PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek
dokter sehari-sehari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan
kesehatan tersering seluruh dunia. Sinusitis merupakan penyakit dengan
persentase yang signifikan di dalam populasi dan dapat menyebabkan morbiditas
jangka panjang. Sinusitis adalah penyakit yang multifaktorial dan telah menjadi
penyakit nomor satu di Amerika, dan jutaan dolar dihabiskan untuk mengobatan
penyakit ini. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan
infeksi virus, alergi dan gangguan anatomi yang selanjutnya dapat diikuti infeksi
bakteri.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena
ialah sinus ethmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus
sphenoid lebih jarang lagi.
Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi
rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis
dentogen. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi
orbita dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit
diobati.
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi
premolar dan molar atas dan sering terlihat pada pemeriksaan radiologi oral dan
fasial. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis, seperti infeksi yang
berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi
sinus. Data dari sub bagian Rinologi THT FKUI RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo menunjukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu 248
pasien (50%) dari 496 pasien rawat jalan yang datang pada tahun 1996.
1
BAB II
ANATOMI, FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
2
Gambar 1. Gambaran anterolateral tulang hidung
3
- conchae nasalis suprema ( kadang ada kadang tidak)
- conchae nasalis superior
- conchae nasalis media
- conchae nasalis inferior
c. Vaskularisasi Hidung
a. A. sphenopalatina cabang A. maxillaris interna
b. A. eithmoidalis anterior cabang A. opthalmica mendarahi
sepertiga depan dinding lateral dan sepertiga depan septum nasi
c. A. eithmoidalis posterior, mendarahi bagian superior
4
d. cabang-cabang A. facialis
e. A. Palatina descendens cabang A maxillaries interna.
Pada bagian anterior septum nasi terdapat anastomosis antara
R. septi nasi A. labialis superior cabang A. facialis dengan rami
septales posterior A. Sphenopalatina cabang A. maxillaris interna,
juga kadang-kadang diikuti R. septalis anterior A.eithmoidalis
anterior dan cabang dari A. palatina major. Anastomosis ini terletak
superfisial. Daerah tempat anastomosis ini disebut daerah
Kiesselbach.
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
V.opthalmica yang berhubungan dengan sinus kavernosus..Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.
d. Inervasi Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensorik dari n.ethmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari
n.nasociliaris, yang berasal dari n.opthalmicus. Rongga hidung
lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensorik dari
n.maxillaris melalui ganglion sphenopalatina. Ganglion
sphenopalatina, selain mendapat persarafan sensorik, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut-serabut sensorik dari n.maxillaris,
serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-
serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion tersebut terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior concha media.
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-
sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga atas
hidung.
5
2.2. Fisiologi Hidung
6
4. Indra penghidu
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
6. Proses berbicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Pada pembentukan
konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka,
palatum mole turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskular dan pernafasan.
7
a. Sinus Maksilaris
Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus
maksilaris arcus I.
Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung,
sedang apexnya pada pars zygomaticus maxillae.
Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada
orang dewasa.
Berhubungan dengan :
- Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra
orbitalis) sehingga jika dindingnya rusak maka dapat
menjalar ke mata.
- Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2
Mo1ar.
- Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.
b. Sinus Ethmoidalis
Terbentuk pada usia fetus bulan IV.
Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa
terdiri dari 7-15 cellulae, dindingnya tipis.
Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak
antara hidung dan mata
Berhubungan dengan :
- Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu
lamina cribrosa. Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah
menjalar ke daerah cranial (meningitis, encefalitis dsb).
- Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika
melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah
maka darah masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill
Hematoma.
- Nervus Optikus.
- Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.
c. Sinus Frontalis
8
Sinus ini dapat terbentuk atau tidak.
Tidak simetri kanan dan kiri, terletak di os frontalis.
Volume pada orang dewasa ± 7cc.
Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).
Berhubungan dengan :
- Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.
- Orbita, dibatasi oleh tulang compacta.
- Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.
d. Sinus Sfenoidalis
Terbentuk pada fetus usia bulan III.
Terletak pada corpus, alas dan Processus os sfenoidalis.
Volume pada orang dewasa ± 7 cc.
Berhubungan dengan :
- Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.
- Glandula pituitari, chiasma n.opticum.
- Tranctus olfactorius.
- Arteri basillaris brain stem (batang otak).
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. RINOSINUSITIS1
1. Definisi
Rinosinusitis didefinisikan sebagai :
Inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua
atau lebih gejala, salah satunya harus termasuk sumbatan hidung/
obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior / posterior),
nyeri/ tekanan wajah, penurunan / hilangnya penghidu.
Inflamasi mukosa atau selaput lendir sinus paranasal ;pembentukan
cairan atau kerusakan tulang di bawahnya. Sinus paranasal adalah
rongga rongga yang terdapat pada tulang tulang di wajah.
2. Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat
virus, bermacam rhinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada
wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau
hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil,
infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom
kartagener, dan di luar negri adalah penyakit fibrosis kistik.
3. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar didalam KOM. Mukus juga
mengandungsubstansi antimikroba dan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
10
pernafasan. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan
bila terjadi edema, mukosa yang berdekatan akan saling bertemu sehingga
silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan
negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi,
mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinositis non-
bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus
merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri.
Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut
bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil
(misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi
hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak
dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya
perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembengkakan polip dan kista.
4. Klasifikasi Sinusitis
Berdasarkan lama perjalanan penyakit, sinusitis dibagi atas:
1. Sinusitis akut adalah proses infeksi di dalam sinus yang berlangsung
selama 4 minggu. Macam-macam sinusitis akut: sinusitis maksila akut,
sinusitis etmoidal akut, sinus frontal akut, dan sinus sphenoid akut.
2. Sinusitis subakut adalah proses infeksi di dalam sinus yang berlansung
selama 4 minggu sampai 3 bulan.
3. Sinusitis kronis adalah proses infeksi di dalam sinus yang
berlansung selama lebih dari 3 bulan bahkan dapat juga berlanjut
sampai bertahun-tahun.
11
2. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan
molar).
5. Manifestasi Klinis
Maniferstasi klinis sinusitis adalah :
- Hidung tersumbat
- Nyeri atau rasa tertekan pada daerah wajah, nyeri tekan pada daerah
sinus atau referred pain.
- Sekret ingus purulen, kadang turun ke tenggorokan
- Gejala sistemik berupa lesu dan demam
- Sakit kepala
6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior
dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk
diagnosa yang tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus
medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di
meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sphenoid).
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak
sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pemeriksaan pembentu yang pentng adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai
kondisi sinus – sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan
akan terlihat perselubungan, batas udara cairan ( air fluid level ) atau
penebalan mukosa.
CT Scan sinus merupakan gold standar diagnosis sinusitis karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung
dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal
hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak
12
membaik dengan pengobatan atau pra operasi saat melakukan operasi
sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunkan karena sangat
terbatas kegunaannya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus medius atau superior, untuk mendapatkan
antibiotic yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar
dari pungsi sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial
sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat
kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan
irigasi sinus untuk terapi.
7. Tatalaksana
Tujuan terapi sinusitis adalah :
a. Mempercepat penyembuhan
b. Mencegah komplikasi
c. Mencegah sinusitis menjadi kronik
Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan KOM sehingga
drainase sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan
merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka
sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih golongan penisilin seperti
amoksisislin. Jika terjadi resistensi atau bakteri memproduksi beta
laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin, plavulanat, atau jenis
sefalosporin generasi kedua. Pada sinusitis, antibiotik diberikan 10-14
hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik, diberikan
antibiotik yang sesuai dengan kuman gram negatif dan anaerob. Selain
dekongestan oral, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan seperti
analitik, mukolitik, steroid oral / topical, pencucian rongga hidung dengan
NaCl atau pemanasan (diatermi).
13
Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga
merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat
dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.
Tindakan operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan operasi terkini
untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasi :
- Sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat
- Sinusitis kronik disertai kista / kelainan irreversible
- Polip ekstensif
- Adanya komplikasi sinusitis
- Sinusitis jamur
8. Komplikasi
Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronik dengan eksaserbasi akut, berupa :
a. Kelainan orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang dekat dengan mata, paling
sering sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Kelainan yang dapat timbul adalah udem palpebra, selulitis orbita, abses
subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus
kavernosus.
b. Kelainan intracranial
Komplikasi paling berbahaya dari sinusitis khususnya sinusitis frontal
dan sphenoid adalah penyebaran infeksi bakteri anaerob ke otak baik
melalui melalui tulang ataupun pembuluh darah. Dapat berupa meningitis,
abses ekstradural atau subdural, abses otak, dan thrombosis sinus
kavernosus.1
14
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal, sering ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomyelitis sinus maksila, dapat timbul fistula
oroantral atau fistula pada pipi.
b. Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkoektasis.
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru disebut
sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.
9. Prognosis
Prognosis sinusitis akut sangat baik, dengan sekitar 70% pasien
dapat sembuh tanpa pengobatan. Antibiotik oral dapat mengurangi gejala
sinusitis. Sinusitis kronik memiliki perjalanan penyakit yang bervariasi.
Prognosisnya baik, bila penyebab sinusitis adalah anatomis dan
ditatalaksana dengan tindakan pembedahan. Lebih dari 90% pasien
mengalami kemajuan dengan intervensi bedah. Namun, pasien ini
memiliki kemungkinan untuk relaps, sehingga dibutuhkan regimen
untuk mencegah kekambuhan.
2. POLIP NASI
1. Defenisi
Polip nasi adalah masa yang tumbuh dalam rongga hidung, sering
kali multiple dan bilateral. Massa lunak, berwarna putih atau keabu-abuan
agak transparan, bentuk bulat atau lonjong, permukaan licin, mengkilat,
bertangkai, dan mudah digerakan.1
Sering kali berasal dari sinus dimana menonjol dari meatus ke
rongga hidung. Berdasarkan hasil pengamatan, polip nasi terletak di
dinding lateral cavum nasi terutama daerah meatus media. Paling banyak
di sel-sel eithmoidalis. Dapat juga berasal dari mukosa di daerah antrum,
yang keluar dari ostium sinus dan meluas ke belakang di daerah koana
posterior (polip antrokoanal).2
15
2. Epidemiologi
Insiden polip nasi sangat sulit ditentukan, ada yang melaporkan
insidenya 1-4% dan literatur lain melaporkan insiden polip nasi adalah 1-
20% per 1000 orang dewasa. Pada pria dan wanita dengan perbandingan
2,3: 1. Dapat mengenai seluruh ras dan biasanya timbul pada orang
dewasa yang berusia 20-40 tahun. Jarang ditemukan pada anak-anak,
insidenya adalah 0,1%.3
3. Etiologi
Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Terjadinya polip
nasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal : umur, alergi, infeksi dan
inflamasi dominasi eosinofil. Deviasi septum juga dicurigai sebagai salah
satu faktor yang mempermudah terjadinya polip nasi. Ada 3 faktor penting
dalam terjadinya poli nasi, yaitu adanya peradangan kronis yang berulang
pada hidung dan sinus, adanya ketidakseimbangan vasomotor dan terdapat
peningkatan tekanan cairan intertisial serta edema mukosa hidung.4
4. Patogenesis
Pada awalnya ditemukan edema mukosa yang timbul karena suatu
peradangan kronik yang berulang, kebanyakan terjadi di daerah meatus
medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga
mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses ini berlanjut, mukosa
yang sembab makin membesar dan kemudian turun kedalam rongga
hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.1
Dalam teori Bernstein, perubahan inflamasi pertama terjadi pada
dinding lateral mukosa hidung atau sinus sebagai akibat interaksi virus-
host bakteri atau sekunder untuk aliran turbulen. Dalam kebanyakan kasus,
polip berasal dari daerah meatus tengah kontak, terutama celah sempit di
kawasan ethmoid anterior yang menciptakan aliran turbulen, dan terutama
bila dipersempit oleh peradangan mukosa. Ulserasi atau prolaps dari
submucosa dapat terjadi, dengan reepithelialization dan pembentukan
kelenjar baru. Selama proses ini, polip dapat dibentuk dari mukosa akibat
16
proses inflamasi tinggi sel epitel, sel endotel pembuluh darah, dan
fibroblas mempengaruhi integritas bioelektric saluran natrium di
permukaan luminal sel epitel pernafasan dalam mukosa hidung. Respon
untuk meningkatkan penyerapan natrium, menyebabkan retensi air dan
pembentukan polip.
5. Histopatologi
Makroskopis1
Secara makroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan
permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-
abuan,agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif
(bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut
disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah
ke polip.bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip
dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun
warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung
jaringan ikat.
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostio-meatal
di meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan
endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat.
Ada polip yang tumbuh kearah belakang dan membesar
dinasofaring, disebut polip koana.polip koana kebanyakan berasal dari
dalam sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana. Ada juga
sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid.
17
Mikroskopis1
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan
mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan
submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma,
eosinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet.
Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama
dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara,
menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.
6. Klasifikasi
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2 :
1. Polip eusinofilik
Sel eosinofil terdapat pada 80-90% polip. Polip jenis ini biasanya
disebabkan proses hipersensitivitas atau alergi.
2. Polip neutrofilik
Netrofil terdapat pada 7% kasus polip. Polip jenis ini biasanya
disebabkan oleh proses inflamasi non-alergi dan tidak berespons baik
terhadap kortikosteroid
7. Gejala klinis
18
Pada sumbatan yang hebat didapatkan gejala hiposmia atau anosmia, rasa
lendir di tenggorok.
8. Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi
Polip yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar.
Dapat dijumpai pelebaran kavum nasi terutama polip yang berasal dari
sel-sel etmoid.5
- Rinoskopi Anterior
Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas
septum membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret
mukus dan polip multipel atau soliter.
- Rinoskopi Posterior
Kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada
kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian
superior, yang menandakan adanya rinosinusitis
19
Pemeriksaan penunjang
Dapat dilakukan pemeriksaan Endoskopi nasal dan sinus untuk
memastikan adanya polip nasal maupun sinus dan untuk menentukan letak
polip nasal tersebut. Dapat pula dilakukan pemeriksaan CT-scan, tes
alergi, kultur tetapi hal ini dilakukan atas indikasi.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan polip hidung terdiri atas terapi medikamentosa
dan terapi bedah,atau kombinasi keduanya. Penatalaksanaan betujuan
untuk mengeliminasi polip dan gejala rinitis, memulihkan fungsi
pernafasan dan penciuman serta mencegah polip berulang.
Terapi medikamentosa dapat diberikan pengobatan kortikosteroid
topikalatau sistemik. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi
mendikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk
polipektomi.
10. Prognosis
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap
berlanjut. Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang
20
multipel. Polip tunggal yang besar seperti polip antral-koanal jarang
terjadi relaps.
1. Etiologi
Penyebab paling sering adalah trauma. Taruma dapat terjadi
sesudah lahir, pada waktu partus atau bahkan pada masa janin intrauterin.
Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan
septum nasi terus bertumbuh, walaupun batas superior dan inferior
menetap. Dengan demikian terjadilah deviasi septum nasi tersebut.
2. Bentuk Deformitas
Bentuk deformitas septum ialah (1) deviasi, biasanya berbentuk
huruf C atau S ; (2) dislokasi, yaitu bagian bawah kartilago septum keluar
21
dari kista maksila dan masuk kedalam rongga hidung; (3) penonjolan
tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke belakang
disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina; (4) bila
deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konk
dihadapannya disebut sinekia. Bentuk ini akan menambah beratnya
obstruksi.
3. Gejala klinis
Keluhan yang paling sering pada deviasi septum ialah sumbatan hidun.
Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi
terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka
yang hipertrofi, sebagai akibat mekanisme kompensasi.
Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan disekitar mata. Selain itu
penciumn bisa terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian atas
septum.
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan
faktor predisposisi terjadinya sinusitis.
4. Terapi
Bila tidak ada gejala atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan
tindakan koreksi septum. Ada 2 jenis tindakan operatif yang dapat
dilakukan pada pasien dengan keluhan nyata yaitu reseksi submukosa dan
septoplasti.
Reseksi submukosa (submucous septum resection SMR ). Pada operasi ini
mukoperikondrium dan mukoperiostium kedua sisi dilepaskan dari tulang
rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum
kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan mukoperiostium
sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadinya
hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena
bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat.
22
Septoplasti atau reposisi septum. Pada operasi ini tulang rawan yang
bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan.
Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul
pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan
hidung pelana.
23
BAB IV
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. M
No. MR :
Umur : 22 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Pekerjaan : pelajar
Suku bangsa : Minang
Alamat : Gadut
ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan berumur 22 tahun dirawat di bangsal THT RSUP Dr.
M Djamil Padang pada tanggal 24 April 2013 dengan :
Keluhan Utama :
Hidung kiri bertambah tersumbat sejak 6 bulan yang lalu.
Keluhan tambahan :
24
Demam tidak ada.
Riwayat telinga kiri dirasakan berdengung ada, saat ini tidak ada.
Riwayat sering bersin- bersin saat udara dingin atau kena debu tidak ada.
Riwayat gatal pada hidung dan mata sejak kecil tidak ada.
Riwayat trauma pada hidung disangkal.
Riwayat pernah menderita sakit gigi disangkal.
Sejak satu bulan yang lalu pasien telah berobat ke poliklinik RSUP Dr. M
Djamil dan didiagnosis dengan Rhinosinusitis Kronis dengan polip nasi
sinistra grade II dengan deviasi septum ke kanan. Pasien diberi obat
antibiotik, dekongestan, mukolitik dan kortikosteroid tappering off.
Kontrol teratur,dan tidak membaik.
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 110/ 70
Nadi : 73 x per menit
Napas : 18 x per menit
Suhu ` : 36,8 oc
Pemeriksaan Sistemik
Kepala : tak ditemukan kelainan
25
Wajah : tak ditemukan kelainan
Mata : tak ditemukan kelainan
Paru : tak ditemukan kelainan
Jantung : tak ditemukan kelainan
Abdomen : tak ditemukan kelainan
Ekstremitas : teraba hangat, refilling kapiler baik.
26
Atrofi Tidak ada Tidak ada
Perforasi Jumlah perforasi Tidak ada Tidak ada
Jenis Tidak ada Tidak ada
Kuadran Tidak ada Tidak ada
Pinggir Tidak ada Tidak ada
Gambar
Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Hidung luar Deformitas Tidak ada Tidak ada
Kelainan Tidak ada Tidak ada
kongenital
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
27
Massa Tidak ada Tidak ada
Sinus Paranasal
Inspeksi
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Nyeri tekan Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Ada ( sinus maksilaris)
Rinoskopi Anterior
Vestibulum Vibrise Ada Ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Kavum nasi Cukup lapang (N) - -
Sempit Ya Ya
Lapang - -
Sekret Lokasi
Jenis seromukous seromukous
Jumlah
Bau Tidak ada Tidak ada
Konka inferior Ukuran edema eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin rata
Edema Ya tidak
Konka media Ukuran Sulit dinilai Sulit dinilai
Warna - -
Permukaan - -
Edema - -
Septum Cukup lurus/ Deviasi Cukup lurus
deviasi
Permukaan Rata rata
Warna Merah Merah muda
Spina Spina -
28
Krista - -
Abses - -
Peforasi - -
Massa Lokasi Tidak ada Meatus media
Bentuk - polipoid
Ukuran Terbatas di
meatus media
Permukaan - Licin
Warna - Bening
Konsistensi - Lunak
Mudah digoyang - Ya
Pengaruh - -
vasokonstriktor
Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Koana Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Sempit
Lapang
Mukosa Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Jaringan granulasi Tidak ada Tidak ada
Konka superior Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Rata Rata
Edema - -
Adenoid Ada/ tidak Sulit dinilai Sulit dinilai
Muara tuba Tertutup sekret Sulit dinilai Sulit dinilai
eustachius
Massa Lokasi Tidak ada Tidak ada
29
Ukuran - -
Bentuk - -
Permukaan - -
Post nasal drip Ada/ tidak Ada Ada
Jenis
30
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Konsistensi - -
Gigi Karies/ radiks Tidak ada Tidak ada
Kesan Gigi geligi baik
Lidah Warna Merah muda Merah muda
Bentuk
Deviasi Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Laringoskopi indirek
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Epiglotis Bentuk Tenang Tenang
Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Pinggir rata/ tidak rata Rata
Massa Tidak ada Tidak ada
Aritenoid Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Gerakan simetris Simetris
Ventrikular band Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Plika vokalis Warna putih Putih
Gerakan Simetris Simetris
Pinggir medial rata Rata
Massa Tidak ada Tidak ada
Subglotis/ trakea Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret ada / tidak Tidak ada Tidak ada
31
Sinus piriformis Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret Tidak ada Tidak ada
Valekulae Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret (jenisnya) Tidak ada Tidak ada
32
RESUME
Anamnesis
Hidung kiri bertambah bertambah tersumbat sejak 6 bulan yang lalu,
awalnya hidung kiri dirasakan tersumbat sejak + 1 tahun yang lalu
semakin lama dirasakan semakin tersumbat.
Pipi kiri dirasakan berat sejak + 6 bulan yang lalu.
Pada hidung kiri keluar ingus kental berwarna kekuningan, hilang timbul
sejak 1 tahun yang lalu.
Pasien sering mengeluhkan terlelan ingus, Napas dirasakan berbau, dan
Penciuman dirasakan berkurang sejak + 6 bulan yang lalu.
Riwayat nyeri kepala ada, Demam tidak ada.
Riwayat sakit gigi disangkal
Sejak satu bulan yang lalu pasien telah berobat ke poliklinik RSUP Dr. M
Djamil dan didiagnosis dengan ? obat? Tidak sembuh?
Pemeriksaan Fisik
Status Lokalis
Telinga
Aurikula Dekstra Sinistra
Liang telinga lapang, membran timpani utuh, reflek cahaya (+)
Rhinoskopi Anterior
Kavum nasi dekstra : Kavum nasi semput, konka inferior edem, konka media
sulit dinilai, septum spina (+)
Kavum nasi sinistra : Kavum nasi sempit, konka inferior eutrofi, konka media
sulit dinilai, massa (+) polipoid.
Tenggorokan
Arkus faring simetris, uvula ditengah , tonsil T2-T2, kripti melebar, dinding
posterior faring melebar.
33
Diagnosis Kerja
Rhinosinusitis kronis dengan polip nasi sinistra grade II dan deviasi septum
Tonsilitis kronis
Diagnosis
Rhinosinusitis Kronis + polip nasi sinistra Grade II+ septum deviasi kekanan
Tonsilitis kronis.
Terapi
FESS
Septoplasti
Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad sanam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
34
Follow Up pasien
Tanggal 25 April 2013
S/ Hidung kiri tersumbat (+), ingus (+)
Penciuman berkurang (+)
Demam (-)
Batuk (-)
O/ Status General
KU : sedang
Kesadaran : komposmentis kooperatif
TD : 110/70
Napas :18x/ menit
Suhu :36,8o C
Status Lokalis
Telinga
Aurikula Dekstra Sinistra
Liang telinga lapang, membran timpani utuh, reflek cahaya (+)
Rhinoskopi Anterior
Kavum nasi dekstra : Kavum nasi semput, konka inferior edem, konka
media sulit dinilai, septum spina (+)
Kavum nasi sinistra : Kavum nasi sempit, konka inferior eutrofi, konka
media sulit dinilai, massa (+) polipoid.
Tenggorokan
Arkus faring simetris, uvula ditengah , tonsil T2-T2, kripti melebar,
dinding posterior faring melebar.
35
DISKUSI
36
menjalani terapi operatif berupa bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS)
dan septoplasti.
BSEF merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronis yang memerlukan
operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus
terdahulu karen memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih
ringan dan tidak radikal. Septoplasti merupakan terapi pilihan untuk deviasi
septum dengan keluhan yang nyata. Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok
direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara
operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi
submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan hidung pelana.
37
DAFTAR PUSTAKA
2. Larsen, Tos. Origin and Structure of Nasal Polyps dalam Nasal Polyposis.
Copenhagen:Munksgaard,1997.17-21
3. Budiman, BJ, Ade Asyari. 2012. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Rinosinusitis dengan Polip Nasi. Diakses dari
http://repository.unand.ac.id/17218/1/Penatalaksanaan_rinosinusitis_dengan_p
olip_nasi.pdf pada tanggal 25 April 2013 pukul 16.30.
4. Drake Lee AB. Nasal polyps. In : Scott Brown`s Otolaryngology, Rrhinology.
5th ed. Vol 4 (Kerr A, Mackay IS, Bull TR edts). Butterworths. London. 1987 :
142-53.
5. http://www.google.co.id/imglanding?q=anatomi+hidung
6. Larsen, Tos. Origin and Structure of Nasal Polyps dalam Nasal Polyposis.
Copenhagen:Munksgaard,1997.17-21
38