Anda di halaman 1dari 23

Presentasi Kasus dan Portofolio

DIFTERI

Oleh:
dr. Teguh Ridho Perkasa

Pendamping:
dr. Bambang Wahyu Nugroho

Wahana:
Puskesmas Prabumulih Barat

KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM KESEHATAN
BADAN PPSDM KESEHATAN
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi Kasus dan Portofolio

Judul

Difteri

Oleh:
dr. Teguh Ridho Perkasa

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat guna menyelesaikan
program internsip dokter Indonesia di wahana Puskesmas Prabumulih Barat periode
10 November 2017 – 9 Maret 2018.

Prabumulih, Februari 2018


Pendamping,

dr. Bambang Wahyu Nugroho

2
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah swt, karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus dan portofolio dengan judul
“Difteri”.
Di kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Bambang Wahyu Nugroho, selaku pembimbing yang telah
membantu dalam penyelesaian presentasi kasus dan portofolio ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat, perawat, bidan
dan semua pihak di Puskesmas Prabumulih Barat yang telah membantu dalam
menyelesaikan presentasi kasus dan portofolio ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan presentasi kasus dan portofolio ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat diharapkan. Demikianlah penulisan laporan ini,
semoga bermanfaat, Amin.

Prabumulih, Februari 2018

Penulis

3
PORTOFOLIO

Kasus-1

Topik : Difteri
Tanggal (Kasus) : 17 April 2017 Presenter : dr. Teguh Ridho Perkasa
Tanggal Presentasi: 23 Maret 2018 Pendamping : dr. Bambang Wahyu Nugroho
Tempat Presentasi : Puskesmas Prabumulih Barat
Objektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : Ny. AS, usia 23 tahun, datang berobat ke puskesma dengan keluhan nyeri
menelan, disertai demam, batuk pilek dan sesak nafas yang memberat sejak 3 hari yang
lalu.
Tujuan : Mengetahui gejala klinis, pencegahan dan tatalaksana difteri
Bahan Bahasan : Tinjauan Riset Kasus Audit
Pustaka
Cara membahas Diskusi Presentasi dan Diskusi Email Pos

Data Nama : Ny. AS Pekerjaan : Ibu rumah tangga No. Reg : -


Pasien: Alamat: Ds. gemulung Usia : 23 tahun
Agama: Islam Bangsa : Indonesia
Nama Puskesmas: Prabumulih Barat Telp : 0713320027 Terdaftar sejak :
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis:
Difteri / Pasien sebelumnya mengeluh sakit ketika menelan dan demam sejak 1 minggu
yang lalu, namun pasien belum berobat. Pasien sempat mengkonsumsi obat
parasetamol yang dibeli di warung.
Sejak ±3 hari yang lalu keluhan nyeri menelan, demam makin memberat disertai batuk
pilek dan sesak nafas. Lalu pasien berobat ke puskesmas.

4
2. Riwayat Pengobatan:
Pasien mengaku sempat mengkonsumsi parasetamol 3x sehari yang ia beli di warung.
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
Tidak ada riwayat penyakit dengan gejala serupa pada pasien sebelumnya.
Tidak ada riwayat penyakit lain pada pasien.
4. Riwayat Keluarga:
Tidak ada riwayat keluarga yang mengalami gejala serupa dengan pasien.
5. Riwayat Pekerjaan:
Pasien seorang ibu rumah tangga.
6. Riwayat Imunisasi
Orang tua pasien lupa mengenai status imunisasi anaknya, dan mengaku jarang
membawa anak ke posyandu atau puskesmas ketika masih bayi.

Daftar Pustaka:
Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Widoyono. 2005. Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan
Pemberantasannya.Erlanggga : Jakarta.
Iskandar,Nurbaiti,dkk. 2000. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 177-178.
CDC.DiphtheriaEpidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases.Edisi
12.2011, diakses dari http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.html
Buescher, E Stephen. 2007.Diphtheria in Nelson Textbook of Pediatrics 18th Chapter 186.
USA: Saunders
Anonim. 2010. Difteria pada Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Hal 312-21. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI
Fuadi, Hasan. 2008. Asuhan keperawatan difteri. www.detikhealth.com. 7 juni
2008.www.medicastrore.com
Jauhari,nurudin. 2008. Imunisasi Difteri.www.who.lat/immunization/tipics/diphteria/en.7
juni 2008
Kemala, Rita Wahidi. 1996. Nursing Care in Emergency. Jakarta: Fakultas Ilmu
Keperawatan UI
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Staf Pengajar ll Buku Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1958. Buku Kuliah Ilmu Kesehalan

5
Anak. Jakarta : Info Medika.
Suradi, dkk. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi I. Jakarta : CV. Agung Seto.

Hasil Pembelajaran:
1. Diagnostik Difteri
2. Tatalaksana Difteri

1. Subjektif:
Sejak ± 1 minggu yll pasien merasakan sakit ketika menelan disertai demam,
batuk pilek tidak ada, sesak nafas tidak ada, nafas berbau tidak ada, leher bengkak
tidak ada, suara serak dan ngorok tidak ada, pasien belum berobat. Pasien sempat
mengkonsumsi obat parasetamol diminum 3x sehari yang ia beli di warung.
Sejak ± 3 hari yang lalu keluhan sakit menelan semakin memberat yang
disertai demam, batuk pilek, sesak nafas tidak ada, nafas berbau tidak ada, leher
bengkak tidak ada, suara serak dan ngorok tidak ada Lalu pasien berobat ke
puskesmas.

2. Objektif:
Keadaan umum
 Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos mentis
 Tekanan Darah : 120/70 mmHg
 Nadi : 80 x/menit, isi dan tegangan cukup
 Pernapasan : 20 x/menit
 Suhu : 36,5 0C
 BB : 55 kg
 TB : 165 cm
 IMT : 20,2 kg/m2 (Normoweight)

Keadaan Spesifik
 Kepala : Normosefali, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil bulat isokor θ3mm/3mm, refleks cahaya (+/+), hidung
dan telinga tidak ada kelainan, sianosis (-), faring hiperemis (-)
 Leher : Tidak ada pembesaran KGB

6
 Thoraks : Jantung : HR: 80x/menit, reguler, murmur (-/-), gallop (-/-)
Paru-paru : Vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-) wheezing (-/-)
 Abdomen : Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-),
bising usus (+) normal
 Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-)

STATUS LOKALIS

Tenggorokan
Mukosa Warna merah muda

Uvula Ditengah, deviasi (-)

Faring Warna merah muda, arcus faring


simetris, massa (-), granul (-)

Tonsil T1-T1 hiperemis (+/+),


pseudomembran (-/+)

Refleks muntah (+)

3. Assesment
Dari anamnesis didapatkan sejak ± 1 minggu yll pasien merasakan sakit

7
ketika menelan disertai demam, batuk pilek tidak ada, sesak nafas tidak ada, nafas
berbau tidak ada, leher bengkak tidak ada, suara serak dan ngorok tidak ada, pasien
belum berobat. Pasien sempat mengkonsumsi obat parasetamol diminum 3x sehari
yang ia beli di warung.
Sejak ± 3 hari yang lalu keluhan sakit menelan semakin memberat yang disertai
demam dan batuk pilek, sesak nafas tidak ada, nafas berbau tidak ada, leher bengkak
tidak ada, suara serak dan ngorok tidak ada Lalu pasien berobat ke puskesmas.
Berdasarkan kepustakaan onset gejala difteri umumnya memiliki masa inkubasi
2-5 hari (kisaran, 1-10 hari) gejala awalnya bersifat umum dan tidak spesifik, sering
menyerupai infeksi virus pernapasan atas seperti pada pasien ini yang awalnya
keluhan tidak spesifik berupa sakit ketika menelan dan demam oleh karenanya pasien
mencoba membeli obat warung untuk mengurangi keluhan, namun progresifitas
penyakit difteri ini cepat berupa sakit menelan yang semakin memberat disertai
dengan demam batuk pilek. Manifestasi lain yang muncul juga dapat berupa demam
(jarang > 103' F) (50-85%) dan kadang menggigil, Sakit tenggorokan (85-90%), Sakit
kepala, Limfadenopati saluran pernapasan dan pembentukan pseudomembran (sekitar
50%), suara serak, disfagia (26-40%) dan dispnea.
Dari pemeriksaan fisik status lokalis tenggorokan didapatkan tonsil T1-T1
hiperemis, dan dilapisi oleh pseudomembran.
Berdasarkan kepustakaan pembentukan pseudomembran lokal atau
penggabungan dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran pernapasan.
Pseudomembran ini ditandai dengan pembentukan lapisan abu-abu padat yang terdiri
dari campuran sel-sel mati, fibrin, sel darah merah, leukosit, dan organisme.
Pernbentukan membran tebal adalah karakteristik untuk infeksi difteri pada faring
posterior. Pelepasan membran akan menyebabkan perdarahan dan edema mukosa.
Distribusi membran bervariasi dari daerah lokal (misalnya, tonsil atau, faring) sampai
meluas ke trakeobronkial. Membran ini sangat menular, sehingga tindakan
pencegahan harus dilakukan ketika memeriksa atau merawat pasien yang terinfeksi.
Penyebab kematian yang paling sering adalah obstruksi jalan napas atau sesak napas
berikut aspirasi pseudomembran.
Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk menegakan diagnosis pasti difteri
yaitu dengan media kultur. Diagnosis awal cepat (presumtive diagnosis) dapat
dilakukan dengan pewarnaan gram dimana akan ditemukan bakteri berbentuk batang,

8
gram positif, tidak berkapsul, berkelompok, dan tidak bergerak. Diagnosis definitif
dilakukan dengan kultur di media tellurite atau loeffler dengan sampel yang diambil
dari pseudomembran di orofaring hidung, tonsil kriptus, atau ulserasi, di rongga
mulut.
Pada pasien ini setelah ditegakkan diagnosis suspek difteri di puskesmas
Sindang laut kemudian dirujuk ke RS. Gunung Jati untuk dilakukan pemeriksaan
penunjang. Pada tanggal 18 April 2017 didapatkan hasil lab Corynebacterium
diphtheria (+).
Penatalaksanaan pada pasien yaitu harus segera dimulai meskipun uji
konfirmasi belum selesai karena mortalitas dan morbiditas yang tinggi.

4. Plan:
Diagnosis: Difteri
Penatalaksanaan:
Farmakologis
Tujuan pengobatan difteri yaitu :

1. Menetralisasi toksin yang dihasilkan basil difteri


2. Membunuh basil difteri yang memproduksi toksin

Anti-toksin diberikan sedini mungkin begitu diagnosis ditegakkan, tidak perlu


menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Dosis tergantung kepada.jenis
difterinya, tidak dipengaruhi oleh umur pasien, yaitu:
- Difteri nasal /fausial yang ringan diberikan 20.000, 40.000 U, secara iv dalam
waktu 60 menit.
- Difteri fausial sedang diberikan 40.000-60.000 U secara iv
- Difteri berat (bullneck dyyephtherio) diberikan 80.000-120.000 secara iv

Pemberian antitoksin harus didahului dengan uji sensitivitas, karena antitoksin


dibuat dari serum kuda. Apabila uji sensitivfitas positif, maka diberikan secara
desensitisasi dengan interval 20 menit, dengan dosis sebagai berikut:
. 0,1 ml larutan 1 :20, subkutan (dalam cairan NaCl 0,9%) . 0,1 ml larutan'1 :10,
subkutan

9
. 0,1 ml tanpa dilarutkan, subkutan
. 0,3 ml tanpa dilarutkan, intramuskular
. 0,5 ml tanpa dilarutkan, intramuskular
. 0,1 ml tanpa dilarutkan, intravena
Bila tidak ada reaksi, maka sisanya diberikan iv secara
perlahan lahan.
Pemberian antibiotik:
. Penisilin Procain 1.200.000 unit/hari secara intramuskular, 2 kali sehari selama 14
hari.
. Eritromisin : 2 gram perhari secara peroral dengan dosis terbagi 4 kali sehari.
. Preparat lain yang bisa diberikan adalah amoksisilin, rifampisin dan klindamisin.

Non-Farmakologis
1. lsolasi semua kasus dan dilakukan tindakan pencegahan universal dari risiko
penularan melalui droplet serta membatasi jumlah kontak.
2. lstirahat di tempat tidur ,minimal 2-3 minggu.
3. Makanan lunak atau cair bergantung pada keadaan penderita, kebersihan jalan
napas dan pembersihan lendir.
4. Pemeriksaan EKG secara serial 2-3 kali seminggu selama 46 minggu untuk
menegakkan diagnosis miokarditis secara dini. Bila terjadi miokarditis harus
istirahat total ditempat tidur selama 1 minggu. Mobilisasi secara bertahap baru
boleh dilakukan bila tanda-tanda miokarditis secara klinis dan EKG menghilang.
5. Bila terjadi paralisis dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisioterapi aktif bila
keadaan sudah membaik. Paralisis palatum dan faring dapat menimbulkan aspirasi
sehingga dianjurkan pemberian makanan cair melalui selang lambung. Bila terjadi
obstruksi laring ,secepat mungkin dilakukan trakeostomi.

Prognosis
 Quo ad vitam : Dubia
 Quo ad functionam : Dubia
 Quo ad sanationam : Dubia

10
11
DIFTERI
1. Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama
saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan
dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal.
Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui
benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari.1

2. Epidemiologi
Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di dunia. Pada
awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi kasus difteria pada negara bekas
Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih
terjadi epidemic yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemic
difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara tetangga.1 Sebelum era
vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian. Namun
sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT(di Indonesia pada tahun 1974),
maka kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. Angaka
mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan
Parwati S. Basuki yang didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta(RSCM),
Bandung(RSHS), Makasar(RSWS), Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-
rata sebesar 15%.2,3
Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia
adalah akibat PD3I. Laporan WHO menggambarkan bahwa hasil evaluasi kejadian
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi di Indonesia tahun 1972 diperkirakan
setiap tahun 5000 anak meninggal karena difteri dan penemuan kasus difteri
tenggorok pada balita sebanyak 28.500 kasus.2,3
Data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang, dan
Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun 1991-
1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1
tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB
difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien
sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun.1 Khusus provinsi

12
Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri cenderung
terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada
tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi
terbesar kedua untuk kasus difteri pada tahun 2008.2,3

3. Klasifikasi Difteri

Berdasar berat ringannya penyakit diajukan Beach (1950):


- Infeksi ringan

 Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri


menelan

- Infeksi sedang

 Pseudomembran menyebar lebih luas sampai dinding posterior faring dengan


edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif

- Infeksi berat

 Ada sumbatan jalan nafas, hanya dapat diatasi dengan trakeostomi


 Dapat disertai gejala komplikasi miokarditis, paralisis/ nefritis

Berdasarkan letaknya, digolongkan sebagai berikut:

a. Difteria Tonsil Faring (fausial)

Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri
menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih-
kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan pallatum molle
atau ke bawah ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membran akan
mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi limfadetis servikalis dan submandibularis,
bila limfadentis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas,
timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derjat penetrasi toksin dan luas
memban. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafsan atau sirkulasi. Dapat
terjadi paralis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan

13
dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian dapat berangsur-angsur dan bisa disertai
penyulit miokarditis dan neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam
7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.3,4

b. Diteria Laring

Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri


primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap
toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran
nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan
tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara
parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.3,4

c. Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga

Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva dan difteri telinga


merupakan tipe difteri yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit, tetapi
jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri
pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran
pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dan sekret purulen
dan berbau.3,4

4. Patofisiologi
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput
lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke
hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita
suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit
dan terjadi gangguan pernafasan.3,4
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda
maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam
tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui
darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung

14
dan saraf.3,4
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.
Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.
Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf
lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan
pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama
sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG.
Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan
kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan
selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak
jarang difteri juga menyerang kulit.3,5
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan
selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di
dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek
dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir
di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara
atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak
mengalami kesulitan bernafas.4,5
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan.
Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan
di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat
penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG.3,5

5. Manifestasi Klinis
faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher
sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua
gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu
menelan harus diperiksa faring dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada
tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas
rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat
swab) untuk pemeriksaan laboratorium.4,5
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak
tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan

15
kelenjar getah bening di leher sering terjadi. Masa tunas 3-7 hari khas adanya
pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan
gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul
berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga
tampak penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas
untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas
dengan sesak dan strides, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada
jaringan yang terkena seperti iniokorditis paralysis jaringan saraf atau nefritis.4,5

6. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis infeksi C. diphtheriae, adalah dengan
mengisolasi C. diphtheriae baik dalam media kultur atau mengidentifikasi toksinnya.
Diagnosa awal cepat (Presumtive diagnosis) dapat dilakukan dengan pewarnaan
Gram dimana akan ditemukan bakteri berbentuk batang, Gram positif ,tidak
berkapsul, berkelompok dan tidak bergerak. Pewarnaan immunofluorescent atau
metilen biru kadang-kadang dapat digunakan untuk identifikasi cepat.4,6
Diagnosa definitif dan identifikasi basil C. Diphtherioe dengan kultur melalui
media teLLurite atau Loeffler dengan sampel yang diambil dari pseudomembran di
orofaring hidung, tonsil kriptus, atau ulserasi, di rongga mulut.4,6
Pemeriksaan toksin bertujuan untuk menentukan adanya produksi toksin oleh
C. diphtheria.4,6
Dikerjakan secara invitro dengan melakukan Elek pLate fes dan polimerose
pig inocuLation kemudian mendeteksi pembentukan sebuah garis pada kertas filter
yang diresapi dengan antitoksin dan kemudlan diletakkan di atas kultur agar dari
organisme yang diuji. Pemeriksaan serum terhadap antibodi untuk toksin difteri juga
dapat dilakukan dengan Shick test'zo.4,6
Pemeriksaan lain dengan metode Polymerase Choin Reoction (PCR) untuk
deteksi urutan DNA encoding subunlt A tox+ strain pemeriksaan ini cepat dan
sensitif. Pada pemeriksaan laboratorium lain ditemukan pada darah tepi leukositosis
moderat, trombositopenia, dan urinalisis dapat menunjukkan proteinuria
sementara.e. Kadar serum troponin I berkorelasi, dengan miokarditis, kelainan EKG
bila ada kelainan jantung, pemeriksaan radiologi ditemukan hiper inflasi.4,6

16
7. Diagnosis Banding 1,5
A. Difteri nasal anterior:
a. Korpus alaenium pada hidung;
b. Common cold;
c. Sinusitis
B. Difteri fausial:
a. Tonsilofaringitis,: ditemukan demam tinggi, nyeri menelan lebih hebat,
pembesaran tonsil, membran mudah lepas dan tidak menimbulkan
perdarahan;
b. Mononukleosis infeksiosa: ditemukan limfadenofati generalisata,
splenomegali, adanya sel mononuklear yang abnormal pada darah tepi;
c. Kandidiasis mulut
d. Herpes zoster pada palatum.
C. Difteri laring :
a. Laringotrakeobronkitis;
b. Croup spasmodik/ nonspasmodik;
c. Aspirasi benda asing;
d. Abses retrofaringeal;
e. Papiloma laring

8. Tatalaksana4,5,6
Tindakan Umum
Tujuan :
a. Mencegah terjadinya komplikasi
b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum
c. Mengatasi gejala /akibat yang timbul
Jenis Tindakan :
1. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
2. Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan
toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu
sonde lambung jika ada kesukaranmenelan (terutama pada paralysisis palatum
molle dan otot-otot faring).
3. Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi

17
(klisma, laksansia, stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
4. Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal
5. Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)
6. Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.
7. Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas :
· Berikan Oksigen
· Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut
Jackson :
I. Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal
II. Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita
gelisah
III. Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah
IV. Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan
tenaga, lalu tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena
asfiksia
Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.

Tindakan Spesifik
Tujuan :
a. Menetralisir Toksin
b. Eradikasi Kuman
c. Menanggulangi infeksi sekunder
Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :
1. Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.
· 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh
tonsil secara unilateral/bilateral.
· 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati
tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.
· 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri
laring dan faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus
lanjut.
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

18
Tipe difteri Dosis DS (KI) Cara Pemberian
Difteri hidung 20.000 IM
Difteri tonsil 40.000 IM atau IV
Difteri faring 40.000 IM atau IV
Difteri laring 40.000 IM atau IV
Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV
Difteri + penyulit, bullneck 80.000-120.000 IV
Terlambat berobat (>72 jam), lokasi 80.000-120.000 IV
dimana saja

SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya
dalam 200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34
tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan suatu serum heterolog maka dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemberiannya. Untuk mencegah rx
anafilaktik ini maka harus dilakukan :

Uji Kepekaan
· Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama
dan sesudah pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.
· Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan ( dosisnya 0,01
cc/kg BB im, maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).
· Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.

Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :


Tes kulit
· SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca
setelah 15-20 menit.
· Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
Tes Mata
· 1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu
kelopak mata bagian bawah
· 1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya

19
dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian
· Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )
· Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000
Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus
(single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara
perlahan-lahan (desensibilisasi) dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam
NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut:
· 0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
· 0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
· 0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan
· 0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik
segera berikan adrenalin 1:1000.

2. Antibiotik
· Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari.
· Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10
hari.

3. Kortikosteroid
· Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)
· Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
· Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)

Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjagaagar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan
indikasi tindakan trakeostomi.6,7

20
Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
shick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaring. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau
eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.6,7

Tabel 2.Pengobatan terhadap Kontak Difteri6,7


Biakan Uji Shick Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu
minggu.
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin
40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteri(imunisasi aktif), sesuaikan dengan status
imunitas

9. Komplikasi7,8
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri :

1. Miokarditis

 biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan
penyakit
 Pemerikasaan Fisik :

Irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan


tanda-tanda payah jantung.
Gambaran EKG :

o Depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, tachicardi


ventrikel, fibrilasi ventrikel dan perubahan interval QT

21
o Laborat : kadar enzim jantung meningkat (LDH,CPK,SGOT,SGPT)
o Rontgen : jantung membesar bila terdapat gagal jantung

1. Kolaps perifer
2. Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan
atelektasis
3. Urogenital : dapat terjadi nefritis
4. Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem
susunan saraf terutama sistem motorik

 Terjadi pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit


 Tanda-tanda renjatan :
o

 TD menurun (systol ≤ 80 mmHg)


 Tekanan nadi menurun
 Kulit keabu-abuan dingin dan basah
 Anak gelisah

10. Prognosis

tergantung pada:
1. Virulensi basil difteri,
2. Lokasi dan luas membran yang terbentuk;
3. Statuskekebalan penderita;
4. Cepat lambatnya pengobatan;
5.Pengobatan yang diberikan.
Secara umum angka kematian penderita difteri 5-10%, dimana kematian
tertinggi terjadi pada penderita yang tidak mendapat imunisasi lengkap dan
pasien yang mempunyai kelainan sitemik. Pada difteri dengan keterlibatan
jantung prognosis sangat yang buruk, terutama bila disertai blok atrioventrikuler
dan blok berkas cabang dengan angka kematian mencapai 60-90%). Pada
keadaan sepsis, tingkat kematian 30-40%.1,9,10
Tingkat kematian yang tinggi disebabkan oleh difteri jenis gravis/invasif
bullneck diptheriae. Jenis ini mempunyai angka kematian mencapai 50% . Difteri
laring lebih cepat menyebabkan obstruksi saluran napas, bila pertolongan tidak

22
cepat dan pengawasan tidak ketat dapat menimbulkan kematian mendadak.
Keterlambatan pengobatan meningkatkan angka kematian menjadi 20 kali lipat,
penyebab kematian terban;zak adalah mlokarditis. Angka kematian yang tinggi
terjadi pada umur kurang 5 tahun dan lebih 40 tahun.3 Di lndonesia angka
kematian penderita difteri di 29 rumah sakit tahun 1969-1970 adalah 11,3%.1,9,10

23

Anda mungkin juga menyukai