapi kembali ke
nilai awal pada pemberian jangka panjang. Klonidin juga sedikit mengurangi denyut jantung,
antara lain akibat peningkatan tonus vagal.

Klonidin oral biasanya digunakan sebagai obat tahap 2 bila TD tidak dapat dikontrol
dengan diuretik saja. Obat ini juga digunakan untuk menggantikan penghambat adrenergik
lain dalam kombinasi 3 obat dengan diuretik dan vasolidator untuk hipertensi yang resisten.
Klonidin juga berguna untuk beberapa urgensi hipertensi.

Efek samping yang paling sering adalah mulut kering dan sedasi, yang terjadi pada
50% penderita, tetapi menghilang dalam 2-4 minggu meskipun obat diteruskan. Sampai 10%
penderita harus menghentikan klonidin karena menetapnya sedasi, pusing, mulut kering,
mual, konstipasi, atau impotensi. Gejala ortostatik kadang-kadang terjadi. Efek samping
sentral termasuk mimpi buruk, insomnia, kecemasan, dan depresi. Bila digunakan sendiri,
klonidin dan menyebabkan retensi cairan sehingga kehilangan efek hipotensinya; ini dapat
diatasi dengan pemberian diuretik.

Pengentian mendadak dapat menimbulkan reaksi putus obat dengan gejala-gejala


akibat aktivitas simpatis yang berlebihan (rasa gugup, sakit kepala, nyeri abdomen, takikardi,
dan berkeringat). Gejala-gejala ini dapat disertai dengan krisis hipertensi (peningkatan TD
dengan cepat ke nilai awal atau lebih) dan kadang-kadang aritmia ventrikel. Sindrom putus
obat ini terutama terjadi pada penderita yang mendapat dosis besar (lebih dari 1,2 mg sehari)
tetapi juga dilaporkan terjadi pada penderita yang mendapat 0,6 mg klonidin sehari. Sindrom
ini biasanya mulai 12-48 jam setelah dosis terakhir. Hipertensi di atas nilai awal dapat
bertahan sampai 7-10m hari. Karena itu, klonidin tidak boleh diberikan pada penderita yang
tidak patuh makan obat. Penghentian klonidin harus dilakukan bertahap dalam waktu 1
minggu atau lebih. Meskipun demikian, sindrom putus obat masih dapat terjadi. Krisis
hipertensi yang terjadi harus diobati dengan vasodilator parenteral, misalnya natrium
nitroprusid, atau dengan pemberian kembali klonidin. Reaksi putus obat juga dapat terjadi
pada penghentian mendadak berbagai antihipertensi lainnya, misalnya metildopa, guanabenz,
guanadrel, dan -bloker.
GUANABENZ DAN GUANFASIN. Sifat-sifat farmakologik termasuk efek sampingnya
mirip klonidin.

Efek antihipertensi guanabenz mencapai maksimal 2-4 jam setelah pemberian oral dan
menghilang 10 jam kemudian. Bioavailabilitasnya baik, waktu paruhnya sekitar 6 jam, dan
sebagian besar obat dimetabolisme.

Guanfasin mempunyai waktu paruh yang relatif panjang (14-18 jam). Obat ini
dieliminasi terutama melalui ginjal dalam bentuk utuh dan metabolit.

METILDOPA. Mekanisme kerja obat ini dapat dilihat dalam Bab 6. Metildopa mengurangi
resistensi perifer tanpa banyak mengubah denyut jantung dan curah jantung. Penurunan TD
mencapai maksimal 4-6 jam setelah dosis oral. TD turun lebih banyak sewaktu penderita
berdiri daripada sewaktu berbaring. Hipotensi ortoristik dapat terjadi tetapi tidak seberat yang
ditimbulkan oleh penghambat saraf adrenergik. Bila digunakan sendiri, obat ini dapat
menimbulkan retensi cairan sehingga kehilangan efek hipotensinya. Pada penderita yang
lebih tua metildopa mengurangi denyut jantung.

Metildopa biasanya ditambahkan sebgai obat tahap 2 bila TD tidak terkontrol dengan
diuretik saja. Obat ini efektif dalam kombinasi dengan tiazid tetapi penggunaannya dibatasi
oleh seringnya efek samping yang ditimbulkan. Metildopa merupakan pilihan utama untuk
pengobatan hipertensi kronik selama kehamilan. Prevarat IV digunakan terutama untuk
hipertensi pascabedah.

Absorpsi metildopa dari saluran cerna bervariasi dan tidak lengkap. Bioavailabilitas
oral rata-rata 25-50%. Sekitar 63 % sieksresikan utuh dalam urin. Pada insufisiensi ginjal
terjadi akumulasi obat dan metabolitnya. Waktu paruh obat sekitar 2 jam dan meningkat pada
penderita dengan gangguan fungsin hati atau ginjal, sesuai dengan respons hipotensif
penderita.

Efek samping yang paling sering adalah sedasi, hipotensi postural, pusing, mulut
kering, dan sakit kepala. Sedasi seringkali hilang setelah minggu pertama terapi, tetapi dapat
terjadi lagi sewaktu dosis ditingkatkan. Ketajaman mental berkurang pada beberapa
penderita, tetapi reversibel. Efek samping lainnya adalah gangguan tidur, depresi mental,
impotensi, kecemasan, penglihatan kabur dan hidung tersumbat.
Efek samping yang lebih serius tetapi lebih jarang adalah anemia hemolitik,
trombositopenia, leukopenia, hepatitis dan sindrom seperti lupus. Pada terapi yang lama, uji
Coombs positif ditemukan pada 10-20% penderita, sedangkan anemia hemolitik terjadi pada
kurang dari 5% diantaranya. Uji Coombs positif tidak memerlukan penghentian obat, tetapi
bila hemolisis terjadi, metildopa harus segera dihentikan. Kortikosteroid dapat mengurangi
hemolisis berat. Metildopa dapat menimbulkan hepatitis yang selintas pada 3 % penderita.
Kelainan ini biasanya muncul dalam 2-3 bulan pertama pengobatan dan biasanya reversible.
Tetapi, pada beberapa kasus, hepatitis ini dapat berlanjut menjadi nekrosis hati yang fatal.

Metildopa dapat menurunkan kadar HDL kolesterol. Efek hipotensif metildopa


ditingkatkan oleh diuretik dan dikurangi oleh antidepresin trisiklik dan amin simpatomimetik.
Penghentian metildopa secara mendadak sesekali menimbulkan fenomen rebound berupa
peningkatan TD yang mendadak. Bila ini terjadi, metildopa harus diberikan kembali, atau
bila perlu diberikan vasodilator parenteral seperti natrium nitroprusid.

PENGHAMBAT SARAF ADRENERGIK

RESERPIN DAN ALKALOID RAUWOLFIA. Mekanisme kerja obat ini dapat dilihat
pada Bab 6. Reserpin mengurangi resistensi perifer, denyut jantung dan curah jantung.
Hipotensi ortostatik jarang terjadi pada dosis rendah yang sekarang dianjurkan. Resistensi
cairan dengan akibat hilangnya efek antihipertensi dapat terjadi bila tidak diberikan bersama
diuretik.

Reserpin biasanya diberikan sebagai obat tahap 2. Obat ini merupakan antihipertensi
yang efektif, terutama dalam kombinasi dengan tiazid, untuk pengobatan hipertensi ringan
dsampai sedang. Reserpin murah, diberikan sekali sehari, dan efeknya hanya sedikit berubah
bila penderita makan obatnya tidak teratur.

Reserpin mempunyai mula kerja yang lambat dan masa kerja yang panjang. Oleh
karena itu peningkatan dosis tidak boleh dilakukan lebih sering dari setiap 5-7 hari.
Sedangkan penambahan obat lain bila diperlukan hanya boleh dilakukan setelah 3-4 minggu.

Efek samping. Pada dosis terapi sampai 0,25 mg sehari), tidak banyak efek samping
yang dijumpai. Yang paling sering terlihat ialah letargi dan kongesti nasal. Efek samping lain
yang dapat terjadi adalah bradikardi, mulut kering, diare mual, muntah, anoreksia,
betambahnya nafsu makan, hiperasiditas lambung, mimpi buruk, depresi mental, disfungsi
seksual (berkurangnya libido, impotensi, dan ginekomasti. Depresi mental yang
ditimbulakn reserpin mungkin cukup parah sampai pendrita perlu dirawat di rumah sakit atau
sampai berakibat bunuh diri; ini dapat terjadi pada dosis berapa pun tetapi paling sering pada
dosis tinggi (0,5-1mg atau lebih sehar ). Karena itu reserpin dikontraindikasikan pada
penderita dengan riwayat depresi, dan bila gejala depresi muncul sewaktu pengobatan dengan
reserpin, obat ini harus segera dihentikan. Depresi akibat reserpin dapat bertahan berbulan-
bulan setelah obat dihentikan. Reserpin dosis rendah (kurang dari 0,125 mg sehari), dalam
kombinasi dengan tiazid, seringkali efektif untuk mengontrol TD dengan efek samping yang
lebih sedikit.

Karena reserpin dapat meningkatkan sekresi asam lambung maka harus diberikan
denga hati-hati pada penderita dengan riwayat ulkus peptikum. Bila timbul gejala-gejaa yang
menunjukan kambuhnya ulkus, reserpin harus dihentikan. Reserpin juga meningkatkan tonus
dan motilitas saluran cerna dengan riwayat kolitis ulseratif. Karena reserpin menurunkan
ambang kejang, maka harus digunakan dengan hati-hati pada penderita epilepsi. Dosis besar
dapat menimbulkan gejala-gejala ekstra-piramial.

GUANETIDIN. Uraian terinci tentang obat ini dapat dilihat pada Bab 6.

Efek hipotensif obat ini disebabkan oleh berkurangnya curah jantung (akibat
berkurangnya alir balik vena dan eek inotrofik dan kronptrofik negatif) dan turunnya
resistensi perifer. Guanetidin merupakan venodilator yang kuat, sehingga efek ortostatik yang
kuat, sehingga efek ortostatik yang hebat sering terjadi.

Guanetidin dicadangkan untuk kasus-kasus hipertensi berat yang tidak responsif


terhadap obat-obat lain. Tetapi sekarang guanetidin jarang digunakan karena (1) sukarnya
mengatur dosis tanpa menyebabkan hipotensi ortostatik atau diare dan (2) adanya obat-obat
lain, misalnya kaptopril dan minoksidil, yang efektif untuk hipertensi resisten dan kurang
menimbulkan efek samping dibanding guanetidin.

DEBRISOKUIN. Mekanisme kerja dan mekanisme antihipertensi obat ini mirip guanetidin.
Demikian juga efek samping debrisokuin mirip guanetidin, tetapi lebih ringan derajatnya.

Anda mungkin juga menyukai