ABSTRAK
Telah dilakukan identifikasi bakteri penyebab infeksi nosokomial dari sampel
urin pasien pengguna kateter yang di rawat inap pada bangsal saraf RSUP DR M.
Djamil Padang. Isolasi bakteri diawali dengan penanaman sampel pada media Agar
Darah dan Endo Agar. Selanjutnya dilakukan identifikasi yaitu perwarnaan gram dan uji
biokimia. Hasil identifikasi menunjukkan dari 13 sampel urin pasien hanya 5 pasien
terdapat bakteri penyebab infeksi nosokomial. Dari hasil isolasi dan identifikasi
didapatkan 5 jenis bakteri yaitu Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas
aeruginosa, Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis. Uji resistensi
bakteri hasil isolasi dilakukan terhadap enam jenis antibiotika yaitu meropenem,
cefotaxim, ciprofloksasin, ceftazidim, gentamisin, dan ceftriaxon. Hasil uji resintensi
bakteri menunjukkan sensitivitas paling tinggi terhadap meropenem dan ceftazidim.
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam dunia kesehatan, dan
hampir setiap negara mengalami masalah dengan penyakit infeksi. Penyakit infeksi
adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat sangat dinamis.
Salah satu penyakit infeksi yang merupakan penyebab meningkatnya angka kesakitan
(morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit adalah infeksi nosokomial
(Darmadi, 2008).
Infeksi nosokomial dikenal pertama kali pada tahun 1847 oleh Semmelweis dan
sekarang tetap menjadi masalah yang cukup menyita perhatian (Darmadi, 2008). Infeksi
adalah terdapatnya organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala
klinis baik lokal maupun sistemik (Utama, 2006).
Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit
dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat atau
rumah sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang terjadi di
rumah sakit dan menyerang penderita-penderita yang sedang dalam proses asuhan
keperawatan (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial terjadi lebih dari 48 jam setelah
masuk rumah sakit (Prabu et al., 2006).
Infeksi nosokomial umumnya terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak
di negara miskin dan negara yang sedang berkembang. Suatu penelitian yang dilakukan
oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang
berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan
adanya infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0% (Utama, 2006).
Di Indonesia, infeksi nosokomial ini juga tidak asing lagi. Hal ini ditandai
dengan adanya Panitia Medik Pengendalian Infeksi Nosokomial di sebagian besar
rumah sakit yang ada di Indonesia. Salah satunya pada rumah sakit yang akan dijadikan tempat
penelitian, yaitu RSUP. Dr. M. Djamil Padang. Menurut data yang didapatkan
dari Tim Pengendalian Infeksi Nosokomial RSUP. Dr. M. Djamil Padang, pada tahun
1996 dan 2002 tercatat angka prevalensi infeksi nosokomial 9,1 % dan 10,6 %. Dimana
angka tersebut berada di atas prevalensi rata-rata rumah sakit pemerintah di Indonesia
yaitu 6,6 %.
Kebanyakan infeksi nosokomial yang terjadi di rumah sakit disebabkan oleh
dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi flora normal dari
pasien itu sendiri dan faktor eksternal meliputi lingkungan rumah sakit, makanan, udara,
pemakaian infus, pemakaian kateter dalam waktu lama dan tidak diganti-ganti, serta
benda dan bahan-bahan yang tidak steril (Kowalski, 2007).
Menurut penelitian, bakteri patogen penyebab infeksi nosokomial yang paling
umum adalah Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Enterobacter spp, dan Klebsiella pneumonia (Tennant et al., 2005; Prabhu et al., 2006).
Salah satu infeksi nosokomial yang sering dijumpai adalah infeksi saluran urin
(Guntur, 2007). Infeksi saluran urin merupakan penyebab utama morbiditas (kesakitan)
dan mortalitas (kematian) di rumah sakit, dengan angka kejadian 40 % dari penyakit
infeksi yang terjadi di rumah sakit (Taher, T. M & Golestanpour, A, 2009). Menurut
WHO, 80 % dari infeksi saluran urin disebabkan oleh pemakaian kateter dalam waktu
yang lama dan tidak diganti-ganti. Biasanya penggunaan kateter dalam waktu lama ini
banyak ditemukan pada pasien yang dirawat di bangsal saraf, karena pasien yang
dirawat di bangsal saraf ini pada umumnya pasien yang sudah berumur tua, berbaring
lama dan dengan penyakit yang parah.
Berdasarkan uraian diatas, maka pada penelitian ini dicoba untuk
mengidentifikasi bakteri penyebab infeksi nosokomial pada pasien pengguna kateter
yang dirawat inap pada bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil, Padang. Bakteri
diidentifikasi dari urin pasien, dimana dengan diketahui jenis bakterinya maka akan
lebih mudah dalam pemilihan antibiotik.
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Infeksi nosokomial menurut WHO adalah adanya infeksi yang tampak pada pasien ketika
berada didalam rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, dimana infeksi tersebut tidak
tampak pada saat pasien diterima dirumah sakit. Yang disebut infeksi nosokomial ini termasuk
juga adanya tanda tanda infeksi setelah pasien keluar dari rumah sakit dan juga termasuk
infeksi pada petugas petugas yang bekerja di fasilitas kesehatan. Infeksi yang tampak setelah
48 jam pasien diterima dirumah sakit biasanya diduga sebagai suatu infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial terjadi diseluruh dunia, termasuk dinegara – negara berkembang
maupun negara miskin. Sebuah survei mengenai prevalensi infeksi nosokomial yang dikelola
WHO, pada 55 rumah sakit di 14 negara yang dibagi menjadi 4 wilayah, yakni Eropa,
Mediterranian Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, menunjukkan bahwa sekitar 8,7 %
rumah sakit pasien mengalami infeksi nosokomial, pada survei lain menyatakan sekitar 1,4 juta
pasien diseluruh dunia mengalami infeksi nosokomial. Dilaporkan frekuensi paling tinggi
terjadi pada rumah sakit di Mediterranian Timur sebesar 11,8 %, diikuti wilayah Asia Tenggara
10%, kemudian wilayah Pasifik Barat 9,0% dan diikuti Eropa 7,7 %. Menurut CDC, hasil
survei di United State, terjadi peningkatan angka prevalensi nosokomial dari 7,2% pada tahun
1975, menjadi 9,8 % pada tahun 1995. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wardana dan
Acang tahun 1989, terjadinya infeksi nosokomial sebesar 18,46 % pada pasien yang dirawat di
ruang gawat penyakit dalam RSUP M. Jamil, padang. Sedangkan penelitian pada tahun yang
sama di RS. Hasan Sadikin Bandung didapatkan insiden infeksi nosokomial 17, 24 %,
sedangkan di RSUD dr Sutomo prevalensi terjadinya infeksi nosokomial sebesar 9,85 %
Merupakan infeksi nosokomial yg paling sering terjadi. Sekitar 80% infeksi saluran kemih ini
berhubungan dengan pemasangan kateter. Infeksi saluran kemih jarang menyebabkan kematian
dibandingkan infeksi nosokomial lainnya. Tetapi kadang - kadang dapat menyebabkan
bakterimia dan kematian. Infeksi biasanya ditentukan oleh kriteria secara mikrobiologi. Positif
5
apabila kultururin ≥ 10 mikroorganisme / ml, dengan maksimum dari dua isolat spesies
bakteri. Bakteri dapat berasal dari flora normal saluran cerna , misalnya E. coli ataupun didapat
(1,8,13)
dari rumah sakit, misalnya Klebsiella multiresisten. .(1,12)
2. Infeksi luka operasi / infeksi daerah operasi ( ILO / IDO ) Infeksi nosokomial yang sering
terjadi, insiden bervariasi, dari 0,5 sampai 15 %, tergantung tipe operasi dan penyakit yang
mendasarinya. Hal ini merupakan masalah yang signifikan, karena memberikan dampak
pada biaya rumah sakit yang semakin besar, dan bertambah lamanya masa inap setelah
operasi. Kriteria dari infeksi luka infeksi ini yaitu ditemukan discharge purulen disekitar
luka atau insisi dari drain atau sellulitis yang meluas dari luka. Infeksi biasanya didapat
ketika operasi baik secara exogen ( dari udara, dari alat kesehatan, dokter bedah dan petugas
petugas lainnya ), maupun endogen dari mikroorganisme pada kulit yang diinsisi. Infeksi
mikroorganisme bervariasi, tergantung tipe dan lokasi dari operasi dan antimikroba yang
(1,8,13)
diterima pasien. 3. Pneumonia nosokomial ( VAP )
Yang paling penting adalah penggunaan ventilator pada pasien di ICU., dimana prevalensi
terjadinya pneumonia sebesar 3% perhari. Merupakan angka kejadian fatal yang tinggi,
yang dihubungkan dengan Ventilator associated Pneumonia. Mikroorganisme
berkolonisasi di saluran pernafasan bagian atas dan bronchus dan menyebabkan infeksi
pada paru ( pneumonia ). Sering merupakan endogen, tetapi dapat juga secara exogen.
Diagnosa pneumonia berdasarkan gejala klinis dan radiologi, sputum purulen serta
timbulnya demam. Diketahui sekarang bahwa yang merupakan faktor resiko adalah tipe
dan lamanya penggunaan ventilator, beratnya kondisi pasien atau ada atau tidaknya
penggunaan antibiotik sebelumnya.
Tipe infeksi nosokomial ini merupakan proporsi kecil dari infeksi nosokomial (sekitar 5
%), tetapi angka kejadian fatal nya tinggi, lebih dari 50% untuk beberapa organisme.
Misalnya Staphylococcus Coagulase – Negative dan Candida spp. Infeksi mungkin
kelihatan pada tempat masuknya alat intravaskular atau pada subkutaneus dari pemasangan
kateter. Organisme berkolonisasi dikateter didalam pembuluh darah dapat menghasilkan
bakteremia tanpa adanya tanda-tanda infeksi dari luar. Flora normal yang sementara atau
tetap pada kulit merupakan sumber infeksi. Faktor resiko yang utama dalam mempangaruhi
infeksi nosokomial ini adalah lamanya kateterisasi, level aseptik dan pemeliharaan yang
(1,8,13)
kontiniu dari kateter. 5. Infeksi nosokomial lainnya.
• Infeksi pada kulit dan jaringan lunak, misalnya luka terbuka ( luka bakar dan luka akibat
berbaring lama ).
• Gastroenteritis merupakan infeksi nosokomial tersering pada anak anak, dimana penyebabnya
terbanyak adalah rotavirus. Untuk penyebab tersering gastroenteritis pada orang dewasa adalah
Clostridium difficile, sering terdapat pada negara berkembang. • Sinusitis dan infeksi saluran
cerna lainnya, infeksi pada mata dan konjungtiva. (1) • Endometritis dan infeksi lainnya dari
organ reproduksi setelah melahirkan. Bakteri dapat menyebabkan infeksi nosokomial dengan
beberapa cara:
Bakteri yang merupakan flora normal dapat menyebabkan infeksi oleh karena adanya
perpindahan dari habitat alami ke luar, misalnya pindah kesaluran kemih, atau adanya
kerusakan jaringan (luka), atau tidak adekuat pemberian antibiotik sehingga diikuti
adanya pertumbuhan kuman yang berlebihan (C. difficile, Yeast spp).
Bakteri dapat berpindah diantara pasien : 1. Flora tetap atau sementara pada pasien (
endogen ) 2. Flora dari pasien atau petugas rumah sakit ( exogen )
• Melalui kontak langsung diantara pasien ( tangan, air ludah atau cairan tubuh lainnya )
• Melalui udara (melalui ludah atau debu yang sudah terkontaminasi oleh bakteri pasien ). •
Melalui petugas yang terkontaminasi melalui perawatan pasien, misalnya handuk, pakaian,
hidung dan tenggorokan, yang kemudian menjadi carrier sementara atau permanen, yang
kemudian mentransmisikan bakteri kepasien lainnya melalui kontak langsung ketika merawat.
CDC memperkirakan sekitar 36% infeksi nosokomial infeksi dapat dicegah bila semua petugas
kesehatan diberikan pedoman khusus dalam pengkontrolan infeksi ketika merawat pasien. •
Melalui objek –objek yang terkontaminasi oleh pasien, termasuk peralatan, tangan petugas,
tamu atau sumber linkungan lain, misalnya air, cairan lainnya, makanan. 3. Flora yang berasal
dari lingkungan kesehatan. Beberapa tipe organisme dapat bertahan dengan baik pada
lingkungan rumah sakit, misalnya didalam air, area yang lembab, dan kadang – kadang pada
produk yang steril atau desinfektan, misalnya Pseudomonas, Acinobacter, mycobacterium.
(1,2,8,13,14)
Faktor – faktor yang berpengaruh pada keadaan ini adalah umur, status imun, penyakit yang
mendasarinya, serta intervensi dari terapi. Pasien yang mengalami penyait kronik seperti tumor
ganas, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, atau AIDS, mempunyai kerentanan yang
meningkat terhadap infeksi opurtunistik. • Antimikroba • Kerentanan pasien
• Resistensi bakteri
Banyak pasien yang menerima terapi antimikroba. Melalui seleksi dan adanya perubahan
elemen resistensi genetik, antibiotik menjadi emergensi dimana banyak strain bakteri yang
resisten terhadap berbagai antimikroba. Resistensi strain bakteri menjadi menetap dan dapat
berkembang menjadi endemik di rumah sakit. Banyak strain Pneumococci, Staphylococci,
Enterococci dan tuberculosis resisten terhadap hampir semua antimikroba yang sebelumnya
(1,2,8,14)
efektif digunakan sebagai terapi.
Staphylococcus epidermidis
S. epidermidis merupakan flora normal yang tersering didapat dikulit dan hidung. Apabila
terdapat hasil S. epidermidis dari kultur darah, biasanya merupakan kontaminasi dari kulit.
Walaupun virulensinya rendah, S.epidermidis sering merupakan penyebab dari pemasangan
katub jantung dan kateter, infeksi saluran kemih, infeksi luka bedah, infeksi dari pemasangan
alat – alat prostetik, infeksi shunt cerebrospinal fluid, infeksi yang berhubungan dengan dialisis
peritoneal dan infeksi opthalmik. Resistensi obat – obatan terhadap S. epidermidis lebih sering
terjadi dibandingkan dengan S. aureus. Vancomycin masih sensitif terhadap S. epidermidis,
tetapi adanya resistensi terhadap isolate pernah dilaporkan.
Staphylococcus aureus
S. aureus merupakan carrier pada individual yang sehat sekitar 22%, carrieg terjadi pada
hampir semua bagian kulit, ditemukan juga pada permukaan mukosa pada anterior nares , juga
terdapat pada mukosa vagina. Perpindahan dapat terjadi melalui kontak langsung, misalnya
pada pegangan pintu, dimana pada putarannya menjadi sumber infeksi, atau dalam makanan,
sehingga dapat menyebabkan keracunan makanan. Dalam keadaan- keadaan tertentu, S. aureus
dapat menyebabkan berbagai proses, mulai dari infeksi kulit yang ringan sampai penyakit
sistemik yang dapat mengancam nyawa. Mulai dari folliculitis, impetigo, furuncel dan
carbuncel sampai ke Community – acquired Staphylococcus bronchopneumonia yang di
hubungkan oleh virus sebagai faktor predisposisi. Toxin yang diproduksi oleh Staphylococcus
aureus merupakan penyebab pada Staphylococcal scalded skin syndrome dan toxic shock
syndrome. Penicilline merupakan obat yang terpilih ( drug of choice ) untuk pengobatan infeksi
S. aureus. Kedaruratan resistensi terhadap penicillin disebabkan adanya “kemahiran” dari
elemen – elemen genetik plasmidborne yang mengkode produksi β – lactamase. Sekarang ini,
lebih dari 80% isolat S. aureus resisten terhadap penisilin oleh karena adanya enzim β –
lactamase hydrolitic atau penicillinase. MRSA mewakili tantangan yang sebenarnya dari
semua institusi kesehatan, dan pedoman- pedoman sudah di buat untuk mengatur dan
mengkontrol perluasan MRSA pada insttitusi kesehatan. Beberapa rumah sakit telah
mempunyai institusi untuk melakukan kultur nasal secara rutin terhadap petugas – petugas
kesehatan untuk mendeteksi adanya carrier MRSA serta memberikan terapi dengan tujuan
untuk menurunkan jumlah terpaparnya pasien, yang mana akan menurunkan percepatan infeksi
nosokomial dirumah sakit.
Corynebacterium diphtheriae
C. diphthteriae merupakan penyebab klasik dari penyakit diphtheriae. Infeksi ini masih terlihat
di negara berkembang. Infeksi ini dapat dicegah denga immunisasi yang meluas pada populasi
yang bersiko terhadap toxoid diphtheriae. Virulensi organisme ini sepenuhnya oleh karena
produksi toxin dari diphtheriae. Meskipun nasal swab bukan merupakan spesimen ideal untuk
sekret hidung, tetapi kadang – kadang hal ini dapat diterima. Bagaimanapun nasal swab
tidaklah merupakan hal yang rutin sebagai bahan kultur untuk mendapatkan Corynebacterium
diphtheriae. Terapi dari diphtheriae ini melibatkan antitoxin dari kuda untuk menetralkan toxin
agar tidak berikatan dengan sel target. Dilakukan terapi support seperti tracheostomy atau
intubasi pembersihan jalan nafas, dan memonitor fungsi jantung. Penisilline atau Erythromycin
dapat juga diberikan untuk mempercepat eradikasi organisme ini dari saluran pernafasan
pasien. Gabungan Rifampisin dan Erythromycin telah digunakan untuk eradikasi carriege dari
C. diphtheriae pada individu yang sudah terpapar. Pada hasil tes resistensi antimikroba
menunjukkan strain C. diphtheriae secara umum sensitif terhadap Penicilline, Ampicilline,
Cefuroxime, Erythromycin, Tetracycline, Ciprofloxacin, Gentamycine, Trimethoprim dan
Rifampisin.
Haemophilus influenzae
Haemophilus influenzae merupakan bagian flora normal pada oropharynx dan nasopharynx
pada orang dewasa. Diantara semua hemophili, H. Influenza serotype b dikatakan yang
dikatakan paling pahogenik. Pada era sebelum vaksin terhadap H. Influenza ada, organisme ini
paling sering menyebabkan meningitis bakcterial pada anak antara 1 bulan sampai 2 tahun.
Lebih dari 90% isolate yang diambil dari semua kasus mempunyai kapsul serotype b. Adanya
kolonisasi di nosopharinx pada pasien yang rentan dapat membuat H. Influenza masuk ke aliran
darah, dan kemudian menuju meningens. Penyakit lainnya yang sering dihubungkan dengan
H. Influenza adalah epiglottitis, otitis media, sinusitis, pneumonia, bakteremia, endocarditis,
infeksi pada perinatal, maternal, serta pada urogenital. Spesimen diambil dari CSF, sputum,
dan berbagai cairan tubuh lainnya. Tidak ada fakta yang jelas tentang isolat H. Influenza yang
diambil dari swab hidung yang dapat mengarah kepada suatu infeksi. Pada tahun 1974,
beberapa strain dari H. influenza menjadi resiten terhadap Ampicilin oleh karena menghasilkan
enzim β lactamase yang dimediasi oleh plasmid. Pada semua penelitian, lebih dari 99 % strain
sensitif terhadaf Amoxicillin - clavulanat. H. Influenza resistant–chloramphenikol
menghasilkan enzim chloramphenicol acetyltransferase. Sekarang ini Cephalosporin generasi
ketiga direkomendasikan sebagai terapi terhadap infeksi berat dari H. Influenza, oleh karena
lebih unggul aktivitasnya pada mikroorganisme ini baik secara in vitro maupun in vivo.
Streptococcus pneumoniae
Mekanisme yang paling sering terjadi pada transfer gen resisten yaitu dengan cara Conjugasi.
Faktor lainnya diperlukan dimana gen yang ditransfer bisa bergerak dari satu organisme ke
organisme lainnya. Diketahui terakhir ini, mekanisme transfer gen resisiten dengan Transposon
( Transposable genetik element ). Transposon bisa membawa plasmid. Yang lebih penting, bisa
membawa sepotong kromosom dari satu (6,15,16,17)
bakteri ke bakteri yang lain dengan cara Conjugasi (Conjugative transposon or jumping genetic
element). Hasilnya mungkin adanya mozaik dari material genetik dari bakteri donor ke bakteri
resepien. Transfer resistensi antimikroba melewati barier mayor, antara bakteri Gram positif
dan Gram negatif. Ini sangat penting, karena merupakan transfer horozontal dari resistensi
terhadap antimikroba untuk penyakit infeksi masa sekarang dan yang akan datang.
Cesar Roberto Busato dkk, melakukan penelitian pada pekerja kesehatan diRS Santa
Casa de Misericordia de Ponta Grossa, membandingkan resistensi antimikrobial terhadap S.
aureus pada tahun 1996 dan tahun 1999, ternyata didapat antimikroba Ampicillin mengalami
peningkatan resistensi dari 90, 4 % menjadi 92, 2 %, Penicillin dari 95, 2% menjadi 97, 7 %,
Tetracycline dari 31, 7 % menjadi 33, 3 %, dan Ciprofloxacin dari 12, 7 % menjadi 17, 7 %.
Sedangkan Vancomycin resistensi hanya 0 %
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Dari isolasi dan identifikasi bakteri penyebab infeksi nosokomial terhadap
sampel urin pasien pengguna kateter yang dirawat inap di bangsal saraf RSUP
Dr. M. Djamil Padang, diperoleh lima jenis bakteri yaitu Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa dan
Klebsiella pneumonia.
2. Hasil uji resistensi bakteri terhadap antibiotik menunjukkan bahwa antibiotik
meropenem dan ceftazidim yang paling sensitif. Sedangkan yang paling resisten
terhadap antibiotik ceftriaxon.
5.2 Saran
Disarankan kepada peniliti selanjutnya untuk melakukan identifikasi bakteri
penyebab infeksi nosokomial pada pasien yang menggunakan kateter dalam waktu lama
yang dirawat inap pada bangsal lain, seperti pada bangsal bedah dan dengan jumlah
pasien yang lebih banyak lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Adysaputra, S. A., Rauf, A. M dan Bahar, B. (2009). Patterns and Prevalence of
Nosocomial Microbial Infection from Intensive Care Unit Patients, Wahidin
Sudirohusodo Hospital, Makassar. Makassar: Hasanuddin University Press. Indonesian
Journal Of Medical Science. Vol. 2, No. 2, P. 67-70.
Alvarado, C. J, (2000). The Science of Hand Hygiene: A Self Study Monograph.
University of Wisconsin Medical School and Sci-Health Communication. March.
Badaruddin, M. A. (2006). Nosocomial Infections In Public Sector Hospitals:
Urgent Need For Structured And Coherent Approach To The Problem. Islamabad: The
Journal of the Pakistan Medical Association. Vol. 31, No. 2, P. 81-86.
Bockemuhl, J. (1992). Enterobacteriaceae. In: F. Burkhardt. Mikrobiologische
Diagnostik. Stuttgart, New York: Thieme Verlag.
Brooks, G. F., J. S. Butel and S. A. Morse, Jawetz, Melnick And Adelberg’s.
(2005). Mikrobiologi Kedokteran 2 (Edisi I). Diterjemahkan oleh N. Widorini. Jakarta :
Salemba Medika.
Brown, A. (2001). Benson: Microbiological Applications Lab Manual. 8th Ed.
New York: The McGraw-Hill Companies.
Buchanan, R. E and N. E. Gibbons. (1974). Bergey’s Manual of Determinative
Bacteriology, 8th Ed, Baltimure: The Williams and Wilkins Company.
Burrows, W, (1959). Textbook of Microbiology. 17thEd. W. B. Saunders
Company: Philadelphia and London.
Clark, R., Powers, R. (2004). Nosocomial Infection in the NICU: A Medical
Complication or Unavoidable Problem?. Journal of Perinatology. Vol. 24, P. 382-388.
Cowan And Steel’s. (1993). Manual for Identification of Medical Bactery. 3rd Ed.
England: Cambridge University Press.
Darmadi. (2008). Infeksi Nosokomial:Problematika dan pengendaliannya.
Jakarta: Salemba Medika.
Duncan, F. (2005). MCB 1000L Applied Microbiology Laboratory Manual. 4th
Ed. New York: The McGraw-Hill Companies.
Dwidjoseputro. (1990). Dasar-dasar Mikrobiologi. Solo: Djambatan.
Guntur, A. (2007). The Role of Cefepime: Empirical Treatment in Critical
Illness. Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Vol. 20, No. 2.
Fuadi, A. (2005). Pengaruh Irigasi Kateter Uretra dengan Menggunakan NaCl
Fisiologis secara Terus Menerus terhadap Jmlah Kuman dalam Urin. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Fiel, S. (2001). Guidelines and critical pathways for severe hospital-acquired
pneumonia. Chest,119: 412S–418S.
Ganiswara, S. G., dkk, (1995). Farmakologi dan Terapan, Edisi ke-4, Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran UI: Jakarta.
Hardjoeno, H., Tenri, E., dan Nurhayana. (2007). Kumpulan Penyakit Infeksi
dan Tes Kultur Sensitifitas Kuman serta Upaya Pengendaliannya. Bagian Patologi
Klinik FK-UNHAS. Makassar.
Hart, T dan Shears, P. (1996). Atlas Berwarna Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:
Hipokrates.
Horan, T, C., Andrus, M., and Dudeck, M, A. (2008). CDC/NHSN Surveillance
Definition of Health Care-associated Infection and Criteria For Specific Types of
Infections In The Acute Care Setting. AJIC Major Articles. Vol. 36, No. 5, P. 309-332.
Husada, S., Sunaryo, H., Kuntanam, Widodo, J. P., dan Widjoseno, G. (2008).
Perbandingan dan Penyebaran Escherichia coli dan Klebsiella pneumonia penghasil
Extended Spectrum Beta-Laktamase pada Isolat urin Pasien Pria dengan Kateter dan
Tampa Kateter. JURI. Vol. 15, No. 1, P. 15-20.
Katzung, B. G. (1997). Basic and Clinical Pharmacology Ed VI, alih bahasa staf
dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran UNSRI, editor H Azwar Agoes, EGC: Jakarta.
Kowalski, J. W. (2007). Air-Treatment Systems for Controlling Hospital-
Acquired Infections. New York: Immune Building Systems Inc.
Kreig, N. P and J. G. Holt. (1984). Bergey Manual Systematic Bacteriology.
Williams and Winken: Baltimore.
Krumperman, P. H, (1996). Multiple Antibiotic Resistance Indexing Escherichia
coli to Identify Risk Source of Fecal Contamination of Food. Applied and
Environmental Microbiology, No.46, P. 165-170.
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Lynch, P et al, (1997). Infection Prevention with Limited resources. ETNA
Communications: Chicago.
Murray, P.R., Baron, E.J., Jorgensen, J., Pfaller, M., And Yolken, R. (2007).
Manual of Clinical Microbiology. 9th Ed. Washington DC: ASM Press.
Muslim, R. (2005). Pengaruh Irigasi Kateter Uretra dengan Menggunakan
NaCl Fisiologis Secara Terus Menerus terhadap Jumlah Kuman Dalam Urin. (Skripsi).
Semarang: Universitas Diponegoro.
Nichols, R. L, (2001). Preventing Surgical site Infections: A surgeon’s
Perspective. Emerg Infect Dis, Vol.7, No.2, P.220-224.
Parello, B. (2 Maret 2009). Subsystem: lactose utilization. Diakses 20 April
2011 dari http://www.nmpdr.org/FIG/wiki/view.cgi/Main/CompareSubsystems/
lactoseutilization.
Pelczar, M. J., and E. C. S. Chan. (1988). Dasar-dasar Mikrobiologi, Jilid II,
diterjemahkan oleh Ratna. S. H, UI-Press: Jakarta.
Prabhu, N., Sangeetha, M., Chinnaswamy, P and Joseph, PL. (2006). A Rapid
Method of Evaluating Microbial Load in Health Care Industry and Application of
Alcohol to Reduce Nosocomial Infection. Journal of the Academy of Hospital
Administration. Vol. 18, No. 1, P. 1-12.
Salle, A. J. (1961). Fundamental Principles of Bacteriology. 5thed. Mc Graw-
Hill Book Company Inc. New York.
Salyers, A. A. and D. D. Whitt. (1994). Bacterial Pathogenesis : A Molecular
Approach, ASM Press: Washington D.C.
Singleton, P and P. Sainsbury. (1981). Introduction to Bacteria, John Wiley &
Sons Ltd: New York.
Sonnenwirth, A. C. (1973). Data on Eterobacteriaceae from “Differentiation of
Enterobacteriaceae by Biochemical Tests”. Atlanta: USPHS Center for Disease Control.
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (1994). Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran, Edisi Revisi. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Steven, M. G. (2001). New Surgical Techniques and surgical Site Infections.
Diakses 24 Februari 2009 dari http://www.cdc.gov/ncidod/eid/vol7no2/gordon.html.
Tennant, I., Harding, H. (2005). Microbial Isolates from Patients in An Intensive
Care Unit, and Associated Risk Factors. West Indian Medical Journal. Vol. 54, No. 4.
Taher, T. M., Golestanpour, A. (2009). Symptomatic Nosocomial Urinary Tract
Infection in ICU Patients: Identification of Antimicrobial Resistance Pattern. Iranian
Journal of Clinical Infectious Disease. Vol. 4, P. 25-29.
Todar K. (2004). Pseudomonas aeruginosa. University of Wisconsin – Madison
Department of Bacteriology. Available from URL
http://www.textbookofbacteriology.net/pseudomonas.html.
Tullu, MS., Deshmukh, CT and Baveja, SM. (1998). Bacterial Profile and
Antimicrobial Susceptibility Pattern In Chateter Related Nosocomial Infections.
Mumbai: Journal of Postgraduate Medicine. Vol. 44, P. 7-13.
Utama, H.W. (2006). Infeksi Nosokomial. Dari
http://zmutclik.blogspot.com/2010/01/infeksi-nosokomial html.
Volk, A.W and Magaret, F.W (1993). Mikrobiologi Dasar (5th Ed),
diterjemahkan oleh Soenarto, Adi Soemarto, Penerbit Airlangga: Jakarta.
Wattimena, J. R, et al, (2000). Farmakologi dan Terapi Antibiotik, Gadjah Mada
University Press: San Diego.
Weinstein, D.L and Jackson M.P, (1988). Cloning and Sequencing of a Shigaliketoxinn
Type II Variant from E. Coli Strain Responsible for Edema Disease of Swin, J
Bacterial.
Weinsten, A. R. (1998). Nosocomial Infection Update. (Special Issue). Cook
County Hospital & Rush Medical College, Chicago, Illinois, USA. Vol. 4, No. 3, P.
416-420.
WHO. (2002). Prevention of Hospital-Acquired Infections. A Partical Guide 2nd
Ed. Department of Communicable Disease, Survellance and Response. USA.
INFEKSI NOSOKOMIAL
INFEKSI NOSOKOMIAL
INFEKSI NOSOKOMIAL
4. Baju Pelindung
o Lindungi kulit dari kontak dengan darah dan cairan tubuh
o Cegah pakaian tercemar selama tindakan klinik yang dapat berkontak langsung dengan
darah atau cairan tubuh
5. Kain
o Tangani kain tercemar, cegah dari sentuhan kulit/selaput lendir
o Jangan melakukan prabilas kain yang tercemar di area perawatan pasien
6. Peralatan Perawatan Pasien
o Tangani peralatan yang tercemar dengan baik untuk mencegah kontak langsung dengan
kulit atau selaput lendir dan mencegah kontaminasi pada pakaian dan lingkungan
o Cuci peralatan bekas pakai sebelum digunakan kembali
7. Pembersihan Lingkungan
Perawatan rutin, pembersihan dan desinfeksi peralatan dan perlengkapan dalam ruang
perawatan pasien
8. Instrumen Tajam
o Hindari memasang kembali penutup jarum bekas
o Hindari melepas jarum bekas dari semprit habis pakai
o Hindari membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum bekas dengan tangan
o Masukkan instrument tajam ke dalam tempat yang tidak tembus tusukan
9. Resusitasi Pasien
Usahakan gunakan kantong resusitasi atau alat ventilasi yang lain untuk menghindari kontak
langsung mulut dalam resusitasi mulut ke mulut
10. Penempatan Pasien
Tempatkan pasien yang mengontaminasi lingkungan dalam ruang pribadi / isolasi
INFEKSI NOSOKOMIAL
INFEKSI NOSOKOMIAL
DAFTAR PUSTAKA
Committee on Identifying Priority Areas for Quality Improvement, Karen Adams, Janet M.
Corrigan (2003). Priority Areas for National Action: Transforming Health Care Quality.
National Academies Press.
Steven Jonas, Raymond L. Goldsteen, Karen Goldsteen (2007). Introduction to the US health
care system. Springer Publishing Company.
Riana. Infeksi Nosokomial RumahSakit. Dimuat dalam http://riana-a-h-
fkm10.web.unair.ac.id/artikel_detail-41324-
ADMINISTRASI%20RUMAH%20SAKIT%20DAN%20PUSKESMAS-
Infeksi%20Nosokomial%20RumahSakit.html