Anda di halaman 1dari 18

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

LAPORAN KASUS
GERD
(Gastro-Esophageal Reflux Disease)

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan Kepada :

Pembimbing
dr. B. Susanto Permadi, Sp.PD NIP. 19590824 198511 1 001

Disusun Oleh :
Amalia Isnaini NIM. H2A010003

Kepaniteraan Klinik Departemen Penyakit Dalam


FAKULTAS KEDOKTERAN – UNIMUS SEMARANG
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
ILMU PENYAKIT DALAM
Presentasi Laporan Kasus dengan judul :

GERD
(Gastro-Esophageal Reflux Disease)

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:
Amalia Isnaini H2A010003

Telah disetujui oleh Pembimbing:


Nama pembimbing Tanda Tangan Tanggal

dr. B Susanto P, SpPD ............................. .............................

Mengesahkan:
Koordinator Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

dr. B. Susanto P, Sp.PD


NIP. 19590824 198511 1 001

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan
laporan kasus dengan judul “GERD”. Laporan ini merupakan salah satu syarat dalam
mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa.
Laporan ini sedikit banyak membahas mengenai penyakit yang menjadi
masalah-masalah di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia. Hanya sebagian
masalah kecil yang penulis bahas, namun diharapkan laporan kasus ini bisa memberikan
sedikit pengetahuan kepada para pembaca mengenai penyakit ini.
Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. B. Susanto Permadi, Sp.PD, dr. Hascaryo Nugroho, Sp.PD
serta dr. Alex Santana, Sp. PD selaku dokter pembimbing dan teman-teman Co-Ass
yang telah membantu dalam proses pembuatan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini banyak terdapat
kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharap kritik
dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi teman-teman dan semua pihak yang berkepentingan bagi
pengembangan ilmu kedokteran. Amin.

Ambarawa, Desember 2014

penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………..……… i


LEMBAR PENGESAHAN ……………………………..………… ii
KATA PENGANTAR …………………………………………… iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………… iv
BAB I LAPORAN KASUS …………………………………… 1
Identitas Pasien ………………….……………………… 1
Data Dasar ……………………………………..………… 1
Resume …………………...………………………………… 6
Penelusuran (Follow Up) ………………………………… 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………… 14
2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI……………………… 15
2.2.A. Definisi GERD…………………………………… 19
B. Epidemiologi ……………………………………… 20
C. Etiologi dan Patofisiologi……….………………………… 21
D. Manifetasi Klinis…..………………………………… 22
E. Faktor Resiko……………………………………………… 24
F. Diagnosa……..……………………………………… 24
G. Penatalaksanaan……….…………………………… 30
H. Komplikasi……………………..…………………………… 36
BAB III ANALISIS KASUS ………………………..………………… 37
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………. 39
Laporan

Upaya Pencegahan dan Pemberantas Penyakit Tidak Menular

GERD

BAB 1
PENDAHULUAN

Gastroesophageal Reflux Disease GERD adalah gangguan umum yang biasa


terjadi yang berdampak menurunnya kualitas hidup dan produktivitas kerja, GERD
disebabkan oleh adanya refluks asam HCL dari gaster ke esophagus, yang biasanya
tidak diketahui oleh pasien GERD, sehingga diagnosis GERD tidak dapat tercapai.
Prevalensi GERD di negara barat sebesar 10-20%, lebih banyak ditemukan pada laki-
laki kulit putih dan usia yang relatif usia tua, prevalensi GERD di Asia sekitar 2-5%,
secara umum lebih rendah dibandingkan dengan negara barat, termasuk Indonesia
prevalensinya semakin meningkat.
Pasien GERD dapat datang dengan keluhan heartburn yang merupakan gejala
tipikal dari GERD, penderita merasakan sensasi terbakar di area perut atau dada bagian
bawah. Gejala khas lainnya yaitu regrgitasi dan disfagia, meskipun gejala khas GERD
adalah heartburn namun gejala atipikal juga bisa timbul yang meliputi nyeri dada non
kardiak, sendawa, cegukan, mual muntah, sesak dan batuk. Gejala tersebut biasanya
terjadi setelah makan dan gejala ini menjadi lebih berat dengan posisi berbaring,
membungkuk atau aktivitas fisik.
GERD dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor genetik, diet, rokok,
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), obesitas, faktor pelindung lambung dan
faktor perusak gaster, faktor pelindung gaster diantaranya yaitu sekresi mukus, sekresi
bikarbonat, aliran darah mukosa, dan regenerasi epitel, sedangkan faktor perusak gaster
yaitu asam hidroklorida (HCL) lambung serta zat- zat yang dapat merangsang sekresi
asam HCL gaster berlebihan dan dilatasi gaster. Tidak adanya keseimbangan faktor
pelindung dan faktor perusak pada organ gaster merupakan inti dari permasalahan
GERD. Dengan menghindari faktor perusak seperti makanan pedas, kopi, dan NSAID,
diharapkan dapat menghindari kekambuhan GERD (Ndraha, 2014).
GERD
A. Definisi
Refluks gastroesofageal sebenarnya merupakan proses fisiologis normal yang
banyak dialami orang sehat, terutama sesudah makan. PRGE atau Penyakit refluks
gastroesofageal (gastro-esophageal reflux disease/GERD) adalah kondisi patologis
dimana sejumlah isi lambung berbalik (refluks) ke esofagus melebihi jumlah
normal, dan bila terjadi refluks berulang dalam waktu lama sehingga menimbulkan
keluhan/kerusakan mukosa esophagus.
Refluks ini ternyata juga menimbulkan symptoms ekstraesofageal, disamping
penyulit intraesofageal seperti striktur, Barrett's esophagus atau bahkan
adenokarsinoma esophagus.9
B. Etiologi dan Patofisiologi
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis dapat
terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam waktu
yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi
penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus 9
Sebelum menjadi nutrisi yang berguna bagi tubuh, makanan haruslah melalui
serangkaian proses pencernaaan. Proses pertama terjadi di mulut kita dimana
makanan dikunyah menjadi bagian yang lembut secara mekanik dengan gigi dan
secara enzimatis melalui enzim pencernaan seperti enzim ptialin.
Setelah itu, maka dimulailah proses menelan. Makanan yang telah hancur akan
masuk ke dalam suatu terowongan yang dinamakan esofagus. Gerakan peristaltis
oleh sel otot pada esofagus akan membantu proses menelan ini. Esofagus
merupakan suatu jalan masuknya makanan ke dalam lambung. Antara esofagus dan
lambung, terdapat sebuah “pintu” yang dinamakan lower esophageal sphincter
(LES). Pintu ini terdiri dari serangkaian otot yang membuka saat makanan masuk
ke dalam lambung. Setelah makanan masuk ke dalam lambung, maka asam
lambung akan dikeluarkan terutama oleh sel parietal lambung untuk mendegradasi
makanan menjadi senyawa-senyawa agar dapat diserap oleh tubuh. Setelah itu,
makanan akan masuk ke dalam usus (intestinal), pertama adalah usus halus. Saat
makanan masuk ke dalam usus, LES akan menutup agar gerakan gaster yang
mendorong makanan dapat secara efektif membawa makanan tersebut masuk ke
dalam usus. Jika LES tidak menutup sempurna, maka asam lambung yang telah
terbentuk di dalam lambung akan mengalami refluks masuk ke dalam esofagus.
Esofagus akan mengalami peradangan sehingga penderita akan merasakan sensasi
terbakar di daerah dada bagian tengah. Peradangan ini akan bermanifestasi sebagai
ulkus, striktur, atau barret esofagitis (pada keadaan ini terjadi pertumbuhan sel
secara abnormal yang dikatakan sebagai permulaan terjadinya kanker).10

C. Manifestasi klinis
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium
atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar
(heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan
makanan biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur), mual atau
regurgitasi. Regurgitasi merupakan kondisi dimana material lambung terasa di
pharing. Kemudian mulut terasa asam dan pahit. Kejadian ini dapat menyebabkan
komplikasi paru-paru. dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat
ringannya keluhan heartburn ternyata tidak selalu berkorelasi dengan temuan
endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan
angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan yang padat mungkin
terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barret’s esophagus.
Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.10
Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau regurgitasi,
gejala tidak khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang meliputi
nyeri dada non kardiak (non cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laringitis,
batuk, asma, bronkiektasis, pneumonia, gangguan tidur, dan disertai gejala lain
penurunan berat badan, anemia, hematemesis atau melena 10.11
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk
timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis di daerah gastroesophageal
high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES.10
Asma dan GERD adalah dua keadaan yang sering dijumpai secara bersaman. Selain
itu, terdapat beberapa studi yang menunjukkan hubungan antara gangguan tidur dan
GERD.11
Manifestasi klinis GERD dapat menyerupai manifestasi klinis dispepsia
berdasarkan gejala yang paling dominan adalah
 Manifestasi klinis mirip refluks yaitu bila gejala yang dominan adalah rasa
panas didada seperti terbakar
 Manifestasi klinis mirip ulkus yaitu bila gejala yang dominan adalah nyeri ulu
hati
 Manifestasi klinis dismotilitas yaitu gejala yang dominan adalah kembunh,
mual, cepat kenyang
 Manifestasi klinis campuran atau nonspesifik
Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala klasik dan
utama dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di dunia Barat, kata
”heartburn” mudah dimengerti oleh pasien, sementara tidak ada padanan kata yang
sesuai untuk heartburn dalam mayoritas bahasa-bahasa di Asia, termasuk bahasa
Cina, Jepang, Melayu. Dokter lebih baik menjelaskan dalam susunan kata-kata
tentang apa yang mereka maksud dengan heartburn dan regurgitasi daripada
mengasumsikan bahwa pasien memahami arti kata tersebut. Sebagai contoh, di
Malaysia, banyak pasien etnis Cina dan Melayu mengeluhkan ”angin” yang
merujuk pada dispepsia dan gejala refluks. Sebagai akibatnya, seperti yang terjadi
di Cina, banyak pasien GERD yang salah didiagnosis sebagai penderita non
cardiac chest pain atau dispepsia.12 Walaupun belum ada survei yang dilakukan,
berdasarkan pengalaman klinis sehari-hari, kejadian yang sama juga sering ditemui
di Indonesia.
GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena gejala-
gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur, penurunan
produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial. Short-Form-
36-Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan
populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup yang menurun, serta
dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding dengan pasien penyakit kronik
lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan artritis kronik.13
D. Faktor Resiko :14
• Obesity • Reclining after eating
• Fatty meals • Emotional stress
• Heavy meals • Rapid eatung behavior
• Spicy food • Coffe, tea
• Cigarrette smoking • Pregnancy
• Tight fitting garment • Medication

E. Diagnosis
Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang
dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD adalah : endoskopi saluran cerna
bagian atas, pemantauan pH 24 jam, tes Bernstein, manometri esofagus, sintigrafi
gastroesofageal, dan tes penghambat pompa proton (tes supresi asam).10
Ada beberapa pemeriksaan untuk diagnosis GERD yaitu:
1. Pemeriksaan Esofagogram.
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa
esofagus, erosi dan striktur. Pemeriksaan ini mempunyai akurasi 24,6% untuk
esofagitis ringan, 81,6% esofagitis sedang, dan 98,7% esofagitis berat.
2. Monitoring pH intra esofagus 24 jam.
Pemeriksaan ini berhubungan dengan episode reflux dan gejala-gejalanya serta
NERD. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikro
elektroda pH pada bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus bagian
distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4
pada jarak 5 cm diatas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
Akurasi pemeriksaan ini mencapai 96%

3. Tes Perfusi Berstein.


Digunakan untuk menilai sensitivitas mukosa esofagus terhadap paparan asam.
Pemeriksaan ini dengan memasang selang transnasal dan melakukan perfusi
distal esofagus dengan menggunakan HCl 0,1% yang dialirkan ke esofagus
dalam waktu kurang dari 1 jam dan menggunakan NaCl 0,9% sebagai kontrol.
Sensitivitas pemeriksaan ini 78 % dan spesifisitas 84%.
4. Tes PPI.
Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien
yang diduga menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu
minggu. Tes ini mempunyai sensitivitas 75% dan spesitivitas 55%.
5. Manometri esofagus.
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi pada
pasien NERD terutama untuk tujuan penelitian. Pemeriksaan ini juga untuk
menilai gangguan peristaltik/motilitas esofagus.
6. Endoskopi. Diindikasikan:
 Menilai adanya kerusakan mukosa esofagus mulai erosi sampai keganasan.
 Mengambil sampel biopsi.
 Kecurigaan adanya esofagus Barrett’s.
7. Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan. Tetapi
bukan untuk memastikan NERD.
American College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah
mempublikasikan Updated Guidelines for the Diagnosis and Treatment of
Gastroesophageal Reflux Disease, di mana empat di antara tujuh poin yang ada,
merupakan poin untuk diagnosis, yaitu :13
a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris
(termasuk modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien
masuk dilakukan jika pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi, atau
berisiko untuk Barret’s esophagus, atau pasien dan dokter merasa endoskopi dini
diperlukan. (Level of Evidence : IV)
b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi dugaan
Barret’s esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Biopsi harus
dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk mengevaluasi
displasia. (Level of Evidence : III)
c. Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu untuk
konfirmasi reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap ( baik
khas maupun tidak khas) tanpa adanya kerusakan mukosa; juga dapat digunakan
untuk memantau pengendalian refluks pada pasien tersebut di atas yang sedang
menjalani terapi. (Level of Evidence : III)
d. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan
probe ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya
pembedahan anti refluks. (Level of Evidence : III)
Sementara itu, pada tahun 2008, American Gastroenterological
Association (AGA) menerbitkan American Gastroenterological Association
Medical Position Statement on the Management of Gastroesophageal Reflux
Disease yang berisi 12 pernyataan, di mana pada poin ke-4 dijelaskan tentang
peran dan urutan prioritas uji diagnostik GERD pada dalam mengevaluasi pasien
dengan sangkaan GERD sebagai berikut :
a. Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala
esofagus dari GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus mencakup
area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau dalam hal tidak
dijumpainya kelainan secara visual, mukosa yang normal (minimal 5 sampel
untuk esofagitis eosinofilik.)
b. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala
esofagus dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2
kali sehari. Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami metaplasia,
displasia, atau malignansi.
c. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD
yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari dan
gambaran endoskopinya normal.
d. Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wireless-pH
dilakukan (terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi pasien
dengan dugaan gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa
PPI 2 kali sehari, gambaran endoskopinya normal dan tidak memiliki kelainan
pada manometri.
 Sistem Skala Gejala GERD berdasarkan Kuesioner
Secara umum, skala pengukuran gejala dapat digunakan untuk tujuan diagnostik,
prediktif, atau evaluatif. Jika skala tersebut bertujuan diagnostik, maka kuesioner
yang digunakan haruslah bersifat sangat spesifik terhadap jenis penyakit yang
dimaksud, yang tergambar dari pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner, sekaligus
mengeksklusikan penyakit lain dengan probabilitas prediksi yang tinggi. 15
Sistem skala FSSG dikembangkan di Jepang dan banyak digunakan di berbagai
negara di luar Jepang. FSSG terdiri dari 12 pertanyaan yang berhubungan dengan
gejala-gejala yang tersering dialami oleh pasien, tidak hanya heartburn dan acid
taste, tetapi juga gejala-gejala dispepsia seperti ’perut penuh’ dan ’merasa cepat
kenyang’. Diagnosis GERD dinyatakan dengan kuesioner ini pada nilai cut-off 8
poin.

Kuesioner GerdQ, yang dikembangkan oleh Jones dkk., termasuk kuesioner


terbaru. yang diolah dari RDQ, Gastrointestinal Symptom Rating Scale (GSRS) dan
Gastroesophageal Reflux Disease Impact Scale (GSIS)
GerdQ terdiri dari enam pertanyaan sederhana meliputi gejala refluks, dispepsia
dan konsumsi obat untuk mengatasi gejala. Nilai cut-off untuk GerdQ adalah 8 poin
yang merepresentasikan diagnosis GERD. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan
bahwa GerdQ berpotensi sebagai alat bantu diagnostik GERD bagi dokter umum
dengan akurasi yang sama dengan diagnosis yang dibuat oleh gastroenterologist.16
Kuesioner GerdQ ( Jones dkk, 2009)

Gambaran Endoskopi GERD


Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis
refluks). Dengan endoskopi, dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa
esofagus, serta dapat menyingkirkan kelainan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada endoskopi
pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai Non-erosive
Reflux Disease (NERD).19
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan
dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan bahwa gejala
heart burn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.18
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barett’s Esophagus,
displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
histopatologi / biopsi pada NERD.
Klasifikasi Los Angeles (Makmun, 2009)
Derajat Gambaran Endoskopi
Kerusakan
A Erosi kecil – kecil pada mukosa
esofagus dengan diameter < 5mm
B Erosi pada mukosa / lipatan mukosa
dengan diameter > 5 mm tanpa
saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak
mengenai / mengelilingi seluruh
lumen
D Lesi Mukosa esofagus yang bersifat
sirkumferensial (mengelilingi
seluruh lumen esofagus)
F. Penatalaksanaan
Pada Gerd walaupun jarang menyebabkan kematian, kemungkinan timbulnya
komplikasi jangka panjang bisa terjadi yaitu berupa ulserasi, striktur esofagus
ataupun esofagus Barett’s yang merupakan keadaan premalignan, maka penyakit ini
harus mendapat penatalaksanaan yang adekuat. Pada prinsipnya, penatalaksanaan
GERD terdiri dari modifikasi hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir
– akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.19
Target penatalaksanaan GERD adalah : a). menyembuhkan lesi esofagus b).
menghilangkan gejala / keluhan, c). mencegah kekambuhan, d). memperbaiki
kualitas hidup, e). mencegah timbulnya komplikasi
1. Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup adalah salah satu bagian penatalaksanaan namun bukan
merupakan pengobatan primer. Usaha ini didasarkan pada tujuan untuk mengurangi
frekuensi refluks serta mengurangi kekambuhan.8
Hal – hal yang dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut
 Posisi kepala / tempat tidur ditinggikan 6-8 inch serta menghindari makan sebelum
tidur dengan tujuan meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah
refluks asam dari lambung ke esofagus.

 Berhenti merokok dan menkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan


tonus dari LES.
 Mengurangi konsumsi lemak serta jumlah makanan yang dimakan karena dapat
menimbulkan distensi lambung.
 Menurunkan berat badan
 Menghindari makanan dan minuman yang dapat mempengaruhi sekresi asam
 Menghindari obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti anti kolinergik,
teofilin,diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonist beta adrenergik, progester
2. Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa yaitu step up dan step
down. Pendekatan step up dimulai dengan obat – obatan yang tergolong kurang
kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H 2) atau golongan prokinetik,
bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan
masa terapi yang lebih lama (penghambat pompa proton / PPI). 8 Sedangkan pada
pendekatan step down, pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil
dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih
rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.9
Menurut Genval Statement (1999) disepakati untuk terapi lini pertama
terhadap GERD adalah golongan PPI dengan pendekatan terapi step down.
Berikut adalah obat – obatan yang dapat digunakan dalam terapi GERD10 :
1. Antasid
Obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak
menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer HCl, obat ini memperkuat
tekanan sfingter esofagus bagian bawah (LES).
Dosis : 4 x 1 sendok makan
2. Antagonis reseptor H2
Sebagai penekan sekresi asam obat ini efektif bila diberikan dosis 2 kali lebih
tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Hanya efektif pada pengobatan esofagitis
derajat ringan sampai sedang tanpa komplikasi
Dosis pemberian :
 Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg
 Ranitidin : 4 x 150 mg
 Famotidin : 2 x 20 mg
 Nizatidin : 2 x 150 mg
3. Obat – obatan prokinetik
Secara teoritis obat ini paling sesuai untuk GERD
Dosis pemberian :
 Metoklopramid: 3 x 10 mg
 Domperidon : 3 x 10 – 20 mg
 Cisapride : 3 x 10 mg
4. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung dan aman karena
bekerja secara topikal
Dosis : 4 x 1 gram
5. Penghambat pompa proton (Proton pump inhibitor / PPI)
Obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD, efektif
menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagitis.
Dosis yang diberikan yaitu dosis penuh :
 Omeprazole : 2 x 20 mg
 Lansoprazole : 2 x 30 mg
 Pantoprazole : 2 x 40 mg
 Rabeprazole : 2 x 10 mg
 Esomeprazole : 2 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6 – 8 minggu (terapi inisial) yang dapat
dilanjutkan dengan terapi pemeliharaaan selama 4 bulan atau on demand teraphy
. Efektifitas golongan obat ini semakin bertambah jika digabung dengan
golongan prokinetik.

Alur tatalaksana Konsensus Nasional PRGE tahun 2013 di Pelayanan Primer

Alur tatalaksana Konsensus Nasional PRGE tahun 2013 di Pelayanan


Sekunder dan Tersier
3. Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan gagalnya terapi medikamentosa, yaitu :
1). Diagnosis tidak benar; 2). Pasien GERD sering disertai gejala – gejala lain seperti
rasa kembung, cepat kenyang dan mual – mual yang sering tidak memberikan respon
dengan pengobatan PPI serta menutupi perbaikan gejala refluksnya; 3). Pada
beberapa pasien memerlukan waktu lama untuk penyembuhan esofagitisnya; 4).
Kadang Barret’s Esofagus tidak memberikan respon terhadap terapi PPI; 5). Terdapat
striktur; 6). Terdapat stasis lambung dan disfungsi LES1
Terapi bedah merupakan terapi alternatif bila medikamentosa gagal atau pada
GERD dengan striktur berulang. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah
fundoplikasi.5
4. Pembedahan antireflux
Modalitas ini bersifat individu. Terapi ini dilakukan apabila dengan pengobatan
medikamentosa gagal. Operasi dilakukan bila pemeriksaan manometri menunjukkan
motilitas esofagus normal. Indikasi lain adalah untuk memperbaiki diafragma pada
kasus hiatus hernia.
5. Terapi endoskopi
Terapi ini masih terus dikembangkan. Contohnya adalah radiofrekuensi,
endoscopic suturing, dan endoscopic emplatation. Radiofrekuensi adalah dengan
memanaskan gastroesophageal junction. Tujuan dari jenis terapi ini adalah untuk
mengurangi penggunaan obat, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi reflux.
6. Follow up.
Menurut beberapa studi observasi, bila selama 10 tahun tidak ada perubahan
gejala, maka sebaiknya dilakukan endoskopi ulang dan selanjutnya dilakukan setiap
10 tahun.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi dari GERD dapat berupa :
 Syok , Peradangan
 Koma , Pembentukan tukak
 Edema laring , Perdarahan
 Perforasi esophagus , Striktur, Jaringan parut
 Aspirasi pneumonia, Barrett’s Esofagus

Anda mungkin juga menyukai