Anda di halaman 1dari 28

IDENTIFIKASI DAN UJI RESISTENSI BAKTERI PENYEBAB INFEKSI

NOSOKOMIAL PADA PASIEN RAWAT INAP PENGGUNA KATETER PADA


BANGSAL SARAF RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

ABSTRAK
Telah dilakukan identifikasi bakteri penyebab infeksi nosokomial dari sampel
urin pasien pengguna kateter yang di rawat inap pada bangsal saraf RSUP DR M.
Djamil Padang. Isolasi bakteri diawali dengan penanaman sampel pada media Agar
Darah dan Endo Agar. Selanjutnya dilakukan identifikasi yaitu perwarnaan gram dan uji
biokimia. Hasil identifikasi menunjukkan dari 13 sampel urin pasien hanya 5 pasien
terdapat bakteri penyebab infeksi nosokomial. Dari hasil isolasi dan identifikasi
didapatkan 5 jenis bakteri yaitu Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas
aeruginosa, Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis. Uji resistensi
bakteri hasil isolasi dilakukan terhadap enam jenis antibiotika yaitu meropenem,
cefotaxim, ciprofloksasin, ceftazidim, gentamisin, dan ceftriaxon. Hasil uji resintensi
bakteri menunjukkan sensitivitas paling tinggi terhadap meropenem dan ceftazidim.

BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam dunia kesehatan, dan
hampir setiap negara mengalami masalah dengan penyakit infeksi. Penyakit infeksi
adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat sangat dinamis.
Salah satu penyakit infeksi yang merupakan penyebab meningkatnya angka kesakitan
(morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit adalah infeksi nosokomial
(Darmadi, 2008).
Infeksi nosokomial dikenal pertama kali pada tahun 1847 oleh Semmelweis dan
sekarang tetap menjadi masalah yang cukup menyita perhatian (Darmadi, 2008). Infeksi
adalah terdapatnya organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala
klinis baik lokal maupun sistemik (Utama, 2006).
Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit
dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat atau
rumah sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang terjadi di
rumah sakit dan menyerang penderita-penderita yang sedang dalam proses asuhan
keperawatan (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial terjadi lebih dari 48 jam setelah
masuk rumah sakit (Prabu et al., 2006).
Infeksi nosokomial umumnya terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak
di negara miskin dan negara yang sedang berkembang. Suatu penelitian yang dilakukan
oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang
berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan
adanya infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0% (Utama, 2006).
Di Indonesia, infeksi nosokomial ini juga tidak asing lagi. Hal ini ditandai
dengan adanya Panitia Medik Pengendalian Infeksi Nosokomial di sebagian besar
rumah sakit yang ada di Indonesia. Salah satunya pada rumah sakit yang akan dijadikan tempat
penelitian, yaitu RSUP. Dr. M. Djamil Padang. Menurut data yang didapatkan
dari Tim Pengendalian Infeksi Nosokomial RSUP. Dr. M. Djamil Padang, pada tahun
1996 dan 2002 tercatat angka prevalensi infeksi nosokomial 9,1 % dan 10,6 %. Dimana
angka tersebut berada di atas prevalensi rata-rata rumah sakit pemerintah di Indonesia
yaitu 6,6 %.
Kebanyakan infeksi nosokomial yang terjadi di rumah sakit disebabkan oleh
dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi flora normal dari
pasien itu sendiri dan faktor eksternal meliputi lingkungan rumah sakit, makanan, udara,
pemakaian infus, pemakaian kateter dalam waktu lama dan tidak diganti-ganti, serta
benda dan bahan-bahan yang tidak steril (Kowalski, 2007).
Menurut penelitian, bakteri patogen penyebab infeksi nosokomial yang paling
umum adalah Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Enterobacter spp, dan Klebsiella pneumonia (Tennant et al., 2005; Prabhu et al., 2006).
Salah satu infeksi nosokomial yang sering dijumpai adalah infeksi saluran urin
(Guntur, 2007). Infeksi saluran urin merupakan penyebab utama morbiditas (kesakitan)
dan mortalitas (kematian) di rumah sakit, dengan angka kejadian 40 % dari penyakit
infeksi yang terjadi di rumah sakit (Taher, T. M & Golestanpour, A, 2009). Menurut
WHO, 80 % dari infeksi saluran urin disebabkan oleh pemakaian kateter dalam waktu
yang lama dan tidak diganti-ganti. Biasanya penggunaan kateter dalam waktu lama ini
banyak ditemukan pada pasien yang dirawat di bangsal saraf, karena pasien yang
dirawat di bangsal saraf ini pada umumnya pasien yang sudah berumur tua, berbaring
lama dan dengan penyakit yang parah.
Berdasarkan uraian diatas, maka pada penelitian ini dicoba untuk
mengidentifikasi bakteri penyebab infeksi nosokomial pada pasien pengguna kateter
yang dirawat inap pada bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil, Padang. Bakteri
diidentifikasi dari urin pasien, dimana dengan diketahui jenis bakterinya maka akan
lebih mudah dalam pemilihan antibiotik.

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial menurut WHO adalah adanya infeksi yang tampak pada pasien ketika
berada didalam rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, dimana infeksi tersebut tidak
tampak pada saat pasien diterima dirumah sakit. Yang disebut infeksi nosokomial ini termasuk
juga adanya tanda tanda infeksi setelah pasien keluar dari rumah sakit dan juga termasuk
infeksi pada petugas petugas yang bekerja di fasilitas kesehatan. Infeksi yang tampak setelah
48 jam pasien diterima dirumah sakit biasanya diduga sebagai suatu infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial terjadi diseluruh dunia, termasuk dinegara – negara berkembang
maupun negara miskin. Sebuah survei mengenai prevalensi infeksi nosokomial yang dikelola
WHO, pada 55 rumah sakit di 14 negara yang dibagi menjadi 4 wilayah, yakni Eropa,
Mediterranian Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, menunjukkan bahwa sekitar 8,7 %
rumah sakit pasien mengalami infeksi nosokomial, pada survei lain menyatakan sekitar 1,4 juta
pasien diseluruh dunia mengalami infeksi nosokomial. Dilaporkan frekuensi paling tinggi
terjadi pada rumah sakit di Mediterranian Timur sebesar 11,8 %, diikuti wilayah Asia Tenggara
10%, kemudian wilayah Pasifik Barat 9,0% dan diikuti Eropa 7,7 %. Menurut CDC, hasil
survei di United State, terjadi peningkatan angka prevalensi nosokomial dari 7,2% pada tahun
1975, menjadi 9,8 % pada tahun 1995. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wardana dan
Acang tahun 1989, terjadinya infeksi nosokomial sebesar 18,46 % pada pasien yang dirawat di
ruang gawat penyakit dalam RSUP M. Jamil, padang. Sedangkan penelitian pada tahun yang
sama di RS. Hasan Sadikin Bandung didapatkan insiden infeksi nosokomial 17, 24 %,
sedangkan di RSUD dr Sutomo prevalensi terjadinya infeksi nosokomial sebesar 9,85 %

2.2 Pembagian infeksi nosokomial

1. Infeksi saluran kemih ( UTI )

Merupakan infeksi nosokomial yg paling sering terjadi. Sekitar 80% infeksi saluran kemih ini
berhubungan dengan pemasangan kateter. Infeksi saluran kemih jarang menyebabkan kematian
dibandingkan infeksi nosokomial lainnya. Tetapi kadang - kadang dapat menyebabkan
bakterimia dan kematian. Infeksi biasanya ditentukan oleh kriteria secara mikrobiologi. Positif
5
apabila kultururin ≥ 10 mikroorganisme / ml, dengan maksimum dari dua isolat spesies
bakteri. Bakteri dapat berasal dari flora normal saluran cerna , misalnya E. coli ataupun didapat
(1,8,13)
dari rumah sakit, misalnya Klebsiella multiresisten. .(1,12)

2. Infeksi luka operasi / infeksi daerah operasi ( ILO / IDO ) Infeksi nosokomial yang sering
terjadi, insiden bervariasi, dari 0,5 sampai 15 %, tergantung tipe operasi dan penyakit yang
mendasarinya. Hal ini merupakan masalah yang signifikan, karena memberikan dampak
pada biaya rumah sakit yang semakin besar, dan bertambah lamanya masa inap setelah
operasi. Kriteria dari infeksi luka infeksi ini yaitu ditemukan discharge purulen disekitar
luka atau insisi dari drain atau sellulitis yang meluas dari luka. Infeksi biasanya didapat
ketika operasi baik secara exogen ( dari udara, dari alat kesehatan, dokter bedah dan petugas
petugas lainnya ), maupun endogen dari mikroorganisme pada kulit yang diinsisi. Infeksi
mikroorganisme bervariasi, tergantung tipe dan lokasi dari operasi dan antimikroba yang
(1,8,13)
diterima pasien. 3. Pneumonia nosokomial ( VAP )

Yang paling penting adalah penggunaan ventilator pada pasien di ICU., dimana prevalensi
terjadinya pneumonia sebesar 3% perhari. Merupakan angka kejadian fatal yang tinggi,
yang dihubungkan dengan Ventilator associated Pneumonia. Mikroorganisme
berkolonisasi di saluran pernafasan bagian atas dan bronchus dan menyebabkan infeksi
pada paru ( pneumonia ). Sering merupakan endogen, tetapi dapat juga secara exogen.
Diagnosa pneumonia berdasarkan gejala klinis dan radiologi, sputum purulen serta
timbulnya demam. Diketahui sekarang bahwa yang merupakan faktor resiko adalah tipe
dan lamanya penggunaan ventilator, beratnya kondisi pasien atau ada atau tidaknya
penggunaan antibiotik sebelumnya.

Tipe infeksi nosokomial ini merupakan proporsi kecil dari infeksi nosokomial (sekitar 5
%), tetapi angka kejadian fatal nya tinggi, lebih dari 50% untuk beberapa organisme.
Misalnya Staphylococcus Coagulase – Negative dan Candida spp. Infeksi mungkin
kelihatan pada tempat masuknya alat intravaskular atau pada subkutaneus dari pemasangan
kateter. Organisme berkolonisasi dikateter didalam pembuluh darah dapat menghasilkan
bakteremia tanpa adanya tanda-tanda infeksi dari luar. Flora normal yang sementara atau
tetap pada kulit merupakan sumber infeksi. Faktor resiko yang utama dalam mempangaruhi
infeksi nosokomial ini adalah lamanya kateterisasi, level aseptik dan pemeliharaan yang
(1,8,13)
kontiniu dari kateter. 5. Infeksi nosokomial lainnya.

Merupakan infeksi nosokomial yang ke empat tersering.

Sebagai contoh, misalnya : 4. Bakteremia nosokomial ( BSI ) (1,8, 13)

• Infeksi pada kulit dan jaringan lunak, misalnya luka terbuka ( luka bakar dan luka akibat
berbaring lama ).

• Gastroenteritis merupakan infeksi nosokomial tersering pada anak anak, dimana penyebabnya
terbanyak adalah rotavirus. Untuk penyebab tersering gastroenteritis pada orang dewasa adalah
Clostridium difficile, sering terdapat pada negara berkembang. • Sinusitis dan infeksi saluran
cerna lainnya, infeksi pada mata dan konjungtiva. (1) • Endometritis dan infeksi lainnya dari
organ reproduksi setelah melahirkan. Bakteri dapat menyebabkan infeksi nosokomial dengan
beberapa cara:

Bakteri yang merupakan flora normal dapat menyebabkan infeksi oleh karena adanya
perpindahan dari habitat alami ke luar, misalnya pindah kesaluran kemih, atau adanya
kerusakan jaringan (luka), atau tidak adekuat pemberian antibiotik sehingga diikuti
adanya pertumbuhan kuman yang berlebihan (C. difficile, Yeast spp).

Bakteri dapat berpindah diantara pasien : 1. Flora tetap atau sementara pada pasien (
endogen ) 2. Flora dari pasien atau petugas rumah sakit ( exogen )

• Melalui kontak langsung diantara pasien ( tangan, air ludah atau cairan tubuh lainnya )

• Melalui udara (melalui ludah atau debu yang sudah terkontaminasi oleh bakteri pasien ). •
Melalui petugas yang terkontaminasi melalui perawatan pasien, misalnya handuk, pakaian,
hidung dan tenggorokan, yang kemudian menjadi carrier sementara atau permanen, yang
kemudian mentransmisikan bakteri kepasien lainnya melalui kontak langsung ketika merawat.
CDC memperkirakan sekitar 36% infeksi nosokomial infeksi dapat dicegah bila semua petugas
kesehatan diberikan pedoman khusus dalam pengkontrolan infeksi ketika merawat pasien. •
Melalui objek –objek yang terkontaminasi oleh pasien, termasuk peralatan, tangan petugas,
tamu atau sumber linkungan lain, misalnya air, cairan lainnya, makanan. 3. Flora yang berasal
dari lingkungan kesehatan. Beberapa tipe organisme dapat bertahan dengan baik pada
lingkungan rumah sakit, misalnya didalam air, area yang lembab, dan kadang – kadang pada
produk yang steril atau desinfektan, misalnya Pseudomonas, Acinobacter, mycobacterium.
(1,2,8,13,14)

Faktor faktor yang mempengaruhi berkembangnya infeksi nosokomial :

Sebelum diperkenalkan pelatihan dasar mengenai kebersihan dan pemberian


antimikroba, hampir semua infeksi dirumah sakit berasal dari sumber luar yang patogen
(misalnya penyakit yang ditularkan melalui makanan atau udara, gangren, tetanus atau
yang lainnya), atau disebabkan oleh mikroorganisme yang bukan flora normal dari
pasien (misalnya tuberculosis). Perkembangan terapi antibiotik sebagai terapi infeksi
bakteri digunakan untuk menurunkan angka kematian dari berbagai penyakit infeksi.
Hampir semua infeksi yang didapatkan dirumah sakit disebabkan oleh mikroorganisme
yang umumnya sering terdapat pada populasi umum, misalnya pada pasien – pasien
dirumah sakit (misalnya S. aureus, Staphylococcus Coagulase Negative, Enterococci,
Enterobacteriaceae).

Faktor – faktor yang berpengaruh pada keadaan ini adalah umur, status imun, penyakit yang
mendasarinya, serta intervensi dari terapi. Pasien yang mengalami penyait kronik seperti tumor
ganas, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, atau AIDS, mempunyai kerentanan yang
meningkat terhadap infeksi opurtunistik. • Antimikroba • Kerentanan pasien

• Faktor lingkungan Pasien dengan infeksi atau dengan carrier mikroorganisme


patogenik merupakan sumber potensial infeksi terhadap pasien atau pekerja dirumah
sakit. Adanya kondisi seperti ini di dalam rumah sakit, sering mengakibatkan transmisi
bakteri dari satu unit ke unit lainnya. Mikrobial mungkin mengkontaminasi alat alat,
bahan bahan yang kemudian kontak terhadap pasien .

• Resistensi bakteri

Banyak pasien yang menerima terapi antimikroba. Melalui seleksi dan adanya perubahan
elemen resistensi genetik, antibiotik menjadi emergensi dimana banyak strain bakteri yang
resisten terhadap berbagai antimikroba. Resistensi strain bakteri menjadi menetap dan dapat
berkembang menjadi endemik di rumah sakit. Banyak strain Pneumococci, Staphylococci,
Enterococci dan tuberculosis resisten terhadap hampir semua antimikroba yang sebelumnya
(1,2,8,14)
efektif digunakan sebagai terapi.

2.3 Mikroorganisme yang sering Ditemukan dalam Hidung.

Mikroorganisme Rentangan Insidens (%) S. aureus 20-85 S. epidermis 90


Corynebacterium aerobic 50 - 80 Strept. Pneumonia 0 - 17 Strept. Pyogenes 0,1 - 10
Haemofilus influenza 12 Neisseria meningitidis 0 – 10

Staphylococcus epidermidis

S. epidermidis merupakan flora normal yang tersering didapat dikulit dan hidung. Apabila
terdapat hasil S. epidermidis dari kultur darah, biasanya merupakan kontaminasi dari kulit.
Walaupun virulensinya rendah, S.epidermidis sering merupakan penyebab dari pemasangan
katub jantung dan kateter, infeksi saluran kemih, infeksi luka bedah, infeksi dari pemasangan
alat – alat prostetik, infeksi shunt cerebrospinal fluid, infeksi yang berhubungan dengan dialisis
peritoneal dan infeksi opthalmik. Resistensi obat – obatan terhadap S. epidermidis lebih sering
terjadi dibandingkan dengan S. aureus. Vancomycin masih sensitif terhadap S. epidermidis,
tetapi adanya resistensi terhadap isolate pernah dilaporkan.

Staphylococcus aureus

S. aureus merupakan carrier pada individual yang sehat sekitar 22%, carrieg terjadi pada
hampir semua bagian kulit, ditemukan juga pada permukaan mukosa pada anterior nares , juga
terdapat pada mukosa vagina. Perpindahan dapat terjadi melalui kontak langsung, misalnya
pada pegangan pintu, dimana pada putarannya menjadi sumber infeksi, atau dalam makanan,
sehingga dapat menyebabkan keracunan makanan. Dalam keadaan- keadaan tertentu, S. aureus
dapat menyebabkan berbagai proses, mulai dari infeksi kulit yang ringan sampai penyakit
sistemik yang dapat mengancam nyawa. Mulai dari folliculitis, impetigo, furuncel dan
carbuncel sampai ke Community – acquired Staphylococcus bronchopneumonia yang di
hubungkan oleh virus sebagai faktor predisposisi. Toxin yang diproduksi oleh Staphylococcus
aureus merupakan penyebab pada Staphylococcal scalded skin syndrome dan toxic shock
syndrome. Penicilline merupakan obat yang terpilih ( drug of choice ) untuk pengobatan infeksi
S. aureus. Kedaruratan resistensi terhadap penicillin disebabkan adanya “kemahiran” dari
elemen – elemen genetik plasmidborne yang mengkode produksi β – lactamase. Sekarang ini,
lebih dari 80% isolat S. aureus resisten terhadap penisilin oleh karena adanya enzim β –
lactamase hydrolitic atau penicillinase. MRSA mewakili tantangan yang sebenarnya dari
semua institusi kesehatan, dan pedoman- pedoman sudah di buat untuk mengatur dan
mengkontrol perluasan MRSA pada insttitusi kesehatan. Beberapa rumah sakit telah
mempunyai institusi untuk melakukan kultur nasal secara rutin terhadap petugas – petugas
kesehatan untuk mendeteksi adanya carrier MRSA serta memberikan terapi dengan tujuan
untuk menurunkan jumlah terpaparnya pasien, yang mana akan menurunkan percepatan infeksi
nosokomial dirumah sakit.

Corynebacterium diphtheriae

C. diphthteriae merupakan penyebab klasik dari penyakit diphtheriae. Infeksi ini masih terlihat
di negara berkembang. Infeksi ini dapat dicegah denga immunisasi yang meluas pada populasi
yang bersiko terhadap toxoid diphtheriae. Virulensi organisme ini sepenuhnya oleh karena
produksi toxin dari diphtheriae. Meskipun nasal swab bukan merupakan spesimen ideal untuk
sekret hidung, tetapi kadang – kadang hal ini dapat diterima. Bagaimanapun nasal swab
tidaklah merupakan hal yang rutin sebagai bahan kultur untuk mendapatkan Corynebacterium
diphtheriae. Terapi dari diphtheriae ini melibatkan antitoxin dari kuda untuk menetralkan toxin
agar tidak berikatan dengan sel target. Dilakukan terapi support seperti tracheostomy atau
intubasi pembersihan jalan nafas, dan memonitor fungsi jantung. Penisilline atau Erythromycin
dapat juga diberikan untuk mempercepat eradikasi organisme ini dari saluran pernafasan
pasien. Gabungan Rifampisin dan Erythromycin telah digunakan untuk eradikasi carriege dari
C. diphtheriae pada individu yang sudah terpapar. Pada hasil tes resistensi antimikroba
menunjukkan strain C. diphtheriae secara umum sensitif terhadap Penicilline, Ampicilline,
Cefuroxime, Erythromycin, Tetracycline, Ciprofloxacin, Gentamycine, Trimethoprim dan
Rifampisin.

Haemophilus influenzae

Haemophilus influenzae merupakan bagian flora normal pada oropharynx dan nasopharynx
pada orang dewasa. Diantara semua hemophili, H. Influenza serotype b dikatakan yang
dikatakan paling pahogenik. Pada era sebelum vaksin terhadap H. Influenza ada, organisme ini
paling sering menyebabkan meningitis bakcterial pada anak antara 1 bulan sampai 2 tahun.
Lebih dari 90% isolate yang diambil dari semua kasus mempunyai kapsul serotype b. Adanya
kolonisasi di nosopharinx pada pasien yang rentan dapat membuat H. Influenza masuk ke aliran
darah, dan kemudian menuju meningens. Penyakit lainnya yang sering dihubungkan dengan
H. Influenza adalah epiglottitis, otitis media, sinusitis, pneumonia, bakteremia, endocarditis,
infeksi pada perinatal, maternal, serta pada urogenital. Spesimen diambil dari CSF, sputum,
dan berbagai cairan tubuh lainnya. Tidak ada fakta yang jelas tentang isolat H. Influenza yang
diambil dari swab hidung yang dapat mengarah kepada suatu infeksi. Pada tahun 1974,
beberapa strain dari H. influenza menjadi resiten terhadap Ampicilin oleh karena menghasilkan
enzim β lactamase yang dimediasi oleh plasmid. Pada semua penelitian, lebih dari 99 % strain
sensitif terhadaf Amoxicillin - clavulanat. H. Influenza resistant–chloramphenikol
menghasilkan enzim chloramphenicol acetyltransferase. Sekarang ini Cephalosporin generasi
ketiga direkomendasikan sebagai terapi terhadap infeksi berat dari H. Influenza, oleh karena
lebih unggul aktivitasnya pada mikroorganisme ini baik secara in vitro maupun in vivo.

Streptococcus pneumoniae

S. pneumoniae merupakan penyebab utama dari pneumonia bakterial acquired community.


Organisme ini dapat hidup di saluran nafas atas sampai 17 % pada orang dewasa. Hampir
semua infeksi serius dari S. pneumoniae terjadi pada anak – anak dibawah umur 3 tahun, dan
pada orang dewasa lebih dari 65 tahun. S. pneumoniae dapat menyebabkan bacteremia dan
sepsis pada anak – anak dan dewasa, pada anak, sekitar 25 % bacteremia dihubungkan dengan
otitis media Pneumococcal. S. pneumoniae juga merupakan penyebab paling sering dari
meningitis bactererial pada orang dewasa. S. pneumoniae jarang menjadi penyebab dari
endocarditis, pericarditis, osteomyelitis, peritonitis, , infeksi jaringan lunak, dan infeksi
neonatal. Disini pengambilan sample dari swab pada hidung juga tidak jelas faktanya sebagai
prediktor terjadinya infeksi yang disebabkan oleh S. pneumoniae. S. pneumonia merupakan
kedaruratan terhadap resistensi antimokroba, terutama penicilline. Banyak penelitian yang
diadakan CDC, menyatakan terjadinya penurunan sensitivitas terhadap penicilline sekitar 15
% - 35 %, tergantung dari wilayah geografi. Isolat S. pneumoniae juga menunjukkan penurunan
sensitivitas terhadap Cephalosporin dari semua generasi ketiga, dan terapi gagal terhadap
infeksi organisme ini pernah dilaporkan. Disamping Penicillin dan Cephalosporin,
Pneumococcal juga mengarah resistensi terhadap Macrolide, Sulfonamide dan Tetracycline.

2.4 Mekanisme Resistensi Terhadap Antimikroba


Mekanisme resistensi bakteri sangatlah komplek, bervariasi, dan belum sepenuhnya dapat
dimengerti. Gen untuk mekanisme resistensi bakteri, mungkin terletak di kromosom atau pada
elemen extrakromosom yang disebut plasmid. Plasmid adalah potongan – potongan dari DNA
yang bergerak secara bebas dari kromosom. Perbedaan yang menonjol adalah DNA kromosom
relatif stabil, sementara Plasmid DNA dengan gampangnya bergerak dari satu strain ke strain
yang lain, atau dari satu spesies ke spesies yang lain, bahkan dari satu genus ke genus yang
lain. Sebagai tambahan, gen resistensi bakteri pada plasmid mudah ditransferkan, sehingga
terjadi banyak organisme baru yang resisten terhadap mikroba.

Mekanisme yang paling sering terjadi pada transfer gen resisten yaitu dengan cara Conjugasi.
Faktor lainnya diperlukan dimana gen yang ditransfer bisa bergerak dari satu organisme ke
organisme lainnya. Diketahui terakhir ini, mekanisme transfer gen resisiten dengan Transposon
( Transposable genetik element ). Transposon bisa membawa plasmid. Yang lebih penting, bisa
membawa sepotong kromosom dari satu (6,15,16,17)

bakteri ke bakteri yang lain dengan cara Conjugasi (Conjugative transposon or jumping genetic
element). Hasilnya mungkin adanya mozaik dari material genetik dari bakteri donor ke bakteri
resepien. Transfer resistensi antimikroba melewati barier mayor, antara bakteri Gram positif
dan Gram negatif. Ini sangat penting, karena merupakan transfer horozontal dari resistensi
terhadap antimikroba untuk penyakit infeksi masa sekarang dan yang akan datang.

DiRS Universitas Uppsala, sweden, di departemen bedah thorak dan jantungvaskular,


peneliti mencari S. aureus dengan melakukan swab pada nasal pada petugas di bangsal, ICU
dan kamar operasi. Mereka mendapatkan 25, 8 % S. aureus terdapat pada petugas dibangsal,
(10)
19,3 % pada petugas di ICU, dan 15,6 % pada petugas di kamar operasi jantung.

Di pakistan, di Children Hospital Compleks, Multan, ditemukan bahwa ternyata 93,8


% spesimen swab pada nasal adalah staphylococci dengan perbandingan 48 % S. aureus dan
45, 7% Coagulase negative staphylococci. Didapatkan untuk S. aureus 100 % sensitif terhadap
Vancomycin, diikuti Cephalotin 92 %, Ciprofloxacin 90 % dan doxycyclin 81 %. Sedangkan
(11)
untuk Ampicillin 11 %, dan penicilline 3%.

Cesar Roberto Busato dkk, melakukan penelitian pada pekerja kesehatan diRS Santa
Casa de Misericordia de Ponta Grossa, membandingkan resistensi antimikrobial terhadap S.
aureus pada tahun 1996 dan tahun 1999, ternyata didapat antimikroba Ampicillin mengalami
peningkatan resistensi dari 90, 4 % menjadi 92, 2 %, Penicillin dari 95, 2% menjadi 97, 7 %,
Tetracycline dari 31, 7 % menjadi 33, 3 %, dan Ciprofloxacin dari 12, 7 % menjadi 17, 7 %.
Sedangkan Vancomycin resistensi hanya 0 %

Heinz G. Jakob dkk, mengadakan penelitian didepartemen bedah jantung, Universitas


Heidelberg, German. Mereka mendapatkan 376 pasien yang dioperasi pada departemen ini,
terdapat kolonisasi S. aureus pada hidung 106 pasien ( 23,2 % ). Kemudian mereka juga
mendapatkan dari 241 pekerja rumah sakit , 59 pekerja terdapat kolonisasi S. aureus. Dengan
perbandingan dokter 36 %, sedangkan perawat 22,4 %.
Mohammad Bagher Khalili dkk, menemukan dari 742 petugas kesehatan dari beberapa RS di
(20)
Yazd, Iran, 94 ( 12, 6% ) positif terhadap S. aureus dan 57 ( 7,6 %) untuk MRSA. (19)

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Dari isolasi dan identifikasi bakteri penyebab infeksi nosokomial terhadap
sampel urin pasien pengguna kateter yang dirawat inap di bangsal saraf RSUP
Dr. M. Djamil Padang, diperoleh lima jenis bakteri yaitu Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa dan
Klebsiella pneumonia.
2. Hasil uji resistensi bakteri terhadap antibiotik menunjukkan bahwa antibiotik
meropenem dan ceftazidim yang paling sensitif. Sedangkan yang paling resisten
terhadap antibiotik ceftriaxon.
5.2 Saran
Disarankan kepada peniliti selanjutnya untuk melakukan identifikasi bakteri
penyebab infeksi nosokomial pada pasien yang menggunakan kateter dalam waktu lama
yang dirawat inap pada bangsal lain, seperti pada bangsal bedah dan dengan jumlah
pasien yang lebih banyak lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Adysaputra, S. A., Rauf, A. M dan Bahar, B. (2009). Patterns and Prevalence of
Nosocomial Microbial Infection from Intensive Care Unit Patients, Wahidin
Sudirohusodo Hospital, Makassar. Makassar: Hasanuddin University Press. Indonesian
Journal Of Medical Science. Vol. 2, No. 2, P. 67-70.
Alvarado, C. J, (2000). The Science of Hand Hygiene: A Self Study Monograph.
University of Wisconsin Medical School and Sci-Health Communication. March.
Badaruddin, M. A. (2006). Nosocomial Infections In Public Sector Hospitals:
Urgent Need For Structured And Coherent Approach To The Problem. Islamabad: The
Journal of the Pakistan Medical Association. Vol. 31, No. 2, P. 81-86.
Bockemuhl, J. (1992). Enterobacteriaceae. In: F. Burkhardt. Mikrobiologische
Diagnostik. Stuttgart, New York: Thieme Verlag.
Brooks, G. F., J. S. Butel and S. A. Morse, Jawetz, Melnick And Adelberg’s.
(2005). Mikrobiologi Kedokteran 2 (Edisi I). Diterjemahkan oleh N. Widorini. Jakarta :
Salemba Medika.
Brown, A. (2001). Benson: Microbiological Applications Lab Manual. 8th Ed.
New York: The McGraw-Hill Companies.
Buchanan, R. E and N. E. Gibbons. (1974). Bergey’s Manual of Determinative
Bacteriology, 8th Ed, Baltimure: The Williams and Wilkins Company.
Burrows, W, (1959). Textbook of Microbiology. 17thEd. W. B. Saunders
Company: Philadelphia and London.
Clark, R., Powers, R. (2004). Nosocomial Infection in the NICU: A Medical
Complication or Unavoidable Problem?. Journal of Perinatology. Vol. 24, P. 382-388.
Cowan And Steel’s. (1993). Manual for Identification of Medical Bactery. 3rd Ed.
England: Cambridge University Press.
Darmadi. (2008). Infeksi Nosokomial:Problematika dan pengendaliannya.
Jakarta: Salemba Medika.
Duncan, F. (2005). MCB 1000L Applied Microbiology Laboratory Manual. 4th
Ed. New York: The McGraw-Hill Companies.
Dwidjoseputro. (1990). Dasar-dasar Mikrobiologi. Solo: Djambatan.
Guntur, A. (2007). The Role of Cefepime: Empirical Treatment in Critical
Illness. Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Vol. 20, No. 2.
Fuadi, A. (2005). Pengaruh Irigasi Kateter Uretra dengan Menggunakan NaCl
Fisiologis secara Terus Menerus terhadap Jmlah Kuman dalam Urin. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Fiel, S. (2001). Guidelines and critical pathways for severe hospital-acquired
pneumonia. Chest,119: 412S–418S.
Ganiswara, S. G., dkk, (1995). Farmakologi dan Terapan, Edisi ke-4, Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran UI: Jakarta.
Hardjoeno, H., Tenri, E., dan Nurhayana. (2007). Kumpulan Penyakit Infeksi
dan Tes Kultur Sensitifitas Kuman serta Upaya Pengendaliannya. Bagian Patologi
Klinik FK-UNHAS. Makassar.
Hart, T dan Shears, P. (1996). Atlas Berwarna Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:
Hipokrates.
Horan, T, C., Andrus, M., and Dudeck, M, A. (2008). CDC/NHSN Surveillance
Definition of Health Care-associated Infection and Criteria For Specific Types of
Infections In The Acute Care Setting. AJIC Major Articles. Vol. 36, No. 5, P. 309-332.
Husada, S., Sunaryo, H., Kuntanam, Widodo, J. P., dan Widjoseno, G. (2008).
Perbandingan dan Penyebaran Escherichia coli dan Klebsiella pneumonia penghasil
Extended Spectrum Beta-Laktamase pada Isolat urin Pasien Pria dengan Kateter dan
Tampa Kateter. JURI. Vol. 15, No. 1, P. 15-20.
Katzung, B. G. (1997). Basic and Clinical Pharmacology Ed VI, alih bahasa staf
dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran UNSRI, editor H Azwar Agoes, EGC: Jakarta.
Kowalski, J. W. (2007). Air-Treatment Systems for Controlling Hospital-
Acquired Infections. New York: Immune Building Systems Inc.
Kreig, N. P and J. G. Holt. (1984). Bergey Manual Systematic Bacteriology.
Williams and Winken: Baltimore.
Krumperman, P. H, (1996). Multiple Antibiotic Resistance Indexing Escherichia
coli to Identify Risk Source of Fecal Contamination of Food. Applied and
Environmental Microbiology, No.46, P. 165-170.
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Lynch, P et al, (1997). Infection Prevention with Limited resources. ETNA
Communications: Chicago.
Murray, P.R., Baron, E.J., Jorgensen, J., Pfaller, M., And Yolken, R. (2007).
Manual of Clinical Microbiology. 9th Ed. Washington DC: ASM Press.
Muslim, R. (2005). Pengaruh Irigasi Kateter Uretra dengan Menggunakan
NaCl Fisiologis Secara Terus Menerus terhadap Jumlah Kuman Dalam Urin. (Skripsi).
Semarang: Universitas Diponegoro.
Nichols, R. L, (2001). Preventing Surgical site Infections: A surgeon’s
Perspective. Emerg Infect Dis, Vol.7, No.2, P.220-224.
Parello, B. (2 Maret 2009). Subsystem: lactose utilization. Diakses 20 April
2011 dari http://www.nmpdr.org/FIG/wiki/view.cgi/Main/CompareSubsystems/
lactoseutilization.
Pelczar, M. J., and E. C. S. Chan. (1988). Dasar-dasar Mikrobiologi, Jilid II,
diterjemahkan oleh Ratna. S. H, UI-Press: Jakarta.
Prabhu, N., Sangeetha, M., Chinnaswamy, P and Joseph, PL. (2006). A Rapid
Method of Evaluating Microbial Load in Health Care Industry and Application of
Alcohol to Reduce Nosocomial Infection. Journal of the Academy of Hospital
Administration. Vol. 18, No. 1, P. 1-12.
Salle, A. J. (1961). Fundamental Principles of Bacteriology. 5thed. Mc Graw-
Hill Book Company Inc. New York.
Salyers, A. A. and D. D. Whitt. (1994). Bacterial Pathogenesis : A Molecular
Approach, ASM Press: Washington D.C.
Singleton, P and P. Sainsbury. (1981). Introduction to Bacteria, John Wiley &
Sons Ltd: New York.
Sonnenwirth, A. C. (1973). Data on Eterobacteriaceae from “Differentiation of
Enterobacteriaceae by Biochemical Tests”. Atlanta: USPHS Center for Disease Control.
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (1994). Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran, Edisi Revisi. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Steven, M. G. (2001). New Surgical Techniques and surgical Site Infections.
Diakses 24 Februari 2009 dari http://www.cdc.gov/ncidod/eid/vol7no2/gordon.html.
Tennant, I., Harding, H. (2005). Microbial Isolates from Patients in An Intensive
Care Unit, and Associated Risk Factors. West Indian Medical Journal. Vol. 54, No. 4.
Taher, T. M., Golestanpour, A. (2009). Symptomatic Nosocomial Urinary Tract
Infection in ICU Patients: Identification of Antimicrobial Resistance Pattern. Iranian
Journal of Clinical Infectious Disease. Vol. 4, P. 25-29.
Todar K. (2004). Pseudomonas aeruginosa. University of Wisconsin – Madison
Department of Bacteriology. Available from URL
http://www.textbookofbacteriology.net/pseudomonas.html.
Tullu, MS., Deshmukh, CT and Baveja, SM. (1998). Bacterial Profile and
Antimicrobial Susceptibility Pattern In Chateter Related Nosocomial Infections.
Mumbai: Journal of Postgraduate Medicine. Vol. 44, P. 7-13.
Utama, H.W. (2006). Infeksi Nosokomial. Dari
http://zmutclik.blogspot.com/2010/01/infeksi-nosokomial html.
Volk, A.W and Magaret, F.W (1993). Mikrobiologi Dasar (5th Ed),
diterjemahkan oleh Soenarto, Adi Soemarto, Penerbit Airlangga: Jakarta.
Wattimena, J. R, et al, (2000). Farmakologi dan Terapi Antibiotik, Gadjah Mada
University Press: San Diego.
Weinstein, D.L and Jackson M.P, (1988). Cloning and Sequencing of a Shigaliketoxinn
Type II Variant from E. Coli Strain Responsible for Edema Disease of Swin, J
Bacterial.
Weinsten, A. R. (1998). Nosocomial Infection Update. (Special Issue). Cook
County Hospital & Rush Medical College, Chicago, Illinois, USA. Vol. 4, No. 3, P.
416-420.
WHO. (2002). Prevention of Hospital-Acquired Infections. A Partical Guide 2nd
Ed. Department of Communicable Disease, Survellance and Response. USA.
INFEKSI NOSOKOMIAL

A. Pengertian Infeksi Nosokomial


Infeksi nosokomial atau infeksi yang diperoleh dari rumah sakit adalah infeksi yang
tidak diderita pasien saat masuk ke rumah sakit melainkan setelah ± 72 jam berada di tempat
tersebut (Karen Adams & Janet M. Corrigan, 2003). Infeksi ini terjadi bila toksin atau agen
penginfeksi menyebabkan infeksi lokal atau sistemik (Karen Adams & Janet M. Corrigan,
2003). Contoh penyebab terjadinya infeksi nosokomial adalah apabila dokter atau suster
merawat seorang pasien yang menderita infeksi karena mikroorganisme patogen tertentu
kemudian mikroorganisme dapat ditularkan ketika terjadi kontak (Steven Jonas, Raymond L.
Goldsteen, Karen Goldsteen, 2007).Selanjutnya, apabila suster atau dokter yang sama merawat
pasien lainnya, maka ada kemungkinan pasien lain dapat tertular infeksi dari pasien
sebelumnya
Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai
suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut
dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau
setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah
sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa
inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru
menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi
nosokomial (Harrison, 2001).
Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh.
Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam
tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection atau auto infection,
sementara infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari
rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien lainnya (Soeparman, 2001).
‘Infeksi nosokomial’ adalah infeksi yang terdapat dalam sarana kesehatan. Sebetulnya
rumah sakit memang sumber penyakit! Di negara maju pun, infeksi yang didapat dalam rumah
sakit terjadi dengan angka yang cukup tinggi. Misalnya, di AS, ada 20.000 kematian setiap
tahun akibat infeksi nosokomial. Di seluruh dunia, 10 persen pasien rawat inap di rumah sakit
mengalami infeksi yang baru selama dirawat – 1,4 juta infeksi setiap tahun. Di Indonesia,
penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada 2004 menunjukkan bahwa 9,8
persen pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat
Hal-hal yang berhubungan dengan infeksi nosokomial : (Panjaitan, B, 1989)
1. secara umum infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan penderita selama
dirawat dirumah sakit.
2. Infeksi nosokomial sukar diatasi karena sebagai penyebabnya adalah mikro organisme /
bakteri yang sudah resisten terhadap anti biotika.
3. Bila terjadi infeksi nosokomial, makaakan terjadi penderitaan yang berpanjangan serta
pemborosan waktu serta pengeluaran biaya yang bertambah tinggi kadangkadang kualitas
hidup penderita akan menurun.
4. Infeksi nosokomial disamping berbahaya bagi penderita, jugaberbahaya bagi lingkungan
baik selamadirawat dirumah sakit ataupun diluar rumah sakit setelah berobat jalan.
5. Dengan pengendalian infeksi nosokomial akan menghembat biaya dan waktu yang
terbuang.
6. Dinegara yang sudah maju masalah ini telah diangkat menjadi masalah nasional, sehingga
bila angka infeksi nosokomial disuatu rumah sakit tinggi, maka izin operasionalnya
dipertimbangkan untuk dicabut oleh instansi yang berwenang

B. Batasan-Batasan Infeksi Nosokomial.


Infeksi nosokomial disebut juga dengan “Hospital acquired infection” apabila memenuhi
batasan / criteria sebagai berikut:
1. Apabila padawaktu dirawat di RS, tidak dijumpai tanda-tanda klinik infeksi tersebut.
2. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalammasa inkubasi dari infeksi tersebut.
3. Tanda-tanda infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 3 x 24 jam sejak mulai
dirawat.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya.
5. Bila pada saat mulai dirawat di RS sudah ada tanda-tanda infeksi, tetapiterbukti bahwa
infeksi didapat penderita pada waktu perawatan sebelumnya dan belum pernah dilaporkan
sebagai indeksi nosokomial.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial.


Sesara umum factor yang mempengaruhi terjadinya nosokomial terdiri atas 2 bagian besar,
yaitu : (Roeshadi, D, 1991)
1. Faktor endogen (umur, seks, penyakit penyerta, daya tahan tubuh dan kondisikondisi
lokal)
2. Faktor eksogen (lama penderita dirawat,kelompok yang merawat, alat medis, serta
lingkungan)
Untuk mudahnya bagaimana seorang pasien mendapat infeksi nosokomial selama
dirawat di RS dapat diringkas sebagai berikut :
1. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui dirinya sendiri (auto infeksi)
2. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui petugas yang merwat di RS
3. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui pasien-pasien yang dirawat ditempat /
ruangan yang samadi RS tersebut.
4. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui keluarga pasien yang bekunjung kerumah
sakit tersebut.
5. Pasien mendapat infeksi niosokomial melalui peralatan yang dipakai dirumah sakit
tersebut.
6. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui peralatan makanan yang disediakan rumah
sakit ataupun yang didapatnya dari luar rumah sakit.
7. Disamping ke-6 cara-cara terjadinya infeksi nosokomial seperti yang dinyatakan diatas,
maka faktor lingkungan tidak kalah penting sebagai factor penunjang untuk terjadinya infeksi
nosokomial, faktor lingkungan tersebut adalah
o Air
o Bahan yang harus di buang ( Disposial)
o Udara

D. Penyebab Infeksi Nosokomial


1. Agen infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia rawat di rumah sakit. Kontak
antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis
karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial.
Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada:
· karakteristik mikroorganisme,
· resistensi terhadap zat-zat antibiotika,
· tingkat virulensi,
· dan banyaknya materi infeksius.
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi
nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain
(cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous
infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor
eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau
bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan
disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya
tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal, (Ducel, 2001).
2. Bakteri
Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat. Keberadaan
bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri patogen. Tetapi
pada beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi
yang rendah terhadap mikroorganisme. Contohnya Escherichia coli paling banyak dijumpai
sebagai penyebab infeksi saluran kemih. Bakteri patogen lebih berbahaya dan menyebabkan
infeksi baik secara sporadik maupun endemik. Contohnya :
· Anaerobik Gram-positif, Clostridium yang dapat menyebabkan gangrene
· Bakteri gram-positif: Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di kulit dan hidung
dapat menyebabkan gangguan pada paru, pulang, jantung dan infeksi pembuluh darah serta
seringkali telah resisten terhadap antibiotika.
· Bakteri gram negatif: Enterobacteriacae, contohnya Escherichia coli, Proteus,
Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas sering sekali ditemukan di air dan penampungan air
yang menyebabkan infeksi di saluran pencernaan dan pasien yang dirawat. Bakteri gram
negatif ini bertanggung jawab sekitar setengah dari semua infeksi di rumah sakit.
· Serratia marcescens, dapat menyebabkan infeksi serius pada luka bekas jahitan, paru,
dan peritoneum.
3. Virus
Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai macam virus, termasuk
virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfusi, dialisis, suntikan dan endoskopi.
Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan enteroviruses yang ditularkan dari kontak
tangan ke mulut atau melalui rute faecal-oral. Hepatitis dan HIV ditularkan melalui pemakaian
jarum suntik, dan transfusi darah. Rute penularan untuk virus sama seperti mikroorganisme
lainnya. Infeksi gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius, penyakit kulit dan dari darah.
Virus lain yang sering menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, Ebola,
influenza virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster virus, juga dapat ditularkan (Wenzel,
2002)
4. Parasit dan jamur
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan mudah ke orang dewasa
maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama pemberian obat antibiotika
bakteri dan obat immunosupresan, contohnya infeksi dari Candida albicans, Aspergillus spp,
Cryptococcus neoformans, Cryptosporidium.
5. Faktor alat
Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial tertama disebabkan infeksi dari kateter urin,
infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia.
Pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti. Diruang penyakit dalam,
diperkirakan 20-25% pasien memerlukan terapi infus. Komplikasi kanulasi intravena ini dapat
berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi.

E. Proses Penularan Infeksi Nosokomial


1. Langsung
antara pasien dan personel yang merawat atau menjaga pasien
2. Tidak langsung
- obyek tidak bersemangat atau kondisi lemah
- lingkungan menjadi kontaminasi dan tidak didesinfeksi atau sterilkan (Sebagai contoh
perawatan luka pasca operasi)
- penularan cara droplet infection di mana kuman dapat mencapai ke udara (air borne)
- Penularan melalui vektor, yaitu penularan melalui hewan atau serangga yang membawa
kuman

Selain itu penularan infeksi nosokomial yaitu


1. Penularan secara kontak
Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak langsung dan droplet. Kontak
langsung terjadi bila sumber infeksi berhubungan langsung dengan penjamu, misalnya person
to person pada penularan infeksi virus hepatitis A secara fecal oral. Kontak tidak langsung
terjadi apabila penularan membutuhkan objek perantara (biasanya benda mati). Hal ini terjadi
karena benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh infeksi, misalnya kontaminasi peralatan
medis oleh mikroorganisme.
2. Penularan melalui Common Vehicle
Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman dan dapat
menyebabkan penyakit pada lebih dari satu penjamu. Adapun jenis-jenis common
vehicleadalah darah/produk darah, cairan intra vena, obat-obatan dan sebagainya.
3. Penularan melalui udara dan inhalasi
Penularan ini terjadi bila mikroorganisme mempunyai ukuran yang sangat kecil sehingga dapat
mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh dan melalui saluran pernafasan. Misalnya
mikroorganisme yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas (staphylococcus) dan
tuberculosis.
4. Penularan dengan perantara vektor
Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut penularan secara
eksternal bila hanya terjadi pemindahan secara mekanis dari mikroorganisme yang menempel
pada tubuh vector misalnya shigella dan salmonella oleh lalat.
Penularan secara internal bila mikroorganisme masuk ke dalam tubuh vektor dan dapat terjadi
perubahan secara biologis, misalnya parasit malaria dalam nyamuk atau tidak mengalami
perubahan biologis, misalnya yersenia pestis pada ginjal (flea).

INFEKSI NOSOKOMIAL
INFEKSI NOSOKOMIAL

F. Tanda dan gejala Infeksi


§ Demam
§ bernapas cepat,
§ kebingungan mental,
§ tekanan darah rendah,
§ urine output menurun,
§ pasien dengan urinary tract infection mungkin ada rasa sakit ketika kencing dan darah dalam
air seni
§ sel darah putih tinggi
§ radang paru-paru mungkin termasuk kesulitan bernapas dan ketidakmampuan untuk batuk.
§ infeksi : pembengkakan, kemerahan, dan kesakitan pada kulit atau luka di sekitar bedah atau
luka
G. Dampak Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial memberikan dampak sebagai berikut :
1. Menyebabkan cacat fungsional, stress emosional dan dapat menyebabkan cacat yang
permanen serta kematian.
2. Dampak tertinggi pada negara berkembang dengan prevalensi HIV/AIDS yang tinggi.
3. Meningkatkan biaya kesehatan diberbagai negara yang tidak mampu dengan
meningkatkan lama perawatan di rumah sakit, pengobatan dengan obat-obat mahal dan
penggunaan pelayanan lainnya, serta tuntutan hukum.

H. Pencegahan Terjadinya Infeksi Nosokomial


Pembersihan yang rutin sangat penting untuk meyakinkan bahwa rumah sakit sangat
bersih dan benar-benar bersih dari debu, minyak dan kotoran. Perlu diingat bahwa sekitar 90
persen dari kotoran yang terlihat pasti mengandung kuman. Harus ada waktu yang teratur untuk
membersihkan dinding, lantai, tempat tidur, pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat
medis yang telah dipakai berkali-kali.
Pengaturan udara yang baik sukar dilakukan di banyak fasilitas kesehatan. Usahakan
adanya pemakaian penyaring udara, terutama bagi penderita dengan status imun yang rendah
atau bagi penderita yang dapat menyebarkan penyakit melalui udara. Kamar dengan
pengaturan udara yang baik akan lebih banyak menurunkan resiko terjadinya penularan
tuberkulosis. Selain itu, rumah sakit harus membangun suatu fasilitas penyaring air dan
menjaga kebersihan pemrosesan serta filternya untuk mencegahan terjadinya pertumbuhan
bakteri. Sterilisasi air pada rumah sakit dengan prasarana yang terbatas dapat menggunakan
panas matahari.
Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama pada unit perawatan pasien diare untuk
mencegah terjadinya infeksi antar pasien. Permukaan toilet harus selalu bersih dan diberi
disinfektan. Disinfektan akan membunuh kuman dan mencegah penularan antar pasien.
Disinfeksi yang dipakai adalah:
o Mempunyai kriteria membunuh kuman
o Mempunyai efek sebagai detergen
o Mempunyai efek terhadap banyak bakteri, dapat melarutkan minyak dan protein.
o Tidak sulit digunakan
o Tidak mudah menguap
o Bukan bahan yang mengandung zat yang berbahaya baik untuk petugas maupun pasien
o Efektif
o Tidak berbau, atau tidak berbau tak enak

1. Perbaiki Ketahanan Tubuh


Di dalam tubuh manusia, selain ada bakteri yang patogen oportunis, ada pula bakteri yang
secara mutualistik yang ikut membantu dalam proses fisiologis tubuh, dan membantu
ketahanan tubuh melawan invasi jasad renik patogen serta menjaga keseimbangan di antara
populasi jasad renik komensal pada umumnya, misalnya seperti apa yang terjadi di dalam
saluran cerna manusia. Pengetahuan tentang mekanisme ketahanan tubuh orang sehat yang
dapat mengendalikan jasad renik oportunis perlu diidentifikasi secara tuntas, sehingga dapat
dipakai dalam mempertahankan ketahanan tubuh tersebut pada penderita penyakit berat.
Dengan demikian bahaya infeksi dengan bakteri oportunis pada penderita penyakit berat dapat
diatasi tanpa harus menggunakan antibiotika.
2. Ruangan Isolasi
Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah dengan membuat suatu pemisahan
pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan terutama untuk penyakit yang penularannya melalui
udara, contohnya tuberkulosis, dan SARS, yang mengakibatkan kontaminasi berat. Penularan
yang melibatkan virus, contohnya DHF dan HIV. Biasanya, pasien yang mempunyai resistensi
rendah eperti leukimia dan pengguna obat immunosupresan juga perlu diisolasi agar terhindar
dari infeksi. Tetapi menjaga kebersihan tangan dan makanan, peralatan kesehatan di dalam
ruang isolasi juga sangat penting. Ruang isolasi ini harus selalu tertutup dengan ventilasi udara
selalu menuju keluar. Sebaiknya satu pasien berada dalam satu ruang isolasi, tetapi bila sedang
terjadi kejadian luar biasa dan penderita melebihi kapasitas, beberapa pasien dalam satu
ruangan tidaklah apa-apa selama mereka menderita penyakit yang sama.

Pencegahan Infeksi nosokomial yaitu dengan:


1. Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan cara mencuci tangan dan
penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan disinfektan.
2. Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
3. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup,
dan vaksinasi.
4. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasi
5. Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya.
Selain itu Pencegahan Infeksi nosokomial juga dengan menggunakan Standar kewaspadaan
terhadap infeksi, antara lain :
1. Cuci Tangan
o Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan bahan terkontaminasi.
o Segera setelah melepas sarung tangan.
o Di antara sentuhan dengan pasien.
2. Sarung Tangan
o Bila kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, dan bahan yang terkontaminasi.
o Bila kontak dengan selaput lendir dan kulit terluka.
3. Masker, Kaca Mata, Masker Muka
Mengantisipasi bila terkena, melindungi selaput lendir mata, hidung, dan mulut saat kontak
dengan darah dan cairan tubuh.

4. Baju Pelindung
o Lindungi kulit dari kontak dengan darah dan cairan tubuh
o Cegah pakaian tercemar selama tindakan klinik yang dapat berkontak langsung dengan
darah atau cairan tubuh
5. Kain
o Tangani kain tercemar, cegah dari sentuhan kulit/selaput lendir
o Jangan melakukan prabilas kain yang tercemar di area perawatan pasien
6. Peralatan Perawatan Pasien
o Tangani peralatan yang tercemar dengan baik untuk mencegah kontak langsung dengan
kulit atau selaput lendir dan mencegah kontaminasi pada pakaian dan lingkungan
o Cuci peralatan bekas pakai sebelum digunakan kembali
7. Pembersihan Lingkungan
Perawatan rutin, pembersihan dan desinfeksi peralatan dan perlengkapan dalam ruang
perawatan pasien
8. Instrumen Tajam
o Hindari memasang kembali penutup jarum bekas
o Hindari melepas jarum bekas dari semprit habis pakai
o Hindari membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum bekas dengan tangan
o Masukkan instrument tajam ke dalam tempat yang tidak tembus tusukan
9. Resusitasi Pasien
Usahakan gunakan kantong resusitasi atau alat ventilasi yang lain untuk menghindari kontak
langsung mulut dalam resusitasi mulut ke mulut
10. Penempatan Pasien
Tempatkan pasien yang mengontaminasi lingkungan dalam ruang pribadi / isolasi

INFEKSI NOSOKOMIAL

INFEKSI NOSOKOMIAL

I. Program Pengendalian Infeksi Nosokomial Di RS


Dalam mengendalikan infeksi nosokomial di rumah sakit, ada tiga hal yang perlu ada dalam
program pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit, antara lain:
1. Adanya Sistem Surveilan Yang Mantap
Surveilan suatu penyakit adalah tindakan pengamatan yang sistematik dan dilakukan terus
menerus terhadap penyakit tersebut yang terjadi pada suatu populasi tertentu dengan tujuan
untuk dapat melakukan pencegahan dan pengendalian. Jadi tujuan dari surveilan adalah untuk
menurunkan risiko terjadinya infeksi nosokomial. Perlu ditegaskan di sini bahwa keberhasilan
pengendalian infeksi nosokomial bukanlah ditentukan oleh canggihnya per-alatan yang ada,
tetapi ditentukan oleh kesempurnaan perilaku petugas dalam melaksanakan perawatan
penderita secara benar (the proper nursing care). Dalam pelaksanaan surveilan ini, perawat
sebagai petugas lapangan di garis paling depan, mempunyai peran yang sangat menentukan,
2. Adanya Peraturan Yang Jelas Dan Tegas Serta Dapat Dilaksanakan, Dengan Tujuan
Untuk Mengurangi Risiko Terjadinya Infeksi
Adanya peraturan yang jelas dan tegas serta dapat dilaksanakan, merupakan hal yang sangat
penting adanya. Peraturan-peraturan ini merupakan standar yang harus dijalankan setelah
dimengerti semua petugas; standar ini meliputi standar diagnosis (definisi kasus) ataupun
standar pelaksanaan tugas. Dalam pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini,
peran perawat besar sekali.
3. Adanya Program Pendidikan Yang Terus Menerus Bagi Semua Petugas Rumah Sakit
Dengan Tujuan Mengembalikan Sikap Mental Yang Benar Dalam Merawat Penderita
Keberhasilan program ini ditentukan oleh perilaku petugas dalam melaksanakan perawatan
yang sempurna kepada penderita. Perubahan perilaku inilah yang memerlukan proses belajar
dan mengajar yang terus menerus. Program pendidikan hendaknya tidak hanya ditekankan
pada aspek perawatan yang baik saja, tetapi kiranya juga aspek epidemiologi dari infeksi
nosokomial ini. Jadi jelaslah bahwa dalam seluruh lini program pengendalian infeksi
nosokomial, perawat mempunyai peran yang sangat menentukan. Sekali lagi ditekankan bahwa
pengendalian infeksi nosokomial bukanlah ditentukan oleh peralatan yang canggih (dengan
harga yang mahal) ataupun dengan pemakaian antibiotika yang berlebihan (mahal dan bahaya
resistensi), melainkan ditentukan oleh kesempurnaan setiap petugas dalam melaksanakan
perawatan yang benar untuk penderitanya.

J. Yang Harus Diperhatikan Keluarga dan Pengunjung dalam Pengendalian Infeksi


Nosokomial
1. Mengerti dan memahami peraturan dari Rumah sakit
§ Taatilah waktu berkunjung
§ Jangan terlalu lama menjenguk cukup 15-20 menit saja
§ Penunggu pasien cukup 1 orang
§ Jangan berkunjung jika anda sedang sakit
§ Jangan membawa anak dibawah usia 12 tahun
2. Menjaga kebersihan diri
§ lakukan cuci tangan sebelum dan setelah bertemu pasien
§ jangan menyentuh luka, perban, area tusukan infuse, atau alat-alat lain yang digunakan
untuk merawata pasien
§ bantulah pasien untuk menjaga kebersihan dirinya
3. Menjaga kebersihan lingkungan
§ Jangan menyimpan barang terlalu banyak di ruangan pasien
§ Jangan tidur di bed pasien
§ Jangan merokok diarea RS
K. Contoh Infeksi Nosokomial
1. Infeksi Luka Operasi (ILO)
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska operasi jika tidak
menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut
memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan suatu bagian anotomi tertentu
(contoh, organ atau ruang) pada tempat insisi yang dibuka atau dimanipulasi pada saat operasi
dengan setidaknya terdapat salah satu tanda :
o Keluar cairan purulen dari drain organ dalam
o Didapat isolasi bakteri dari organ dalam
o Ditemukan abses
o Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter.
o Pencegahan ILO harus dilakukan, karena jika tidak, akan mengakibakan semakin lamanya
rawat inap, peningkatan biaya pengobatan, terdapat resiko kecacatan dan kematian, dan dapat
mengakibatkan tuntutan pasien. Pencegahan itu sendiri harus dilakukan oleh pasien, dokter dan
timnya, perawat kamar operasi, perawat ruangan, dan oleh nosocomial infection control team.
2. Infeksi Saluran Kencing (ISK )
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah jenis infeksi yang sangat sering terjadi. ISK dapat terjadi
di saluran ginjal (ureter), kandung kemih (bladder), atau saluran kencing bagian luar (uretra).
Bakteri utama penyebab ISK adalah bakteri Escherichia coli (E. coli) yang banyak terdapat
pada tinja manusia dan biasa hidup di kolon. Wanita lebih rentan terkena ISK karena uretra
wanita lebih pendek daripada uretra pria sehingga bakteri ini lebih mudah menjangkaunya.
Infeksi juga dapat dipicu oleh batu di saluran kencing yang menahan koloni kuman.
Sebaliknya, ISK kronis juga dapat menimbulkan batu.
Mikroorganisme lain yang bernama Klamidia dan Mikoplasma juga dapat menyebabkan ISK
pada laki-laki maupun perempuan, tetapi cenderung hanya di uretra dan sistem reproduksi.
Berbeda dengan E coli, kedua bakteri itu dapat ditularkan secara seksual sehingga
penanganannya harus bersamaan pada suami dan istri.
Gejala
Penderita ISK mungkin mengeluhkan hal-hal berikut:
o Sakit pada saat atau setelah kencing
o Anyang-anyangan (ingin kencing, tetapi tidak ada atau sedikit air seni yang keluar)
o Warna air seni kental/pekat seperti air teh, kadang kemerahan bila ada darah
o Nyeri pada pinggang
o Demam atau menggigil, yang dapat menandakan infeksi telah mencapai ginjal (diiringi rasa
nyeri di sisi bawah belakang rusuk, mual atau muntah)
3. Bakterimia
Bakteremia adalah keadaan dimana terdapatnya bakteri yang mampu hidup dalam aliran darah
secara sementara, hilang timbul atau menetap. Bakteremia merupakan infeksi sistemik yang
berbahaya karena dapat berlanjut menjadi sepsis yang angka kematiannya cukup tinggi. Faktor
risiko terjadinya bakteremia pada orang dewasa antara lain lama perawatan di rumah sakit,
tingkat keparahan penyakit, komorbiditas, tindakan invasif, terapi antibiotika yang tidak tepat,
terapi imunosupresan, dan penggunaan steroid.
Gejala
Bakteremia yang bersifat sementara jarang menyebabkan gejala karena tubuh biasanya dapat
membasmi sejumlah kecil bakteri dengan segera. Jika telah terjadi sepsis, maka akan timbul
gejala-gejala berikut:
o Demam atau hipotermia (penurunan suhu tubuh)
o Hiperventilasi
o Menggigil
o Kulit teraba hangat
o Ruam kulit
o Takikardi (peningkatan denyut jantung)
o Mengigau atau linglung
o Penurunan produksi air kemih.
4. Infeksi Saluran Napas (ISN)
Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran napas
atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi saluran napas atas meliputi rhinitis, sinusitis,
faringitis, laringitis, epiglotitis, tonsilitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran napas bawah
meliputi infeksi pada bronkhus, alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia.
Keadaan rumah sakit yang tidak baik dapat menimbulkan infeksi saluran napas atas maupun
bawah. Infeksi saluran napas atas bila tidak diatasi dengan baik dapat berkembang
menyebabkan infeksi saluran nafas bawah. Infeksi saluran nafas atas yang paling banyak terjadi
serta perlunya penanganan dengan baik karena dampak komplikasinya yang membahayakan
adalah otitis, sinusitis, dan faringitis.
INFEKSI NOSOKOMIAL
INFEKSI NOSOKOMIAL

L. Mencuci Tangan Yang Baik dan Benar


1. Definisi Cuci Tangan
Cuci tangan adalah proses membuang kotoran dan debu secara mekanik dari kulit
kedua belah tangan dengan memakai sabun dan air (Tietjen et al, 2004)
Cuci tangan adalah teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan
pengontrolan infeksi (Perry dan Potter, 2005).
Mencuci tangan merupakan suatu kegiatan membersihkan tangan dari berbagai kuman
penyakit. Tetapi banyak orang yang menyepelekan hal ini. Padahal dengan mencuci tangan
dapat terhindar dari berbagai penularan penyakit karena kita mengerjakan segala macam
pekerjaan menggunakan tangan kita sehingga sangat beresiko kuman masuk ke tubuh kita
melalui tangan ketika kita makan.
2. Tujuan cuci tangan
§ Mengangkat mikroorganisme yang ada di tangan
§ Mencegah infeksi silang (cross infection)
§ Menjaga kondisi steril
§ Melindungi diri dan pasien dari infeksi
§ Memberikan perasaan dsegar dan bersih
3. Langkah cuci tangan yang baik dan benar
§ Menggunakan Sabun dan Air ( 12 langkah)
1) Basuh tangan dengan air
2) Tuangkan sabun secukupnya
3) Ratakan dengan kedua telapak tangan
4) Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan dan sebaliknya
5) Gosok kedua telapak tangan dan sela-sela jari
6) Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci
7) Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan sebaliknya
8) Gosokkan dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di telapak tangan kiri dan
sebaliknya.
9) Gosok pergelangan tangan kiri dengan menggunakan tangan kanan dan lakukan
sebaliknya
10) Bilas kedua kedua tangan dengan air
11) Keringkan dengan tisu sekali pakai sampai benar-benar kering
12) Gunakan tisu tersebut untuk menutup keran
13) Tangan anda kini sudah bersih
§ Cuci Tangan Efektif ( 7 langkah)
1) Basahi atau croot kan sabun ke telapak usap dan gosok dengan lembut pada kedua telapak
tangan.
2) Gosok masing- masing pungung tangan secara bergantian.
3) Jari jemari saling masuk untuk membersihkan sela-sela jari.
4) Gosokan ujung jari (buku-buku)dengan mengatupkan jari tangan kanan terus gosokan ke
telapak tangan kiri bergantian,
5) gosok dan putar ibu jari secara bergantian
6) gosokkan ujung kuku pada telapak tangan secara bergantian
7) terakhir, menggosok kedua pergelangan tangan dengan cara diputar dengan telapak
tangan bergantian
8) tangan anda kini telah bersih

DAFTAR PUSTAKA

Committee on Identifying Priority Areas for Quality Improvement, Karen Adams, Janet M.
Corrigan (2003). Priority Areas for National Action: Transforming Health Care Quality.
National Academies Press.
Steven Jonas, Raymond L. Goldsteen, Karen Goldsteen (2007). Introduction to the US health
care system. Springer Publishing Company.
Riana. Infeksi Nosokomial RumahSakit. Dimuat dalam http://riana-a-h-
fkm10.web.unair.ac.id/artikel_detail-41324-
ADMINISTRASI%20RUMAH%20SAKIT%20DAN%20PUSKESMAS-
Infeksi%20Nosokomial%20RumahSakit.html

Anda mungkin juga menyukai

  • Cover Dan Daftar Isi
    Cover Dan Daftar Isi
    Dokumen3 halaman
    Cover Dan Daftar Isi
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Abang Jelek
    Abang Jelek
    Dokumen1 halaman
    Abang Jelek
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Nosokomial
    Infeksi Nosokomial
    Dokumen25 halaman
    Infeksi Nosokomial
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen11 halaman
    Bab 2
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen4 halaman
    Bab 1
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Makala Escherichia-Coli
    Makala Escherichia-Coli
    Dokumen13 halaman
    Makala Escherichia-Coli
    Febri Riandi
    Belum ada peringkat
  • Journal Reading Radiology
    Journal Reading Radiology
    Dokumen22 halaman
    Journal Reading Radiology
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Tatalaksana Ileus Obstruktif Dan Resusitasi Cairan
    Tatalaksana Ileus Obstruktif Dan Resusitasi Cairan
    Dokumen9 halaman
    Tatalaksana Ileus Obstruktif Dan Resusitasi Cairan
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Dftar Isi
    Dftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Dftar Isi
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Translit Jurnal Radiologi
    Translit Jurnal Radiologi
    Dokumen4 halaman
    Translit Jurnal Radiologi
    nurulamini
    Belum ada peringkat
  • Case Fraktur
    Case Fraktur
    Dokumen14 halaman
    Case Fraktur
    rino agustian praja
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Hemoroid
    Laporan Kasus Hemoroid
    Dokumen22 halaman
    Laporan Kasus Hemoroid
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka New
    Daftar Pustaka New
    Dokumen3 halaman
    Daftar Pustaka New
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Didik
    Didik
    Dokumen13 halaman
    Didik
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Leaflettb PERMANA
    Leaflettb PERMANA
    Dokumen2 halaman
    Leaflettb PERMANA
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Referat Apendiks
    Referat Apendiks
    Dokumen17 halaman
    Referat Apendiks
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Tugas Resusitasi Cairan
    Tugas Resusitasi Cairan
    Dokumen9 halaman
    Tugas Resusitasi Cairan
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Identifikasi
    Identifikasi
    Dokumen46 halaman
    Identifikasi
    EnricoFermihutagalung
    100% (1)
  • Kista Ovarium
    Kista Ovarium
    Dokumen40 halaman
    Kista Ovarium
    Choirul Wiza
    50% (2)
  • Visum Et Repertum
    Visum Et Repertum
    Dokumen5 halaman
    Visum Et Repertum
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Tinjauan Pustaka
    Tinjauan Pustaka
    Dokumen9 halaman
    Tinjauan Pustaka
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Fix
    Bab 1 Fix
    Dokumen13 halaman
    Bab 1 Fix
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Copian Abstrak
    Copian Abstrak
    Dokumen3 halaman
    Copian Abstrak
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen2 halaman
    Bab 3
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Cover Dan Daftar Isi
    Cover Dan Daftar Isi
    Dokumen3 halaman
    Cover Dan Daftar Isi
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Bab 4 Fix
    Bab 4 Fix
    Dokumen2 halaman
    Bab 4 Fix
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 2 Dapus
    Bab 1 2 Dapus
    Dokumen34 halaman
    Bab 1 2 Dapus
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Bab 4
    Bab 4
    Dokumen1 halaman
    Bab 4
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen5 halaman
    Bab 1
    EnricoFermihutagalung
    Belum ada peringkat