Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Fistula merupakan suatu celah abnormal yang menghubungkan antara dua


permukaan epittel. Fistula enterokutan (enterocutaneous fistulas;ECF), merupakan
celah abnormal antara usus dan kulit. ECF dapat berasal dari duodenum, jejunum, ileum,
kolon, atau rektum. Fistula enterikutan memiliki komplikasi klinis yang berat serta
menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Keluhan yang paling umum dari fistula enterikutan adalah distensi abdomen dan
nyeri tekan, demam, dan proses penyembuhan luka yang lebih lama. Keadaan ini
disebabkan oleh berbagai faktor pra operasi yang dapat meningkatkan kemungkinan
terbentuknya fistula seperti malnutrisi, infeksi, dan dilakukannya prosedur darurat.
Fistula spontan paling sering terjadi pada inflammatory bowel disease, keganasan, atau
radiasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi
Fistula enterokutan (ECF) dapat terjadi sebagai komplikasi pembedahan pada
saluran cerna dimana lebih dari 75% merupakan komplikasi pasca operasi, sedangkan
sekitar 15-25% disebabkan oleh trauma abdomen atau terjadi secara spontan yang
berkaitan dengan kanker, radiasi, inflammatory bowel disease (IBD), atau disebabkan
oleh suatu keadaan iskemik atau infektif. Etiologi ECF dapat dikelompokkan menjadi
postoperatif, traumatis, atau spontan.

a. Postoperatif
Penyebab ECF postoperatif meliputi:
 Gangguan pada anastomosis
 Inadvertent enterotomy, terutama pada pasien dengan adhesi.
 Inadvertent small-bowel injury, yang biasa terjadi ketika dilakukan
penutupan rongga abdomen

Gangguan anastomosis dapat disebabkan oleh aliran darah yang tidak adekuat
karena pengelolaan vaskular yang tidak tepat, terutama jika dilakukan ligasi arteri
mesenterika. Tension yang berlebihan ketika dilakukan reseksi kolon, mobilitias usus
yang kurang baik, atau adanya infeksi dapat menyebabkan pembentukan abses
perianastomik, yang dapat menyebabkan kelainan ini. Selain itu, jika anastomosis
dilakukan pada usus yang tidak bagus juga dapat menyebabkan ECF.
Inadvertent small-bowel injury ketika dilakukan penutupan rongga abdomen
dapat menimbulkan fistula pada usus kecil. Hal ini terutama terjadi pada pasien yang
dilakukan open inlay mesh atau intraperitoneal onlay mesh repair secara laparoskopi.
Jika viscera bersentuhan dengan mesh tersebut, dapat menyebabkan adhesi dan juga
menyebabkan terjadinya gangguan.
b. Traumatis
Adanya ECF traumatis akibat trauma bedah iatrogenik biasanya jarang ditemukan.
Kecelakaan lalu lintas dengan trauma pada usus juga dapat menyebabkan terjadinya
ECF.

c. Spontan
ECF spontan dapat ditemukan pada sekitar 15-25% kasus, yang disebabkan oleh
hal-hal berikut:
• Keganasan
• Radiasi
• Sepsis intra-abdomen
• IBD (Crohn disease)

Ulcerative colitis (UC) juga dapat menyebabkan ECF spontan, namun kebanyakan
kasus merupakan sebagai komplikasi dari proctocolectomy restoratif.

2.2 Temuan klinis


Temuan sugestif dari ECF meliputi nyeri perut pasca operasi, nyeri tekan,
distensi, cairan usus dari drain, dan luka operasi yang membutuhkan waktu lebih lama
untuk sembuh. Takikardia dan pireksia juga dapat ditemukan, begitu juga dengan tanda-
tanda peritonitis lokal atau difus, seperti defasn muscular, rigiditas, dan nyeri lepas
Jenis ECF dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah cairan enteric yang keluar
melalui fistula tersebut. ECF biasanya dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:
 Low-output fistula (<200 mL/hari),
 Moderate-output fistula (200-500 mL/hari)
 High-output fistula (>500 mL/hari)

2.3 Komplikasi
Pasien dengan ECF dapat memiliki komplikasi terkait, seperti sepsis, imbalance
cairan dan elektrolit, serta malnutrisi. Keadaan seperti kontaminasi peritoneal ekstensif
atau peritonitis generalisata dapat menyebabkan terjadinya sepsis berat.
Kebocoran cairan enterik yang kaya akan protein, sepsis intra-abdomen, atau
ileus paralitik akibat imbalance elektrolit, menyebabkan berkurangnya asupan gizi
pasien, yang dapat mengakibatkan terjadinya malnutrisi. Hampir 70% pasien dengan
ECF dalam keadaan malnutrisi.
Sepsis, malnutrisi, dan imbalance elektrolit merupakan faktor utama penyebab
kematian pada pasien dengan ECF. Semakin besar output dari fistula tersebut akan
meningkatkan kemungkinan imbalance cairan dan elektrolit serta malnutrisi.

2.4 Pemeriksaan Laboratorium


Penelitian laboratorium berikut dilakukan dalam evaluasi fistula enterokutan (ECF):

 Jumlah leukosit; Hal ini penting karena sepsis dapat menyebabkan


leukositosis
 Kadar natirum, kalium, dan klorida; Kelainan elektrolit dapat terjadi akibat
kehilangan cairan dan elektrolit
 Pemeriksaan darah lengkap, protein total, albumin serum, dan globulin; Ini
dapat menunjukkan adanya anemia terkait gizi buruk/hipoalbuminemia
 Transferin serum; jika kadar transferrin rendah (<200 mg / dL), hal ini
merupakan prediktor penyembuhan luka yang buruk
 Protein C-reaktif serum; biasanya juga dapat meningkat

2.5 Imaging
a. Fistulografi
Ketika dilakukan fistulografi, kontras akan disuntikkan ke dalam fistel tersebut.
Gambar 1. Fistulografi

Fistulografi biasanya dilakukan 7-10 hari setelah timbulnya ECF dan


memberikan informasi berikut:
 Panjang saluran
 Gambaran adanya kelainan dinding usus
 Lokasi fistula
 Adanya sumbatan distal

b. Computed tomography
Computed tomography (CT) berguna dapat memperlihatkan rongga abses intra-
abdominal. Jika ECF berkaitan dengan sepsis intra-abdominal, abses interloop juga
dapat ditemukan.
c. Pemeriksaan lainnya
Selain pemeriksaan diatas, juga dapat dilakukan pemeriksaan sederhana per oral
yang dapat digunakan sebagai upaya mengkonfirmasi adanya ECF. Metilen blue yang
diencerkan dalam larutan garam dapat diberikan melalui tabung nasogastrik untuk
memastikan adanya ECF, terutama pada pasien dengan fistula duodenal-gastrokutan.
Namun, dikarenakan metilen blue dapat diencerkan oleh sekresi usus, perannya dalam
mengidentifikasi ECF distal menjadi terbatas.

2.6 Tatalaksana
Terapi konvensional ECF pada fase awal selalu konservatif. Terapi bedah
biasanya dilakukan setelah terapi konservatif gagal karena mayoritas ECF dapat
menutup secara spontan setelah mendapatkan terapi konservatif. Dilakukannya
intervensi bedah ketika ditemukan adanya sepsis dapat berbahaya bagi pasien. Akan
tetapi, ECF dengan faktor-faktor buruk, seperti fistula dengan output yang tinggi,
mungkin memerlukan intervensi bedah dini.

a. Terapi Konservatif
Tatalaksana awal fistula enterokutan berfokus pada koreksi imbalance cairan dan
elektrolit, drainase abses dan manajemen infeksi, koreksi malnutrisi, dan kontrol fistula
dan perawatan kulit . Sekitar sepertiga fistula enterokutan akan sembuh secara spontan
setelah lima sampai enam minggu mendapatkan terapi konservatif.
Lamanya penutupan fistula spontan bervariasi tergantung dari penyebab dan volume
fistula serta tergantung pada vaskularisasi organ. Obstruksi distal, terjadinya epitelisasi
fistel, infeksi, dan keganasan merupakan penghambat penutupan spontan.
Koreksi hipovolemia agresif harus dilakukan pada beberapa jam pertama
pengobatan. Pengukuran elektrolit dalam cairan fistula juga akan membantu untuk
menyusun rencana koreksi. Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang paling
umum. Kehilangan cairan akibat fistula keluarnya cairan enteric dalam jumlah yang
besar harus diganti dengan suplementasi isotonik sesuai dengan kadar elektrolit. Selain
itu fistula duodenum atau pankreas dapat memerlukan pemberian bikarbonat karena
dapat menyebabkan terjadinya asidosis metabolik.
Drainase biasanya dipasang pada dinding anterior abdomen. Namun, adanya abses
jauh di dalam panggul atau tertutup oleh organ lain dapat diakses dengan berbagai
pendekatan, termasuk transgastric, transrectal, transvaginal, dan transgluteal. Kateter
drainase biasanya dipasang hingga produksi drainase kurang dari 10 mL dalam 24 jam
yang dapat dicapai dalam waktu 30 hari. Fistulogram melalui kateter selama periode ini
dapat memberikan gambaran serta penilaian resolusi fistula. Intervensi bedah
diperlukan jika perbaikan tidak terjadi.

b. Pembedahan
Jika setelah lima atau enam minggu pasien tidak mencapai resolusi fistula
menggunakan manajemen konservatif, dapat dipertimbangkan untuk dilakukan
pembedahan. Tujuan pembedahan pada pasien dengan fistula enterokutan adalah untuk
membangun kembali kontinuitas usus dan penutupan abdomen secara sempurna.
Sebelum dilakukan tindakan operatif, pasien tersebut harus memiliki nutrisi yang
cukup, bebas dari infeksi, dan memiliki cakupan jaringan lunak yang baik. Penting
untuk memperhatikan bahwa secara teknis pasien layak untuk dilakukan prosedur ini
tanpa menimbulkan risiko cedera yang lebih tinggi pada usus atau struktur penting
lainnya.
Ketika dilakukan pembedahan, adanya adhesi dapat dilakukan insisi. Ketika
dilakukan tindakan pembedahan, sebaiknya dilakukan insisi baru, mengingat
kemungkinan adanya adhesi usus pada lokasi insisi sebelumnya. Perlekatan usus
tersebut dapat menjadi padat sehingga tindakan pembedahannya harus dilakukan
dengan lambat dan hati-hati. Setelah dilakukan reseksi usus, dilakukan pemasangan
gastrostomi tube dan feeding jejunostomy.
Tatalaksana pada fistula duodenal berbeda dari fistula enterik lainnya. Fistula
Duodenal disebabkan oleh dari sphincterotomies, perforasi ulkus duodenum, atau
gastrektomi. Mayoritas fistula duodenum dapat sembuh dengan manajemen
nonoperatif. Jika gagal dapat dilakukan gastrojejunostomi.
Selain memastikan bahwa pasien stabil dan bebas dari sumber sepsis sebelum
dilakukannya tindakan pembedahan, pasien harus diberikan profilaksis antibiotik dan
suplementasi nutrisi parenteral diberikan seperlunya selama periode pra operasi dan
perioperatif untuk mendapatkan hasil operasi yang baik. Sebaiknya terapi antibiotik
diberikan setelah adanya hasil sensitivitas kultur organisme.
Selanjutnya dilakukan penilaian rongga peritoneum, yang mana akan dilakukan
pembebasan usus dimulai dari ligamentum Treitz hingga rektum. Selanjutnya sumber
fistula dipisahkan dari struktur sekitarnya, dan dilakukan eksisi lengkap. Kontinuitas
usus dapat dikembalikan dengan dilakukannya anastomosis.
Jika ditemukan adanya abses atau adanya kematian usus, dapat dipasang drainase
abses atau reseksi usus tersebut. Jika pasien dalam kondisi yang terlalu buruk untuk
mentolerir prosedur reseksi, dapat dilakukan ileostomi atau kolostomi.

c. Perawatan pasca operasi


Pascaoperasi, status gizi pasien merupakan faktor yang sangat penting dalam
penyembuhan jaringan dan anastomosis. Pemberian antibiotik diperlukan untuk
mencegah terjadinya sepsis. Adanya sepsis dapat meningkatkan kemungkinan rusaknya
anastomosis serta gangguan penutupan dinding abdomen yang akan menyebabkan
terjadinya wound dehiscence. Selain itu keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan
salah satu faktor penentu prognosis pasien.
Fistula spontan memerlukan manajemen yang sesuai dengan etiologi penyebab
seperti pemberian infliximab pada penyakit Crohn selama masa follow up untuk
mencegah kekambuhan penyakit serta munculnya fistel berulang.

2.7 Prognosis
ECF merupakan kondisi umum yang banyak ditemukan di bangsal bedah umum.
Mortalitas keadaan ini telah berkurang secara signifikan akibat kemajuan perawatan
intensif, dukungan nutrisi, terapi antibiotik, perawatan luka, dan teknik operasi. Meski
begitu, mortalitas ECF masih tinggi berkisar antara 30-35%, terutama pada pasien
dengan ECF output tinggi.
Morbiditas terkait prosedur operasi atau penyakit primer akan mengalami
peningkatan, yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien, memperpanjang masa
rawatan, serta meningkatkan biaya perawatan secara keseluruhan. Malnutrisi, sepsis,
dan imbalance elektrolit merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan
ECF.
Jika sepsis tidak dapat dikontrol, dapat menimbulkan kemunduran progresif
yang akan menyebabkan septikemia. Komplikasi terkait sepsis lainnya meliputi abses
intra-abdomen, infeksi jaringan lunak, dan peritonitis generalisata.
Akan tetapi pasien yang mengalami penutupan spontan memiliki prognosis yang
baik dan serta mortalitas yang lebih rendah.

Anda mungkin juga menyukai