Anda di halaman 1dari 2

Loop

Hari itu, seorang gadis berlari menyusuri jalan. Ia terlihat seperti dikejar
seseorang. Dia kemudian membelokkan langkahnya ke sebuah jalan di sisi kirinya.
Jauh masuk ke dalam, kemudian menghentikan langkahnya. Gadis itu berusaha mengatur
nafasnya, lalu menengadahkan kepala dan melihat seisi jalan itu. Jalan buntu.
Sewaktu ia menyadari itu, seseorang di belakangnya berteriak, “Apa kau ingin mati
hari ini?” Dan semua itu menghilang sebelum ia menoleh.

Aku membuka mataku pukul 6 pagi. Kalender yang berada di atas meja di sebelahku
menunjukkan tanggal 6 bulan Juni. Suasana pagi itu masih gelap dan hening. Aku
bangkit lalu duduk di kasurku. Sambil berpikir bahwa hari ini harus sekolah, aku
membatin, ‘Kapan aku mati? Aku ingin menemui hari itu agar aku tak perlu lagi
sekolah. Tapi aku tahu, orangtuaku pasti menangisi kepergianku. Dua hal ini
membuatku ragu akan kematianku.’

Aku menyiapkan diri dan berangkat. Setibanya di sekolah, aku ragu membuka pintu,
tapi tak ada pilihan lain. Ketika kubuka pintu kelas, air pel nan keruh menyambutku
disertai gelak tawa seisi kelas. “Kau masih datang juga? Kami pikir kau sudah
pindah. Oh, ya! Kami punya sesuatu untukmu.” Sebelum aku tahu apa yang akan
diberikan gadis itu, aku lari dari tempat itu. Meninggalkan sekolah. Rasa kesal
memenuhi pikiranku. Samar, tapi terdengar langkah yang seolah mengejarku. Bahkan
hingga aku berlari ke jalan raya.

Aku kemudian berbelok ke sebuah jalan kecil di sisi kiri, lalu teringat akan mimpi
semalam. Kuhentikan langkah di tengah jalan dan mengatur nafas. Kulihat jalan di
depanku yang ternyata buntu, sama seperti mimpi itu. Sejurus kemudian terdengar
teriakan, “Apa kau ingin mati hari ini?” Suaranya terdengar berbeda dengan gadis
yang mengarjaiku di kelas tadi. Ketika aku akan menoleh untuk memastikan, semua
gelap gulita

Aku terbangun dan langsung duduk di posisiku. Masih dengan rasa takut yang
menjalar, aku terus bertanya dalam hati apa yang kualami barusan. Mimpi? Meski
ingin mati, aku masih punya orangtua dan aku memikirkan mereka. Aku melirik jam dan
kalender di meja samping tempat tidurku. Pukul 6 tanggal 6 Juni. Aku terbangun di
hari yang sama dan itu membuatku semakin bertanya-tanya.

Beberapa saat kemudian, ibu mengetuk pintu kamarku. menyuruhku untuk bersiap ke
sekolah. Aku jadi teringat kejadian itu dan memutuskan untuk membolos.

Aku melangkah ke taman kota meski hari mesih terbilang cukup gelap. Aku duduk di
dekat air mancur sampai seorang pria tinggi tegap mengahampiriku. “Hei, dik, kau
tidak sekolah? mau ikut denganku?” sapanya sambil bertanya. Aku tak
menghiraukannya, lalu dia menarikku dengan kasar. “Lepaskan aku!” pekikku melepas
tangannya. Aku kemudian berlari meninggalkannya. Kembali aku mendengar derap
langkah yang seolah mengejarku. Tapi aku tak berani menoleh untuk memastikan. Tanpa
sadar, aku kembali berbelok di jalan yang sama seperti sebelumnya. Aku hanya
terdiam ketika menyadari itu jalan buntu. di belakangku seseorang dengan suara yang
sama seperti sebelumnya berteriak, “Apa kau ingin mati hari ini?” Dan pandanganku
kembali gelap sebelum menoleh.

Aku tersentak dan kembali mendapati diriku tarbangun di atas kasur. Aku segera
melirik jam dan kalender yang masih menunjukkan pukul 6 tanggal 6 bulan Juni. Aku
tak ingin sekolah. Kukatakan hal itu pada ibuku dan aku diizinkan libur. “Kalau
begitu bisa kau gantikan ibu pergi ke pasar?” tanya ibu. Meski berat hati untuk
keluar, tapi aku menerimanya.

Di pasar, aku melirik daftar yang diberikan ibu sambil berdiri di depan kios
sayuran. Pemilik kios kemudian mengajakku bicara, “Sedang apa?” Tapi aku tak
melirik sedikitpun. Ia kemudian berjalan ke arahku dan menepuk pundakku. “Kenapa
kau tak ikut denganku saja?” tanyanya.

Rasa dingin menjalari tubuhku. Aku segera berlari sambil berpikir ini yang ketiga
kalinya. Meski kali ini aku tak mendengar derap langkah, suara yang sama seperti
sebelumnya kembali terdengar. “Tunggu!” teriaknya, tapi aku tak berhenti. Di jalan
raya jalan buntu di sisi kiri tempatku selalu berbelok terlihat. tapi aku tak
berniat kembali ke sana. Aku tak ingin mengalami hal ini lagi. Kulirik sekitar dan
melihat lampu penyeberangan menyala hijau. Aku segera menyeberang. Namun baru
setengah jalan, lampu berubah merah. Kendaraan yang tadi berhenti bergerak cepat
seolah tak melihatku dan siap menabrak. Di saat terakhir aku memberanikan diri
menoleh. Makhluk berjubah hitam sudah mengaitkan sabit besarnya di leherku.
Ternyata dia yang selama ini mengejarku. Pantas suaranya terdengar lain.

“Ini adalah harapanmu, bukan?” ucapnya dengan seringai. Aku tersenyum begitu
menyadarinya. “Ya, lakukan saja,” balasku putus asa. Setelah itu semua gelap dan
waktuku tak lagi berputar.

Anda mungkin juga menyukai