KRAKATAU, LAMPUNG
KETERANGAN UMUM
Nama Lain : Cracatoa, Krakatao
Nama Kawah : Anak Krakatau
Lokasi : Koordinat/ Geografi : 6°06'05.8" LS dan 105°25'22.3" BT . Selat
Sunda, Kab. Lampung Selatan, Propinsi Lampung.
Ketinggian : P. Rakata 813m, P. Sertung 182m, P. Panjang 132m dan
P.Anak Krakatau 305m.
Kota Terdekat : Kalianda (Lampung), Merak, Anyer dan Labuan (Banten)
Tipe Gunungapi : Pulau gunungapi dengan salah satu kerucut aktifnya di pusat
kaldera.
Lokasi Pos : - Pasuran, Kec. Cinangka, Kab. Serang Banten, Provinsi
Pengamatan Banten.
- Hargopancuran, Kec. Kalianda, Kab. Lampung, Lampung.
PENDAHULUAN
Cara Mencapai Puncak
Komplek Gunungapi Krakatau dapat dicapai dari beberapa jalur laut. Jalur pertama
berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priuk dengan menggunakan kapal Jet-Foils atau Kapal
Pesiar. Jalur kedua dapat ditempuh dari Pelabuhan Labuan, kota kecamatan di pantai
barat Banten, dari pelabuhan ini dapat menyewa kapal motor atau kapal nelayan yang
berkapasitas antara 5 sampai 20 orang. Jalur ketiga ditempuh dari Pelabuhan Canti,
Kalianda, di pelabuhan ini juga dapat menyewa kapal motor atau kapal nelayan yang akan
menempuh Krakatau melalui P. Sebuku dan P. Sebesi.
SEJARAH LETUSAN
Komplek Krakatau terdiri dari empat pulau, Rakata, Sertung, Panjang dan Anak
Krakatau. Ketiga pulau pertama adalah sisa pembentukan kaldera, sedangkan Anak
krakatau tumbuh mulai 20 Januari 1930.
Letusan paroksismal pada 27 Agustus 1883 dianggap kejadian terbesar dalam
sejarah letusannya, melontarkan rempah vulkanik dengan volume 18 km3, tinggi asap 80
km dan menimbulkan gelombang pasang (tsunami) setinggi 30 m di sepanjang pantai
barat Banten dan pantai selatan Lampung. Walaupun belum ada kota-kota besar
disepanjang pantai tersebut seperti sekarang, tetapi 297 kota kecil (kota kecamatan)
hancur disapu tsunami dan menewaskan 36.417 jiwa. Diperkirakan 2000 orang tewas di
Sumatera bagian selatan oleh "abu panas" dan terdapat bukti nyata bahwa piroklastik
mencapai jarak tersebut. 3150 jiwa tewas diarah piroklastik ini, pada pulau-pulau antara
Krakatau dan Sumatera.
Krakatau diketahui dalam sejarah pada saat terjadi letusan besar pada 416 SM,
yang menyebabkan tsunami dan pembentukan kaldera (Judd, 1889), kemudian De Neve
(1981) memperoleh keterangan bahwa sebelum terjadi paroksismal kedua, beberapa
letusan terjadi pada abad 3, 9, 10, 11, 12, 14, 16 dan 17 yang diikuti dengan pertumbuhan
kerucut Rakata, Danan dan Perbuatan. Kegiatan vulkanik tersebut berhenti pada tahun
1681.
Setelah beristirahat lk. 200 tahun, Krakatau kembali memperlihatkan kegiatannya
yang diawali dari beberapa letusan G. Danan dan G. Perbuatan. Pada 20 Mei 1883
letusan G. Perbuatan berkomposisi basaltis mengawali letusan paroksismal pada 27
Agustus 1883 yang berkomposisi dasit (SiO2 = 64-68%)(Neumann van Padang, 1951).
Letusan paroksismal terjadi pada hari Minggu 27 Agustus 1883 pada pukul 04.00-06.41
dan 10.00 waktu setempat. Suara letusan terdengar sejauh 4.500 km, tinggi asap 80 km,
energi yang dikeluarkan 1 X 1025 erg. Tsunami terjadi 30 menit setelah letusan
kataklismik dengan tinggi gelombang 30 m di pantai barat Banten dan pantai selatan
Lampung.
Krakatau tenang kembali mulai Februari 1884 sampai Juni 1927, ketika pada 11
Juni 1927 erupsi yang berkomposisi magma basa muncul di pusat komplek Krakatau,
yang dinyatakan sebagai kelahiran G. Anak Krakatau. Akibat letusan-letusannya, G. Anak
Krakatau tumbuh semakin besar dan tinggi, membentuk kerucut yang sekarang mencapai
tinggi lk. 300 m dari muka laut. Di samping menambah tinggi kerucut tubuhnya, juga
memperluas wilayah daratannya.
Catatan sejarah kegiatan vulkanik G. Anak Krakatau sejak lahirnya 11 Juni 1930
hingga 2000, telah mengadakan erupsi lebih dari 100 kali baik bersifat eksplosif maupun
efusif. Dari sejumlah letusan tersebut, pada umumnya titik letusan selalu berpindah-pindah
di sekitar tubuh kerucutnya. Waktu istirahat berkisar antara 1 – 8 tahun dan umumnya
terjadi 4 tahun sekali berupa letusan abu dan leleran lava. Kegiatan terakhir G. Anak
Krakatau, yaitu letusan abu dan leleran lava berlangsung mulai 8 Nopember 1992
menerus sampai Juni 2000. Jumlah letusan per hari tercatat oleh sesimograf yang
ditempatkan di Pos PGA Pasauran, sedangkan jumlah material vulkanik yang dikeluarkan
selama letusan tersebut lk. 13 juta m3, terdiri dari lava dan material lepas berkomposisi
andesit basaltis.
1883 20 Mei 1883 kegiatan diawali dari G. Perbuatan, letusan abu dan semburan uap mencapai tinggi 11
km dan suara dentumannya terdengar sejauh 200 km. Pada Juni kegiatan vulkanik juga terjadi di G.
Danan. Erupsi paroksisma terjadi pada 26 – 28 Agustus. Setelah pukul 13.00, 26 Agustus beberapa
erupsi terjadi dan mencapai puncaknya pada Minggu 27 Agustus, pukul 10.02 dan pada pukul 10.52
dentumannya terdengar di Singapura dan Australia. Erupsi ini menyemburkan batuapung dan
abunya mencapai tinggi 70-80 km, endapannya menempati area 827.000 km2. Runtuhan tubuh
gunungapi ini menyebabkan tsunami dengan tinggi gelombang rata-rata 20 m menyapu pantai-
pantai di Selat Sunda dan baratlaut Jawa, serta menyebabkan 36.417 koban jiwa.
September dan Oktober letusan freatik.
1884 Pebruari, letusan freatik merupakan kelanjutan dari Oktober 1883.
1898 -
1927 29 Desember, kegiatan vulkanik baru terjadi di pusat kaldera, timurlaut dasar kaldera pada
kedalaman 188 m dan dinyatakan sebagai kelahiran G. Anak Krakatau. Kawah baru ini satu garis
dengan kawah-kawah Danan dan Perbuatan sebelumnya. Rentetan kegiatan erupsi berlanjut
hingga 1930, sebagai berikut :
1928 5 Februari, 25 Maret, 2 Juni, 6-13 Juli, 25 Agustus-4 September, 4-26 Nopember, 11-20 Desember.
1929 12 Januari-18 Februari, 6-13 Maret, 8-20 Juni, 25 Juli-25 Agustus, 19 September-7 Oktober, 7-23
Desember.
1930 14-28 Januari, 10 Maret-5 April, 30 April-15 Mei, 2 Juni-15 Agustus.
1931 Terjadi danau kawah, erupsi abu mencapai tinggi 2400 m dan erupsi samping pada 23-26
September, 5-7 Nopember, 5-21 Desember.
1935 Erupsi abu dan erupsi freatik di danau kawah, ukuran danau kawah mencapai 275 X 250 m2,
kegiatan terjadi pada 4-14 Januari, 6 Februari-6 Mei dan 25 Mei-12 Juli.
1936 Erupsi abu pada 13 Oktober dan selama Nopember tinggi tiang abu berkisar antara 100 – 300 m.
1937 Erupsi di danau kawah terjadi pada 6 Agustus-21 September tinggi abu antara 2000-2600 m,
kemudian pada 17-23 Nopember erupsi-erupsi kecil pada kawah baru di bagian baratdaya.
1938 Erupsi abu dan erupsi freatik di danau kawah berlangsung hingga 1940. Kegiatan terjadi pada 4
Juli-29 Agustus, 12-14 September, 2 Oktober, 7 Nopember, 8-9 Desember.
1939 15-27 Januari, 20 Maret, 1 Juni-4 Agustus, 23-25 September, 13 Desember sampai
1940 9 Januari, 3-10 Februari, 1 Maret-15 Mei, dan 10 Juni-2 Juli. Pada Juni tinggi letusan mencapai
1000-4000 m.
1941 Erupsi di danau kawah pada 28 Januari-12 Februari
1942 Erupsi di danau kawah pada 29-30 Januari.
1943 Erupsi di danau kawah.
1944 Erupsi di danau kawah.
1945 Erupsi di danau kawah.
1952 Erupsi di danau kawah pada 10-11 Oktober, terbentuk kerucut baru
dengan danau kawah bergaris tengah 440 m.
1953 Erupsi abu di danau kawah pada 20-23 September, tinggi kerucut
mencapai 116 m.
1958 Erupsi di danau kawah, tanggalnya tidak diketahui.
1959 Erupsi di danau kawah selama Juni-Juli. Kegiatan erupsi terdiri atas 4 fase: 1. Erupsi abu hitam, 2.
Erupsi abu dan gas dengan tiang asap setinggi 500 m, 3. Erupsi abu setinggi 1000 – 1500 m, dan 4.
Erupsi abu hitam.
1960 Kegiatan erupsi lanjutan dari tahun sebelumnya, terjadi pada 12-13 Januari, tinggi asap mencapai
1000 m.
1961 Kegiatan erupsi tidak diketahui tanggalnya, melenyapkan danau kawah bulan sabit dan leleran lava
mengisi kawah dan dan bibir kawah bagian timur.
1963 Leleran lava menembus laut melalui pematang baratdaya kawah dan
membentuk seperti kipas.
1968 Erupsi freatik selama September.
1972- Erupsi abu menerus mencapai tinggi 1600 m. Saksi mata mengamati kejadian erupsi pada 26 Juni,
1973 21-22 Desember dan 29 Desember 1972. Kagiatan erupsi menerus hingga Januari 1973 dan
diakhiri leleran lava ke arah selatan, baratdaya dan barat, menembus laut sehingga memperluas
daratan.
1975 Erupsi abu selama tahun ini dan diakhiri dengan leleran lava ke arah barat-
baratlaut.
1979 Erupsi abu hampir selama tahun ini dan diakhiri dengan leleran lava ke arah baratdaya.
1981 Erupsi abu sejak Februari hingga Juli, dan diakhiri dengan leleran lava ke
arah selatan menindih lava 1973-1973.
1984 Erupsi abu terjadi pertengahan tahun dan tidak diketahui tanggalnya.
1988 Erupsi abu pada 16-18 Maret membentuk kawah baru di lereng selatan dan kegiatannya diakhiri
dengan leleran lava yang terbatas pada lereng selatan.
1992 - Erupsi abu terjadi pada 8 Nopember, kegiatannya dimulai dengan peningkatan kegempaan vulkanik
2000 sejak Agustus. Kegiatan erupsi menerus sampai tahun 2000 setiap hari atau setiap beberapa menit,
menyemburkan abu dengan tinggi rata-rata 400 – 800 m dan leleran lava. Leleran lava terjadi pada
Nopember-Desember 1992, Februari 1993, April-Mei 1993, Juni 1993, Januari 1996, Juni 1996 dan
Juli 1996. Leleran lava tersebut umumnya mencapai laut, sehingga menambah daratan pulau
tersebut. Perhitungan material yang disemburkan selama itu berupa lava dan material lepas adalah
22 juta m3 dan penambahan daratan 380.000 m2. Tinggi G. Anak Krakatau mencapai 305 m dml.
2001 Erupsi abu tipe strombolian pada 5 Juli.
2005 Pada 24 – 26 September 2005, Terjadi peningkatan jumlah kegempaan.
2007 Pada 20 - 22 Oktober 2007 aktivitas kegempaannya kembali meningkat.
Pada 23 Oktober 2007 terjadi letusan abu setinggi 200m. Hasil pengamatan visual pada 25 Oktober
2007 (Patria dkk, 2007), terdapat lubang letusan baru di dinding selatan G. Anak Krakatau.
Pada 1 – 20 April terjadi peningkatan aktivitas. Hasil pengamatan langsung ke G. Anak Krakatau 15-
2008 16 April 2008 menunjukkan bahwa terjadi letusan abu yang disertai lontaran material pijar,
berlangsung tiap selang 5 – 15 menit dengan ketinggian berkisar 100 – 500 meter.
-
-
2010 Mulai 10 Oktober 2010, terjadi letusan abu yang disertai lontaran material pijar dengan ketinggian
asap berkisar 100 1700 m dan berlangsung setiap hari sampai saat ini.
2011
Letusan G. Anak Krakatau diambil dari P. Rakata (arah selatan) tinggi G. Anak Krakatau 305 m dpl,
dijadikan acuan untuk mengukur tinggi asap letusan
Tsunami akibat erupsi Krakatau 1883
Tsunami dapat terjadi akibat gempabumi tektonik, erupsi gunungapi bawah laut,
longsoran di dasar laut, aliran piroklastika/lahar masuk ke laut. Dari 106 kejadian tsunami,
umumnya berasal dari kegiatan gunungapi, terutama akibat erupsi gunungapi bawah laut,
atau gempa tektonik yang disertai erupsi gunungapi.
Erupsi Krakatau 1883 menyebabkan hilangnya dua gunungapi (Danan dan
Perbuatan) dan sebagian G. Rakata. Erupsi ini menyebabkan tsunami yang menyapu
kota-kota kecil di sepanjang pantai Banten dan Lampung Selatan, termasuk kota Teluk
Betung. Di Teluk Betung, gelombang pasang air laut mencapai tinggi 20 m. Sebuah kapal,
“The Berouw” yang berada di Pelabuhan Teluk Betung saat itu, terlempar sejauh 3.300 m
ke dalam hutan. Furneaux, 1964 memperoleh keterangan bahwa dentuman Krakatau
terdengar di Teluk Betung sesaat setelah pukul 10.00 dan gelombang pasang mencapai
kota Teluk Betung pukul 11.03, mengakibatkan kerusakan berat kota Teluk Betung dan
memakan korban lk. 5000 jiwa, diantaranya 3 orang kebangsaan Eropa dan 2.260 orang
penduduk setempat.
Kota Merak yang terletak di semenanjung Banten, dilanda gelombang pasang
setinggi 30 m dan 40 m. Gelombang pasang ini juga menyapu Teluk Semangko sesaat
setelah memporak porandakan Teluk Betung dan gelombangnya tidak setinggi yang ke
arah Teluk Lampung, tetapi cukup menghancurkan sepanjang garis pantai dan merusak
banyak perkampungan dan korban jiwa, diantaranya 2.500 penduduk tewas di kampung
Benewani, 327 hilang di Tanjungan dan Tanot Baringin dan 244 jiwa di Beteong.
Gelombang pasang setinggi 13,6 m juga melanda mercusuar Bengkulen yang terbuat dari
beton dan menewaskan 10 orang yang sedang bekerja.
Di daerah Banten, seluruh pantainya terlanda gelombang pasang, banyak
perkampungan terlanda gelombang dan menewaskan penduduk termasuk seorang pastur
di Prince island. Di Tangerang, gelombang pasang setinggi orang melanda
perkampungan, dan dalam beberapa menit gelombang balik menghanyutkan penduduk,
binatang, perumahan dan pepohonan. Pada peristiwa ini tercatat 1.974 penduduk
setempat dan 46 kebangsaan Asia penduduk Karanghantu tewas.
Gelombang pasang yang meninggalkan Krakatau pada pukul 10.00 merambat
dalam waktu 2 jam 30 menit mencapai Jakarta, yang berjarak 169 km. Air laut naik secara
cepat dari mulai pukul 11.30 dan pukul 12.15 gelombang pasang besar menyapu pantai
Jakarta melebihi maksimum pengukur tinggi gelombang. Air surut lagi pukul 02.48 sore
sehingga pengukur tinggi gelombang dapat terbaca kembali. Di Tanjung Priuk tinggi
gelombang laut saat itu rata-rata 3 m dalam beberapa menit. Dalam peristiwa ini tercatat
300 orang nelayan tewas dan satu perkampungan Cina hancur.
Gelombang tsunami akibat erupsi Krakatau ini juga bergerak ke arah barat menuju
Samudera Hindia mencapai semenanjung Good Hope, kemudian ke arah utara menuju
menuju Samudera Atlantik. Gejala tsunami ini ditemukan di Cape Town (13.032 km) dan
hampir teramati di seluruh pantai di sekitar Samudera Hindia dan Samudera Atlantik.
Pengukur tinggi gelombang di Pelabuhan Cape Horn (14.076 km) dan Panama (20.646
km) menunjukkan adanya gelombang pasang dengan kecepatan rata-rata 720 km per
jam, bahkan dilaporkan bahwa tsunami ini mencapai Selat Inggris yang berjarak 19.873
km dari Krakatau.
GEOLOGI
Morfologi
Kenampakan geomorfologi komplek vulkanik Krakatau terdiri dari dinding kaldera,
bentukan kerucut vulkanik, aliran lava, dataran dan daerah pantai. Morfologi kaldera
dicirikan oleh dinding sangat curam yang terbentuk di bagian utara pulau Rakata dengan
bentuk cekung menghadap ke utara. Morfologi dinding kaldera di pulau Sertung dan
Panjang dibentuk oleh erupsi paroksismal pra-sejarah, sedangkan dinding kaldera Rakata
terbentuk pada saat pembentukan kaldera 1883. Kenampakan morfologi pulau-pulau tersebut
dicirikan oleh topografi bentuk lereng yang dapat dijumpai di sebelah selatan P. Rakata,
sebelah barat P. Sertung dan sebelah timur P. Panjang. Bentuk morfologi lereng ini terdiri
dari perulangan lembah dan punggungan dan di P. Rakata menampakkan pola radial
sedangkan di P. Panjang dan P. Sertung semi-radial. Bagian morfologi ini tersusun oleh
endapan aliran piroklastik hasil erupsi 1883.
Morfologi kerucut vulkanik dijumpai di pulau Rakata dan Anak Krakatau. Kerucut
vulkanik Rakata teramati jelas mulai ketinggian 500 m sampai ke bagian puncak, 813 m
dari muka laut. Bagian puncak Rakata tersusun oleh sumbat vulkanik dan endapan aliran
piroklastik. Kerucut vulkanik Anak Krakatau terdiri atas kerucut vulkanik tua dan kerucut
vulkanik muda yang masih aktif. Kerucut vulkanik tua tidak menunjukkan kerucut yang
sebenarnya karena bagian atas kerucut menghilang oleh erupsi dan meninggalkan dinding
kawah besar dan puncak tertinggi 155,66 m dml. Dinding kawah ini terbuka ke arah
tenggara, tetapi pada 1999 kerucut vulkanik tua dan kerucut aktif menyatu membentuk
kerucut vulkanik besar yang tersusun oleh perlapisan jatuhan piroklastik dan aliran lava.
Sebelum itu, kerucut aktif ini terbentuk di bagian tengah kawah kerucut tua dan puncak
tertingginya pada 1983 adalah 201,446 m. Akibat erupsi yang terjadi secara periodik,
pertumbuhan kerucut muda ini menjadi semakin besar dan menutupi kerucut tua. Pada
tahun 2000, kerucut muda ini mencapai tinggi 300 m dml.
Aliran lava mempunyai morfologi khusus yang terbentuk hampir kesemua arah,
terdiri atas beberapa aliran hasil kegiatan vulkanik tahun 1963, 1972, 1973, 1975, 1979,
1980 (Bronto, 1982), 1988, 1992, 1993 dan 1996 (Sutawidjaja, 1997). Morfologi ini
memperlihatkan berbagai bentuk permukaan kasar yang mencerminkan bongkahan lava
atau “aa” lava, tersebar dalam berbagai ukuran dan umumnya memperlihatkan pola aliran
yang jelas dan membentuk punggungan yang membentang dari sumbernya ke arah
pantai. Banyak dari aliran lava masuk ke laut dan menambah besar pulau tersebut.
Morfologi pedataran menempati bagian timurlaut P. Sertung dan permukaannya di
beberapa tempat tingginya tidak lebih dari 5 m, tersusun atas material vulkanik lepas dan
pasir. Tepi barat dan timurlaut daerah ini seringkali berubah, karena daerah ini mudah
sekali diterpa ombak besar yang menyebabkan abrasi, terutama pada musim angin barat.
Stratigrafi
Komplek Vulkanik Krakatau terletak sekitar 140 km dari Jalur Tektonik Jawa
dimana zona penunjaman kira-kira 120 km dibawahnya (Zen, 1983). Zen berkeyakinan
bahwa zona Sesar Sumatra tidak menerus ke Jawa melalui Krakatau, tetapi Selat Sunda
merupakan kunci antara penunjaman oblik Jalur Sumatra dan penunjaman frontal Jawa,
dan Krakatau terletak diantara pertemuan zona dua graben dan zona rekahan arah utara-
selatan. Effendi, dkk. (1983) percaya bahwa Komplek Vulkanik Krakatau dikontrol oleh
pergerakan tektonik yang berhubungan dengan Sistem Sesar Sumatra Selatan. Struktur
ini ditunjukkan oleh keberadaan dike dan rekahan di P. Rakata, dan struktur seperti
o o
graben di Anak Krakatau. Beberapa dike mempunyai arah strike 160 /165 dan kemiringan
hampir vertikal 80o/90o, dan seluruh dike tersebut berhubungan dengan Sistem Sesar
Sumatra Selatan (Tjia, dkk, 1983). Tjia (1983) menyatakan bahwa rekahan arah 160o/165o
dijumpai sekitar kerucut aktif Anak Krakatau dan lebih kurang paralel terhadap Sistem
Sesar Sumatra Selatan.
Gunungapi Anak Krakatau terletak di dalam Kaldera Krakatau yang terbentuk pada
letusan paroksimal kedua tahun 1883. Awal titik erupsi gunungapi ini terletak pada
kedalaman 188 meter di bawah muka laut, muncul di bagian selatan dari kaldera tersebut,
serta segaris dengan Kawah Danan dan Perbuwatan. Stratigrafi di komplek Krakatau
terbentuk akibat aktivitas komplek Krakatau yang dimulai pada periode pembentukan
Gunungapi Krakatau Purba, sampai dengan periode pembentukkan Gunungapi Anak
Krakatau.
Geologi Komplek G. Anak Krakatau
Petrologi
Pada prinsipnya mineral-mineral primer baik dari lava maupun bom adalah hampir
sama, tersusun atas augit, hipersten, plagioklas dan sejumlah butiran kecil olivin, dan
umumnya terbentuk dalam masadasar hipokristalin sampai holokristalin. Plagioklas
terbentuk sebagai fenokris dan mikrolit. Sebagai fenokris menguasai antara 53 – 66% dari
batuan dan panjangnya rata-rata 1,4 mm, komposisinya berkisar antara andesin kalsik –
labradorit kalsik (An48-An68) dan rata-ratanya An58. Semua fenokris yang besar dan
beberapa yang lebih kecil menunjukkan zoning progresif dan reversed. Fenokris besar
cenderung berkelompok membentuk tekstur glomeroporfiritik, dan kelompok kecil terdiri
atas butiran kecil inklusi hipersten. Hal ini menunjukkan bahwa hipersten terjadi lebih awal
dari pada plagioklas pada saat kristalisasi magma basaltis. Fenokris yang lebih kecil
tersebar secara random pada seluruh batuan dan bentuknya euhedral, serta umumnya
tidak terjadi penzonaan dan relatif bebas dari inklusi.
Augit terdapat baik sebagai fenokris berukuran sampai 0,8 mm maupun sebagai
butiran kecil dalam masadasar. Fenokris yang merupakan resorbed crystals berjumlah 9 –
19% dalam batuan atau rata-rata 14% dalam batuan. Inklusi umumnya terdapat dalam
fenokris dan plagioklas. Butiran kecil augit dalam masadasar berdiameter lebih kecil dari
0.01 mm dan bergabung dengan butiran olivin yang berukuran sama.
Hipersten juga terdapat sebagai fenokris maupun butiran kecil dalam masadasar,
berjumlah 2 – 10% atau rata-rata 5% dalam batuan, kenampakannya mirip dengan augit.
Olivin terbentuk sebagai fenokris euhedral sampai subhedral dengan rata-rata panjangnya
0,15 mm, tetapi tidak semua contoh batuan mengandung olivin. Fenokris berjumlah 4%
dalam batuan dan cenderung bergabung dengan augit membentuk kelompok kumulofirik.
Masadasar dicirikan dengan warna coklat kehitaman berjumlah 13 – 22% dalam batuan,
terdiri atas gelas hitam opak dan sejumlah mikrolit kecil dan kristalit plagioklas, hipersten,
augit, magnetit, titanomagnetit dan adakalanya diopsid dan augit-aegirin.
Xenolit terdapat beragam dalam komposisi dan berkisar dari gabro dioritis, mikro-
gabro sampai diabas ofitik, umumnya terbentuk dalam batuan, lava dan bom vulkanik
yang kemungkinan berasal dari bom balistik dari batuan samping.
Petrografi batuapung 1883 terutama dipilih dari endapan aliran piroklastik dan
jatuhan piroklastik. Batuapung ini ditemukan di pulau Rakata, Panjang dan Sertung
dengan ukuran abu, pasir, lapili dan bongkahan. Batuapung dari endapan aliran piroklastik
mempunyai petrografi sederhana, seluruh contoh batuan terdiri atas masadasar gelas
vulkanik dengan fenokris plagioklas, orto-piroksin, klino-piroksin, magnetit dan apatit. Fenokris
berjumlah 10% dari batuan, dimana plagioklas mempunyai dua pertiga bagiannya
dan selainnya piroksin dan magnetit. Masadasar gelas vulkanik selalu mengandung mineral
apatit dan apatit ini sering terbentuk sebagai inklusi dalam plagioklas dan piroksin.
GEOFISIKA
Seismik
Pemantauan G. Anak Krakatau secara menerus hanya dilakukan pengamatan
visual dan kegempaannya. Pengamatan kegempaan merupakan tujuan utama dalam
menghadapi kegiatan gunungapi, dan disiapkan sebagai dasar pemantauan untuk
peringatan dini selama krisis kegiatan Anak Krakatau, dan dikeluarkan oleh Direktorat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
Pengalaman kegiatan Anak Krakatau diperlihatkan jelas ketika terjadi erupsi pada
1980, 1988 dan 1992, dimana awal kegiatannya dimulai dengan meningkatnya
gempabumi vulkanik kemudian berkembang menjadi gempa intensif (swarm) atau tremor
vulkanik, akhirnya terjadi letusan. Pada Agustus 1992 satu Tim dari Subdirektorat
Pengamatan Gunungapi, Direktorat Vulkanologi melakukan pengamatan visual di G. Anak
Krakatau dan mengganti subsistem seismometer dari model MEQ-800 ke model PS-2
dengan menggunakan seismometer L4 dan dilengkapi VCO TH-13. Sinyal dikirim melalui
radio ke subsistem penerima yang ditempatkan di Pos Pengamatan di Pasauran Banten.
Sesaat setelah pemasangan seismograf sistem telemetri radio selesai, seismograf
merekam gempa vulkanik dalam dan dangkal cukup banyak tetapi masih dalam batas
aktivitas normal.
Pada September 1992, Pos Pengamatan melaporkan bahwa jumlah gempa
vulkanik, terutama vulkanik dalam meningkat dan peningkatan ini sangat cepat sehingga
melebihi batas aktif normal, tetapi apada akhir September jumlah gempa menurun lagi dan
malahan keadaan tenang selama tiga hari. Pada awal Oktober tingkat kegempaan
berubah dari gempa vulkanik dalam ke dangkal dan jumlahnya meningkat sangat cepat
sehingga teramati swarm dan tremor vulkanik menjelang 8 Nopember. Jumlah gempa
vulkanik yang terbaca pada 7 Nopember mencapai 400 kejadian dengan magnituda MMI
< 2. Jumlah gempa tersebut hanya terekam dalam 10 jam. Pada pukul 12.35 WIB swarm
terjadi sangat intensif dan berkembang menjadi tremor vulkanik pada saat menjelang
letusan pada pukul 13.10 WIB. Tiang abu pertama kali terlihat oleh pengamat pada pukul
13.31 dari Pos Pengamatan Pasauran setinggi 800 m di atas puncak. Letusan ini
membentuk kawah baru yang terletak di lereng utara kerucut gunungapi. Pengamatan
lapangan dilakukan pada 11 Nopember yang menunjukkan bahwa sebaran tefra beradius
800 m dari pusat kegiatan, terdiri atas abu pasir dan lapili sedangkan di sekitar kawahnya
tersebar bongkahan yang umumnya batuan vulkanik tua. Lava mengalir dari kawah baru
ke arah utara sepanjang 300 m dengan tebal antara 4-6 m. Letusan yang menerus dan leleran
lava terekam dalam seismograf sebagai gempa letusan yang sambung menyambung
sehingga tampak seperti tremor vulkanik. Pada 12 Nopember 1992, jumlah gempa letusan
yang terekam mencapai 15.000 kejadian.
Kegiatan letusan Anak Krakatau ini menerus sampai tahun 2000. Selama periode
letusan ini gempa vulkanik didominasi oleh gempa letusan dengan rarat-rata 700 kejadian
per hari walaupun gempa tipe-A dan tipe-B juga terekam, di samping itu 4 unit subsistem
seismometer rusak oleh lontaran bom vulkanik dan leleran lava yang mengakibatkan
kehilangan data rekaman gempa.
Pada 1995 Direktorat Vulkanologi membangun Pos Pengamatan G. Anak Krakatau
lainnya yang terletak di Desa Hargopancuran, Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung
Selatan dengan maksud untuk melengkapi pemantauan G. Anak Krakatau dari arah
Lampung. Pos Pengamatan ini dilengkapi dengan satu unit seismograf sistem telemetri
radio model PS-2, sehingga pemantauan dilakukan dari dua arah.
Gaya berat
Survey gaya berat di Komplek Krakatau pertama kali dilakukan oleh Yokoyama dan
Hadikusumo tahun 1968 (Yokoyama dan Hadikusumo, 1969), dimana titik gaya berat
berjumlah 40 ditempatkan di pulau-pulau Komplek Krakatau. Anomalinya konsentris dan
pusatnya di barat Anak Krakatau, garis lingkaran anomali maksimum seharga 78 mgal dan
diameter lingkaran 9 km. Peningkatan anomali residu dari 70 mgal ke maksimum 78 mgal
di bagian timur P. Panjang dan Rakata kemungkinan berhubungan dengan struktur asal
G. Krakatau purba yang membentuk kerucut besar dan hampir keseluruhannya tersusun
oleh dasit enstatit (Symons, 1888). Penerapan theorem Gauss yang berhubungan dengan
anomali gabungan di atas bidang horizontal dan menerus sampai batas anomali gaya
berat terdeteksi di kepulauan Krakatau, Yokoyama (1969) beranggapan bahwa anomali
gaya berat rendah disebabkan oleh adanya endapan kaldera yang berberat jenis sekitar
0,2 – 0,4 g/cm3 yang lebih rendah dari batuan dasar. Ia menegaskan bahwa bila berat
jenis kaldera Krakatau dipilih –0,3 g/cm3, maka total volume jumlah anomali gaya berat
yang teramati adalah 9,3 x 109 m3 dan konfigurasinya berupa kerucut terbalik atau corong
dengan radius 4 km dan dalamnya 1 km. Yokoyama (1981) menyimpulkan bahwa struktur
bawah permukaan komplek Krakatau setelah erupsi 1883 dianggap sebagai anomali gaya
berat, dimana pada dasar kaldera terdapat endapan yang mempunyai berat jenis rendah
dengan bentuk kerucut terbalik berdiameter 8 km dan dalamnya 1 km, sedangkan anomali
gaya berat residu di atas kaldera diperkirakan sebagai kekurangan masa akibat
pengeluaran ejekta dalam jumlah besar.
Geomagnet
Nishida, dkk (1984) melakukan survey geomagnet di komplek Krakatau dengan
menggunakan proton precession magnetometer, Model-548 GAUSS dengan indikasi 0,1
nT. Sudut kemiringan geomagnetis di daerah ini adalah rendah, sekitar –30o, hal tersebut
menunjukkan bahwa anomali negatif secara dominan terletak di atas tubuh magnetis
normal, dimana bagian posisifnya di utara tubuh itu sendiri. Anomali negatif di sekitar
Bootsmanrots mencapai –1000 nT sedangkan bagian positifnya tersebar di bagian utara
batu tersebut. Bootsmanrots tersusun atas batuan pitchstone yang dianggap sebagai dike
atau sumbat lava dari salah satu kerucut vulkanik sebelum erupsi 1883 dan diperkirakan
merupakan sisa G. Danan. Batu ini terpisah dari pulau lainnya tetapi mempunyai anomali
negatif yang cukup tinggi, hal tersebut membuktikan bahwa material seperti dike atau
sumbat lava merupakan sisa pembentukan kaldera yang bebas dari penghancuran saat
terjadi erupsi 1883.
Anomali negatif (-400 nT) dan positif (200 nT) tersebar secara bergandengan di
utara Anak Krakatau. Anomali ini terletak dekat dinding utara kaldera Krakatau dan hampir
mendekati kawah G. Perbuatan sebelumnya. Berbagai anomali dengan amplitude besar
terletak sekitar P. Anak Krakatau, hal ini ditimbulkan dari lava-lava baru hasil kegiatan G.
Anak Krakatau. Nishida (1984) menyimpulkan bahwa anomali magnetis terletak identik
dengan kawah Danan dan Perbuatan sedangkan gunungapi pasca kaldera tidak
terpengaruh oleh penghancuran letusan besar 1883. Intensitas magnetisasi kuat dijumpai
di terumbu Steers yang bernilai 10 A/m.
GEOKIMIA
Kimia batuan
Andesit hipersten Krakatau tua dan batuan 1883 komposisinya hampir sama:
kandungan silika pada batuan tua berkisar antara 68,75% dan 70,50%, sedangkan batuan
1883 antara 66,50% dan 69%. Satu lapisan abu yang mengandung gelas masif, warna
gelap, mikrolitik, devitrified glass hanya mengandung 61% SiO2. Jumlah kandungan air
pada semua batuan sangat kecil, atau dapat dikatakan tidak mengandung unsur air. Basal
Krakatau komposisinya lebih basal dari pada andesit hipersten dengan rata-rata
kandungan silika 49%.
Endapan abu 27 Agustus mengandung kisaran feldspar, dari yang paling basa
sampai paling asam. Kandungan feldspar rata-rata adalah andesin-asam dengan 57,76%
SiO2, terdiri atas 51,71% albit, 41,206% anortit dan 7,223% mikrokristalin. Gelas
batuapung yang bersih mengandung 69% SiO2, tetapi yang diendapkan lebih jauh dari
pusat erupsi komposisinya lebih buruk dibandingkan dengan batuapung murni (69%
SiO2). Larutan garam pada abu berasal dari air laut, kecuali unsur gipsum yang berasal
dari batuan tua Krakatau.
Pubawinata (1983) melakukan analisis geokimia batuapung Krakatau 1883 dari
endapan aliran dan jatuhan piroklastik di pulau Rakata, Panjang dan Sertung yang
menunjukkan kaya silika dan bersifat alkali. Di lain pihak miskin dengan MgO, FeO dan
CaO. CIPW norms memperlihatkan sejumlah besar kuarsa normatif dan ortoklas, yang
menunjukkan bahwa komposisi kimia batuapung ini adalah dasit. Diagram variasi major
element SI-oksida memperlihatkan bahwa batuapung ini terbentuk pada tahap akhir
fraksionasi magma, dan dari diagram segitiga K2O-Na2O-CaO menunjukkan bahwa arah
fraksionasi itu dari batuan dasitis ke riolitis. Diagram MgO-FeO-(Na2O+K2O) dari
MacDonald & Katsura menunjukkan bahwa deferensiasi magmanya ke arah riolit dengan
indek diferensiasi antara 73 – 83, yang menunjukkan indek diferensiasi granitis. Lava-lava
baru dari kegiatan gunungapi Anak Krakatau diduga berasal dari magma basaltis hasil
peleburan sebagian mantel peridotit pada kedalaman sekitar 146 km (Harjadinata, 1983),
dan pada kedalam 37 km magma mengalami perubahan fraksionasi berdasarkan
pendapat sebagai salah satu magma basaltis primer dari toleiit-olivin. Tetapi berdasarkan
perhitungan CIPW norm batuan ini tidak menampakan olivin, dan umumnya mempunyai
normatif hipersten tinggi. Hal ini berarti fraksionasi didominasi oleh pemisahan alumino-
ortopiroksin atau ortopiroksin+augit subalkali. Sehingga arah fraksionasi menghasilkan
magma basal alumina-tinggi dari dapur magma toleiit- kaya olivin pada suhu cair sekitar
1135oC. Hardjadinata (1983) menyimpulkan bahwa tipe magma G. Anak Krakatau
dicirikan oleh kandungan alumina-tinggi, normatif hipersten tinggi, kandungan TiO2
rendah, dan indek warna normatif dan plagioklas normatif tinggi. Komposisi kimia ini
menunjukkan bahwa basal alumina-tinggi G. Anak Krakatau adalah berasal tepi benua
dari atau pemekaran pusat kepulauan. Aliran piroklastik batuapung Krakatau dicirikan oleh
sejumlah besar komposisi gelas vulkanik, dan kandungan besar silika dan alkali, tetapi
kandungan MgO, FeO dan CaO-nya rendah (Oba, 1983). Secara litologi aliran piroklastik
ini bersifat andesit walaupun secara geokimia dasitis.
Seismik
Pengamatan seismik atau kegempan G. Krakatau dilakukan secara menerus sejak
1985 dari Pos PGA di Pasauran, Kec. Cinangka, Kab. Serang, Prov. Banten kemudian
pada 1995 dibangun pos pengamatan lainnya yang berlokasi di Desa Hargopancuran,
Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan.
Sistem pemantauan kegempaan G. Anak Krakatau menggunakan sistem radio
telemetri dan pencatat gempa tipe PS-2. Sensor gempa (seismometer) dan modul
pemancar di pasang di sebelah timur G. Krakatau pada jarak sekitar 600 m sebelah timur
puncak G. Anak Krakatau, pada posisi geografis 06o 46' 12.0'' LU dan 105o 25' 42.9'' BT
serta pada ketinggian sekitar 103 m dpl.
Kawasan rawan bencana III terhadap lontaran batu (hujan abu lebat)
Kawasan rawan bencana III merupakan kawasan yang letaknya paling dekat
dengan sumber erupsi, oleh karena itu kawasan ini selalu terlanda oleh bom vulkanik,
hujan abu lebat dan lontaran batu lainnya. Penyelidikan lapangan menunjukan bahwa
lontaran batu (pijar)/bom vulkanik mencapai jarak 500m hingga 1.0 km dari pusat erupsi,
sedangkan yang berukuran kerikil dan lebih keci dapat mencapai 2 km dari pusat erupsi.
Namun demikian, berhubung Anak Krakatau tidak berpenduduk, material lontaran dan
hujan abu lebat hanya dapat membahayakan pengunjung yang terdiri atas wisatawan
ataupun nelayan yang kebetulan berada di daerah tersebut dan dalam radius jangkauan
material lontaran.
a. Kawasan Rawan Bencana II terhadap aliran massa: aliran lava dan awan panas
Aliran lava
Data geologi dan sejarah kegiatan Anak Krakatau menunjukkan bahwa produk letusan
Anak Krakatau sejak lahirnya dan erupsi- erupsi setelahnya banyak menghasilkan lava,
sementara aliran piroklastik/ awan panas jarang terjadi. Berdasarkan perhitungan
(Sutawidjaja, 2006) volume lava dari November 1992 sampai 2001 adalah 15.127.895 m3.
Kalaupun pada letusan akan datang terjadi aliran lava terlebih dahulu akan mengisi
daerah kawah, bila volume besar dan kawah telah terisi penuh baru lava meluber
ke daerah lerengnya. Karena aliran lava cenderung mengikuti morfologi rendah dan
landai maka lereng timurtimurlaut, baratdaya dan barat lebih berpotensi dilalui aliran
lava.
Awan panas
Erupsi Krakatau saat ini yang bertipe vulkanian dan strombolian dengan VEI 1-3,
sedikit sekali atau jarang menghasilkan awan panas. Kalaupun terjadi awan panas
maka kawasan yang berpotensi dilanda awan panas terutama adalah daerah sekitar
puncak dan lereng bagian atas karena ketinggian kolom erupsi hanya mencapai 1000
m (Sutawidjaja, 2006). Selain tidak ada penduduk yang bermukim di Krakatau, kecuali
para pengunjung yang mendaki puncak, maka awan panas boleh dikatakan tidak
membahayakan namun awan panas tetap merupakan produk erupsi yang sangat
berbahaya.
b. Kawasan Rawan Bencana II terhadap bahaya lontaran dan hujan abu lebat
Bahaya lontaran adalah semua jenis bahan letusan yang dilontarkan ke udara berupa
bom vulkanik (kerak roti), jatuhan piroklastik/hujan abu lebat dan juga pecahan batuan
tua (fragmen lithik). Material lontaran ukuran besar tidak terpengaruh oleh arah tiupan
angin, karena berukuran besar sedangkan yang berukuran halus tergantung arah angin
saat erupsi sehingga batas kawasannya berbentuk lingkaran dengan radius 5 km dari
pusat erupsi. Pada jarak 5 km di sekitar Anak Krakatau terdiri atas pulau-pulau Rakata
Besar, Sertung, dan Panjang yang merupakan pulau-pulau terdekat tidak berpenduduk,
sedangkan pulau yang berpenduduk adalah Sebesi berjarak ± 30 km sebelah utara
Anak Krakatau.
Kawasan Rawan Bencana I
Bagi gunungapi pada umumnya Kawasan Rawan Bencana I adalah kawasan
yang berpotensi terlanda lahar dan tidak menutup kemungkinan dapat terkena perluasan
awan panas dan aliran lava. Kegiatan yang terjadi hingga saat ini, Krakatau sangat
jarang menghasilkan awan panas yang biasa membentuk lahar, sehingga bahaya lahar
dianggap tidak ada. Erupsi Krakatau saat ini yang masih bertipe strombolian dan
vulkanian hampir tidak menghasikan awan panas namun hanya terdiri atas lontaran batu
(pijar)/bom vulkanik, jatuhan piroklastik/hujan abu dan aliran lava. Berdasarkan produk
erupsi yang saat ini, Kawasan Rawan Bencana I hanya berpotensi terkena hujan abu
tanpa memperhatikan arah tiupan angin dan kemungkinan dapat terkena lontaran batu
(pijar). Berdasarkan erupsi terdahulu yang terjadi sejak lahirnya Anak Krakatau hingga
saat ini, bila jatuhan piroklastik ukuran kerikil dapat mencapai 5 km (Sutawidjaja, 2006)
dari pusat erupsi, maka pasir dan abu dapat mencapai lebih jauh lagi hingga 8 km
tergantung kuatnya tiupan angin saat erupsi terjadi. Pada jarak tersebut di atas, di sekitar
Anak Krakatau hanya terdapat pulau-pulau Rakata, Sertung dan Panjang yang tidak
berpenduduk, kecuali sewaktu-waktu pengunjung insidentil terdiri atas wisatawan dan
kemungkinan nelayan.
Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Anak Krakatau
DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, R.W., van, 1949, The Geology of Indonesia. Vol. 1, The Hague, 194-213.
Bronto, S., dkk., 1982, Laporan sementara pemetaan geologi komplek gunungapi
Krakatau. Direktorat Vulkanologi. (tidak terbit).
Bronto, S., 1990, G. Krakatau. Berita Berkala Vulkanologi. Edisi Khusus No. 133.
Direktorat Vulkanologi, 5pp.
Clarbrough, M.L., 1990, Taman Nasional Ujung Kulon. Buku Panduan Taman Nasional
Ujung Kulon. Departemen Kehutanan R.I., 72pp.
Dahrin, D., 1995, Kajian geologi dan geofisika daerah Selat Sunda dan sekitarnya
sehubungan dengan potensi bencananya. Workshop Mitigasi Bencana Selat Sunda,
BPPT, Jakarta, 12pp.
De Neve, G.A., 1981, Historical notes on Krakatau’s eruption of 1883, and activities in
previous times. Natl. Inst. Oceanology (LON-LIPI), Jakarta, Publ. No.
LON/COAST/III-14, 45pp.
Effendi, A.C., Sukhyar, R., Bronto, S., 1983, Geology of Krakatau Complex. Proc. 100th
year Develop. Krakatau and its surr., LIPI, Indonesia.
Furneaux, R., 1964, Krakatau. Prentice Hall. Inc., Englewood Cliffs, N.J., 244pp.
Hardjadinata, K., 1983, Petrology and geochemistry of the volcanic rocks of Mount Anak
Krakatau. Proc. 100th year Develop. Krakatau and its surr., LIPI, Indonesia.
Judd, J.W., 1888, On the volcanic phenomena of the eruption, and on the nature and
distribution of the ejected materials. Part I, In “The Eruption of Krakatoa Committee of
the Royal Society”, G.J. Symons Ed. Harrison and Son, London, 1-46.
Haerani, N. 2007. Laporan peringatan dini bahaya gunungapi krakatau, Provinsi Banten.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
Hendrasto, M.,. 2007. Laporan peringatan dini bahaya gunungapi krakatau, Provinsi
Banten. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
Neumann van Padang, 1951, Catalogue of the active volcanoes of the worl including
solfatara foelds. Part I Indonesia, International Volcanological Association, 779-819.
Nishida, Y., Palgunadi, S., Said, H., Watanabe, H., 1984, A geomagnetic survey on
Krakatau Caldera. In “Geophysical Studies on Volcano-Tectonic Depression in
Indonesia”. Interim Report of Grant-Aid for Overseas Research in 1982 and 1983.
Hokkaido University, Sapporo, Japan. 9-17.
Oba, N., Tomita, K., Yamamoto, M., Istidjab, M., Badruddin, M., Sudradjat, A., Suhanda,
T., 1983, Chemical comparison of volcanic products of Krakatau Group and Aira
Caldera-Sakurajima Volcano. Proc. 100th year Develop. Krakatau and its surr., LIPI,
Indonesia.
Sjarifudin, M.Z., Pubawinata, M.A., 1983, Petrographic and geochemical analyses of the
volcanic rocks of the Krakatau Complex. Proc. 100th year Develop. Krakatau and its
surr., LIPI, Indonesia.
Self, S., Rampino, M., 1981, The 1883 eruption of Krakatau. Nature, V.294, 699-704.
Simkin, T., Fiske, R.S., Krakatau 1883, the volcanic eruption and its effects. Smithsonian
Institution Press, Washington D.C.
Stehn, Ch. E., 1929, The geology and volcanism of the Krakatau Group. Part I, 1-55
plates, In “4th Pac. Sci. Congr. Batavia, Guidebook, 118pp.
Sudradjat, A., 1983, The morphological development of Krakatau volcano, Sunda Strait,
Indonesia. Proc. 100th year Develop. Krakatau and its surr., LIPI, Indonesia.
Sutawidjaja, I.S., 1997, The activities of Anak Krakatau volcano during the years of 1992-
1996. The Disast. Prev. Res. Inst. Ann., No. 40 IDNDR S. I. Kyoto University, Kyoto,
Japan. 13-22.
Thornton, I., 1996, Krakatau, the destruction and reassembly of an island ecosystem.
Harvard Univ. Press, Cambridge, Massachussets, and London, England, 346pp.
Tjia, H.D., et.al., 1983, Beberapa catatan mengenai Anak Krakatau, kunjungan dalam
bulan Mei 1983. University Kebangsaan Malaysia, tidak terbit.
Yokoyama, I., 1981, A geophysical interpretation of the 1883 Krakatau eruption. Jour. Vol.
and Geoth. Res., 9, 359-378.
Yokoyama, I., 1971, Comparative studies of subsurface structure between Thera and
Krakatau. The 1st Inter. Sci. Congr. on the Volcano of Thera, Greece, Athens, 337-
350.
Yokoyama, I., Sudradjat, A., Said, H., Maekawa, T., 1984, Formation of volcanic
depressions-Krakatau and Toba. In “Geophysical Studies on Volcano-Tectonic
Depression in Indonesia”. Interim Report of Grant-Aid for Overseas Research in 1982
and 1983. Hokkaido University, Sapporo, Japan. 19-24.
Zen, M.T., Sudradjat, A., 1983, History of the Krakatau Volcanic Complex in Strait Sunda
and the mitigation of its future hazards. Buletin Jurusan Geologi ITB, V. 10.